Selasa, 12 Juni 2012

Tafsir Kebebasan dan Kebablasan ala Manji

Tafsir Kebebasan dan Kebablasan ala Irshad Manji

Oleh: Kusnady Ar-Razi

IRSHAD
Manji, sosok ini begitu kontroversial. Bukan hanya lantaran ia seorang lesbian tulen, tetapi lebih dari itu. Ia telah dikenal sebagai orang yang begitu gigih dalam menghina al-Qur’an dan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam.


Di tiap kunjungannya ke beberapa negara Muslim ia selalu mengkampanyekan lesbianisme. Atas nama kebebasan, ia dengan lantang menggugat nilai-nilai dan ajaran yang telah dianggap mapan. Tentu saja sasarannya adalah Islam. Dan buku “Allah, Liberty, and Love” yang baru ditulisnya tak jauh-jauh dari ide kebebasan, lesbianisme, dekonstruksi, dan relativisme. Ide-ide tersebut lah yang selalu dipropagandakan oleh para pemuja liberalisme Barat.
 
Relativisme Tafsir

Tesis utama yang dibangun Irshad Manji dalam bukunya adalah kebebasan. Siapapun boleh mengemukakan pandangannya, jangan takut salah, karena yang paling benar adalah Allah. Begitulah propaganda Manji dalam bukunya. Agar keberanian tafsirnya mendapatkan pembenaran, maka ia berlindung di balik paham relativisme. Relativisme telah menjadi slogan zaman post-modern. Paham ini menjadi salah satu ciri khas sekularisasi Barat. Intinya adalah merelatifkan atau menisbikan seluruh nilai dan ajaran. Baik buruk, porno dan tidak porno, iman dan kufur adalah nisbi belaka.

Mengenai homoseksualitas, Irshad Manji tak sepakat dengan kaum Muslim yang beranggapan bahwa perbuatan tersebut adalah dosa. Dosa dan tidak dosa adalah penafsiran yang kebenarannya bersifat relatif. Manji menulis, “Tidak sedikit Islamo-tribalis, kuduga, yang akan mencoba mengalihkan perhatianmu dengan berteriak tentang “Agenda gay-nya Manji” dan berkoar-koar bahwa Al-Quran secara jelas menyatakan homoseksualitas itu dosa. Jika aku boleh menawarkan pemikiran lebih jauh, lanjutkan mengutip surah 3:7.”

Irshad Manji mengajak pembacanya menelusuri Surah Ali-Imran ayat 7. Ayat tersebut ternyata berbicara tentang ayat muhkam dan mutasyabih. Ia menggunakan ayat ini sebagai dalil atas relativisme tafsir yang diusungnya.

هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ

“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Q.S. Ali-Imran: 7)

Perhatikan kalimat yang digarisbawahi. Inilah yang menjadi landasan argumentasi Irshad Manji. Menurutnya, makna yang ditunjukkan ayat-ayat mutasyabihat hanya diketahui oleh Allah. Jika demikian, tak pantas kalau ada orang yang memaksakan tafsirannya kepada orang lain. Dan ayat tentang kisah Nabi Luth termasuk ayat mutasyabihat menurutnya. Sehingga setiap orang bebas menafsirkannya dari sudut pandang manapun.

Dari Surah Ali Imran ayat 7 tersebut, muncul dua pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, apa makna muhkam dan mutasyabih? Kedua, apakah ayat mutasyabih hanya diketahui maknya oleh Allah saja? Mengenai pertanyaan pertama, Syeikh An-Nabhani menjelaskan, “adapun muhkam maka ia adalah ayat yang memiliki maknanya yang jelas dan tersingkap sehingga menghilangkan ihtimal (kemungkinan dibawa kepada pengertian lain), sedangkan mutasyabih adalah kebalikan dari muhkam, yaitu yang mungkin mengandung lebih dari satu makna.”

Lalu mengenai pertanyaan kedua, apakah ayat mutasyabihat hanya bisa dipahami maknanya oleh Allah saja? Dari apa yang dijelaskan oleh Syeikh An-Nabhani, kita bisa tahu bahwa ayat mutasyabih adalah ayat yang kemungkinan mengandung lebih dari satu makna, bukan ayat yang tak bisa dipahami maknanya. Inilah kesalahan Manji dalam memahami ayat mutasyabih. Disebut mutasyabih karena kesamaran maknanya, dan hal itu bisa dipahami oleh orang yang mendalam ilmunya. Sebab, tak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang tak bisa dipahami maknanya oleh manusia. Jika ayat Al-Qur’an tidak memiliki mafhum atau tak bisa dipahami maka itu akan mengeluarkan Al-Qur’an dari statusnya sebagai bayan (penjelas). Dan itu mustahil.

Manji juga salah dalam membaca kalimat padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Kesalahannya adalah pada cara memberhentikan bacaan. Jika ayat tersebut diberhentikan pada lafadz Allah, maka kalimat “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:...” menjadi kalimat baru yang terpisah dari kalimat sebelumnya.

Sehingga ayat mutasyabih hanya dipahami oleh Allah. Tetapi menurut Mujahid, Adh-Dhohak, Al-Ghozali, dan An-Nawawi [Pendapat ini juga didukung oleh Imam Al-Ghazali di dalam kitab Al-Mushtashfa hal 139], bahwa huruf wawu setelah lafadz Allah adalah wawu athof, sehingga bacaannya harus disambung menjadi “wa maa ya’lamu ta’wilahu illallaahu wa ar-raasikhuuna fil ‘ilmi (padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya)”.

Pendapat ini lebih shohih menurut Imam An-Nawawi, karena tidak mungkin Allah menyeru hambanya dengan sesuatu yang tidak bisa dipahami. Jelaslah bahwa kerancuan Manji memahami ayat ini berakibat fatal. Apalagi Manji menyebut ayat mutasyabih sebagai ayat yang “ambigu”, tentu ini jauh dari kebenaran. Tampaknya Manji tidak memahami betul definisi muhkam dan mutasyabih.

Salah Paham terhadap Ijtihad

Di halaman xiii
Irshad Manji menulis, “Aku janji, cerita yang akan kututurkan, berkisar satu gagasan sangat besar, yang kuyakini memiliki kapasitas untuk mengubah dunia untuk selamanya. Gagasan itu adalah ijtihad—tradisi dalam Islam yang mencakup perbedaan pendapat, penalaran, dan penafsiran kembali, ...ijtihad terkait dengan perjuangan untuk memahami dunia kita dengan menggunakan pikiran.”

Kelihatannya
Irshad Manji begitu gegabah memaknai ijtihad. Makna ijtihad menjadi bias ketika hanya dikonotasikan dengan kemampuan intelektual memahami realitas. Padahal ijtihad memiliki definisi sendiri yang disepakati oleh para ulama.

Menurut Imam Asy-Syaukani, ijtihad adalah “mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum).”

Imam al-Amidi mendefinisikan ijtihad sebagai “mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhanni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari kemampuannya itu”.

Parahnya,
Irshad Manji tak memahami ijtihad sebagaimana mestinya. Ijtihad baginya tak dimaksudkan untuk menggali hukum-hukum syari’ah dengan upaya sungguh-sungguh. “Ijtihad” ala Irshad Manji ini tidak mengenal mana wilayah qath’i yang tidak boleh ada ijtihad, dan mana wilayah yang dhanni. Ijtihad tidak berlaku pada perkara yang sudah jelas dalilnya, contohnya adalah keharaman homoseksual. Keharaman liwath (homoseksual) berada pada wilayah qath’i yang tidak boleh ditafsirkan lagi dengan upaya ijtihad. Tapi tidak begitu dengan Irshad Manji, dengan seenaknya ia “berijtihad” pada perkara-perkara yang qath’i. Upaya Manji ini lebih layak kita sebut sebagai dekonstruksi dari pada ijtihad.
 
Gagasan Irshad Manji tentang ijtihad ini khas pemikiran progressif kaum liberal. Menurut mereka ijtihad dipahami sebagai upaya penafsiran ulang dan penyegaran kembali pemahaman Islam. Tentu saja penafsiran yang dilakukan mereka tidak dengan kaidah-kaidah tafsir yang seharusnya, semua orang bebas menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan hukum-hukum Islam. Bagi mereka, ajaran Islam tunduk di bawah realitas kontemporer. Jika realitas kontemporer melahirkan budaya homoseksual, maka Islam harus meng-amininya. Apakah pemikiran semacam ini pantas kita sebut sebagai ijtihad?

Kebebasan atau Kebablasan?

Liberalisme adalah ruh dari seluruh pemikiran yang berkembang di Barat. Liberalisme menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat. Gagasan inilah yang dikenalkan
Irshad Manji ke seluruh dunia. Kebebasan dan keberanian yang ditunjukkan Manji dalam bukunya adalah kebebasan dan keberanian menggugat nilai-nilai agama.

Sejak awal, kebebasan seorang Muslim bukanlah kebebasan untuk berpendapat dan berbuat apa saja. Akal memang punya khasiat kehendak bebas, bebas memilih yang baik atau yang buruk. Tetapi ketika seseorang telah beriman maka ia terikat dengan hukum syara’ sebagai konsekuensi dari keimanannya. Karena itu, seorang Muslim tidak bebas untuk melakukan kemungkaran, termasuk menggugat hukum-hukum yang sudah ditetapkan Allah Swt. Seorang Muslim juga tidak bebas untuk berzina, mencuri, membunuh, atau berlaku homoseksual.
 
Jadi kebebasan yang diagung-agungkan Irshad Manji ini justru akan merusak tatanan hidup seorang Muslim. Orang awam tak akan mampu lagi membedakan antara kebenaran dan kemungkaran. Lesbianisme akan dianggap sah lantaran mendapat legitimasi dari kebebasan berpikir dan bertingkah-laku.
 
 Kebebasan ini pula yang menjadi inspirasi kaum liberal seperti Irshad Manji untuk membuka ruang interpretasi secara bebas terhadap ajaran-ajaran Islam. Akibatnya, kebebasan yang dipuja-puja bukan malah menyegarkan kembali pemahaman Islam yang dianggapnya jumud dan mengekang, tetapi justru menyebabkan penyimpangan terhadap Islam. Karena itu, sebagai seorang Muslim, kejahatan intelektual yang dilakukan Manji harus diperangi dengan pemikiran. Jika tidak, maka tidak akan ada lagi yang tersisa dari Islam selain lembaran-lembaran al-Qur’an tanpa makna.*

Penulis peminat masalah keagamaan

Sumber kutipan http://www.hidayatullah.com/read/22847/27/05/2012/tafsir-kebebasan-dan-kebablasan-ala-manji-.html

Rabu, 22 Februari 2012

SABDO PALON

NOVEL SABDA PALON (National Best Seller) CETAKAN KEDUA


karya Damar Shashangka

DITERBITKAN OLEH
DOLPHIN

Jln. Ampera II No. 29, RT: 004/09, Ragunan Jakarta Selatan 12550.
Telp/Faks: (021) 7884 7301

http://www.kaylapustaka.com/

Sabda Palon
©Damar Shashangka, 2011
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved


Penyunting: Salahuddien Gz dan Dita Sylvana
Penyelaras Bahasa: Khrisna Pabichara
Pemindai Aksara: Muhammad Bagus SM
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Penata Letak: MT Nugroho



Cetakan II: April 2011
ISBN: 978-979-16110-4-n

Harga: Rp 75.000,- (450 Hlm. Bookpaper)


Dolphin

Jln. Ampera II No. 29, RT: 004/09,
Ragunan Jakarta Selatan 12550.
Telp/Faks: (021) 7884 7301
E-mail: bunda_laksmi@yahoo.com

SINOPSIS

Pada tahun 1445 Masehi, atas permintaan Bhre Kêrtabumi, Syekh Ibrahim Al-Akbar berlayar dari Champa menuju Jawa, diiringi Sayyid Ali Murtadlo dan tiga belas santrinya. Mengingat pertumbuhan kaum muslim yang pesat di pesisir Jawa, syekh keturunan Samarqand itu didaulat untuk menjadi petinggi agama Islam di Keraton Majapahit. Tetapi jung Syekh Ibrahim diamuk badai hingga terdampar di pantai Kamboja. Mereka ditangkap prajurit-prajurit Kamboja dan dipenjara oleh rajanya. Kabar perihal nasib rombongan Champa itu akhirnya sampai di Jawa. Dipimpin Raden Arya Bangah, tujuh jung tempur Majapahit, lengkap dengan meriam dan manjanik, segera meluncur ke Kamboja untuk membebaskan mereka. Pertempuran sengit pun meletus di Prey Nokor.

Dalam pada itu, Sabda Palon dan Naya Genggong, dua punakawan Bhre Kêrtabumi, melihat dengan mata batinnya bahwa trah Majapahit akan lumpuh. Selama lima ratus tahun awan hitam akan menaungi Nusantara seiring datangnya para pengusung keyakinan baru yang bakal mengakhiri kekuasaan Majapahit. Demi menjaga keutuhan Nusantara, Sabda Palon menasihati Kêrtabumi agar mengambil selir dari Kepulauan Wandhan. Keturunan darinyalah yang akan membangkitkan kejayaan trah Majapahit dua ratus tahun kemudian. Raja muda itu pun mengawini Bondrit Cêmara, seorang emban dari Wandhan. Dewi Amaravati, putri Champa permaisuri Kêrtabumi, dilanda cemburu tak tertanggungkan hingga ia berencana membunuh Bondrit Cêmara berikut janin yang tengah dikandungnya.

Melalui narasi-narasi memukau nyaris pada setiap babak, novel ini tak hanya mampu menyatukan keping-keping sejarah masa akhir kejayaan Majapahit yang tercecer dan terpendam, tetapi juga bakal menyihir Anda untuk memasuki Nusantara masa silam. Tidaklah mudah membawa pembaca abad 21 kembali ke abad 15, yang berjejal aroma dupa, kemegahan pura, dan gadis-gadis yang masih bertelanjang dada. Tetapi Damar Shashangka mampu melakukan itu dengan mempesona.

Testimonu-Testimoni :

“Damar Shashangka memang sudah jauh hari diramalkan bakal memberikan pencerahan terhadap masa gelap sejarah kemunduran Nusantara. Kehadiran novel ini patut dirayakan dengan ritual khusus di Trowulan, petilasan kejayaan Nusantara masa silam.”
(Leonardo Rimba, pendiri Spiritual Indonesia )


“Sabda Palon adalah tokoh agung yang mempunyai energi besar di Cakra Ajna (mata ketiga); menghadapi permasalahan yang pelik tidaklah cukup mengandalkan energi cinta di Cakra Anahata (hati). Tidaklah mengherankan jika ia mampu menerawang sejarah ke belakang dan ke depan. Sungguh, baru memegang buku ini saja sudah terasa energinya yang dahsyat. Dan ketika menyimaknya, betapa pertarungan antara cahaya dan kegelapan tergambar indah di dalamnya.”
(Rini Candra, Master Maha Yoga Kundalini Indonesia)



"Ingatan kolektif kita sebagai bangsa perlu distimuli dan direkonstruksi dengan berbagai kisah sejarah dari bermacam-macam sudut pandang -- sebab dari sanalah kita dapat belajar, tentang faktor-faktor pembentuk kejayaan, kejatuhan, dan di atas segalanya kebangkitan yang perlu untuk membentuk sendiri sejarah kita dan anak-cucu kita. Sabda Palon menjadi sangat berharga bagi kita, selain karena figurnya yang memang menarik untuk dicermati, juga karena novel ini berusaha mengisi ruang-ruang yang hilang atau kurang tergali dalam berbagai dokumen sejarah kita... tentang sebuah masa ketika sebuah kerajaan besar yang tangguh dan sangat dikagumi kawan dan lawan, yaitu Majapahit, memasuki usia senjanya. Saya menikmati sepenuhnya dan tak sabar menanti kelanjutan sepak terjang para tokohnya."
(Wandy Binyo Tuturoong - konsultan media dan aktivis demokrasi)



Siapapun Damar Shasanka, dia story-teller yang cukup berbakat. Cerita panjang dengan plot yang sangat random bahkan seperti hampir tidak ada main-plot yang menjembatani keseluruhan cerita kecuali satu benang merah; Majapahit, dia berhasil menahan saya untuk tidak buru-buru mengalihkan perhatian saya ke Manohara dengan Sinetron Supergirl-nya itu atau Sinetron lucu lain bertitel Anak Yang Tertukar atau apalah... Damar Shasanka juga berhasil menyamarkan antara catatan sejarah, imajinasi dan mungkin hasil olah batin penelusurannya dengan narasi-narasi licin yang cukup cerdas.
(Sigit Ariansyah – Sutradara film)



Salah satu keunikan Sabda Palon adalah keintensitasannya dalam menghidupkan banyak tokoh di dalam cerita. Tidak terjadi asimilasi karakter yang sering diderita oleh penulis-penulis fiksi sejarah. Damar Shashangka bisa dikedepankan sebagai generasi baru penerus Nyoman S. Pendit.
(Pringadi Abdi Surya - Penulis)


Champa, Kamboja, Majapahit, semua menyihir aku, terlarut dalam alurnya. Rasanya gak rela buat menutup buku disaat kumerasa pedih di mata. Suatu buku aku anggap berhasil penulisannya, ketika aku bisa terlarut, bisa merasakan debar-debar ketegangan, merasakan terharu hingga meneteskan air mata.

Yah, sedikit bocoran, aku meneteskan air mata pada saat Kidang Telangkas, bertemu bapa-nya di hutan. Yah, aku bukan pe-review buku, cuma penikmat buku. Yang jelas aku menunggu lanjutannya. Ketika sampai di pupuh terakhir, rasanya gak rela khayalan tentang alurnya harus berakhir...
(Noni Rafael – Penikmat Buku)



“Novel ini merupakan referensi utama tentang sejarah Kerajaan Nusantara Majapahit, mengingat banyaknya data dan informasi valid yang tersaji di dalamnya, menggugah kita untuk bangkit kembali setelah lama limbung akibat tercerabut dari akar adat dan budaya bangsa.”
(Ahmad Sinter Prawiraatmadja - pelestari kebudayaan Sunda)



“Selama ini, pemahaman kita tentang sejarah kejatuhan Majapahit begitu terfragmentasi. Sangat beruntung kita memiliki Damar Shashangka, yang dengan apik menyatukan keping-keping sejarah tersebut ke dalam sebuah cerita yang tidak saja memberikan pemahaman yang utuh, melainkan juga menghibur urat estetis kita.” (Khrisna Pabichara - penulis)



Jarang ada novel yg bisa membuat saya betah membaca halaman demi halaman. Sabda Palon inilah salah satunya. Penyajian cerita sejarah yg menarik! Jadi penasaran dg seri ke-2 dr trilogi novel ini”
(Deddy D'Teges – Pemerhati Sejarah)



“Hanya satu kata yg terucap stlh membaca SABDA PALON karya Damar Shashangka: Dahsyat! Detailnya luar biasa. Seperti ditulis seorang saksi mata. Jika difilmkan, yg pantas menggarapnya adlh Peter Jackson atau James Cameron. Serius!”
(Fouad Sn – Alumni Pondok Modern Gontor)



“Dengan cantiknya Sabda Palon mengajak kita sejenak menengok ke belakang, bukan untuk bernostalgia, apalagi dendam, terhadap masa lalu, melainkan untuk menemukan jati diri kita kembali sebagai bangsa besar Nusantara.”
(Yudi Sayutogoyo, perupa)



“Buku ini membuat saya serasa memasuki rumah Nusantara masa silam yang penuh pintu. Setelah memasuki pintu satu, saya dihadapkan pada banyak pintu lain yang menggoda untuk dimasuki. Dan setelah memasuki pintu-pintu yang ditawarkan buku ini, pemahaman saya tentang rumah Nusantara masa silam semakin benderang.”
(Bangun Widodo - penggemar buku sastra)


"Kemampuan Damar Shashangka sejajar dg James Michener dlm mengemas fakta2 sejarah menjadi tulisan yg memikat. Saya ketagihan! Sungguh menyenangkan membaca SABDA PALON di Santa Monica Beach, menghadirkan kerinduan tak terperi untuk pulang ke Tanah Air tercinta.”
(C Anita Day-Tobing, auditor Best Western Ontario Hotel, California).


------------------------------------------------------------------------

Harga Rp. 75.000,- Pesan ke saya akan saya beri kenang-kenangan berupa tanda tangan khusus untuk si pemesan. Kirim massage pemesanan (nama dan alamat lengkap) ke INBOX Face Book saya, "Damar Shashangka", atau melalui sms/tlp ke nomor hand phone 0818-102-767 atau bisa kirim e-mail ke damarshashangka@gmail.com (belum termasuk ongkos kirim) Buku akan dikirim melalui Pos/JNE. Pembayaran melalui transfer ke rekening:

BCA KCP Gondanglegi,Malang
No.Rek : 31-70-41-76-90
a/n : Anton Maharani


Gramedia Pondok Indah Jakarta menambah stock lagi dari pihak distributor karena penjualan bagus.

Jaya-Jaya Nuswantara, Têtêp Jaya Ngadhêpi Bêbaya!

Rahayu…!

Rabu, 30 November 2011

CUPLIKAN NOVEL SABDA PALON 2 Oleh : Damar Shashangka





CUPLIKAN NOVEL SABDA PALON 2
Oleh : Damar Shashangka


Setelah Novel SABDA PALON 1 meraih sukses dipasaran, menyusul segera terbit seri kedua. Melanjutkan kisah perkembangan Islam di pulau Jawa yang dimulai pada kisaran abad XV. Abad dimana perdagangan global mulai merambah Nusantara. Dipadu dengan kisah-kisah mitos Jawa yang masih belum banyak diketahui, terutama keberadaan tokoh DANG HYANG SABDA PALON.

Bagaimakah kisah dari Sayyid 'Ali Rahmad, Sayyid 'Ali Murtadlo dan Zanal Kabir selanjutnya? Dan bagaimana juga kisah pergulatan bathin dari Bhre Kêrtabhumi? Siapakah sosok Dang Hyang Sabda Palon itu? Apa hubungan beliau dengan Sang Hyang Tri Purusha, Sang Hyang Sapta Bathara dan Sang Hyang Panca Tirtha yang sangat dihormati di Bali? Semua bisa disimak pada seri kedua ini. Sebuah Novel yang sarat dengan sejarah perkembangan Islam di Jawa, sejarah leluhur Syiwa Buddha juga peranan orang-orang Tionghwa Muslim yang belum banyak diketahui !



Pupuh XVII
PANGERAN CHAMPA YANG TERPILIH.

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

Pusaran cahaya itu membludak sedemikian melimpah. Baru saja ditatapnya pendaran cahaya yang sedari tadi membuatnya dilanda rasa kepenasaran yang teramat sangat, mendadak, bagai gelontoran air bah, pusaran cahaya tiba-tiba saja menerjangnya tanpa ampun. Sebuah rasa dingin yang aneh, bagai dinginnya sapuan angin yang tidak begitu deras, dirasa menerpa sekujur tubuhnya seiring terjangan pusaran itu!

Bagai terpancang diatas bumi, tubuhnya sangat susah untuk digerakkan! Apakah dirinya masih berpijak diatas bumi? Entahlah! Tubuhnya sebegitu kaku. Sangat kaku. Bahkan untuk mengedipkan matapun tak mampu dilakukannya. Hanya kesadaran saja yang masih tetap bisa digerakkan. Dan dari sana, dari kedalaman kesadarannya, terus terlontar nama-nama Tuhan tanpa henti. Sedemikian deras nama-nama itu dikucarkannya, sederas terjangan pusaran cahaya yang datang semakin melimpah ruah!

Dicobanya menarik nafas! Tapi tak terasa ada aliran udara! Apakah dia masih bernafas? Ya Allah! Detak jantungnya pun tak dirasakannya lagi. Lantas dia bisa bertahan hidup dengan apa? Bahkan kini, tak lagi dia bisa mengetahui, apakah dirinya masih mempunyai tubuh? Kepanikan yang melanda segera ditekannya kuat-kuat. Hanya Allah yang berkuasa atas dirinya. Hanya Allah yang harus memenuhi sekujur kesadarannya! Kini tak diketahuinya lagi, apa yang tengah terjadi dengan dirinya! Tak lagi diketahuinya dia berada dimana! Ya Alah! Ya Alah! Ya Allah!

Dan pendaran cahaya yang menghempas-hempas itu semakin terang! Sangat-sangat terang dan menyilaukan! Bahkan kesadarannya pun kini seolah ikut terbuai oleh karenanya. Ada keterikatan aneh antara nama-nama Tuhan yang dikucarkannya terus menerus dengan hempasan cahaya itu! Ada keterpautan ganjil yang menyatakan secara tegas dalam dirinya, bahwa apa yang kamu ucapkan masih satu sumber dengan limpahan cahaya yang datang!

Pelahan, ketenangan menyelinap direlung kesadarannya. Kini, dia pasrah. Pasrah segalanya. Dia akan menerima segalanya. Ketenangan yang memenuhi kisi-kisi kesadarannya menciptakan pendaran-pendaran baru yang lebih cemerlang! Dan diantara pendaran-pednaran cahaya itu, lamat-lamat, menampak sesosok tubuh!

Kembali kesadarannya terhenyak! Siapa itu? Sosok apa itu?

Dan sosok itu semakin membayang ditengah-tengah limpahan cahaya. Lamat-lamat pula, dalam kesadarannya mendengar suara aneh! Suara yang tak dia mengerti! Tidak! Dia menangkap maksud suara itu! Ya! Sosok itu memberinya salam! Ya! Walau dengan bahasa yang tak dikenalnya! Tapi dia paham! Sangat paham dan yakin bahwa itu ucapan salam! Dan ucapan itu harus dijawab dengan salam pula!

“Alaikumussalam..” desis kesadarannya. Dia tak tahu apakah ucapannya akan didengar. Karena dia tak memiliki suara. Tak ada suara yang mampu dikeluarkannya. Bahkan bibir-pun tak tahu lagi apakah masih dia punyai!

Ada getar hangat, getas kasih, getar senang yang terpancar dan dia merasakannya. Ya! Salamnya didengar dan mendapat sambutan!

Menyusul terdengar lagi suara yang menerpa kesadarannya. Suara yang sama, yang tak bisa dimengerti. Namun tidak. Dia paham. Dia paham…

“Anakku. Selamat datang di Yawadwīpa. Disinilah aku sekarang memilih untuk hadir ke dunia. Menunaikan tugasku. Tugas purba. Mengemban tanah Ataladwīapa yang telah tenggelam dahulu kala.”

Tubuhnya tergetar. Ya! Tergetar! Tapi dia tak merasa mempunyai tubuh! Lantas apa yang tergetar? Ya Allah!

“Dirimu telah terpilih disini. Dari dirimu akan memancar ajaran baru. Ajaran yang sementara waktu akan menggantikan ajaran purba. Ajaran yang dibutuhkan demi memberikan peringatan bagi penghuni bekas daratan Ataladwīpa. Ajaran yang semula manis, yang keluar dari pancaran tanganmu, akan memecah menjadi Dwijawara[1] di sisi kiri dan menjadi kendi berisi Amrta[2] disisi kanan. Dwijawara dibutuhkan untuk membalaskan kesalahan-kesalahan penghuni tanah ini. Dan Amrita dibutuhkan sebagai pembasuh kekotoran-kekotoran itu. Dan seseorang yang terjatuh dengan darah meleleh dikakinya, dari dialah Dwijawara akan banyak bertumbuhan. Dan seseorang yang sebentar lagi akan engkau temui, seseorang berselimut wulung[3], dari dialah Amrta akan banyak terpancarkan. Dia akan dikenal sebagi Tirtha[4] dalam namanya. Kehadiranku kembali disini, untuk memastikan perubahan yang bakal terjadi, agar tak banyak menimbulkan korban. Tapi ingat-ingatlah, lima ratus tahun lagi, terhitung dari Sirna dan Hilangnya Gunung Besar bertahtakan pohon Bilwa[5] yang Tikta[6], kelak aku akan kembali lagi!”

Ada hawa panas terasa! Dan pendaran cahaya sejenak kemudian bercampur warna merah darah! Warna itu memekat! Berputar-putar! Namun tampilan itu hanya sesaat! Kemudian hilang dan berganti pendaran cahaya yang terang seperti semula. Dan sosok yang samar, pelahan namun pasti, mulai terlihat dengan jelas!

Kesadarannya siap! Ya! Siap untuk melihat dengan jelas wujud sosok itu!

Dan yang semula berbayang, kini mulai menyata!

Sesosok bercahaya, bertubuh gemuk dengan perut buncitnya! Dengan bulu janggut yang terurai. Tangan kiri membawa kendi! Tangan kanan membawa tasbih! Ya! Tasbih! Kesadaranya menggeragap! Ya Allah! Beliau itukah? Ya Allah!

Sontak dia menghaturkan sembah hormat! Entah dengan cara apa! Tapi kesadarannya yakin dirinya telah mengangkat sembah tepat sebatas dada! Dan sosok itu mengangkat tangan kanannya! Memberikan restu! Kemudian raib begitu saja! Dan pendaran-pendaran cahaya, yang semula berlimpahan, sedikit demi sedikit mulai menyusut. Seiring susutan pendaran itu, perlahan dirasakannya tanah yang dijejakinya! Menyusul kemudian, tubuhnya menemukan bentuk kembali. Kini dia tahu mana kaki, mana paha, mana tangan dan mana kepalanya!

Bahkan kini, dia tahu dirinya masih bisa bernafas. Dia juga tahu detak jantungnya masih ada! Dan seiring semakin menyurutnya cahaya yang terlihat, pening mendadak menguasai kepalanya!

Tanpa sadar diangkatnya tangan memegangi kening! Dan tanpa sadar terucap sesuatu dari bibirnya.

“Astaghfirullah!”
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Pupuh XXVI
NYI SYAMIROH

.........................................................................................................................................................................

Pasukan Pangeran Wirabraja masih bisa bertahan. Bersama sembilan ratus orang-orang China yang dibawanya, ditambah seribu orang China dari Tandhês, dia mengamuk dengan pedang ditangan! Gerakan mereka cepat bagai gerakan belalang! Pasukan Lasêm yang ikut dalam barisan pasukan bercadar terus bertambah! Sedikit demi sedikit, pasukan China dan pasukan Sayap Capit kanan Tuban mundur!

Bangkai orang bermata sipit mulai terlihat disana-sini dengan darah menggenangi tubuhnya! Teriakan kemarahan terus berkumandang dari pasukan bercadar!

“Bantai orang Atas Angin! Bantai orang Atas Angin!”

Pangeran Wirabraja menggeram marah!

“Aku orang Atas Angin! Siapa yang berani maju! Sini! Aku penggal kepala kalian! Bangsat!”

Pangeran Wirabraja menerjang berani dengan kudanya! Melihat Pangeran Lasêm tersebut merangsak dengan berani, beberapa orang China tumbuh semangatnya! Mereka bersorak-sorai ikut merangsak maju!

Pertempuran sengit terus berlangsung! Pangeran Wirabraja mengamuk dengan pedang ditangannya! Seorang pimpinan pasukan bercadar menyibak kerumunan dengan kudanya dan segera menghampiri Pangeran Wirabraja!

“Aku lawanmu!”

Pangeran Wirabraja membelalak dan memaki marah!

“Maju sini! Bangsat!”

Dengan bentakan keras, pemimpin pasukan bercadar langsung menerjang Pangeran Wirabraja! Kedua pedang mereka beradu! Sedemikian kerasnya hingga menimbulkan percikan api! Tangan masing-masing sampai kesemutan dan tergetar! Pangeran Wirabraja menggeram marah! Sempat dia menyabetkan pedangnya ke seorang prajurid bercadar yang hendak menusuk dari belakang! Satu sabetan telah mengenai leher dan membuat sosok yang hendak menyerangnya tumbang bermandi darah!

Diputarnya haluan kuda dan kembali menerjang lawannya, sang pemimpin pasukan bercadar! Sabetan terayun telak dan tepat mengenai dada lawan! Namun Pangeran Wirabraja memekik ketika mengetahui pedangnya tak sanggup melukai tubuh orang itu! Pedang Tiongkok setajam itu, bagai beradu dengan batu cadas yang keras! Tak ada darah! Bahkan lukapun tidak didada yang baru saja terkena pedang!

“Hahahahaaha! Habiskan besimu goblog!”

Orang itu memutar pedang dan menyabet leher! Pangeran Wirabraja menggeram dan menangkis serangan tersebut! Bunyi beradunya dua logam terdengar! Telak! Hampir saja Pangeran Wirabraja terjatuh karena kerasnya ayunan!

Pangeran Wirabraja memutar tali kekang kudanya! Berputar hendak menerjang!

Namun dilihatnya, pasukannya satu demi satu tumbang ketanah! Kini posisinya benar-benar terdesak!

Segera diangkat pedangnya dan berteriak!

“Mundur! Mundur!”

Seluruh pasukan segera bergerak undur! Kocar-kacir! Satu dua terpapas pedang dan sekarat! Pasukan Pangeran Wirabraja bergerak undur! Diikuti pasukan Sayap Capit kanan! Pasukan bercadar bersorak-sorai! Dan pemimpin pasukan bercadar tertawa tergelak-gelak melihat pasukanTuban pontang-panting melarikan diri!

Disisi barat daya, kekalahan serupa terjadi. Pasukan Capit sisi kanan bergerak mundur. Pasukan bercadar terus merangsak maju dengan formasi Garuddha Wyuuha! Mereka mempermainkan pasukan yang kocar-kacir bagai seekor garudha mempermainkan anak ayam! Sesekali sayap kanan menyerang, kemudian bertahan dalam posisinya, menyusul sayap kiri menyerang, bertahan dalam posisinya, lantas kepala menyerang! Begitu seterusnya! Pasukan sisi barat daya benar-benar terdesak hebat!

.........................................................................................................................................


[1] Tawon penyengat

[2] Air kehidupan

[3] Hitam kebiru-biruan

[4] Air

[5] Pohon Maja

[6] Pahit

Sabtu, 24 Desember 2011

Illustrasi SABDA PALON (2) PUPUH I Bandar Regol, Lao Sam (Pausa 1369 Saka/Januari 1447 Masehi)




Illustrasi

SABDA PALON
(2)

PUPUH I Bandar Regol, Lao Sam
(Pausa 1369 Saka/Januari 1447 Masehi)






L
ao Sam adalah pegucapan Tiongkok untuk Lasêm. Sebuah daerah pesisir utara Jawa yang lantas dipilih oleh Haji Gan Eng Chu sebagai kediaman beliau demi mengemban tugas dari Laksmana Cheng Ho untuk mengawasi wilayah Nan Yang (Asia Tenggara).

Dari Lao Sam, kesepakatan kedua negara, Tiongkok dan Majapahit,yang mengamanatkakan agar pihak Majapahit melindungi warga Tiongkok perantauan di wilayah Majapahit, senantiasa di awasi pula. Haji Gan Eng Chu, adalah pejabat Tiongkok dinasti Ming yang berwenang untuk itu.

Kesepakatan itu terjadi setelah kesalah pahaman antara pihak Tiongkok dan Majapahit pada perang Paregreg (1404-1406), dimana pada waktu itu, armada Laksmana Cheng Ho yang berlayar dari Tiongkok, mendarat didaerah Simongan (Semarang sekarang). Laksamana Cheng Ho tidak mengetahui situasi genting di Jawa. Armadanya yang sangat besar, dengan 208 Jung dan lebih dari 27.000 awak kapal yang bertolak dari Tiongkok untuk mengemban misi persahabatan dengan Raja Majapahit atas titah Kaisar Zhu Di, diserang oleh armada Majapahit. Memang jauh-jauh hari telah tersiar kabar, bahwa Bhre Wirabhumi II telah mendapat stempel emas dari Kaisar Tiongkok. Ini menandakan, Kaisar Tiongkok secara tidak langsung telah mendukung Bhre Wirabhumi II.

Pertempuran tak dapat dielakkan dan lebih dari seratus awak kapal Laksamana Cheng Ho tewas! Bahkan banyak orang-orang China yang jauh-jauh hari sudah berdiam dibeberapa daerah pesisir utara Jawa, ikut terkena imbasnya, terbunuh dengan sangat menyedihkan tanpa tahu sebab musabab yang jelas. Mayat mereka sering terlihat tergeletak dengan luka tusuk keris didada atau terpenggal kepalanya.

Orang-orang China yang tinggal dipesisir Jawa resah.

Laksamana Cheng Ho yang segera menguasai keadaan, secepatnya mengirimkan utusan menghadap Bathara Prabhu Wikramawardhana. Laksamana Cheng Ho memberitahukan bahwa kedatangannya ke Jawa bukan bermaksud untuk mengadakan peperangan, namun sebaliknya, mengemban titah Kaisar Zhu Di untuk memulihkan hubungan kedua belah Kekaisaran. Bathara Prabhu Wikramawardhana, begitu mendapati utusan Laksamana Cheng Ho dan memahami duduk masalah yang sebenarnya, segera memberikan komando kepada seluruh tentara Laut maupun Darat Majapahit untuk menghentikan penyerangan kepada armada Laksamana Cheng Ho. Bahkan, sang Laksamana mendapat kehormatan diundang ke istana Majapahit dengan jamuan yang luar biasa. Bathara Prabhu Wikramawardhana berjanji akan memberikan ganti rugi atas segala kerusakan dan korban nyawa yang dialami armada Cheng Ho. Untuk itulah, Bathara Prabhu Wikramawardhana segera mengirimkan duta khusus ke China, menemui Kaisar Zhu Di. Duta Majapahit itu berlayar bersama rombongan armada Laksamana Cheng Ho yang bertolak ke China.

Kaisar Zhu Di geram mendengar armada yang dikirimnya ke Majapahit mendapat sambutan yang sedemikian rupa. Ditengah kegeramannya, Kaisar – melalui duta yang dikirim - menuntut Raja Jawa memberikan ganti rugi sebesar 60.000 tahil emas dan menuntut agar Raja Jawa memberikan perlindungan khusus bagi orang-orang China yang hidup di Majapahit

Pada awal tahun 1408, Laksamana Cheng Ho kembali melakukan pelayaran ke Jawa. Duta dari Majapahit ikut serta. Tuntutan dari Kaisar Zhu Di disampaikan oleh sang Duta kepada Bathara Prabhu Wikramawardhana. Dalam kondisi ekonomi Negara yang morat-marit, demi memenuhi janji yang telah diucapkan, Bathara Prabhu Wikramawardhana bersusah payah mengumpulkan 60.000 tahil emas, namun akhirnya hanya mampu mengumpulkan 10.000 tahil saja. Majapahit telah benar-benar jatuh miskin selepas perang Paregreg. Sedangkan tuntutan kedua dari Kaisar Zhu Di agar Majapahit memberikan perlindungan khusus kepada orang-orang China yang menetap di Majapahit, segera dipenuhi. Bathara Prabhu Wikramawardhana membuat peraturan baru, dimanapun orang China berada, keberadaannya tidak boleh diganggu. Bahkan dalam kondisi perang, perkampungan China tidak boleh diusik. Kampung China tidak boleh dibuat sebagai tempat persembunyian bagi kedua belah pihak yang tengah bertikai. Semenjak saat itu, perkampungan China di Majapahit sangat-sangat aman.

Pada akhir tahun 1408, duta Majapahit dikirim ke China untuk menyerahkan emas yang diminta Kaisar China. Mendapati Raja Jawa hanya mampu menyerahkan 10.000 tahil emas dari 60.000 tahil yang diminta, hampir saja kemurkaan Kaisar berkobar. Namun begitu mendengar tuntutan jaminan keamanan bagi orang China sudah dipenuhi oleh Raja Jawa, Kaisar Zhu Di akhirnya menerima 10.000 tahil emas tersebut dan menghapuskan hutang Raja Jawa yang masih tersisa 50.000 tahil.

Dan, di daerah Lasêm, keberadaan pemukiman China memang benar-benar terjamin dari berbagai macam gangguan. Walau kini Bathara Prabhu Wikramawardhana sudah digantikan oleh putrinya, Bathara Prabhu Sthri Dyah Rani Suhita, jaminan tersebut masih tetap diberikan oleh pihak kerajaan Majapahit.

Tapi semenjak Dinasti Ming melarang pelayaran ke luar negeri setelah Laksmana Cheng Ho wafat, ditambah ketidak stablian Majapahit selepas Bathara Sthri Dyah Rani Suhita wafat (1447), perjanjian antar Tiongkok dan Majapahit ini mulai goyah, dan keberadaan warga Tiongkok perantauan mulai terancam.

Bagaimanakah kisah pergulatan etnis keturunan ini dengan pribumi Majapahit? Silakan ikuti pada Novel Sabda Palon 2 yang akan segera terbit Januari 2012 mendatang.





Penulis : Damar Shashangka.
Penyunting : Salahuddien Gz
Pemindai Aksara : Webri Veliana
Illustrasi : Sherika Sheroki

Penerbit : DOLPHIN
Jln. Ampera II No.29, Jakarta Selatan.
Telp : 021-78847301
E-mail : bunda_laksmi@yahoo.com

Kamis, 09 Februari 2012

NOVEL SABDA PALON 2

Sabda Palon
2



Sejak Dinasti Ming melarang armadanya berlayar ke luar Cina, ditambah rentannya Majapahit setelah Rani Suhita mangkat pada tahun 1447, perjanjian antara Tiongkok dan Majapahit selepas Perang Paregreg—yang memberikan jaminan keamanan kepada warga keturunan Cina di Majapahit—pun mulai goyah. Haji Gan Eng Chu, pejabat Dinasti Ming untuk kawasan Asia Tenggara yang berkedudukan di Lasêm, berencana menggalang kekuatan prajurit demi keamanan warga keturunan Cina. Bong Swie Hoo alias Sayyid Ali Rahmad diperintahnya untuk menempati daerah Bangêr. Dari sana dia diharapkan bisa menjadi penghubung warga Cina yang tinggal di Jawa sebelah timur dengan Lasêm.

Di sisi lain, Tuban yang semakin makmur menimbulkan kecemasan sejumlah pejabat pribumi Majapahit. Kemakmuran Tuban salah satunya disebabkan oleh kebijakan Adipati Arya Adikara yang memberikan kesempatan kepada bangsa Atas Angin untuk masuk ke jajaran pemerintahan, termasuk mengangkat Gan Eng Wan, adik Haji Gan Eng Chu, sebagai patih Tuban. Lalu tersingkaplah sebuah desas-desus tentang rencana penyerbuan atas Tuban yang digerakkan oleh beberapa pejabat Majapahit. Namun Adipati Tuban tidak mempercayainya. Tumenggung Wilwatikta, menantu Adipati Tuban, meminta tolong kakaknya di Lasêm, Pangeran Wirabraja, untuk menyelisik kebenaran desas-desus itu. Kerusuhan besar pun membayang-bayangi Tuban.

Dalam pada itu, Bhre Kêrtabumi, didampingi dua punakawannya yang setia, Sabda Palon dan Naya Genggong, mulai mendapat petunjuk dari sosok misterius yang dipercaya sebagai Roh Nusantara. Petunjuk itu menggiringnya pada pengetahuan tentang hakikat tanah Nusantara, yang dalam penglihatan batinnya pernah menjadi pusat peradaban dunia, dikenal sebagai Ataladwipa. Begitu pula Sayyid Ali Rahmad. Dia memperoleh penampakan gaib yang mahadahsyat. Tanda-tanda perubahan zaman mulai terlihat. Jawa akan berganti muka. Agama lama bakal sirna, diganti agama baru. Dan Bhre Kertabumi dan Sayyid Ali Rahmad adalah dua orang yang terpilih sebagai pengawal perubahan mahabesar yang bakal mengubah wajah dunia.

©Damar Shashangka, 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Penyunting: Salahuddien Gz
Pemindai Aksara: Webri Veliana
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Penggambar Ilustrasi: Sherika
Penata Letak: MT Nugroho





Penerbit : DOLPHIN
Jln. Ampera II No.29, Jakarta Selatan.
Telp : 021-78847301
E-mail : bunda_laksmi@yahoo.com


Minggu, 07 Agustus 2011

BAGAIMANA MEMAHAMI HADITS NABI

Bagaimana Memahami Hadis Nabi?

Nadirsyah Hosen

Setelah memposting mengenai "Bagaimana memahami al-Qur'an" dan "Bagaimana memahami konsep mutawatir, ijma' dan qat'i al-dalalah", tiba saatnya saya memasuki wilayah yang paling seru, yaitu "Bagaimana memahami Hadis Nabi". Saya bilang ini topik yang paling seru karena hampir semua gerakan pembaruan Islam dimulai dari topik ini, yaitu bagaimana memisahkan antara Hadis yang valid dengan Hadis yang tidak valid. Perbedaan pendapat di kalangan ulama juga terjadi akibat masalah Hadis ini. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Pertama, tidak seperti al-Qur'an, Hadis Nabi tersebar dalam sembilan kitab Hadis utama atau primer (kutubut tis'ah) dan sejumlah kitab hadis sekunder. Tentu saja sulit untuk melacak kedudukan atau keberadaan suatu Hadis dibanding melacak satu ayat al-Qur'an. Kedua, tidak seperti al-Qur'an yang telah diterjemahkan dan juga banyak kitab tafsir yang sudah diterjemahkan pula, 9 kitab Hadis utama tersebut belum seluruhnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemusykilan semakin bertambah mengingat kitab syarh (penjelasan) dari masing-masing 9 kitab utama tersebut belum pula diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Soalnya memang repot menerjemahkan berjilid-jilid kitab-kitab tersebut, dan kalaupun sudah diterjemahkan, apa ada penerbit yang mau menerbitkan dan apa ada pembaca yang mau merogoh koceknya untuk membeli puluhan jilid kitab-kitab tersebut? Bukankah kita lebih senang belajar sesuatu secara instant?

Tetapi, baiklah, dengan resiko mengundang perdebatan dan disalahpahami, saya akan memilih topik-topik yang menarik untuk disajikan kehadapan Isnetter.

1. Sembilan kitab Hadis utama

Saya akan sajikan daftar sembilan kitab Hadis utama. Mohon diingat bahwa urutan atau hirarki 9 kitab Hadis ini berbeda-beda tergantung pandangan ulama tertentu. Maksud saya, boleh jadi ada yang menaruh Shahih Bukhari di urutan pertama, namun ada pula yang menaruh Shahih Muslim di urutan pertama. Begitu selanjutnya. Karena saya tidak bermaksud membandingkan keutamaan satu kitab dari kitab yang lain (perlu tulisan tersendiri soal ini), saya sajikan saja daftar ini apa adanya sesuai abjad nama pengarang (penerbit dan tahun diterbitkannya sesuai yang ada pada saya), tanpa mempertimbangkan hirarki mereka.

  1. Abu Dawud, Sulaiman, "Sunan Abi Dawud", al-Maktabah al-'Ashriyah, Beirut, 1952.
  2. Bukhari, Abu 'Abd Allah Muhammad bin Isma'il al-, "Shahih al-Bukhari", Dar al-Qalam, Beirut, 1987.
  3. Darimi, Abu Muhammad al-,"Sunan al-Darimi", Dar al-Kitab al-'Arabi, 1987.
  4. Hanbal, Ahmad bin, "Musnad al-Imam Ahmad", al-Maktabah al-Islami, n.d.
  5. Ibn Majah, "Sunan Ibn Majah", Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1975.
  6. Malik, Imam, "al-Muwatta", al-Syirkah al-'Alamiyah, 1993.
  7. Muslim, "Shahih Muslim", Dar Ihya al-Turas al-'Arabi, 1972.
  8. Nasa'i, "al-Sunan al-Nasa'i", Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, 1986.
  9. Tirmizi, Abu 'Isa Muhammad al-, "Sunan al-Tirmizi", Dar al-Fikr, Beirut, 1980.

2. Bagaimana cara memahami ke-sembilan kitab tersebut?

Jikalau dihadapan kita ada satu teks Hadis yang terasa sulit kita memahami maksudnya, maka bukalah kitab syarh Hadis tersebut. Masing-masing dari 9 kitab di atas memiliki kitab penjelas (syarh) yang ditulis oleh ulama yang tidak diragukan integritasnya. Sebagai contoh, kitab Fathul Bari li Ibn Hajar dipandang sebagai kitab syarh utama terhadap Shahih Bukhari, disamping kitab 'umdatul qari'. Kitab Imam Nawawi yang men-syarh hadis-hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim juga dipandang sebagai kitab yang dijadikan referensi utama dalam memahami Shahih Muslim. Contoh lain, Sunan Abi Dawud di-syarh oleh tiga kitab, salah satunya adalah 'Aunul Ma'bud. Jadi sebelum kita terburu-buru mengomentari suatu hadis, marilah kita lihat syarh Hadis tersebut.

Disamping itu, terdapat pula kitab-kitab yang men-syarh atau menjelaskan Hadis-hadis berdasarkan topik tertentu. Jadi, tidak khusus kitab shahih bukhari saja, misalnya; tetapi satu hadis ttg satu topik dari sejumlah kitab hadis. Kitab hadis model ini antara lain adalah Subulus Salam, Nailul Awthar, dan lainnya.

Jadi secara metodologis, ikuti langkah berikut untuk memahami sebuah Hadis.

  1. apakah hadis tersebut terdapat dalam sembilan kitab hadis utama?
  2. ika iya, bagaimana komentar ulama dalam kitab syarh utama ttg hadis tersebut?
  3. jikalau keterangan itu belum cukup, bagaimana kitab hadis sekunder dan kitab syarh sekunder bicara ttg hadis tersebut?

3. Apakah semua Hadis dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim itu Shahih semuanya?

Ini topik yang menjadi perdebatan ratusan tahun yang lalu. Berbeda dengan pemahaman kebanyakan ummat Islam, Ibn Hajar sebagai pen-syarh utama menganggap tidak semua Hadis dalam Shahih Bukhari itu bernilai Shahih. Saya sebutkan dua saja contohnya:

  1. hadis Bukhari no. 115, kitab al-'ilm ttg pembelaan abu hurairah. Ini adalah hadis mawquf (ucapan Sahabat Nabi) bukan Hadis marfu' apalagi shahih.
  2. fathul bari (1:47) mengomentari bahwa "iman itu perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang" adalah ucapan para ulama di berbagai negeri sehingga jatuh pada hadis maqthu', bukan hadis marfu' apalagi shahih.

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juga berpendapat tidak semua hadis dalam shahih muslim itu bernilai shahih. Syaikh al-Albani, yang dijadikan rujukan oleh sebagian kawan-kawan di Isnet, juga berpendapat serupa. al-Albani mendha'ifkan hadis dalam shahih muslim ttg kalau seorang makan-minum sambil berdiri lalu diperintah Nabi untuk memuntahkan makan-minum tersebut.

Namun harus diakui secara umum, hadis-hadis yang terdapat dalam shahihain (shahih bukhari dan shahih muslim) bernilai shahih. Karena penilaiannya besifat umum (aghlabiyah), maka penelitian secara khusus akan kedudukan satu hadis dalam shahihain harus dilakukan. Maksud saya, seringkali kita langsung menshahihkan suatu hadis hanya karena diriwayatkan dalam dua kitab ini dan mendha'ifkan hadis sejenis yg terdapat dalam kitab lain (Sunan ibn majah, misalnya). Padahal belum tentu riwayat yang sampai pada Ibn majah lebih jelek ketimbang yg diterima Bukhari. Bahkan boleh jadi, satu hadis dalam sunan al-tirmizi lebih valid ketimbang dalam shahih muslim. Secara teori 'ulumul hadis, hal ini dibenarkan.

4. Perbedaan kriteria menetapkan hadis shahih atau bukan

Boleh jadi, ada satu hadis dinyatakan shahih oleh satu ulama namun dinyatakan dh'if oleh ulama lain. dari sinilah kita bisa menjelaskan mengapa terjadi perbedaan pendapat ulama padahal masing-masing mengaku berpegang pada hadis shahih. Sebagai contoh, masalah azan subuh dua kali atau satu kali ternyata terdapat hadis yang sama-sama mendukung pendapat-pendapat ini. Kitab subulus salam dan bidayatul mujtahid berbeda dalam mendha'ifkan atau menshahihkan hadis-hadis seputar topik ini.

Celakanya, kadang kala ummat Islam tidak mau memahami perbedaan kriteria ini sehingga setiap ibadah yang dijalankan berdasarkan hadis dha'if dipandang bid'ah. Masalahnya kita belum sempat mencek kembali apakah benar ibadah yg dijalankan kelompok lain itu berdasarkan hadis dha'if. Boleh jadi mereka mengamalkannya berdasarkan hadis shahih yang kita dha'ifkan atau didhai'fikan ulama tertentu. Walhasil, ujung-ujungnya, kita pandang bid'ah semua orang yg berbeda pendapat dengan kita. Bid'ah bukan lagi perbuatan yg menyimpang dari sunnah Nabi, melainkan perbuatan yang "kita anggap" menyimpang dari sunnah Nabi. "Anggapan", "asumsi", bahkan "tuduhan" ini telah mencabik-cabik ukhuwah islamiyah diantara kita. Ketimbang mengatakan, "masalah in i tidak ada hadisnya sehingga amalan ini adalah amalan bid'ah!", mengapa tidak kita katakan,"saya belum mendapati dan meneliti ttg hadis tersebut. Sepanjang sepengetahuan saya amalan tsb tidak didukung oleh hadis yang shahih. Tetapi ok-lah saya akan teliti dulu."

Semua ulama sepakat bahwa salah satu unsur keshahihan hadis adalah apabila diriwayatkan oleh perawi yang adil. Namun, apa syarat-syarat seorang perawi dinyatakan adil ? Para ulama berbeda pendapat soal ini. Imam al-Hakim berpendapat bahwa mereka yang memilki kriteria sbb: islam, tidak berbuat bid'ah, tidak berbuat maksiyat sudah dipandang memenuhi kriteria adil. Sementara itu, Imam al-Nawawi berpendapat bahwa kriteria adil adalah mereka yang islam, balig, berakal,memelihara muru'at, dan tidak fasik. Ibn al-Shalah memang hampir sama dg Nawawi ketika memberi kriteria adil, yaitu : islam, balig, berakal, muruat, dan tidak fasik. Namun antara Imam al-Nawawi dan Ibn al-Shalah berbeda dalam menjelaskan soal memelihara muru'at tersebut.

Perdebatan juga muncul, berapa orang yang harus merekomendasikan keadilan tersebut. Apakah cukup dg rekomendasi (ta'dil) satu imam saja ataukah harus dua imam utk satu rawi. Unsur lain yang jadi perdebatan adalah masalah bersambungnya sanad sebagai salah satu kriteria keshahihan suatu Hadis. Imam Bukhari telah mempersyaratkan kepastian bertemunya antara periwayat dan gurunya paling tidak satu kali. Sedangkan Imam Muslim hanya mengisyaratkan "kemungkinan" bertemunya antara perawi dan gurunya; bukan kepastian betul-betul bertemu. Perbedaan ini jelas menimbulkan perbedaan dalam menerima dan menilai kedudukan suatu hadis.

5. Mengapa Hadis Nabi bisa berbeda-beda

Ada sekelompok ummat Islam yang menganggap bahwa perbedaan pendapat mustahil muncul kalau kita kembali kepada al-Qur'an dan Hadis. Saya justru berpendapat bahwa perbedaan pendapat yang genuine muncul justru karena para ulama berpegang tegus pada al-Qur'an dan Hadis. Ini disebabkan al-Qur'an dan Hadis sendiri membuka pintu atau peluang perbedaan pendapat itu.

Sebagai contoh, apa yang harus kita baca di saat kita ruku' dan sujud dalam sholat? Hadis pertama menceritakan bahwa Nabi membaca, "Subhana Rabbiyal A'zim" ketika ruku' dan "Subhana Rabbiyal A'la" ketika sujud. Hadis ini diriwayatkan oleh Huzaifah (Sunan al-Nasa'i, Hadis Nomor 1.036). Akan tetapi Siti Aisyah (radhiyallahu 'anha) meriwayatkan hadis lain (Shahih Muslim, Hadis Nomor [HN} 752, Sunan Abi Dawud, HN: 738, Sunan al-Nasa'i, HN 1.038). Dalam hadis ini, diriwayatkan bahwa Rasul membaca "Subbuhun quddussun rabul malaikati war ruh" baik ketika ruku' maupun ketika sujud. Yang menarik, ternyata Aisyah meriwayatkan pula bahwa Rasul membaca teks lain, "Subhanaka Allahumma Rabbana wa bihamdika Allahummafighrli" (Shaihih Bukhari, HN 752 dan 3.955).

Jikalau benar bahwa perbedaan pendapat tidak akan terjadi kalau kita berpegang pada Hadis Nabi, maka bagaimana dengan fakta ini? yang mana yang benar ? Yang mana yang sesuai dg sunnah Nabi dan yang mana yang bid'ah? Beranikah kita bilang Huzaifah berbohong? Beranikah kita bilang bahwa Siti Aisyah, isteri Nabi, lupa teks mana yang sebenarnya dibaca Nabi? Bagaimana mungkin dari satu perawi (Aisyah) terdapat dua teks yang berbeda. Bagi saya, jawabannya simple saja. Semua ummat Islam yang membaca teks yg berbeda tersebut adalah benar karena mereka punya dasarnya. Namun siapa yang paling benar, serahkan saja pada Allah swt.

Begitupula banyak persoalan klasik dan cukup sederhana sebenarnya namun telah membuat umat Islam tercerai berai dg tuduhan bid'ah [bukankah setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka?]. Contoh lain, ketika anda sujud, yang mana duluan anda jatuhkan ke bumi: tangan anda atau lutut anda. Syaikh al-Albani mengatakan tangan dulu dan yang menjatuhkan lutut dulu telah berbuat bid'ah. Syaikh Bin Baz berpendapat yang mana saja yang paling mudah untuk anda. Boleh lutut dan boleh juga tangan dulu. Ternyata kedua pendapat ini sama-sama ada riwayat yang mendukung. Ternyata pula kedua ulama besar yang berbeda pandangan ini sama-sama mencantumkan pandangannya dalam buku yang berjudul hampir sama, yaitu sifat sholat Nabi atau bagaimana sholat Nabi. Lalu yang mana sebenarnya cara yg dipilh Nabi atau sifat/model sholat Nabi?

Saya tanya kawan saya, seorang bule yang baru masuk Islam, "Brother, ketika kamu sujud, tangan dulu atau lutut dulu yang kamu jatuhkan karena ada dua hadis yg berbeda soal ini." Kawan saya dengan mantap menjawab, "Jikalau memang dua-duanya ada Hadisnya, itu menunjukkan bagi Rasul tidaklah penting tangan atau lutut dulu. Semuanya boleh saja. Bagi saya yang penting ketika sujud bukanlah soal tangan dan lutut itu tetapi bagaimana kita tundukkan diri kita sedemikian rendah, kita sujud mengakui kebesaran-Nya, kita buang semua ego kita dan kita serahkan diri kita di bawah kendali Allah swt. Bukankah ini jauh lebih penting kita diskusikan, Brother?"

Saya terpesona. Seringkali perbedaan hal yang kecil-kecil membuat kita kehilangan waktu untuk merenungi esensi ibadah kita. Seorang muallaf mampu mengajari saya akan hal ini. Alhamdulillah.

Contoh berikutnya, ada Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa ketika Nabi mengakhiri sholat dengan menoleh ke kanan beliau membaca, "Assalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh" dan ketika menoleh ke kiri membaca salam "assalamu 'alaikum wa rhmatullahi" (tanpa "wa barakatuh"). Lihat Sunan Abi Dawud, HN 846. Hadis lain meriwayatkan bahwa baik ke kanan maupun ke kiri, Nabi menolehkan mukanya sambil membaca salam "tanpa wa barakatuh" [Sunan al-Tirmizi, HN 272; Musnad Ahmad, HN: 3.516, 3.549, 3.656, 3.694, 3.775, 3.849, 3.958, 4.020, dan 4.055; Sunan al-Tirmizi, HN: 1.302, 1.130, 1.303, 1.305, 1.307 dan 1.308].

Yang mengejutkan, Sunan Abi Dawud [HN: 845] juga meriwayatkan "tanpa wa barakatuh", padahal pada Hadis Nomor [HN} 846 dia meriwayatkan dengan "wa barakatuh". Sekali lagi, yang mana yang benar? Kenapa pula Abu Dawud mencatat dua hadis berbeda ini dalam kitabnya? Yang mana yang bid'ah dan yang mana yang sunnah. Mungkinkah kebenaran itu tidak satu tetapi berwajah banyak? Mungkinkah yang kita anggap bid'ah selama ini ternyata juga dipraketkkan Nabi?

Sebelum kita terburu-buru mengecam dan membid'ahkan saudara kita, maukah kita barang sejenak menahan diri sambil mempelajari argumen kawan-kawan kita yg berbeda pandangan. Kalaupun setelah kita menelaah argumentasi mereka dan kita tetap tidak sepakat dan menganggap argumen kita lebih kuat, masihkah kita tega menganggap mereka berbuat bid'ah padahal mereka melakukan itu beradasarkan pemahaman mereka akan riwayat (yang kebetulan tidak kita terima) dari Nabi sebagai ekspresi kecintaan mereka terhadap Nabi?

salam hangat,
=nadir=

Sumber kutipan http://media.isnet.org/isnet/Nadirsyah/Hadits.html


BAGAIMANA MEMAHAMI KONSEP MUTAWATIR, IJMA' dan QAT'I al-DALALAH

Bagaimana memahami konsep mutawatir, ijma' dan qat'i al-dalalah?

Nadirsyah Hosen *)

Lazim diketahui bahwa hukum Islam mengandung aspek absolut di satu sisi dan aspek relatif di sisi lain. Keabsolutan syari'ah Islam biasanya berasal dari konsep mutawatir, ijma' dan qat'i al-dalalah. Diskusi dan perdebatan berhenti seketika saat diketahui bahwa topik yang dibahas merupakan ruang lingkup salah satu dari tiga konsep tersebut. Ketiga konsep ini telah berhasil "menjaga gawang" akidah dan syari'ah ummat Islam selama berabad-abad. Ijtihad dinyatakan tidak berlaku terhadap persoalan yang ternyata didukung oleh salah satu dari ketiga hal tersebut.

Kali ini kita mencoba untuk membuktikan bahwa sebenarnya masih banyak persoalan seputar ketiga konsep di atas. Catatan singkat ini hendak menunjukkan bahwa ketiga konsep itu lahir dari pemahaman ulama dan karenanya mengandung perbedaan pendapat; dan perbedaan pendapat tentu saja berpijak pada sisi relativisme ajaran Islam ketimbang sisi absolutnya. Dengan pendekatan lintas mazhab, satu persatu ketiga konsep tersebut akan "dibongkar" atau dilakukan dekonstruksi terhadap keabsolutan ketiganya.

Mutawatir

Secara bahasa, mutawatir bermakna banyak, terkenal atau umum. Istilah mutawatir biasanya digunakan dalam konteks periwayatan. Tidak heran kalau istilah ini paling sering digunakan oleh ulama Hadits, khususnya ketika bicara mengenai Hadits Mutawatir.

Hadits Mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang pada semua tingkatan sanad (rentetan periwayat Hadits sampai kepada Rasulullah SAW), yang secara logika dan kebiasaan dapat dipastikan bahwa para periwayat itu mustahil bersepakat untuk berdusta [Lihat Muhammad 'Ajaj al-Khatib, "Usul al-Hadis:'ulumuh wa musthalahuh", h. 301]. Ulama usul al-fiqh menggunakan istilah mutawatir untuk "khabar yang disampaikan oleh banyak orang yang dengan sendirinya memberi suatu keyakinan/kepastian" [Muhammad Baqir al-Shadr, "Durus fi 'Ilm al-Usul", juz 1, h. 197].

Jikalau kita cermati definisi di atas, maka kata kuncinya adalah pada kata "banyak-orang". Persoalannya berapa orang yang bisa dianggap memenuhi kata "banyak" tersebut ? Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah minimalnya adalah empat orang dengan meng-qiyas-kan kepada jumlah saksi yang diperlukan dalam satu perkara (misalnya tuduhan zina). Ada pula yang mengatakan jumlah minimalnya adalah sepuluh karena bilangan itu merupakan jumlah minimal jam' al-kasrah (kelompok yang banyak). Disamping itu ada pula ulama yang mengatakan bahwa jumlah minimalnya 20 orang, 40 orang, dan 70 orang; bahkan ada yang menetapkan lebih dari itu [Lihat Muhammad Taqi al-Hakim, "al-Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin," h. 195; Mahmud al-Tahhan, "Taysir Mustalah al-Hadits", h. 19]. Perbedaan ini terjadi karena tidak ada nash yang mengatur soal ini secara tegas.

Konsekuensi logis dari perdebatan ini adalah adanya sebuah hadits yang dinilai mutawatir oleh sebagian ulama --sesuai kriteria yang mereka tetapkan-- namun boleh jadi dipandang tidak mutawatir oleh ulama lain, yang memliki kriteria yang berbeda dalam menentukan mutawatir atau tidaknya suatu riwayat. Contohnya adalah hadis mengenai rukun Iman dan rukun Islam yang terdapat dalam Shahih Muslim (Hadis nomor 9), juga diriwayatkan dalam Sunan al-Nasa'i, kitab al-Iman wa Syara`i'ih, HN: 4,904; Sunan Ibn Majah, kitab al-Muqaddimah, HN: 62; Musnad al-Imam Ahmad, kitab Baqi Musnad al-Muksirin, HN: 8,765. Hadis ini diriwayatkan oleh delapan sahabat. Tentu saja bagi yang berpendapat bahwa empat orang saja sudah memenuhi kriteria mutawatir, hadis ini dipandang mutawatir. Tetapi tidak demikian halnya dengan yang berpendapat 10, 20 atau bahkan harus 70 orang.

Ada persoalan lain yang juga diperselisihkan para ulama (mukhtalaf fih) yang menambah keyakinan kita bahwa meskipun hadits mutawatir bernilai qat'i al-tsubut, namun ternyata tidak "mutawatir" dalam hal kriteria menentukan ke-mutawatir-an suatu riwayat. Persoalan dimaksud adalah apakah periwayat yang banyak itu tidak hanya berasal dari satu kaum atau satu negeri saja, tetapi dari berbagai kaum atau berbagai negeri ? Apakah periwayat yang banyak itu terdiri dari orang Islam yang adil dan dapat diterima kesaksiannya. Para ulama berdebat panjang dalam persoalan-persoalan ini.

Ijma'

Kita pindah ke masalah Ijma'. Dalam Islam tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei). Yang ada adalah sebuah Hadis senada yang menyebutkan bahwa tidak mungkin ummatku bersepakat pada kesesatan atau kesalahan (Sunan Ibn Majah, Hadis Nomor 3940). Sepeninggal Nabi Muhammad SAW --yang dipercaya sebagai tokoh yang ma'shum, tanpa kesalahan, ummat Islam hanya bisa mencapai derajat ma'shum lewat kesepakatan total di antara mereka. Inilah yang kemudian melahirkan doktrin Ijma' dalam struktur hukum Islam. Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa ummat Islam sendiri memiliki perbedaan pendapat soal kesepakatan ini sampai pada hal yang sangat teknis. Walhasil, tidak dicapai Ijma' (kesepakatan) dalam merumuskan apa itu Ijma' ['Ali 'Abd al-Raziq, al-Ijma' fi al-Syari'ah al-Islamyah, h. 6].

Ijma' --menurut satu definisi-- adalah kesepakatan para mujtahid dari ummat Muhammad SAW pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum syara'. Definisi ini ditolak oleh ulama lain.

Mazhab

Zhahiri dan Ibn Hibban berpendapat bahwa ijma' hanyalah berlaku untuk shahabat, tidak untuk yang lain. Imam Ahmad --dalam satu riwayat-- mengatakan bahwa ijma' itu adalah kesepakatan khulafa al-rasyidin saja. Imam Malik malah merujuk pada ijma' penduduk madinah. Ulama lain merujuk pada ijma' ahlul haramain (penduduk Mekkah dan Madinah). Sedangkan ulama yang lain menganggap ijma' adalah kesepakatan penduduk Basrah dan Kufah saja; ada yang bilang kufah saja, bahkan ada juga yang bilang bahwa kesepakatan penduduk Basrah saja sudah cukup dipandang sebagai ijma' [Lihat Ibn Hazm, "al-Ihkam fi Usul al-Ahkam," juz 4, h. 128; al-Amidi, "al-Ihkam fi Usul al-Ahkam," juz 1, h. 286, 380-381, dan 404-405; al-Syawkani, "Irsyad al-Fuhul," h. 70, dan 79-80.]

Para ulama ada yang menyusun kriteria terwujudnya ijma', yaitu ijma' tersebut diikuti oleh mereka yang memenuhi persyaratan berijtihad, kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil dan para mujtahid itu berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid'ah. Ada pula yang menambah syarat lain yaitu yang dimaksud dengan mujtahid adalah sahabat saja, ada lagi yang menganggap mujtahid yang dimaksud hanyalah kerabat Nabi saja; sementara itu ada yang berpendapat --seperti telah disinggung sebelumnya-- mujtahid itu hanya ulama Madinah saja. Ada pula yang berpendapat bahwa hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang telah menyepakatinya serta tidak terdapat hukum ijma' sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang sama.

Ada juga ulama yang, misalnya, menolak Imam Dawud al-Zhahiri sebagai ulama yang harus diperhitungkan pendapatnya dalam soal ijma'. Bagi mereka, kalau ulama sudah sepakat bilang "A", dan Imam Dawud berpendapat "B", maka anggap saja sudah terjadi ijma'. Tentu saja para ulama lainnya menolak hal ini dan tetap mengakui Imam Dawud sebagai "peserta" sah dalam hal ijma'.

Contoh lain, Ibrahim bin Umar al-Biqa'iy menolak Fakhruddin al-Razy sebagai salah seorang yang dapat diterima otoritasnya dalam menetapkan sebuah "kesepakatan". Boleh jadi, ulama lain memasukkan al-Razy sebagai "peserta" lakon bernama ijma' ketika Biqa'iy "mengeluarkannya". Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi perdebatan ulama sejak ratusan tahun yang silam dan sampai sekarang belum ada "ijma'" dalam masalah ijma' ini.

Sebagai contoh berikutnya, al-Mughni (2/243) dan Nail al-Awthar (3/223) menyebutkan telah terjadi ijma' dalam hal fardhu 'ain-nya sholat jum'at. Padahal Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid (1/126) menyebutkan itu hanya pendapat jumhur ulama; bukan ijma'. Kitab fiqh yang terakhir ini menyebutkan adanya sekelompok ulama yang berpendapat bahwa sholat jum'at itu fardhu kifayah; bahkan satu riwayat dari Imam Malik mengatakan sholat jum'at itu sunnah. Bukanlah menjadi tujuan tulisan ini membahas soal kewajiban sholat jum'at. Namun dari contoh soal sholat jum'at ini kita bisa menangkap adanya ketidaksepakatan dalam menentukan apakah satu masalah sudah di-ijma'-kan atau belum. Dengan kita luaskan bacaan kita (tidak hanya merujuk pada satu atau dua kitab fiqh), boleh jadi masalah-masalah yang selama ini kita anggap merupakan ijma' ternyata belum merupakan ijma' atau sebuah kesepakatan yang mengikat.

Sejarah juga mencatat bahwa kegagalan mencapai kesepakatan tersebut kemudian melahirkan berbagai bentuk "kompromi". Misalnya, andaikata semua ulama telah sepakat pada satu hal, maka ini dipandang cukup mewakili kesepakatan ummat Islam secara total. Hal ini kemudian bergeser lagi karena ternyata cukup sulit menyatukan pendapat para ulama itu. Kebenaran bukan lagi dilihat berdasarkan kesepakatan total ummat Islam atau kesepakatan ulama, melainkan suara mayoritas di antara para ulama. Jikalau kitab-kitab fiqh sudah menyebut bahwa pendapat A dipegang oleh jumhur (mayoritas) ulama, jarang para santri atau ulama berani membantah atau, setidak-tidaknya, bersikap kritis. Mayoritas telah memegang otoritas kebenaran. Kebenaran bukan lagi ditentukan oleh kekuatan dalil dan logika, namun mengikuti jumlah pemegang pendapat tersebut.

Berbeda dengan istilah Ijma', lahir istilah baru untuk menggambarkan pergeseran ini, yaitu ittifaq. Sehinga kalau ditemukan kalimat bahwa para ulama sudah ittifaq untuk berpendapat A, boleh jadi yang dimaksud sebenarnya adalah hanya kesepakatan para ulama dari mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali), padahal jumlah mazhab dalam Islam konon pernah mencapai bilangan lima ratus.

Masalahnya ternyata tidak mudah menentukan apakah satu pendapat itu didukung oleh mayoritas atau minoritas. Boleh jadi pendapat A didukung oleh mayoritas pada suatu masa di suatu tempat tertentu. Namun di masa lain atau di tempat lain, boleh jadi yang mayoritas adalah B. Problem kedua, Bagaimana cara menghitung "kursi" mayoritas tersebut ? Karena belum pernah dihitung lewat pemilu, maka kitab-kitab fiqh diduga kuat hanya melakukan perhitungan secara umum saja. Boleh jadi, problem ini menimbulkan saling klaim di antara mereka.

Qat'i al-Dalalah

Persoalan terakhir yang hendak dibahas adalah masalah Qat'i al-Dalalah. Al-Qur'an dari sisi al-tsubut-nya telah disepakati oleh seluruh ulama sebagai qat'i. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini; bahkan diyakini bahwa hal ini telah memasuki lapangan teologi, artinya pengingkaran qat'i al-tsubut-nya al-Qur'an akan membawa sejumlah konsekuensi teologis. Namun demikian, dari sisi al-dalalah, ayat al-Qur'an ada yang qat'i dan ada pula yang zanni. Begitu pula halnya dengan Hadits, ada yang mengandung muatan qat'i al-dalalah dan ada pula yang zanni al-dalalah. Pada bagian qat'i al-dalalah inilah uraian di bawah ini terfokus.

Menurut Abdul Wahhab Khallaf, nash al-Qur'an dan Hadits yang bersifat qat'i al-dalalah adalah nash yang menunjuk pada makna tertentu yang tidak mengandung kemungkinan untuk dita'wil (dipalingkan dari makna asalnya) dan tidak ada celah atau peluang untuk memahaminya selain makna tersebut.[Abdul Wahhab Khallaf, "Ilm Usul al-Fiqh", h. 35; bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaili, "Usul al-Fiqh al-Islami," juz 1, h. 441] Contohnya adalah ketentuan jilid seratus kali bagi pezina (QS 24:2). Kata "seratus kali" tidak mengandung kemungkinan ta'wil dan atau pemahaman lain. Dengan demikian ayat ini bersifat qat'i al-dalalah.

Lalu bagaimana kita memberi batasan atau kriteria suatu nash itu qat'i al-dalalah atau sebaliknya, zanni al-dalalah? Ada ulama yang menyusun sepuluh kriteria, yaitu diriwayatkan secara mutawatir, tidak mengandung al-majaz (kiasan), al-isytirak (mengandung dua makna), al-naql, al-idhmar (samar/tersembunyi), al-taqdim, al-ta'khir, al-nasakh, al-takhshish dan ta'arud al-aqli [M. Abu Nur Zuhair, "Mudzakarah fi Usul al-Fiqh li Ghair al-Ahnaf", juz 1, h. 28-29].

Sedikit berbeda dengan kriteria di atas adalah yang dikemukakan oleh al-Syatibi: naql lughat (transfusi bahasa), al-nahw (grammatika) wa 'adam al-Isytirak, 'adam al-majaz, naql al-syar'i aw al-'adi, al-idhmar, al-takhshish li al-'umum, al-taqyid li al-muthlaq, 'adam al-nasikh, al-taqdim wa al-ta'khir dan terakhir, al-ma'aridh al-'aqli. [al-Syatibi, "al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam", jilid 1, h. 35-36].

Dari keterangan di atas, kriteria qat'i al-dalalah itu bisa disederhanakan dengan: pertama, adanya problematika bahasa (susunan kalimat yang diawalkan atau diakhirkan, perbedaan grammatika, kiasan, mengandung makna ganda, dan lainnya); kedua, adanya kondisi tambahan semisal takhshish, taqyid ataupun nasik-mansukh; dan ketiga, adanya indikasi bertentangan dengan nalar atau akal.

Dari pembahasan di atas, kalau kita mau jujur, tentu amatlah sulit untuk mencari teks atau lafaz al-Qur'an dan Hadits yang mencapai derajat qat'i al-dalalah. Sebagai contoh, seringkali ummat islam mengatakan kewajiban sholat lima waktu secara qat'i diraih melalui ayat "aqim al-shalat" yang mengandung lafadz amr (perintah). Padahal lafadz amr itu tidak semuanya bermakna qat'i; adakalanya amr itu mengandung makna mubah dan sunnah. Jadi, dari sisi dalalah dan kriteria di atas, lafaz "aqim al-shalat" tidaklah qat'i. [Perdebatan para ulama soal makna dasar amr itu (al-ashlu fi al-amri) bisa dilihat, salah satunya, dalam Ibn al-Najjar, "Syarh al-Kawkab al-Munir", khususnya jilid ketiga].

Al-Syatibi memberi solusi terhadap persoalan ini. Kesepuluh premis yang diajukannya juga menghasilkan kesulitan untuk mencapai derajat qat'i al-dalalah. Untuk itu beliau mengajukan konsep "mutawatir maknawi", yakni sekumpulan ayat yang zanni tentang suatu tema (shalat, misalnya) saling membantu dan menguatkan akan kewajiban shalat. Ketika ayat-ayat tentang sholat dikumpulkan, ternyata tidak satupun yang mengindikasikan ketidakwajiban sholat. Dengan demikian kewajiban sholat bersifat qat'i. Jika hanya mengandalkan satu ayat maka hasilnya adalah zanni, tetapi karena dibantu oleh sekumpulan ayat senada maka ia menjadi semacam "mutawatir maknawi".

Ketika Zuhair dan Syatibi mengemukakan sepuluh ihtimal dalam menilai qat'i-zanni-nya suatu nash, dapat segera kita lihat bahwa kesepuluh premis tersebut amat dipengaruhi pada keberpihakan mereka dalam persoalan ushuliyyah. Keduanya sama-sama mencantumkan al-nasakh sebagai salah satu ukuran qat'i-zanni. Artinya, kalau terdapat nasakh dalam ayat tertentu maka gugur ke-qat'i-annya. Tentu saja kriteria ini sulit diterima oleh sejumlah ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Qur'an. Abu Muslim al-Asfahani, misalnya, memilih jalan takhshish dalam menghadapi nash yang secara lahiriyah tampak bertentangan. Ini berbeda dengan jumhur ulama yang disamping menggunakan takhshish juga menggunakan nasakh. Tentu saja bagi mereka yang sepaham dengan Abu Muslim ini tidak akan memasukkan nasakh sebagai unsur untuk mengukur qat'i-zanninya suatu nash.

[note: Dipilihnya pendapat Zuhair dan Syatibi karena memang jarang para ulama membahas masalah kriteria qat'i. Sejumlah kitab usul al-fiqh di bawah ini tidak membahas ataupun kalau membahas dilakukan dengan cara yang minimum dan terkesan sambil lalu. Lihat Ibn al-Najjar "Syarh al-Kawkab al-Munir"; al-Badakhsi, "Manahij al-'Uqul"; al-Asnawi, "Nihayat al-Sul", al-Qarafi, "Syarh Tanqih al-Fusul," al-Taimiyah, "al-Musawadah fi Usul al-Fiqh"; Abu Husayn al-Bashri, "al-Mu'tamad fi Usul al-Fiqh." Untuk kalangan Syi'ah bisa dilihat pada al-'Allamah al-Hilli, "Mabadi' al-Wusul ila 'Ilm al-Usul," Taheran, Maktab al-A'lam al-Islami, 1404 H.]

Persoalan am-takhshish juga dimasukkan dalam sepuluh kriteria oleh Zuhair dan Syatibi di atas. Sekali lagi, tulisan ini ber-argue bahwa mereka terpengaruh pada mazhab yang mereka anut ketika memasukkan masalah ini dalam sepuluh kriteria mereka. Kebanyakan dari mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish. Untuk itu, dapat diduga kuat, bahwa bagi kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish tidak perlu dipakai sebagai ukuran menentukan qat'i-nya suatu nash.

Begitu pula persoalan taqyid li al-muthlaq yang disebutkan Syatibi (Zuhair tidak memasukkan hal ini) tidak lepas dari perbedaan pendapat. Disepakati bahwa ayat yang muthlaq wajib diamalkan kemuthlaqannya pada kondisi tidak ada ayat yang men-taqyid-nya. Perbedaan pendapat terjadi pada kondisi terdapatnya lafaz muthlaq dalam nash dan juga terdapat lafaz muqayyad pada nash yang lain. Tidak heran kalau, akibat perbedaan ini, jumhur tidak mwajibkan zakat fitrah pada budak non-muslim sedangkan Hanafiyah mewajibkannya. Hanafiyah juga tidak mensyaratkan dalam kafarat zhihar itu iman tetapi mensyaratkannya pada kafarat al-qatl al-khata'. [Untuk jelasnya silahkan lihat Mustafa Sa'id al-Hin, "Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa'id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha", h. 251-253].

Zuhair dan Syatibi juga memasukkan kriteria ta'arudh al-aqli dalam menentukan qat'i-zanni. Kita mesti menganggap suatu nash itu zanni karena teks nash tersebut bertentangan dengan aqal. Ini persoalan yang amat musykil. Apa sih rasionalisasinya sholat subuh hanya dua rakaat dan zhuhur empat sedangkan maghrib tiga rakaat? Lantas apakah karena tidak rasional (bertentangan dengan akal) maka bilangan rakaat itu dianggap zanni dan bisa berubah? Keyakinan teologis kita mengatakan, tidak! Bilangan rakaat sholat memang tidak rasional tetapi tidak bertentangan dengan akal sehat karena hal itu tidak merugikan diri dan masyarakat.

Untuk tidak menyulitkan kita, maka sebaiknya kriteria tentang ta'arudh al-aqli diganti saja dengan kriteria ma'lum minad din bi al-dharurah (ajaran Islam yang dianggap telah mencapai aksioma). Begitu pula soal nasakh, takhshish dan taqyid sebaiknya tidak usah dijadikan kriteria untuk menentukan qat'i-zanni-nya suatu nash. Solusi Syatibi mengenai "mutawatir maknawi" di atas juga tidak luput dari kritik. Kebetulan ayat mengenai sholat jumlahnya banyak sehingga bisa dikumpulkan dan menjadi "mutawatir maknawi" yang mencapai derajat qat'i. Tetapi bagaimana dengan ayat tentang hukuman bagi pencuri? Bukankah ayatnya cuma satu dan ummat Islam menganggap sudah qat'i (meskipun dengan satu ayat saja?). Beranikah Syatibi mengatakan bahwa ayat pencurian itu tidak qat'i karena tidak mencapai derajat "mutwatir maknawi" ?

Ternyata masalah menentukan kriteria qat'i-nya suatu nash tidaklah bersifat "qat'i". Ini hanyalah bagian dari ijtihad ulama yang tetap bisa dilakukan kritik dan penyempurnaan.

Penutup

Catatan sederhana ini sudah mencoba mendemonstrasikan bahwa persoalan mutawatir, ijma' dan qat'i al-dalalah, yang sering dijadikan penghambat untuk lahirnya ijtihad-ijtihad baru, ternyata masih terbuka untuk dipersoalkan. Tiga kata kunci ini telah menjadi senjata yang mematikan bagi upaya reinterpretasi, reformasi dan reijtihad yang dilakukan ulama kontemporer. Apa boleh buat, dekonstruksi terhadap ketiga konsep tersebut harus dilakukan.

Wa fawqa kulli dzi 'ilmin 'alim
Wa Allahu A'lam bi al-Shawab

salam hangat,
=nadir=

*) Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

sumber kutipan http://media.isnet.org/isnet/Nadirsyah/ijma.html

Silaturahmi

Mengenai Saya

Foto saya
Orang Jawa, Islam yang nJawani, yang senantiasa berusaha saling asah, asih dan asuh serta hidup berdampingan dengan siapa saja secara damai tanpa saling mengganggu