Rabu, 26 Mei 2010

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU

Sastra Jendra, Energi Minimal dan Citra Ilahi dalam Diri

Oleh : Audifax

Ketika kita bicara tentang Spiritualitas dan penemuan situs-situs dari masa lalu, itu artinya kita juga bicara sebuah Psikologi Simbol dan Psikologi Kisah. Bagaimana pun, semua yang kembali dari masa lalu ini merupa dalam simbol dan kisah yang di dalamnya mengandung pesan atau nilai. Inilah sudut pandang penting yang perlu disadari.

Lantas, apa pentingnya kita membicarakan Simbol dan Kisah? Ada dua hal penting di sini: Pertama, manusia adalah mahluk yang hidup dan dihidupi oleh simbol. Kedua, manusia adalah mahluk yang menarasi. Masing-masing dari kita adalah sebuah narasi .

Esensi dari simbol dan kisah adalah selalu hadir sebagai pengganti dari sesuatu yang tak dapat hadir. Apa yang tak dapat hadir sehingga mewakilkan dirinya lewat simbol atau kisah? Jawabnya: Makna!. Ketika membahas makna, kita perlu waspada. Sudah terlalu sering orang mencampur-adukkan antara makna dan kebenaran. Makna sama sekali berbeda dengan kebenaran. Makna adalah sebuah kebernilaian yang membuat sesuatu, apapun itu, tak menjadi kosong belaka. Tapi, tak pernah ada sebuah kebenaran tunggal untuk makna, setiap makna meski datang dari sebuah simbol yang sama, ibarat surat, memiliki tujuannya sendiri-sendiri.

Agar suatu makna sampai pada tujuannya, dibutuhkan penuntun. Nah, penuntun inilah yang akan kita temukan dalam pembahasan temuan-temuan purbakala dan kaitannya dengan kebangsaan atau Indonesia. Barangkali di sini lantas muncul pertanyaan, penuntun menuju ke mana? Untuk siapa? Dari siapa?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, ijinkan saya mengutip sebuah komentar dari pak Denny Nicholas di wall acara ini di Facebook. Komen pak Denny itu pun mengutip kisah Syech Siti Jenar. Kurang lebih begini:

Seseorang bertamu ke rumah Syech Siti Jenar dan terjadilah dialog berikut

Tanya: Saya mencari Syech Siti Jenar?
Jawab: Syech Siti Jenar tidak ada yang ada Allah
Tanya: Kalau begitu saya mau mencari Allah
Jawab: Allah tidak ada, yang ada Syech Siti Jenar.

Kutipan kisah itu sebenarnya kental salah satu prinsip sufisme: Aku mencari diriku dan hanya menemukan Allah, Aku mencari Allah dan hanya menemukan diriku.

Michael W. Fox, dalam buku Meditation with Animals, mengatakan bahwa saat ini kita nyaris kehilangan kontak dengan bagian dari diri kita sendiri, yaitu bagian yang resonansinya menghubungkan kita dengan mahluk hidup lain dan juga dengan alam semesta. Bagian dari diri kita ini sebenarnya memiliki kekuatan yang memampukan kita mengalami kesatuan spiritual antara keberadaan diri kita dan keberadaan segala hal lain di semesta. Kesatuan yang membuat kita mampu memahami bahwa di satu titik kita dan semua bentuk kehidupan berada dalam satu asal dan penciptaan.

Pencarian semacam inilah yang membutuhkan penuntun. Dan penuntun itu ada di sekeliling kita dalam bentuk simbol dan kisah. Artinya, untuk sampai pada makna, dibutuhkan pembacaan. Bacalah!, maka kau akan sampai pada kedalaman di mana makna ditemukan. Seperti juga tertulis dalam Injil Yohanes 1:1 yang berbicara tentang penciptaan semesta, di situ tertulis en arche en ho logos. Pada mulanya adalah Yang-Terbaca-dan-menjadi-pengetahuan atau logos. Maka itu, kehidupan di semesta ini adalah soal membaca hingga mencapai suatu kedalaman makna.

Lantas, sampai seberapa dalam suatu pembacaan bisa sampai pada makna? Kedalaman sebuah pembacaan, sebenarnya tak lepas dari seberapa dalam seseorang mampu mengakses dirinya sendiri. Ada sesuatu di kedalaman diri tiap orang, yang ketika banyak orang mampu menemukannya, maka akan membawa pada masyarakat yang lebih baik. Mengutip Lao Tzu, di situ dia mengatakan ”Memahami orang lain adalah kearifan, memahami diri sendiri adalah pencerahan”. Di sinilah saya akan masuk pada topik utama saya yaitu bagaimana menemukan apa yang terdalam dari diri, atau di sini saya istilahkan sebagai citra Ilahi .


Eksistensi mendahului Esensi

Ketika kita bicara tentang ’diri’ atau ’self’, maka di situ kita juga bicara mengenai setiap manusia selalu lahir dalam sebuah eksistensi. Kalau kita di sini membicarakan bangsa Indonesia, kejayaan masa lalu dan sebagainya, itu semua adalah eksistensi dari ’diri’ kita yang lahir dalam tubuh berbangsa Indonesia. Kita lahir dalam eksistensi anak suatu bangsa. Namun, di balik setiap eksistensi ada esensi yang mesti dicari. Esensi inilah yang barangkali simetri dengan apa yang dalam Hindu dan Buddhisme dikenal dengan nama Dharma, dalam khazanah Muslim disebut Fitrah dan dalam Injil dijelaskan dalam perumpamaan talenta. Artinya, setiap orang memiliki peran dalam semesta ini. Spiritualitas, sebenarnya adalah bentuk pencarian peran ini.

Peran ini, bisa dikenali ketika seseorang menemukan sesuatu yang bisa ia kerjakan dengan sangat baik dan ia mampu menikmati apa yang dikerjakan itu dengan kebahagiaan, sekali pun apa yang ia lakukan menghabiskan waktu dan tenaga besar. Seolah-olah peran itu memang diperuntukkan semesta baginya. Inilah yang saya istilahkan sebagai Energi Minimal. Jadi, term Energi Minimal bukan merujuk pada sedikit energi, justru orang bisa mengeluarkan energi begitu besar bekerja keras siang dan malam, hanya saja ia tak merasakan itu sebagai beban.

Hal inilah yang dalam masyarakat modern sudah hilang. Orang seringkali mengerjakan sesuatu bukan demi apa yang memang dinikmatinya dengan bahagia, melainkan demi kesenangan-kesenangan yang sifatnya semu. Hal-hal semacam korupsi, perebutan kekuasaan, kejahatan dan berbagai perilaku yang tak selaras dengan kehidupan, sebenarnya adalah bentuk keterasingan manusia dari Energi Minimalnya.

Dalam Sastra Jendra, hal tersebut diumpamakan bagaimana ada sesuatu kekuatan besar yang sebenarnya mulia, namun ketika diterapkan dengan cara yang salah, maka itu menghasilkan keburukan. Simbol tersebut adalah bagaimana Sukesi kemudian melahirkan Rahwana, Sarpakenaka dan Kumbakarna.

Sastra Jendra, berbicara tentang sebuah kekuatan besar yang jika ditransformasi secara tepat akan menghasilkan kemuliaan. Secara etimologis, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, jika mau diterjemahkan kata per kata maka kita akan menemukan arti:

Sastra = Ilmu
Jendra = Bisa dipahami sebagai kemuliaan atau sesuatu yang bernilai namun sifatnya imaterial, sesuatu yang samar. Bisa pula dipahami sebagai rongga dada, yang kerap dipahami sebagai gerbang menuju ‘rasa sejati’.
Hayu = Cakap, Indah
Ning = Bening
Rat = Semesta Alam
Pangruwating = Yang mampu membersihkan, mentransformasikan
Diyu = Raksasa.

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah pengetahuan yang mampu mengubah ‘raksasa’ menjadi ‘manusia’. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misalnya, kisah Prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda, malu memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru ketika melakukan hubungan pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandraguna dengan nama “Betara Kala” (‘Kala’ berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi. Betari Durga memiliki tempat tersendiri yang disebut “Kayangan Setragandamayit”. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.

Simbolisme raksasa simetri dengan suatu kekuatan besar namun wujudnya primitif. Semacam Force Primitive. Kekuatan ini tidak identik dengan pengertian jahat, melainkan lebih pada manifestasi kepantasan yang tak sesuai untuk bisa diterima budaya. Manusia pun, dalam dirinya memiliki ‘raksasa’ atau ‘kekuatan besar’ yang bisa mendorongnya melakukan tindakan tertentu. Kekuatan ini tidak baik, tidak pula jahat, manusia sendirilah yang memutuskan apakah akan menggunakannya untuk hal baik atau jahat. Kekuatan besar inilah yang dalam pemikiran psikoanalisa atau postrukturalisme diidentifikasi sebagai ‘hasrat’ atau ‘Energi’.

Sebenarnya, Kisah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi memiliki beberapa kesimetrian dengan Kisah Adam dan Hawa, yang jika kita renungkan memiliki makna mendalam karena kaitannya dengan ‘hasrat’ atau ‘energi’. Sama seperti para dewata yang tidak menginginkan Begawan Wisrawa membagi begitu saja ilmu (baca: kawruh) Sastra Jendra pada Dewi Sukesi, begitu pula dengan Allah yang murka karena Adam dan Hawa memakan buah dari pohon pengetahuan. Kita juga menemukan bagaimana hasrat menjadi sesuatu yang menggelincirkan manusia ke dalam petaka. Begawan Wisrawa tergoda oleh Dewi Sukesi, simetri dengan Adam tergoda oleh Hawa.

Mengapa dikisahkan para Tuhan itu tidak menyetujui jika manusia mendapat kawruh atau pengetahuan? Ini terjelaskan dalam ucapan Betara Guru: “Tidak cukup seperti itu untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Serat Sastra Jendra dipagari sifat-sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat-sifat kemanusiaan barulah dapat mencapai derajat para dewa.”. Artinya, simetri dengan pengetahuan yang tak bisa begitu saja dimakan dari buah pengetahuan, demikian pula Sastra Jendra, atau mentransformasi kekuatan besar dari dalam diri, itu juga tak bisa dilakukan begitu saja tanpa lelaku, tanpa menjalani suatu proses.

Bagaimana seseorang menemukan arah hidup yang menjadi perannya serta berproses dalam arah itu, inilah yang banyak menjadi persoalan dewasa ini. Termasuk juga, bagaimana orang-orang yang kehilangan arah ini turut memberi kontribusi bagi terpuruknya bangsa ini. Lihat saja, begitu banyak orang berlomba menjadi politikus. Lihat saja, begitu banyak orang-orang berpotensi menjadi tersia-siakan potensinya karena mereka akhirnya sekedar berpacu untuk menjadi penunggu meja atau budak berdasi. Hal-hal semacam inilah yang semestinya menjadi perhatian ketika kita bicara tentang spiritualitas.

Spiritualitas adalah soal menemukan ’guru’, yang bisa memberi pelajaran hidup. Guru ini bisa merujuk pada apa saja, tak harus sosok manusia, bisa peristiwa, gerak alam dan sebagainya. Apa yang penting di sini adalah kedalaman pembacaan atas realita. Dalam kedalaman pembacaan itulah ’Sang Guru’ akan ditemukan.

Artifak-artifak spiritual kuno, sebenarnya menyiratkan pula adanya ’guru’ tersebut. Dalam Serat Dharmagandhul misalnya, kita bisa membaca kutipan berikut. Kutipan ini adalah dialog Sabdapalon kepada Prabu Brawijaya V.

“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nami kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah.

(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah.)

Saya mencoba menguraikan simbolisasi-simbolisasi dari narasi di atas. ‘Kata-kata’ simetri dengan ‘logos’ atau ‘yang terbaca dan menjadi pengetahuan’. ‘Kayu pengancing kandang’ adalah simbol bagaimana ada sesuatu yang berada dalam kandang dan dikunci. Bisa merupakan rahasia yang untuk membukanya butuh tahu dan memiliki kuncinya, tapi bisa juga merupakan sesuatu yang mesti ditahan untuk tidak diumbar. ‘Pandangan’ saya artikan realita atau apa yang dalam filsafat Timur dikenal dengan maya. Sedangkan ‘Kelanggengan’ melambangkan sesuatu yang abadi, atau konstanta segala sesuatu.

Sekarang mari kita simak kutipan lain dari Serat Dharmagandhul. Dalam kutipan tersebut kita bisa merenungkan di mana ‘letak’ dan ‘esensi’ dari guru:

“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput. …..”

(“ Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. Sang Prabu diminta menyaksikan, jika esok ada orang Jawa dengan kematangan usia, bersenjatakan pengetahuan, itulah orang yang dibimbing Sabdapalon. Orang-orang Jawa akan diajari mengetahui mana yang benar dan salah…..”)

Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa, pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Pencipta) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya .

Inilah sebuah spiritualitas. Bagaimana melakukan pembacaan secara mendalam atas apa yang meliputi segala wujud (baca: realita). Simetri dengan Serat Dharmagandhul, bisa ditemukan pola serupa dalam Uga Wangsit Siliwangi sebuah artifak dalam budaya Sunda. Artifak itu diyakini sebagai semacam ‘wangsit’ dari Prabu Siliwangi kepada rakyat Padjajaran untuk menemukan kembali apa yang hilang, yaitu kejayaan masyarakat Sunda.

Dalam artifak tersebut terdapat narasi yang menggambarkan akan datangnya sosok yang disebut sebagai ‘budak angon’. Terjemahan bebas ‘budak angon’ adalah ‘anak gembala’. Namun, digambarkan dalam artifak tersebut bahwa yang digembalakan sang anak gembala adalah apa yang tersisa dari tumbuhan. Ini bisa diparafrase sebagai ‘menggembalakan apa yang tersisa dari hal yang dapat tumbuh’. Saya lebih melihat narasi dalam artifak tersebut sebagai ‘pesan’ dalam kultur Sunda tentang bagaimana menemukan ‘kejayaan diri’ lewat konsep ‘angon’ atau ‘menggembalakan’.

Dalam narasi Uga Wangsit Siliwangi, dikatakan bahwa ‘budak angon’ akan ditemukan oleh mereka yang mau mencari. Ini bisa diartikan bahwa sang guru yang menggembalakan itu hanya akan ditemukan oleh mereka yang mau mencari. ‘Budak angon’ kerap disamakan dengan ‘Sabda Palon’, dan karena itu banyak pula yang menginterpretasi sebagai datangnya sosok ‘hero’ penyelamat bangsa yang berciri penggembala. Namun, ketimbang melakukan interpretasi dengan cara itu , saya melihat bahwa narasi Uga Wangsit Siliwangi—sama dengan Serat Dharmagandhul—lebih bermuatan pesan tentang bagaimana seseorang mau mencari sebuah pendidikan yang dilakukan dengan konsep ‘angon’ atau ‘menggembalakan’.

Konsep ‘menggembalakan’ di sini bisa pula kita simetrikan dengan konsep pendidikan ala Montessori. Dalam konsep Montessori, fungsi guru lebih mirip ‘gembala’, sementara para murid belajar mengembangkan sendiri. Ini simetri pula dengan konsep pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara, yang menekankan pada natuur (natur) atau alam. Ki Hadjar mengemukakan bahwa esensi pendidikan adalah pemeliharaan dengan segenap perhatian agar menghasilkan pertumbuhan hidup lahir batin bagi anak menurut kodrat alamnya masing-masing. Metode ini disebut sebagai among.

Sekali lagi di sini kita melihat kesimetrian antara konsep ‘among’ dengan ‘budak angon’ dan apa yang dikemukakan Montessori. Jika pendidikan berjalan dengan metode among, tak mungkinlah pendidik hanya berfungsi sebagai pemasok ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada anak didiknya. Justru apa yang terpenting, pendidik harus ngemong, membimbing, ‘menggembalakan’ dan mendampingi anak didiknya, agar mereka sendirilah yang belajar untuk menyerap pengetahuannya.

Di sinilah kita yang dewasa bisa berperan bagi pendidikan anak-anak, yaitu dengan menjadi pamomong. Sebuah pepatah mengatakan “Guru yang baik mengajari, Guru sejati menginspirasi”. Pepatah tersebut menyiratkan pentingnya inspirasi bagi pertumbuhan seseorang. Inspirasi bisa datang dari apa saja: film, buku cerita, diskusi tentang peristiwa, dongeng, gambar, dan banyak lagi macamnya. Dalam inspirasi, intinya guru memancing murid untuk menyerap, mengolah dan mengembangkan pengetahuan yang berguna bagi dirinya sendiri dan bukan mengajarinya menurut logika gurunya.

Saya pernah menuliskan di wall facebook acara seminar ini: bahwa semestinya acara ini bukan bertajuk ”Penemuan benda purbakala dan spiritualitas” melainkan ’Spiritualitas dan Kebangsaan”. Kebangsaan, bukanlah sebuah konsep kebenaran besar yang kemudian dijadikan alat untuk menghilangkan perbedaan dari individu yang coba dinaunginya. Justru kebalikannya, kebangsaan adalah sesuatu yang besar tapi terbentuknya berasal dari individu-individu yang menjadi anggota suatu bangsa. Jadi, pembentukan sebuah bangsa besar, harus berangkat dan berakhir pada kemampuan individu-inidividu di dalamnya untuk menjadikan dirinya besar atau mulia.

Penemuan berbagai hal dari masa lalu tentu penting agar kita tak menjadi ahistoris. Ibaratnya berangkat ke suatu tempat, kita bukan hanya mesti paham tujuan, tapi juga berada di titik mana kita berangkat. Setiap manusia adalah pejalan dengan misi hidup masing-masing. Dalam salah satu puisinya, Rumi mengibaratkan manusia bak utusan kerajaan yang dikirim ke sebuah desa untuk tujuan khusus. Jika ia berangkat dan mengerjakan banyak tugas lain tapi lalai mengerjakan tugas yang khusus tersebut, itu sama saja dengan tidak mengerjakan apa-apa.

Demikianlah tiap manusia diutus ke dunia untuk satu tujuan dan sasaran khusus. Jika seseorang tidak mencapai tujuan itu, berarti ia tidak menyelesaikan apa pun. Spiritualisme, sebenarnya adalah sebuah upaya agar orang tidak tersesat dari tujuannya tersebut. Itu sebabnya orang perlu untuk terus diingatkan akan kekembalian pada fitrah. Semoga dengan apa yang kita bahas di seminar ini. Kode-kode masa lalu yang terungkap dalam berbagai artifak kuno, kita bisa sampai pada sebuah pembacaan yang memampukan kita menangkap citra Ilahi dalam diri kita masing-masing, dan bukan justru teralienasi karena pantulan-pantulan ilusi yang seakan benar tapi justru menyesatkan.




Audifax ketika menemukan pencerahan tentang Sastra Jendra, energi minimal dan citra ilahi dalam diri. Audifax adalah "Joscev Audivacx" di facebook, di tag di bagian paling atas di note ini.


KELAHIRAN RAHWANA DAN SEKELUMIT TENTANG SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU

Oleh :
Triwidodo Djokorahardjo

Energi dalam tubuh manusia berpusat di sekitar pusar. Pembangkitnya berada di situ. Lalu, biasanya ada dua kemungkinan. Mengalir ke bawah, atau mengalir ke atas. Jika mengalir ke bawah, instink-instink hewani dalam diri manusia akan terstimuli. Instink-instink hewani yang kita warisi berkat evolusi panjang itu akan bangkit kembali dan mencari mangsanya. Kemudian, demi kenyamanan diri, kita bisa mencelakakan apa saja. Sebaliknya, jika mengalir ke atas, energi itu akan membuat anda menjadi lebih kreatif dan konstruktif. Anda akan menjadi unik, orisinil dan karena itu anda akan menjadi berkah bagi lingkungan sekitar anda. *1 Medis dan Meditasi

Latar belakang keluarga para pelaku dalam Ramayana

Prabu Dasarata penuh hasrat mendapatkan seorang putra, sehingga mengawini tiga orang wanita yang ternyata tiga-tiganya belum dapat memberikan putra juga. Akhirnya dengan suatu upacara ritual ketiga istrinya melahirkan empat putra. Keempat putranya saling mengasihi.

Kemudian karena sang prabu kalah janji dengan istri ketiga, maka putra terkasihnya Sri Rama harus meninggalkan istana yang menyebabkan kesedihan sang prabu yang membawanya ke ujung kematian.

Resi Gotama bertapa seratus tahun dengan harapan mendapatkan anugerah isteri seorang bidadari. Dewi Windradi adalah seorang bidadari yang bersedia menjadi istrinya, akan tetapi dia memiliki cupu manik Astagina yang pada setiap saat konon dapat berhubungan dengan Bathara Surya lewat cupu tersebut.

Pasangan suami istri tersebut melahirkan tiga anak, Guwarsa yang akhirnya menjadi Subali, Guwarsi yang menjadi Sugriwa dan Retno Anjani yang melahirkan Hanuman. Dua bersaudara Subali dan Sugriwa berseteru hingga akhirnya Subali mati dipanah Sri Rama. Sedangkan Hanuman melakukan “total surender” pada Sri Rama, sang avatara.

Dewi Sukesi, putri raja Alengka Prabu Sumali, seorang wanita yang sangat percaya diri dan bersemangat. Sang putri menerima saran sang ayahanda bahwa pemilihan pasangan hidup melalui pertarungan antar ksatria tidak perlu diperpanjang lagi. Dewi Sukesi kemudian memilih pasangan hidup siapa pun yang dapat menjabarkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Resi Wisrawa adalah seorang raja yang meninggalkan kenyamanan istana demi peningkatan kesadaran. Akan tetapi sang resi masih punya keterikatan dengan sang putra yang menggantikannya sebagai raja Lokapala. Sang putra mabuk kepayang ingin mempersunting Dewi Sukesi, akan tetapi ketakutan karena semua ksatria yang datang meminang sang putri dibunuh oleh Patih Harya Jambumangli adik Prabu Sumali yang diam-diam jatuh cinta kepada sang keponakan.

Resi Wisrawa berangkat ke Alengka untuk mendapatkan jodoh bagi sang putra. Akan tetapi sewaktu menguraikan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepada Dewi Sukesi, mereka berdua terlena dan melakukan hubungan suami istri. Dari mereka lahirlah Rahwana, Sarpakenaka, Kumbakarna dan Wibisana. Sarpakenaka yang hiperseks sakit hati dengan Dewi Sinta dan minta sang kakak menculiknya. Kumbakarna tidak menyetujui keserakahan Rahwana memilih makan dan tidur serta tidak mau melihat kesewenang-wenangan kakaknya. Wibisana tidak cocok dengan tindakan kakaknya dan ketika kakaknya menculik istri Sri Rama, ksatria avatara idolanya, maka dia menyeberang ke pihak Sri Rama.

Kisah Ramayana yang berkembang di Nusantara, penuh dengan berbagai karakter pelaku, dengan berbagai hubungan kekerabatan yang bagaimana pun sampai saat ini masih relevan untuk dipetik hikmahnya. Berbagai karakter dan persoalan rumah tangga tersebut terasa dekat dengan DNA bangsa Indonesia. “Setting” panggung dan zaman sudah berubah, akan tetapi karakter para pelaku dan pelbagai permasalahan kekerabatan pada hakikatnya tidak jauh berbeda. Bahkan sampai saat ini masih banyak orang tua yang menamakan anaknya, Rama, Bharata, Laksmana, Sinta, Sita dan lainnya.

Walaupun Epos Ramayana berawal dari India, tetapi begitu sampai Nusantara, nuansanya disesuaikan. Bahkan di India tidak ada satu pun candi dengan relief batu tentang Ramayana. Hal tersebut menunjukkan betapa tingginya peradaban kita saat itu. Akan tetapi, pada saat ini justru beberapa produk budaya kita, yang secara jujur pernah “kurang mendapat perhatian”, telah dirawat oleh bangsa lain. Semoga putra-putri Indonesia menyadari jati diri budaya bangsa, melestarikannya dan bangkit dari keterpurukannya.

Saatnya kita kembali kepada ajaran leluhur, kepada budaya asal Nusantara, kepada kearifan lokal, kebijakan nenek moyang. Saatnya kita menghormati dan menghargai alam, lingkungan. Hubungan dengan alam dan sesama makhluk hidup - bukanlah hubungan horizontal sebagaimana dicekokkan kepada kita selama bertahun-tahun. Pun hubungan kita dengan Tuhan bukanlah vertikal. Tuhan tidak berada di atas sana, di lapisan langit kesekian. Pemahaman vertikal-horizontal seperti ini telah memisahkan kita dari alam. Tuhan berada dimana-mana, Ia meliputi segalanya, sekaligus bersemayam di dalam diri setiap makhluk inilah inti ajaran leluhur kita. Inilah kearifan lokal kita. Dan, hanyalah pemahaman seperti ini yang dapat menyelamatkan kita dari kemusnahan dan kehancuran. *2 Panca Aksara

Latar belakang Resi Wisrawa dan Dewi Suksesi

Prabu Sumali, Raja Alengka sadar bahwa sayembara memperebutkan Dewi Sukesi, sang putri dengan cara perang tanding antar ksatriya telah menimbulkan pertumpahan darah yang tidak seharusnya terjadi. Telah banyak ksatria mati di tangan Harya Jambumangli adik, sekaligus patih kerajaan Alengka. Akan tetapi permintaan sang putri untuk bersedia menjadi isteri dari orang yang sanggup mengupas Sastrajendra Pangruwating Diyu membuatnya sangat gundah. Bagaimana pun sang putri adalah seorang gadis yang tegas dan dia terlanjur memanjakan dan menuruti apa pun kemauan sang putri. Dewi Sukesi memang berbeda dari Dewi Sinta yang pasrah kepada ayahandanya, Sang Prabu Janaka yang bijaksana untuk mencarikan jodoh baginya.

Resi Wisrawa sedang mengupas ilmu Sastrajendra Pangruwating Diyu di taman keputren bersama Dewi Sukesi. ‘Sastrajendra’, Tulisan Agung tersebut tak jauh dari pemahaman tentang manusia itu sendiri, tentang ‘gumelaring jagad’, asal-usul jagad, ‘sejatining urip’, makna hidup, ‘sejatining panembah’, pengabdian kepada Gusti dan ‘sampurnaning pati’, kesempurnaan kematian.

Konon Guru adalah seseorang yang mendapatkan pengetahuan langsung dari Keberadaan. Sedangkan murid sejati adalah seseorang yang berkeinginan tunggal atau “murad” untuk mengalami penyatuan dengan Keberadaan, manunggal dengan Gusti. Yoga juga berarti penyatuan dengan Ilahi. Sang murid telah paham bahwa dunia ini hanya ilusi, permainan pikiran, sehingga Keberadaan menghendaki dia bertemu dengan Guru untuk membimbingnya dalam menjalani kehidupan spiritualnya. Sang Guru dan sang murid hanya melaksanakan ridho Sang Keberadaan. Mungkin contoh yang baik hubungan antara Guru dan murid adalah hubungan antara Sri Rama dengan Hanuman. Hanuman pasrah total kepada Sri Rama yang merupakan wujud keilahian. Lain Hanuman lain kita, kepasrahan kita hanya di bibir saja.

Ucapan-ucapan seperti, “Aku sudah pasrah. Aku sudah berserah diri sepenuhnya” hanya menunjukkan betapa naifnya kita. Di balik ucapan-ucapan kita seperti itu masih ada keinginan terselubung, untuk menonjolkan diri kita. Kepasrahan kita membutuhkan pengakuan orang lain. Ego kita masih tetap ada. Dan selama masih ada ego, tidak ada cinta, tidak akan ada kasih. *3 Samudra Sufi

Resi Wisrawa dalam mengupas Sastrajendra masih menuruti ego pribadi untuk mendapatkan jodoh bagi sang putra. Dewi Sukesi dalam menerima pengetahuan juga masih mempunyai keterikatan terhadap ego pribadi untuk mencari suami. Mereka menuruti hasrat ego-nya, bukan ridho Sang Keberadaan, belum mencerminkan hubungan antara Guru dan murid.

Terpelesetnya Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi dalam pengupasan Sastrajendra

Beberapa penjelasan Resi Wisrawa, “Pada waktu kita sudah lepas dari keterikatan, kehilangan rasa memiliki, termasuk memiliki diri sendiri, kita masuk dalam “kematian”. Di balik “kematian” itulah justru ada “kehidupan” sejati. Kehidupan yang tidak berawal dan tidak berakhir, yang bebas dari belenggu keterikatan.”

Mereka yang jiwanya telah mati sibuk mencari kehidupan. Mereka yang jiwanya hidup mengejar kematian. Suatu paradoks tetapi Begitulah adanya. Apabila anda tidak merasa hidup, Anda akan selalu mengejar kehidupan. Apabila Anda tidak merasa sehat, Anda akan mengejar kesehatan. Apa pun yang Anda rasakan tidak “ada” dalam diri Anda, akan Anda kejar. Anda akan membanting tulang untuk memperolehnya. Sebaliknya, mereka yang merasakan dirinya hidup, mereka yang telah mengenal kehidupan dari dekat, mereka yang telah puas menjalani kehidupan tidak akan mengejar kehidupan lagi. Mereka yang sehat tidak mengejar kesehatan. *3 Samudra Sufi

“Kita berada dalam keindahan cinta. Alam semesta ini adalah perwujudan cinta Sang Keberadaan. Manusia, hewan, tanaman tak mungkin ada tanpa cinta. Cinta dan keindahan terdapat dalam naluri, integensia setiap manusia”.

“Ibarat sungai diam yang mengalirkan air yang selalu baru. Bukan jatidiri yang berjalan, tetapi waktulah yang berjalan. Cinta melampaui waktu. Tubuh fisik boleh berubah sesuai usia, akan tetapi cinta itu sendiri abadi. Masa lalu tidak ada, masa depan belum tiba dan yang ada hanya saat ini dan hal ini perlu dirayakan”.

“Dalam cinta itu ada kerinduan, bukan kerinduan terhadap hal-hal duniawi yang bersifat sementara, tetapi kerinduan kepada hal yang tidak dimengerti. Kebahagian dalam kerinduan tersebut bukan karena kepemilikan, tetapi karena ridho Sang Keberadaan. Pasrah total terhadap Keberadaan”.

Cinta tidak bertujuan, tak akan pernah bertujuan. Mereka yang belum kenal cinta selalu bingung. Mereka tidak dapat membayangkan suatu “tindakan” tanpa tujuan. Cinta yang ada pamrihnya, yang bersyarat, bukan cinta lagi. Lakukan introspeksi diri selama ini apakah Anda mencintai Allah? Jangankan pengorbanan dalam cinta, selama ini mungkin cinta pun belum pernah menyentuh jiwa kita, ruh kita, batin kita. Dan apabila kita belum mencicipi manisnya Kasih Allah, manisnya Cinta Tuhan, selama itu pula kita akan selalu berkiblat pada dunia benda pada segala sesuatu yang fana, yang semu. Berkorban dalam Cinta Allah berarti menolak segala sesuatu yang fana. Dengan Cinta, dan hanya Cinta saja yang dapat menyingkirkan bayangan gelap dari yang bukan Allah itu. Dengan Cinta dan Cinta saja, jiwa manusia dapat memenangkan kembali sumber kesucian itu dan menemukan tujuan utama yaitu penyatuan kembali dengan kebenaran. *3 Samudra Sufi

Cinta, kasih adalah pengalaman tertinggi, terakhir, yang dapat dialami oleh manusia. Setelah itu, apa lagi, what next? Saya tidak tahu. Dalam cinta yang tak terbatas itu, Mansur dan Rabiah menghilang. Dalam kasih yang tak terhingga itu, Isa dan Buddha lenyap tanpa bekas. Mereka tidak kembali untuk menjelaskan apa yang terjadi. Mereka menyatu dengan cinta, dengan kasih itu sendiri. Apabila Anda mengalami cinta, mengalami kasih, sebenarnya Anda juga sedang mengalami Isa dan Buddha, Mahavir dan Muhammad, Zarathustra dan Nanak. Cinta adalah jalan, sekaligus tujuan. Kasih adalah penuntun yang mengantar kita ke tujuan akhir kita. Dan tujuan akhir itu adalah kasih pula, cinta juga. *3 Samudra Sufi

“Sifat keraksasaan dalam diri harus diruwat, dikembalikan ke keadaan asalnya. Dan untuk mensucikan jiwa, kita harus menggunakan raga. Anakku Sukesi, mari kita kembali ke bumi untuk menyelesaikan tugas kita mengendalikan keraksasaan, mengendalikan “Diyu” dalam diri!” Dewi Sukesi merasa belum terpuaskan keingintahuannya dan belum mau menyudahi penguraian tentang Satrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Begitu larutnya mereka dalam penjabaran Sastrajendra, sampai mereka lupa bahwa “Diyu”, sang raksasa dalam diri mereka yang lama terpendam bangkit dan menutup kesadaran mereka. Keduanya bahkan gagal memaknai Sastrajendra, Sang Tulisan Agung. Mereka melakukan hubungan suami istri. Mereka tidak dinikahkan oleh orang tua atau dinikahkan oleh pelaksana ritual pernikahan, tetapi mereka dinikahkan oleh syahwat mereka.

Kelahiran putra-putri Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi

Mind seseorang berwujud energi, dan energi tidak bisa mati, yang mati hanyalah raganya. Mind yang tak berbadan tersebut akan mencari raga baru untuk melanjutkan obsesi dan menerima akibat dari tindakan yang pernah dibuatnya sesuai aturan alam, hukum sebab-akibat.

Medan Energi Bio-Electric Subconscious Mind (MEBESM) yang tidak ikut mati membentuk synap-synap asli dalam otak bayi yang baru lahir. Demikian, otak bayi mewarisi informasi, keinginan, dan obsesi yang tersimpan dalam MEBESM tersebut. Bahkan, MEBESM bisa memilih tempat dan situasi di mana tersedia stimulus-stimulus sesuai dengan yang dibutuhkannya. Dalam arti kata lain, “kita” memilih tempat lahir. Bahkan orang tua pun pilihan kita sendiri. *1 Medis dan Meditasi

Peristiwa terpelesetnya Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi mengakibatkan kelahiran putra-putrinya. Dikatakan terpeleset, mungkin juga kurang tepat. Mungkin sudah ada cetak biru Keberadaan untuk melahirkan pemimpin para raksasa yang mengumpulkan para raksasa untuk berperang secara frontal. Mungkin perang tersebut berguna untuk pengurangan populasi raksasa guna penyesuaian daya dukung bumi terhadap kehidupan para raksasa.

Apabila Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi tidak terpeleset, mungkin akan ada skenario lain untuk pengurangan populasi raksasa tersebut. Bagi kita yang penting adalah bahwa kita dapat menarik hikmah dari kisah tersebut demi peningkatan kesadaran. Skenario yang lain tidak perlu diperdebatkan, karena hanya analisa mind belaka.

Yang jelas secara alami, setiap proses produksi selalu menghasilkan “side product” yang harus dibuang. Proses pencernaan juga menghasilkan sampah yang harus dibuang. Membuang “side product” sampah psikis dalam latihan meditasi disebut katarsis, cleansing agar diri tetap sehat. Bahkan dogma-dogma lama yang tersimpan dalam pikiran bawah sadar pun harus di-cleansing agar manusia dapat menerima kemajuan dan hidup dalam kekinian. Pengurangan populasi raksasa atau hewan semacam dinosaurus pun diperlukan dan merupakan cleansing bagi bumi, demi kesehatan bumi. Dan selalu saja setelah cleansing atau katarsis ada rasa kelegaan yang dalam.

Yang jelas kita diminta mengamati sifat “Diyu”, sifat keraksasaan dalam diri, yang masih ada dalam DNA kita, hasil evolusi masa lalu yang sering tidak terkendalikan. Kita telah memilih lahir lagi demi peningkatan evolusi kita. Oleh karena itu jangan hanya berhenti menikmati suka atau duka atas suatu kejadian yang dialami. Di balik setiap kejadian tersirat hikmah atau tujuan atas kejadian tersebut.

Pasangan Anda, istri Anda, suami Anda, orang tua dan anak dan cucu Anda, atasan dan bawahan Anda, mereka semua adalah dosen-dosen pengajar. Mereka yang melacurkan diri demi kepingan emas dan mereka yang melacurkan jiwa demi ketenaran dan kedudukan, mereka semua adalah guru Anda. Anjing jalanan dan cacing-cacing di got, lembah yang dalam, bukit yang tinggi dan lautan yang luas, semuanya sedang mengajarkan sesuatu. *3 Samudra Sufi

Dewi Sukesi mengandung akibat buah cinta terlarangnya dengan Resi Wisrawa. Dan, kemudian dari rahimnya terlahir segumpal darah, bercampur sebuah wujud telinga dan kuku. Segumpal darah itu menjadi raksasa bernama Rahwana yang melambangkan nafsu angkara manusia. Sedangkan telinga menjadi raksasa sebesar gunung yang bernama Kumbakarna, yang meski pun berwujud raksasa tetapi hatinya bijak, ia melambangkan penyesalan ayah ibunya. Sedangkan kuku menjadi raksasa wanita yang bertindak semaunya bernama Sarpakenaka. Kelak Wisrawa dan Sukesi melahirkan seorang putera bernama Gunawan Wibisana. Anak terakhir ini berupa manusia sempurna yang baik dan bijaksana, karena terlahir dari cinta sejati, jauh dari hawa nafsu kedua orang tuannya.

Wibisana lahir normal, disusui sang ibu dengan penuh kasih dan menjadi lebih lembut. Kejadian di awal kelahiran mempunyai pengaruh besar terhadap seorang anak. Seorang anak yang lahir dari operasi cesar, dia lahir begitu mudah tanpa perjuangan, sehingga jangan sampai masa kanak-kanaknya dimanja, agar dia memiliki daya juang. Bayi yang lahir juga perlu diletakkan agak jauh dari buah dada ibunya, agar dia berjuang mendapatkan air susu pertama. Daya juang tersebut diperlukan dalam kehidupan selanjutnya.

Sifat-sifat Rahwana, Sarpakenaka, Kumbakarna dan Wibisana

Menurut filsafat Yoga, seperti yang dijabarkan oleh Patanjali dan lainnya, ada tujuh lapis kesadaran, digambarkan sebagai chakra atau roda. Tiga chakra pertama adalah kebutuhan dasar, makan/minum, seks, dan tidur. Ini adalah kebutuhan yang dilakukan oleh hewan juga. Cakra keempat adalah cinta yang membedakan kita dari dunia hewan. Tentu saja, ini menjadi lapisan pertama kesadaran manusia. Lapisan ini berhubungan dengan bagian otak neo-cortex, sedangkan tiga lapisan pertama berhubungan dengan bagian otak yang mengatur anggota tubuh. Tiga lapisan terakhir adalah lapisan pemurnian, perluasan pandangan, dan pencerahan. Lapisan-lapisan ini membawa kita menuju Yang Maha Kuasa, menuju Keilahian. Jadi, menurut yoga, kita semua menuju ke arah yang sama, Tuhan. *4 Si Goblok

Dalam diri manusia, ada tujuh chakra, akan tetapi putra-putri Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi nampak lebih menonjol pada chakra-chakra tertentu.

Chakra ketiga, kenyamanan, apabila tak terkendalikan menyebabkan manusia mengikuti ahamkara, ego, ingin menang sendiri. Rahwana yang juga disebut Dasamuka bisa dimaknai mempunyai sepuluh kepala, sepuluh otak, sangat cerdas dan mempunyai keserakahan yang luar biasa. Rahwana merupakan perwujudan dari sifat rajas yang agresif dan dominasi unsur alami api yang beraura kemerahan.

Chakra kedua berkaitan dengan kreatifitas dan hubungan dengan seks. Sarpakenaka sangat kreatif, sehingga dapat mengubah wujud dirinya menjadi wanita cantik penggoda Sri Rama dan Laksmana. Seandainya saja Sarpakenaka bisa mentransformasikan energi seks menjadi energi yang kreatif, dirinya akan sangat berguna bagi dunia. Sayangnya dia malah menjadi hiperseks, sudah mempunyai dua suami masih mempunyai PIL (Pria Idaman Lain) Kala Maricha, komandan prajurit andalan Rahwana. Sarpakenaka melambangkan sifat keagresifan dan dominasi unsur api yang beraura kuning.

Chakra pertama berkaitan dengan hal-hal mendasar, misalnya makan dan minum. Kumbakarna selain menuruti hasrat makan minum dan tidur, sebetulnya sudah muncul kesadaran tentang kebenaran. Dia tidak setuju dengan keserakahan Rahwana, tetapi dia tidak berani melawan dan malah melarikan diri dengan cara makan dan tidur. Kumbakarna didominasi unsur tanah beraura hitam yang tamas, malas.

Energi Wibisana, sudah tidak berupa cairan yang mengalir ke bawah perut, tetapi berwujud uap yang mengarah ke atas, mengaktifkan chakra keempat, bersifat satvik, tenang dengan aura putih, dengan dominasi unsur ruang. Wibisana sudah siap menjadi murid Sri Rama yang telah melampaui unsur-unsur alami.

Gigih dalam menegakkan dharma

Kami kutip nasehat Bapak Anand Krishna dalam buku *5 be the Change

Hidup adalah sebuah perjuangan. Berjuanglah terus-menerus demi penegakan dharma, demi hancurnya adharma. Kita tidak di sini untuk saling jarah-menjarah, atau saling rampas-merampas. Kita tidak mewarisi budaya kekerasan dan barbar seperti itu.
Jangan berjuang untuk tujuan-tujuan kecil yang tidak berguna. Jangan berjuang untuk memperoleh kursi yang dalam beberapa tahun saja menjadi kadaluarsa. Jangan berjuang untuk memperoleh suara yang tidak cerdas.

Berjuanglah untuk tujuan besar untuk sesuatu yang mulia. Berjuanglah untuk memperoleh tempat di hati manusia, ya manusia, bukan di hati raksasa. Berjuanglah untuk mencerdaskan sesama anak manusia, supaya mereka memahami arti suara mereka, supaya mereka dapat menggunakan hak suara mereka sesuai dengan tuntutan dharma. Perjuangan kita adalah perjuangan sepanjang hidup.

Perjuangan kita adalah perjuangan abadi untuk melayani manusia, bumi ini dengan seluruh isinya, bahkan alam semesta. Janganlah mengharapkan pujian dari siapa pun jua. Janganlah menjadikan pujian sebagai pemicu untuk berkarya lebih lanjut. Berkaryalah terus menerus walau dicaci, dimaki, ditolak........ Berkaryalah karena keyakinan pada apa yang mesti kita kerjakan. *5 be the Change

Terima Kasih Guru. Semoga kesadaran Guru menyebar ke seluruh Nusantara. Namaste.

*1 Medis dan Meditasi Medis dan Meditasi, Anand Krishna bersama Dr. B. Setiawan, PT Gramedia Utama, 2002.
*2 Panca Aksara Panca Aksara Membangkitkan keagamaan dalam diri manusia, Anand Krishna, Pustaka Bali Post, 2007.
*3 Samudra Sufi Menyelami Samudra Kebijaksanaan Sufi, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.
*4 Si Goblok Si Goblok Catatan Perjalanan Orang Gila, Anand Krishna, Koperasi Global Anand Krishna, 2009.
*5 be the Change Be The CHANGE, Mahatma Gandhi's Top 10 Fundamentals for Changing the World, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

KAJIAN SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU

AKU DARI ALLAH DAN KEMBALI JADI ALLAH

إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ

"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" DISALAH ARTIKAN DENGAN AKU DARI ALLAH DAN KEMBALI JADI ALLAH oleh golongan golongan spiritualis paranormal dan dukun. Kalimat ini dinamakan kalimat "istirjaa"

(pernyataan kembali kepada Allah).


سَلَامٌ قَوْلاً مِن رَّبٍّ رَّحِيمٍ

Salam dari Rabb Yang Maha Penyayang. Greetings of peace from a Most Merciful Lord

قُلْ أَنَدْعُو مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُنَا وَلاَ يَضُرُّنَا وَنُرَدُّ عَلَى أَعْقَابِنَا بَعْدَ إِذْ هَدَانَا اللّهُ كَالَّذِي اسْتَهْوَتْهُ الشَّيَاطِينُ فِي الأَرْضِ حَيْرَانَ لَهُ أَصْحَابٌ يَدْعُونَهُ إِلَى الْهُدَى ائْتِنَا قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَىَ وَأُمِرْنَا لِنُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah: Apakah kita akan menyeru selain dari pada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan dikembalikan ke belakang sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang menakutkan; dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan) : Marilah ikuti kami. Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Rabb semesta alam, (QS. 6:71)

Say, "Shall we implore, beside GOD, what possesses no power to benefit us or hurt us, and turn back on our heels after GOD has guided us? In that case, we would join those possessed by the devils, and rendered utterly confused, while their friends try to s

........................................................................................................................

Kajian Tafsir Huruf Muqota'ah: Pandangan Siti Jenar dan Husain ibnu Mansur al-Hallaj dalam Manunggaling Kawulo Gusti

Syekh Siti Jenar begitu sering dihubung-hubungkan dengan al-Husain ibnu Mansur al-Hallaj atau singkatnya Al-Hallaj saja, sufi Persia abad ke-10, yang sepintas lalu ajarannya mirip dengan Siti Jenar, karena ia memohon dibunuh agar tubuhnya tidak menjadi penghalang penyatuannya kembali dengan Tuhan. Adalah Al-Hallaj yang karena konsep satunya Tuhan dan dunia mengucapkan kalimat, "Akulah Kebenaran/ Anna al Haq," yang menjadi alasan bagi hukuman matinya pada 922 Masehi di Baghdad. Seperti Syekh Siti Jenar pula, nama Al- allaj menjadi monumen keberbedaan dalam penghayatan agama, sehingga bahkan diandaikan bahwa jika secara historis Syekh Siti Jenar tak ada, maka dongengnya adalah personifikasi saja dari ajaran Al-Hallaj, bagi yang mendukung maupun yang menindas ajaran tersebut.

Petikan atas kutipan dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri, pada 1922: Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri. > Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera.

Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.

Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa. Hanya saja masing - masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda - beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing - masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.

Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.

Manunggaling Kawula Gusti, Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.

Dan dalam ajarannya, 'Manunggaling Kawula Gusti' adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur'an yang menerangkan tentang penciptaan manusia ("Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)"). Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.

Riwayat pertemuan Ibrahim ibn Sam'an dengan Husain bin Mansur al Hallaj ( Kutipan dari Buku Husain bin Manshur al Hallaj, karangan Louis Massignon) Aku melihat al Hallaj pada suatu hari di masjid al Mansur: Aku memiliki 2 dinar dalam sakuku dan aku berpikir untuk menghabiskan uang itu untuk hal-hal yang melanggar hukum. Seseorang datang dan memintah sedekah. Dan Husain bin Mansur al Hallaj berkata:' Ibnu Sam'an berikanlah sedekah dengan apa yang kamu simpan di dalam jubahmu, aku terdiam dan menangis, " oh syaikh,bagaimana engkau mengetahui hal itu?'' Al Hallaj berkata:' Setiap hati yang mengosongkan diri dari yang selain Alloh, dapat membaca kesadaran orang dan menyaksikan apa yang ghoib''. Ibnu Sam'an berkata:'' o, syaikh ajarilah aku sebuah hikmah''. Kemudian berkata al Hallaj :''Orang yang mencari Tuhan dibalik huruf miim dan ain akan menemukan Nya.Dan seseorang yang mencarinya dalam konsonan idhafah antara alif dan nun, orang itu akan kehilangan Dia. Karena Dia itu Maha Suci, di luar jangkauan pikiran dan diatas yang terselubung, yang berada di dalam diri setiap orang.

Kembalilah kepada Tuhan, Titik Terakhir adalah Dia. Tidak ada "Mengapa" di hari akhir kecuali Dia.Bagi manusia "MA/ yaitu miim dan ain" milik Dia berada dalam miim dan ain makna ""MA"" ini adalah Tuhan Maha Suci. Dia mengajak makhluk terbang menuju Tuhan. "miim" membimbing ke Dia dari atas ke bawah. "ain"membimbing ke Dia dari Jauh dan Luas.

Ilmu Huruf Muqota'ah Ilmu huruf, yang didasarkan pada satu bahsa suci, tentulah memiliki sebuah fondasi mistis yang diperlukan. Orang bisa menemukan doktrin ini dalam puisi mistis yang terkenal Ghulsyan-i Raz (Taman Mawar), karya Syabistari: " Bagi orang yang jiwanya adalah manifestasi Tuhan yaitu al Qur'an, keseluruhan alam ini adalah huruf-huruf vokal-Nya dan substansinya adalah huruf konsonan-Nya " Pasal 200-209 puisi Ghulsyan-i Raz.

Abu Ishaq Quhistani, sufi Islam, menegaskan pentingnya ilmu huruf dengan menyatakan bahwa " ilmu huruf adalah akar dari segala ilmu ". Secara skematis ilmu huruf mengandung : Simbolisme ketuhanan dan metafisika atau /metakosmik Simbolisme universal / makrokosmik yang didasarkan pada korespondensi antara huruf-huruf dan benda astrologis (ruang angkasa/ planet/ lambang zodiak dll)

Simbolisme manusia dan individu yang didasarkan pada korespondensi fisiologis/organ tubuh Jumlah huruf muqatta'ah (terpotong) ada 14 huruf yaitu :alif lam miim,ha miim, alif lam ra, tha ha,ha miim ain sin qaf, ya sin, kaf ha ya `ain shad, kaf dan nun. Kalau dirangkai keseluruhannya menjadi sebuah kalimat : Shiratu `aliyin haqqun namsikuhu (jalan Ali adalah kebenaran yang kita pegang). huruf muqatta'ah (terpotong) adalah huruf-huruf yang merupakan rumusan dialog antara Alloh swt dengan kekasihnya (para Nabi dan para Wali)

Apa Makna miim dan ain sehingga dapat menemukan Tuhan dan bertemu dengan Nya dan Mengapa ketika mencari Tuhan dibalik huruf alif dan nun maka tidak bisa bertemu dengan Nya? Tafsir Miim (numerology Arabiyah): Huruf miim merupakan muhammad rosulillah atau Ahmad, yang merupakan pintu menuju Ahad yang merupakan wahdaniyah Allah. Perbedaan antara Ahad dan Ahmad adalah huruf arab Miim (muhammad rosulillah - penutup jalur risalah dan kenabian) Miim juga berarti malakuti / keagungan / penguasaan atas seluruh langit bumi, ayat Kursi merupakan ayat yang mengandung banyak huruf miim didalamya Huruf miim bernilai 40, 40 hari khalwat dengan ikhlas dengan mengamalkan surat al ikhlas dan ayat Kursi (ayat yang banyak mengandung huruf miim /sujud jadi sujud adalah cara menggapai keagungan). Juga surat al ikhlas di awali dengan qulhuwa allohu ahad. Jadi perwujudan ahad di dunia adalah ahmad, ketika manusia menjadi ahmad maka merupakan tajalli/ penampakan sang Mahakuasa
dalam diri manusia. Sekali lagi bedakan Ahmad dan Ahad terletak huruf miim.

Huruf miim membentuk, posisi sujud dalam solat, sujud merupakan posisi kedekatan dengan Alloh, bahkan sujud merupakan simbol dari wahdaniyah Allah. Metode untuk mendekat (muqorrobin/ kewalian) kepada Tuhan yang paling cepat adalah dengan sujud yang lama dalam
Sholat. Hadits qudsi Allah berfirman : " Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepada Ku dengan hal hal yg fardhu- 17 rokaat, dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal hal yg sunnah- 34 rokaat qobliyah dan bakdiyah- baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yg ia gunakan untuk mendengar, dan matanya yg ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yg ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yg ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya...." (shahih Bukhari hadits no.6137).

Tafsir Ain,Yaa,Sin,Nuun,Aliif (numerology Arabiyah):

Huruf ain bermakna sayidina Ali bin Abu tholib merupakan pintu gerbang keilmuan. Sesuai hadits Nabi yang menyatakan bahwa Muhammad rosulluloh adalah gudang ilmu dan Sayidina Ali adalah pintunya. Huruf ayn membentuk posisi rukuk dalam sujud, dalam riwayat asbabun nuzul quran ada ayat yang berkenaan dengan Ali bin abu thalib, yaitu orang yang rukuk kemudian dalam posisi rukuk dalam solat melakukan sedekah berupa cincin. Inilah ayat quran itu: Walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan mereka yang beriman yang menegakkan salat, membayar zakat seraya rukuk. (QS. al-Mâ`idah: 55)

Kunci sholat yang merupakan adab tatakrama/ kepasrahaan total ila allohu ada di rukuk/ huruf ain, sujud/ huruf miim adalah kedekatan (muqorobin- fana asma dan tajalli asma), barangsiapa tidak tahu adab ( rukuknya) maka tidak layak untuk dekat (muqorobin).

Huruf Ain bernilai 70.sedang huruf Ya bernilai 10 dan huruf Sin bernilai 60. jadi secara matematis yaitu 70(ain) = yaa(10)+sin(60) jadi Ya + Seen = Ain merupakan Quran dalam surat 36 adalah surat Ya Seen. ayat ke 58 dari surat Yasin adalah Salaamun Qawlam Mir Rabbir Raheem. Jadi 5+8=13, posisi huruf ke 13 dalam abjad Arab adalah huruf Miim/ Sujud. Jadi untuk mengerti Ain/ rukuk kita harus mengerti tafsir huruf Yaa dan Tafsir huruf Sin. Dengan mengerti Yaa dan Sin kita akan sampai kepada Sayidina Ali bin Abu Tholib.

Kyai Kholil Bangkalan, salah seorang pencetak kyai besar Nahdlatul Ulama, selama perjalanan pesantren Keboncandi, Pasuruan-Sidogiri kyai kholil Bangkalan sewaktu muda selalu membaca YaSin, hingga khatam berkali-kali Huruf Ya adalah akhir dari abjad Arab and Alif awal dari abjad
Arab. Huruf Ya/ hamba memimpin/cenderung ke arah Alif/ Alloh. Huwal Awwalu wa Hu wal Akhiru.

Rincian huruf Awwalu : Alif(1)+waw(6)+lam(30)=37ß-à3+7=10,(Ya=10), 10 ß-à1+0=1ß-àpertama.
Rincian huruf Akhiru : Alif(1)+Kho(600)+Ro(200)= 801ß-à8+0 +1= 9 ß-à terakhir adalah 9, angka 9 dalam numerology arab adalah huruf Ta yang bermakna penyucian atau Tahara/penyucian dan bulan ke 9 dalam Arab/ Qomariah adalah bulan ramadhon yaitu bulan puasa· Penyucian kalbu dari kecintan diri dan dunia merupakan tingkat awal penyucian untuk bersuluk kepada Alloh. Sesungguhnya kotoran maknawi terbesar yang tidak bisa disucikan meskipun dengan tujuh lautan dan para nabi pun tidak mampu menghilangkannya adalah kotora kejahilan ganda (pura-pura tahu padahal tidak tahu).

Kekeruhan ini mungkin akan memadamkan cahaya petunjuk dan meredupkan api kerinduan yang merupakan buraq untuk bermikraj mencapai berbagai maqom spiritual. (Imam Khomeini dalam Hakikat dan Rahasia Sholat)

dan Alif(1)+ Ta(9)=10ß-à (Ya=10=hamba), nilai huruf (Ya=10), jadi seorang Hamba yaitu simbol Ya harus melakukan Puasa/penyucian jiwa/ tazkiyah nafs simbol (Ta=9) untuk Alloh semata simbol (Alif=1) atau Hamba harus sabar dengan KetentuanNya atau nrimo ing pandum, karena hasil puasa Lillah Billah menjadikan orang sabar atau innalloha ma'ashobirin (Sesungguhnya Alloh bersama (MA terdiri huruf miim dan ain lihat al Baqarah:153 ) orang yang sabar. Lihat bersama adalah Ma yaitu ma'asshobirin. Disini terungkap rahasia mim dan ayn yaitu MA seperti yang diucapkan oleh Husain bin Mansur al Hallaj. jadi Sabar adalah kunci menemukan Tuhan. Para mufassir menafsirkan sabar dengan melakukan puasa. Pahala puasa hanya Alloh yang tahu. Artinya Hak menilai puasa langsung di tangan Alloh bukan di tangan para malaikat. Sabda Rosullulloh saw Puasa yang dilakukan khusus untuk-Ku/ puasa Lillah Billah dan cukuplah Aku sebagai pahalanya.

Mempelajari Ilmu Ketuhanan akan menjadikan orang bersabar, seperti dialog Nabi Musa as dan Nabi Khidr as yaitu Bagaimana kamu dapat sabar terhadap persoalan yang kamu samasekali belum memiliki pengetahuan yang cukup tentangNya(QS 18:68). Barangsiapa menghadapi kesengsaraan dengan hati terbuka, menunjukkan kesabaran dengan penuh ketenangan dan martabat, termasuk dalam golongan orang terpilih dan bagian untuknya adalah Berikanlah kabar gembira (keberhasilan dan kejayaan) kepada orang yang sabar (QS 2:155).

Dalam Islam, kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri disebut sabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi dalam kecerdasan emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan. Ketika belajar orang ini tekun. Ia berhasil mengatasi berbagai gangguan dan tidak memperturutkan emosi-nya.

Gabungan rincian Awwalu dan Akhiru adalah Seorang Hamba (Ya=10=hamba) karena Akhiru(9)+ Awwalu (1)=10ß-à (Ya=10=hamba), jadi seorang Hamba menampung Asma Alloh yang lengkap dan memiliki potensi untuk menampakkan sifat ketuhanan. Huruf Sin bernilai 60 dalam numerology Arab, merupakan simbol dari sirr Muhammad, sirr adalah rahasia ketuhanan yang disimpan dalam diri manusia sebagai hamba. Huruf sin dalam INSAN. huruf alif nya adalah Alloh, huruf sin adalah rahasia /sirr ketuhanan, 2 huruf nun adalah simbol hukum dunia dan akhirat yang merupakan representasi /perwakilan kitab suci al Qur'an.

Huruf Yaa/ simbol Hamba digunakan untuk memanggil seseorang atau menarik perhatian sesorang. Ya adalah simbol seorang Hamba menyembah dan menyebut Tuhannya Ya Alloh Ya Robbi dll.Yaa juga digunakan oleh Alloh memanggil Hambanya.Ya juga berarti simbol antara yang disembah dan menyembah, tetapi posisi Ya=10/ hamba selalu cenderung kepada Alif=1 atau Alloh karena Alloh sebagai Awwalu, dalam ilmu huruf, Alif(1)+waw(6)+lam(30)=37ß-à3+7=10 adalah Yaa menyatu dengan Alif (10ß-à1+0=1) atau dibalik Yaa ada Alif atau di dalam Manusia ada Tuhan atau istilah Wahdatul Wujud nya Ibnu Arobi yaitu antara penyembah dan yang disembah itu sama tapi tidak serupa atau menurut istilah ajaran Syekh Siti Jenar, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. "PERSAMAAN" antara manusia dan Allah. Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw.: "Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diriNya sendiri." Lebih jauh lagi Allah telah berfirman: "Hambaku mendekat kepadaKu sehingga Aku menjadikannya sahabatKu. Aku pun menjadi telinganya, matanya dan lidahnya." Juga Allah berfirman kepada Musa as.: "Aku pernah sakit tapi engkau tidak menjengukku!" Musa menjawab: "Ya Allah, Engkau adalah Rabb langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit?" Allah berfirman: "Salah seorang hambaKu sakit; dan dengan menjenguknya
berarti engkau telah mengunjungiKu. "Memang ini adalah suatu masalah yang agak berbahaya untuk diperbincangkan, karena hal ini berada di balik pemahaman orang-orang awam. Seseorang yang cerdas sekalipun bisa tersandung dalam membicarakan soal ini dan percaya pada inkarnasi dan kersekutuan dengan Allah.

Tafsir huruf Nun dan Alif- Pencari Tuhan dibalik huruf alif dan nun maka tidak bisa bertemu dengan Nya: Bernilai 50 dalam numerology Arab.

Tafsir huruf INSAN, memiliki 2 huruf nun merupakan simbol alam dunia/jasad dan alam akhirat/ruh/jiwa. Ruh yang disucikan akan memperoleh Nur/surga sedangkan Ruh yang dikotori akan memperoleh Nar/neraka.

Tafsir Alif dan Nun: Penggambaran Simbolis Huruf dan Alif Nun merupakan lambang sebuah perahu (syariat) dan sebuah Jiwa/individu/personal mengarungi lautan/medan ujian, kayuh/sampan (membentuk huruf Alif) kiri kanan adalah wilayah pilihan manusia (sunnatulloh adalah qadha' qadar baik buruk) yang telah ditetapkan oleh Alloh arti simbol Alif. Individu yang sedang menaiki perahu (simbol Nun), sampan/kayuh adalah alat/ pilihan yang akan mengerakkan jiwanya menuju 3 pilihan yaitu, pertama, arah perahu ke kiri berarti ashabul syimal/ Nun menjadi Naar/ neraka, kedua arah perahu ke kanan berarti ashabul yamin/ Nun menjadi Nur/cahaya, ketiga arah perahu tidak ke kiri dan tidak ke kanan tetapi tengah berarti
sabiqunal awwalun/ terdahulu mencapai tujuan - ini adalah golongan para pencinta yaitu menyembah karena kerinduan ingin bertemu dengan sang Khaliq ini adalah jawaban isyarah tersembunyi dari Husain bin Manshur al Hallaj- yaitu para nabi dengan simbol miim (arti bathinnya adalah sujud) yaitu Muhammad saw dan ain (arti bathinnya adalah rukuk) yaitu sayidina Ali bin Abuthalib. Huruf Nun Mengingatkan Kita juga kepada Zunnun/ Nabi Yunus as
yang naik perahu di tengah lautan dan ditelan Ikan karena meninggalkan Kaum nya sebelum ada perintah dari ALLOH swt.

Zikir Zunnun / N.Yunus - doa keselamatan menghadapi medan ujian : wa dzan nuni idz dzahaba mughadziban fa dhanna an lan naqdiro alayhi fa nada fid dhulumati an laila antan subhanaka inni kuntu minadolimin fastajabna lahu wa najjaynahu minal ghammi wa kadzalika nunjil mukminina (Anbiya :87-88).

Kesimpulan:

Tafsir Yaa Sin akan membuka rahasia huruf `'MA'' yaitu miim dan ain seperti yang dikatakan oleh Husain bin Mansur al Hallaj: Quran dalam surat 36 adalah surat Ya Seen. ayat ke 58 dari surat Yasin adalah Salaamun Qawlam Mir Rabbir Raheem "Rahasia Ketuhanan ada dalam diri manusia, agar manusia mampu menampakkan atau men-tajallikan Ketuhanan dalam dirinya maka perintah solat (Rukuk, Sujud) adalah sarana 'Manunggaling Kawula Gusti dan sodaqoh (menebarkan hasil usaha kebenaran/pengabdian masyarakat/agen perubahan/social agent) kepada sesama makhluk Tuhan (kesalehan sosial) yang merupakan perwujudan dari Salaamun Qawlam Mir Rabbir Raheem"· Tafsir YaaSin adalah simbol manusia sempurna yaitu hamba yang mampu menampung rahasia Alloh swt dan didalam sirr itu seorang penyembah dan disembah bertemu dan berdialog, ibarat sebuah pohon lengkap dengan pokoknya, cabangnya dan puncaknya. Imam al Baqir berkata: Maukah kamu akau beritahu pokok-pokok Islam, cabang dan puncaknya dan pintu kebaikan? Sulaiman bin Khalid berkata: Tentu, lalu jawab Imam al Baqir: Pokoknya adalah sholat, cabangnya adalah zakat, dan puncaknya adalah membela kaum tertindas dan menegakkan keadilan.

Pintu kebaikan itu adalah : 1. Puasa merupakan perisai api neraka 2. Sedekah itu menghapus dosa 3. Sholat di malam hari untuk berzikir

Tafsir Rukuk/Huruf Ain Etika rukuk adalah meninggikan maqam rububiyah Nya yang agung, mulia dan merendahkan maqam ubudiyah seorang hamba yang lemah, faqir dan hina. Rukuk adalah awal ketundukkan dan sujud adalah puncaknya.Yang melakukan rukuk dengan sempurna dan benar akan menemukan keselarasan pada sujud. Imam Shadiq berkata" rukuk yang benar kepada Alloh adalah menghiasi dengan cahaya keindahan asma-Nya. Rukuk adalah yang pertama dan sujud adalah yang kedua. Dalam rukuk ada adab penghambaan dan dalam sujud ada kedekatan/Qurb dengan Zat yang disembah. Simbol rukuk adalah hamba dengan hati tunduk kepada Alloh, merasa hina dan takut di bawah kekuasaan-Nya. Merendahkan anggota badan karena gelisah dan takut tidak memperoleh manfaat rukuk.

Tafsir Sujud/Huruf Mim Sujud merupakan puncak ketundukan dan puncak kekhusyukan seorang hamba, sebaik-baik wasilah taqarrub ila Alloh, sebaik-baik posisi untuk mencapai cahaya-cahaya tajalli Asma Alloh swt dan maqam Qurb dengan Nya. N. Saw bersabda : "lamakanlah sujudmu", sebab tiada amal yang lebih berat dan paling tak disukai oleh syetan saat melihat anak Adam sedang sujud, karena dia telah diperintahakan sujud dan dia tidak patuh. Sujud merupakan sebab mendekatnya hamba dengan sang Kholik. Wahai orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan solat, sesungguhnya Alloh bersama orang yang sabar (al
Baqarah:153).

Tafsir Salam/Huruf Yaa Sin Salam adalah salah satu nama Alloh. Arti Salam dari sisi Alloh adalah keselamatan zat, sifat, perbuatan-Nya. Adapun Zatnya terpelihara dari kelenyapan, perubahan dan dari segala kekurangan. Salam dari sisi Hamba adalah doa,yaitu memohon keselamatan kepada Alloh untuk orang yang kita ucapkan salam /selamat dari segala cobaaan dan bencana dunia akhirat. Salam juga berarti ungkapan Kepasrahan/ ketundukan kepada Sunnatulloh (Quran Hadits). Menurut Imam Shadiq "salam adalah orang yang melaksanakan perintah Alloh dan melakukan sunnah Rosulillah dengan ikhlas (intinya Ahad dan Ahmad), juga selamat dari bencana dunia dan akhirat. Salam juga bermakna penghormatan kepada hamba yang sholih (assalamu alaina wa ala ibadilahis sholihin) dan malaikat pencatat amal Al Futuhat al Makkiyah, Karangan Ibnu Aroby, merujuk empat perjalanan akal dalam bab 69 tentang rahasia rahasia shalat sebagai perjalanan spiritual manusia. Perintah sholat 51 rokaat kepada Nabi Muhammad saw saat isro miroj: Tuhan memerintahkan hambaNya itu supaya setiap Muslim setiap hari sembahyang limapuluh kali. Kemudian untuk umatnya menjadi 17 rokaat wajib di lima waktu dan sisanya 34 rokaat menjadi sunah muakkad- qobliyah dan bakdiya.

Mulla Shadra dalam bukunya al Asfar al Arba'ah mengatakan: "Ketahuilah bahwa para pesuluk diantara orang Arif/ Irfan dan para Wali menempuh empat perjalanan akal : Perjalanan makhluk kepada kebenaran diskusi metafisika umum (minal khalq ila al Haq). Pesuluk mempelajari dasar-dasar metafisika umum dan dalilnya. Pesuluk cenderung pada kajian semantik dan metafisika dasar terhadap firman Ttuhan dalam Quran.


Perjalanan bersama kebenaran didalam kebenaran- pengalaman metafisika khusus dengan pengalaman pribadi (bi al Haq fi al Haq). Pesuluk akan melihat sifat dan namaNya yang tertinggi baik nama yang mewujudkan rahmatNya dan murkaNya. Hukum nama nama Alloh ini di dalam kejamakannya akan mewujud di dalam diri pesuluk. Hal ini dikenal dengan makam wahidiyah atau tujuh substansi halus (lataif). Pesuluk akan mengalami rasa takut dan harapan (al khauf wa al raja)


Perjalanan dari Kebenaran menuju makhluk (min al Haq ila al al khalq). Setelah mengalami fase peniadaan diri,pesuluk menerima karunia Tuhan dan kembali kepada kesadaran diri. Pesuluk menyaksikan penciptaan dan alam kejamakan dalam diri makhluk tetapi dengan mata yang lain, dengan pendengaran yang berbeda. Puncak perjalan ketiga membawa pesuluk menuju kesucian/Wilayah(kewalian). Perjalanan bersama Kebenaran di dalam makhluk (bi al Haq fi al khalq)

Maqam penetapan hukum dan pembedaan dari baik dan buruk. Ini adalah derajat kenabian, penetapan hukum dan kepemimpinan atas umat manusia yang berhubungan dengan urusan urusan mereka yang beragam dan berbeda-beda serta bagaimana mereka saling berinteraksi satu sama lain. seorang `arif tak akan benar-benar mencapai maqam spiritual tertinggi jika tidak memanifestasikan keimanan-puncak, yang telah diraihnya lewat dua perjalanan pertama, dalam bentuk concern sosial politik untuk mereformasi masyarakat dan membebaskan kaum tertindas
dari rantai penindasannya.Tidak lain maqam penetapan hukum (legislatif) atau melibatkan diri dalam kemasyarakatan dan hubungan social, merupakan perwujudan penebaran salam kepada makhluk yaitu Salaamun Qawlam Mir Rabbir Raheem yang merupakan inti tafsir Yaa Sin.

سَلَامٌ قَوْلاً مِن رَّبٍّ رَّحِيمٍ

Salam dari Rabb Yang Maha Penyayang. Greetings of peace from a Most Merciful Lord

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ(QS. 2:156)

orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"* .....Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil......
When an affliction befalls them, they say, "We belong to GOD, and to Him we are returning."
*Artinya: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. Kalimat ini dinamakan kalimat "istirjaa"

(pernyataan kembali kepada Allah). .
tafsir angka 1= Ihsan
tafsir angka 5= Islam
tafsir angka 6= iman

قُلْ أَنَدْعُو مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُنَا وَلاَ يَضُرُّنَا وَنُرَدُّ عَلَى أَعْقَابِنَا بَعْدَ إِذْ هَدَانَا اللّهُ كَالَّذِي اسْتَهْوَتْهُ الشَّيَاطِينُ فِي الأَرْضِ حَيْرَانَ لَهُ أَصْحَابٌ يَدْعُونَهُ إِلَى الْهُدَى ائْتِنَا قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَىَ وَأُمِرْنَا لِنُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

KatAKANlah: Apakah kita AKAN menyeru selain DARIpada ALLAH, sesuatu YANG tidak dapat menDATANGkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) menDATANGkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita AKAN diKEMBALIkan ke belAKANg sesudah ALLAH memberi petunjuk kepada kita, seperti orang YANG telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan YANG menakutkan; dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan YANG memanggilnya kepada jalan YANG lurus (dengan mengatAKAN): Marilah ikuti kami. KatAKANlah: SESUNGGUHNYA petunjuk ALLAH itulah (YANG sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Rabb semesta alam, (QS. 6:71)

هَلْ يَنظُرُونَ إِلاَّ تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِن قَبْلُ قَدْ جَاءتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ فَهَل لَّنَا مِن شُفَعَاء فَيَشْفَعُواْ لَنَا أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ قَدْ خَسِرُواْ أَنفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَفْتَرُونَ

Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Quran itu. Pada hari DATANGnya kebenaran pemberitaan Al-Quran itu berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: Sesungguhnya telah DATANG rasul-rasul Rabb kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafaat bagi kami, atau dapatkah kami diKEMBALIkan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan? Sesungguhnya mereka telah merugikan diri sendiri dan telah lenyaplah dari mereka apa yang mereka ada-adakan. (QS. 7:53)

Sumber : http://www.facebook.com/notes/nur-ichwan/kajian-sastra-jendra-hayuningrat-pangruwating-diyu/381010196719

Senin, 24 Mei 2010

BABAD TANAH JAWA : RAJA MATARAM & NYI RARA KIDUL

Babad Tanah Jawi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Babad Tanah Jawi (aksara Jawa: Babad Tanah Jawi-aksara Jawa.png) merupakan karya sastra sejarah dalam bentuk tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan zaman Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa.

Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.

Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18.

Buku ini telah dipakai sebagai salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa[rujukan?]. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.


Banyak versi

Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi.

Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722.

Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.

Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai zaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.

Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.

Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.

PANEMBAHAN SENOPATI DAN RATU PANTAI SELATAN (1)
Oleh : Damar Shashangka


Diambil Pupuh-Pupuh yang menceritakan pertemuan antara Panêmbahan Senopati, Penguasa Mataram dengan Kangjêng Ratu Kidul, Ratu Pantai Selatan.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnlGSCNfUWdK0MWnQp_JG4AzE9qaBGGxVKi9W7HJp0-dwjqav4D750Nfd6FzsWtGXj9lq4-96SgiWRIbl8mzryFWCroa-gy0MfSiiep3Gcw7wzz-fZJ_ZbqSzaGUO1JOG4-NGFK8h6_LB9/s1600/senopati_ratukidul.jpg


PUPUH

KINANTHI


1. Alon tindak kalihipun, Senapati lan Sang Dewi, sadangunya apêpanggya, Senapati samar ngeksi, mring suwarna Narpaning Dyah, wau wanci nini-nini.

Keduanya berjalan pelahan, (Panêmbahan) Senopati dan sang Dewi, sekian lama mereka bertemu, (Panêmbahan) Senopati tiada jelas melihat, kepada wujud Ratu Wanita, tadi terlihat bagai wanita tua.

2. Mangke Dyah warnane santun, wangsul wayah sumengkrami, Senapati gawok ing tyas, mring warna kang mindha Ratih, tansah aliringan tingal, Senapati lan Sang Dewi.

Sekejap nanti Dyah (Ayu) wujudnya berubah, kembali terlihat sangat menarik hati, (Panêmbahan) Senopati terpesona dalam hati, menyaksikan wujud bagaikan (Dewi) Ratih, senantiasa saling mencuri pandang, antara (Panêmbahan) Senopati dan Sang Dewi.

3. Sak praptanira kêdhatun, Narpeng Dyah lan Senapati, luwar kanthen tata lênggah, mungging kanthil kêncana di, Jêng Ratu mangênor raga, Senapati tansah ngliring.

Sesampainya di istana, Ratu Wanita dan (Penêmbahan) Senopati, saling melepas genggaman tangan lantas duduk, naik di atas ranjang keemasan, Jeng Ratu menggeliat, (Panembahan) Senopati terus melirik.


4. Mring warnanira Jêng Ratu, abrangta sak-jroning galih, engêt sabil jroning driya, yen Narpeng Dyah dede jinis, nging sinamun ngêgar karsa, midêr wrin langêning puri.

Kepada wujud Jeng Ratu, terpikat dalam hati, mendadak teringat, jikalau Ratu Wanita bukanlah sejenis manusia, seketika dialihkannya perhatian untuk melepaskan diri dari hasrat, dengan berkeliling melihat-lihat keasrian istana.

5. Udyana asri dinulu, balene kêncana nguni, jaman purwa kang rinêbat, Gathutkaca lan Wre Putih, bitutaman dirgantara, bale binucal jêladri.

Mendapati pemandangan asri, sebuah ranjang kencana berasal dari jaman dulu, saat terjadi perebutan, antara Gathutkaca dan Kera Putih, berkelahi di angkasa, ranjang terlempar ke samudera.

6. Dhawah têlêng samodra gung, kang rinêksa sagung ê-Jim, asri plataran rinêngga, sinêbaran gung rêtna di, widuri mutyara mirah, jumantên jumrut mawarni.

Jatuh di tengah-tengah samudera raya, yang dikuasai oleh Jin, tampak juga halaman yang tertata asri, yang ditebarani intan indah dan megah, biduri mutiara merah delima, emas dan jamrud berwarna-warni.


7. De jubine kang bêbatur, grêbag suwasa kinardi, sinêlan lawan kêncana, ing têpi sêlaka putih, sinung cêplok pan rinêngga, rukma tinaretes ngukir.

Lantainyapun dihiasi, dengan emas yang dibuat begitu indah, dan diselingi hiasan dari kencana, serta ditambah perak putih di pinggirnya, dibentuk berwujud bunga-bunga mekar, indah terukir gemerlap.

8. Tinon rênyêp ting pêlancur, rêngganing kang bale rukmi, sumorot sundhul ngakasa, gêbyare rêrênggan adi, surêm ponang diwangkara, kasorotan langên puri.

Terlihat sejuk berkilauan, hiasan ranjang tersebut, sinarnya menggapai angkasa, gemerlapnya hiasan megah, membuat redup cahaya matahari, tersaingi keindahan istana.

9. Gapurane gêng aluhur, sinung pucak intên adi, sumorot mancur jwalanya, lir pendah soroting rawi, yen dalu kadi rahina, siyang latriya pan sami.

Gapuranya besar dan tinggi, puncaknya berhias intan yang indah, bersinar memancarkan cahaya, bagai sinar matahari, jika malam seperti siang, siang maupun malam tiada beda.

10. Sigêg rêngganing kadhatun, wau ta Sang Senapati, kêlawan Sang Narpaneng Dyah, tan kêna pisah neng wuri, anglir mimi lan mintuna, nggennya mrih lunturireng sih.

Cukup sudah menikmati keindahan istana, nampak Sang (Panembahan) Senapati, terus dikuntit Sang Ratu Wanita, yang tidak mau berjauhan terus mengikut di belakang, tak mau berpisah bagai pasangan abadi, (Sang Ratu Wanita) berbuat demikian agar supaya mendapatkan cinta.

11. Yen tinon warna Jêng Ratu, wus wantah hapsari swargi, tuhu Sang Dyah Wilutama, kadya nurcaya ingeksi, sak polahe karya brangta, ayune mangrêspateni.

Apabila diperhatikan wajah Sang Ratu, sudah berubah bagai seorang hapsari (penari) surga, sudah benar-benar bagai Sang Dyah Wilutama, seperti cahaya manakala disaksikan, dan setiap gerakannya sangat memikat birahi, kecantikannya benar-benar menawan hati.

12. Kadibyaning warna Sang Rum, ping sapta sadina salin, ayune tan kawoworan, têrkadhang sêpuh nglangkungi, yen mijil pradanggapatya, lir dyah prawan keling sari.

Kesaktian Sang Ratu dalam merubah wujud, sehari mampu berubah wujud tujuh kali, kecantikannya tiada cacat, kadang terlihat sangat tua, manakala muncul matahari, terlihat Sang Dyah bagai perawan suci.

13. Yen sêdhawuh jwaleng Sang Rum, lir randha kêpaten siwi, yen praptaning lingsir wetan, warna wantah widadari, têngange lir Dyah Ngurawan, kumuda duk nujwa kingkin.

Apabila tengah memberi perintah, menakutkan bagaikan seorang janda yang kehilangan anaknya karena mati, ketika menjelang pagi hari, wujud seperti bidadari, saat matahari sepenggalah bagai (putri) Dyah (dari kerajaan) Ngurawan, seorang pemudi yang tetap cantik walau sedang bersusah hati.

14. Lamun bêdhug kusuma yu, mirip putri ing Kêdhiri, yen lingsir lir Banowatya, lamun asar pindha Ratih, compêting sapta sadina, yen latri êmbah nglangkungi.

Ketika menjelang tengah hari Sang Kusuma Ayu (Sang Bunga Cantik), mirip putri dari (kerajaan) Kedhiri, ketika matahari condong ke barat bagai Dewi Banowati, ketika menjelang ashar bagai (Dewi) Ratih, genap tujuh kali sehari, apabila malam hari sangat tua.

15. Lawan sinung sêkti punjul, Dyah lawan samining ê-Jim, warna wigya malih sasra, mancala putra pan bangkit, mila kedhêp ing sak-jagad, saking sêktining Sang Dewi.

Dan lagi dianugerahi kesaktiaan yang lebih, melebihi sesama Jin, mampu merubah diri seribu wujud, berwujud laki-laki pun bisa, oleh karenanya disegani diseluruh dunia, karena sangat saktinya Sang Dewi.

16. Sintên ingkang mbotên têluk, gung lêlembut nusa Jawi, Pra Ratu wus têluk samya, mring Ratu Kidul sumiwi, ajrih asih kumawula, bulu bêkti sabên warsi.

Siapa yang tidak tunduk, seluruh makhluk halus di pulau Jawa, para Rajanya sudah takluk semua, kepada Ratu Kidul menganggap orang tua, ditakuti dicintai dan menjadi tempat mengabdi, diberi persembahan setiap tahun.

17. Ngardi Mrapi Ngardi Lawu, cundhuk Narpa ing Jêladri, narpa Pace lan Nglodhaya, Kêlut ngarga miwah Wilis, Tuk Sanga Blêdug sumewa, Ratu Kuwu sami nangkil.

Penguasa Gunung Merapi dan Gunung Lawu, tunduk kepada Penguasa Samudera, Penguasa Pace dan Nglodhaya, Penguasa Gunung Kelut dan Gunung Wilis, Penguasa Tuk Sanga dan Bledug, bahkan Ratu Kuwu pun mengabdi.

18. Wringin Pitu Wringin Rubuh, Wringin Uwok, Wringin Putih, ing Landheyan Alas Ngroban, sêdaya wus kêreh jladri, Kêbareyan Têgal Layang, ing Pacitan miwah Dlêpih.

Penguasaa Wringin Pitu dan Wringin Rubuh, Penguasa Wringin Uwok dan Wringin Putih, yang berada di Landheyan dan Hutan Roban, semua telah takluk kepada Penguasa Samudera, Penguasa Kabareyan Penguasa Tegal Layang, Penguasa di Pacitan dan Penguasa (Kahyangan) Dlepih.

19. Wrata kang neng Jawa sagung, para Ratuning Dhêdhêmit, sami atur bulu bêktya, amung Galuh kang tan nangkil, kêreh marang Guwatrusan, myan Krêndhawahana Aji.

Merata yang ada di seluruh Jawa, para Raja dari dhemit (mahluk halus), semua menghaturkan persembahan pengabdian, hanya daerah Galuh yang tidak takluk, karena dikuasai (Kerajaan) Guwatrusan, yang diperintah oleh Aji (Raja) Krendhawahana.

20. Wuwusên malih Dyah Kidul, lawan Risang Senapati, menuhi kang boja-boja, minuman kêras myang manis, kang ngladosi pra kênyendah, sangkêp busana sarwa di.

Kembali menceritakan Dyah (Ratu) Kidul, bersama Sang (Panembahan) Senapati, tengah menikmati makan bersama, dihidangkan juga minuman keras dan minuman yang manis, yang melayaninya adalahi para wanita cantik, lengkap dengan busana mereka yang indah.

21. Bêdhaya sumaos ngayun, gêndhing sêmang munya ngrangin, weh kenyut tyasnya kang mriksa, wilêting bêksa mrak ati, keh warna solahing bêksa, warneng bêdhaya yu sami.

Para penari bedhaya maju ke depan, alunan gending Semang berbunyi nyaring, membuat terhanyut perasaan bagi yang melihat, gemulai tarian menawan hati, banyak macam gerak tarian, berbagai tarian yang indah semua.

22. Senapati gawok ndulu, mring solahe Dyah kang ngrangin, runtut lawan kang brêdangga, wilêt rarasnya ngrêspati, acêngêng dangu tumingal, de warneng dyah ayu sami.

(Panembahan) Senopati terpesona melihatnya, melihat gerakan Dyah yang tengah ikut menari, gerakannya menyatu seiringin alunan gamelan, ditambah untaian merdu bunyi gamelan yang menentramkan hati, hingga lama terpesona, melihat wujud para Dyah yang cantik-cantik.

23. Tan lyan kang pinêlêng kayun, mung juga mring Narpa Dewi, brangteng tyas saya kawentar, de sang Dyah punjul ing warni, kênyataning waranggana, soroting êmas sinangling.

Tiada lagi yang diingini, hanya Ratu Wanita semata, hasrat hati semakin membara, karena hanya Sang Dyah yang paling cantik, dibandingkan dengan para penari yang lain, cahayanya bagaikan cahaya emas yang murni.

24. Wuyunging driya sinamun, tan patya mangumbar liring, tan pêgat sabil ing nala, wau Risang Senapati, engêt yen dene jinisnya, Dyah Narpa tuhuning ê-Jim.

Hasrat hati coba untuk dia tutupi, tiada begitu mengumbar tatapan mata, tiada henti terus menahan hasrat, demikianlah Sang (Panembahan) Senopati, terus mengingatkan diri bahwa bukan dari jenis manusia, sesungguhnya Dyah Ratu itu adalah sebangsa Jin.

25. Rinaos jroning kung, kagugu saya ngranuhi, têmah datan antuk karya, nggenira mrih mêngku bumi, nging Narpeng Dyah wus kadriya, mring lungite Senapati.

Teringat seketika, keinginannya yang semakin menjadi, tidak akan terlaksana, kehendaknya untuk menguasai dunia (jika dia tetap berada di istana ini), akan tetapi Ratu Wanita bisa membaca, apa yang tengah dipikirkan (Panembahan) Senopati.

26. Ngunandika dalêm kalbu, Narpaning Dyah ing Jêladri, Yen ingsun tan nggango krama, nora kudu dadi estri, enak malih dadi priya, nora na kang mêjanani.

Berbicara dalam hati, Ratu Penguasa samudera, Jikalau aku tidak menikah, tidak seharusnya aku seorang wanita, lebih baik aku adalah seorang pria, sebab tidak bakalan ada yang menggangguku.

27. De wis dadi ujar ingsun, anggon sun wadad salamining, ngarsa-arsa pêngajapan, têmah arsa ngapirani, sun bekane mêngko jajal, piyangkuhe ngadi-adi.

Sudah menjadi niatku dulu, aku tidak akan menikah selamanya, demi mengharapkan keinginan yang lebih, tetapi ternyata malah sia-sia, coba aku akan merayunya, aku akan mencairkan keangkuhannya.

28. Wong Agunge ing Mêtarum, dimene lali kang nagri, krasan aneng jro samodra, kawêntar mesêm Sang Dewi, tumungkul tan patya ngikswa, Senapati tyasnya gimir.

Manusia Agung dari Mataram (Panembahan Senopati), agar supaya melupakan negaranya, dan kerasan tinggal di dalam samudera. Terlontar senyum Sang Dewi, sembari menundukkan kepala seolah tiada peduli, namun sesungguhnya hati (Panembahan) Senopati tergetar dibuatnya.

29. Duk liniring mring Sang ing Rum, tambuh surasaning galih, wusana lon anandika, Dhuh wong ayu karsa mami, wus dangu nggon ingsun ningal, mring langêne ing jro puri.

Mendapati lirikan manja Sang Rum (Yang Wangi/Ratu Kidul), berdebar tiada menentu hatinya, lantas berkata pelan, Duh cantik sesungguhnya keinginanku sekarang, sudah terlalu lama aku menyaksikan, keindahan istana ini.

30. Pêsareyanta durung wêruh, kaya ngapa ingkang warni, nging Dyah Tan sae warninya, yen kêdah sumangga karsi, sintên yogi ndarbenana, lun mung darmi anênggani.

Akan tetapi tempat tidurmu aku belum melihatnya, bagaimanakah wujudnya? (Sang) Dyah menjawab Tidak bagus wujudnya, jika ingin melihat silakan, karena sesungguhnya ranjang tersebut tiada yang memiliki, selama ini saya bagaikan sekedar menjadi penjaga ranjang semata.

31. Wusira gya jêngkar runtung, Sang Sena lan Narpa Dewi, rawuh jrambah jinêm raras, alon lênggah sang akalih, mungging babut pan rinêngga, Senapati gawok ngeksi.

Segera mereka beranjak bersama, Sang (Panembahan) Senopati dan sang Ratu Dewi, masuk ke tempat tidur yang nyaman, keduanya pelahan duduk, di atas permadani yang indah, (Panembahan) Senopati kagum melihatnya.

32. Warneng pajang Sri Kumêndhung, tuhu lir suwargan ngalih, Sang Dyah matur marang priya, Nggih punika ingkang warni, tilêmane randha papa, labêt tan wontên ndarbeni.

Bermacam-macan hiasan Sri Kumendhung terpajang, sungguh bagai surga yang berpindah tempat (ke bumi), Sang Dyah berkata kepada sang pria (Panembahan Senopati), Inilah keadaannya, tempat tidur seorang janda yang kesepian, sunyi seolah tiada yang memiliki.

33. Kakung mesêm ngling-ira rum, Anglêngkara têmên yayi, ujare wong randha dama, ing yêktine angluwihi, kabeh purane pra Nata, tan padha puranta yayi.

Sang pria (Panembahan Senopati) tersenyum bisiknya manis, Kamu terlalu merendah Yayi (dinda), kamu bilang dirimu seorang janda, padahal sesungguhnya lebih dari itu, seluruh istana para Raja, tiada menandingi istana yayi (dinda).

34. Pêpajangan Sri Kumêndhung, ingsun têmbe nggon-sun uning, pêsareyan warna endah, pantês lawan kang ndarbeni, warna ayu awiraga, bisa têmên ngrakit-ngrakit.

Bahkan hiasan Sri Kumendhung, baru kali ini aku melihatnya, ditambah tempat tidur yang sangat indah, sesuai benar dengan pemiliknya, sangat cantik dan sangat menarik, sungguh pandai sekali kamu menatanya.

35. Baya sungkan yen sun kondur, marang nagari Matawis, kacaryan uningeng pura, cacatira mung sawiji, purendah tan nganggo priya, yen darbeya kakung becik.

Menjadi malas aku untuk pulang, ke negeri Mataram, terpesona setelah menyaksikan istana, tapi kekuranganmu hanya satu, istana seindah ini tiada seorang priapun yang mendampingimu, apabila memiliki seorang pria pendamping itu lebih bagus lagi.

36. Wanodyane dhasar ayu, imbang kakunge kang pêkik, kêng runtut bisa mong garwa, wanodyane bêkti laki, tur drêman asugih putra, Senapati den pleroki.

Seorang wanita yang cantik, seharusnya didampingi oleh laki-laki yang tampan, yang setia dan bisa membimbing seorang istri, sedang sang wanita patuh kepada suami, dan suka memiliki banyak anak, (Panembahan) Senopati dilirik tajam dengan lirikan manja.

37. Dyah merang lênggah tumungkul, sarwi mesêm turira ris, Sae botên mawi priya, mindhak pintên tyang akrami, eca mung momong sarira, botên wontên kang ngrêgoni.

(Sang) Dyah lantas sengaja duduk dengan menundukkan kepala, sembari tersenyum ujarnya lembut, Lebih baik tidak ada lelaki, apa keuntungannya menikah? Lebih enak merawat diri sendiri, tidak ada yang membuat kerepotan.

38. Eca sare glundhang-glundhung, neng tilam mung lawan guling, lan tan ngronkên keng ladosan, Senapati mesêm angling, Bênêr yayi ujarira, enak lamban sira yayi.

Lebih enak tidur bergulingan, di atas ranjang dengan hanya ditemani guling, dan tidak harus melayani siapapun, (Panembahan) Senapati tersenyum dan berkata, Benar Yayi (dinda) apa yang kamu katakan, memang lebih enak sendirian.

39. Mung gawoke Nimas ingsun, na wong ledhang aneng gisik, tur priya kawêlas arsa, lagya rêna wrin ing jladri, semang ginandheng pinêksa, kinon kampir mring jro puri.

Hanya yang membuat aku menjadi heran oh Nimas, ada seorang yang tengah sendirian di tepi pantai, seorang lelaki yang sangat menghiba hati, tengah berjalan menghibur diri di pinggir pantai, malahan digandeng dengan paksa, di bawa mampir ke dalam istana.

40. Jêng Ratu kêpraneng wuwus, merang tyas wêtareng lungit, kakung ciniwêl lambungnya, mlerok mesêm datan angling, Senapati tyasnya trustha, wusana ngandika aris.

Jeng Ratu (Kidul) terpana malu mendengar ucapan tersebut, benar-benar mengena di hatinya, seketika dicubitnya sang pria (Panembahan Senopati), melirik manja sembari tersenyum dan tak dapat berkata apa-apa, (Panembahan) Senopati terpikat hatinya, lantas berucap lirih.

41. Ya sun pajar mirah ingsun, nggon sun praptaneng jêladri, labêt sun anandhang gêrah, alama tan antuk jampi, kaya paran saratira, usadane lara brangti.

Lebih gampangnya oh permata hatiku, kedatanganku di tengah samudera ini, karena aku tengah menderita sakit, sudah lama tak mendapatkan obat, bagaimana caranya, mengobati sakit cinta?

42. Midêr ing rat nggon sun ngruruh, kang dadi usadeng kingkin, tan lyan mung andika mirah, pantês yen dhukun prêmati, bisa mbirat lara brangta, tulus asih marang mami.

Berkeliling dunia aku telah berusaha, mencari obat penyembuh, tiada lain hanya engkau oh permataku, yang pantas disebut sang tabib, karena mampu mengobati sakit cintaku, dengan kasih tulusmu kepadaku.

43. Sang Dyah maleruk tumungkul, uning lungit Senapati, nging tansah ngewani priya, mangkana usik Sang Dewi, Wong iki mung lamis ujar, sun batanga nora slisir.

Sang Dyah sengaja cemberut, tahu maksud (Panembahan) Senapati, tahu watak laki-laki yang suka berbohong merayu, dalam hati Sang Dewi berkata, Ini orang hanya bermanis-manis di mulut saja, perkiraanku pasti tidak salah.

44. Minta tamba ujaripun, pan dudu lara sayêkti, lara arsa madêg Nata, ewuh mungsuh guru darmi, wus pêrsasat ingkang yoga, kang amêngku Pajang nagri.

Meminta obat katanya? Padahal bukan sakit cinta maksud dia sesungguhnya, tapi sakit karena berkeinginan besar untuk menjadi seorang Raja, segan karena harus berhadapan dengan orang tua (angkat), yang sudah menganggap dirinya bagai anak sendiri, yaitu dia penguasa negara Pajang.

45. Wusana dyah matur kakung, Kirang punapa Sang Pêkik, kang pilênggah ing Mataram, lêlana prapteng jêladri, tan sagêd lun sung usada, nggih dhatêng kêng gêrah galih.

Akhirnya (Sang) Dyah berkata, Apa kekurangan dari Sang Tampan, yang duduk di Mataram, sehingga harus berkelana di tepian samudera, tidak bisa aku memberikan obat penyembuh, kepada yang tengah sakit hatinya.

46. Yêkti amba dede dhukun, api wuyung ingkang galih, mangsi dhatênga palastra, tur badhe nalendra luwih, kang amêngku tanah Jawa, keringan samining Aji.

Sungguh saya bukan dukun, api cinta dalam hati, tidak akan menyebabkan kematian bukan? Bukankah (engkau kangmas) bakal menjadi Raja yang besar, yang menguasai tanah Jawa, ditakuti oleh sesama Aji (Raja).

47. Kang pilênggah ing Matarum, mangsi kirangana putri, ingkang sami yu utama, kawula estri punapi, sumêdya lun mung pawongan, yen kanggea ingkang cêthi.

Sang penguasa Mataram, masa kekurangan wanita, yang cantik-cantik? Para kawula wanita yang seperti apapun, bersedia memasrahkan diri, jika memang (kangmas) inginkan.

48. De sêlamen lamban ulun, kêpengin kinayan nglaki, kang tuk bulu bêkti praja, labêt blilu tyang pawestri, tan wigya mangenggar priya, labêt karibêtan tapih.

Selama ini dalam kesendirian saya, memang ingin memiliki seorang suami, yang bisa membantu mengabdikan diri kepada kerajaan, bagaimanapun juga pengabdian seorang wanita sebagai Ratu, tak akan mampu menyamai seorang pria, karena terjerat oleh kemben busana kewanitaannya (terbatas karena kodrat kewanitaannya).

49. Lamun kanggeya wak ulun, kalilan among anyêthi, ngladosi Gusti Mataram, wau ta Sang Senapati, sarêng myarsa sabdeng Sang Dyah, kêmanisan dennya angling.

Namun apabila memang hamba dibutuhkan, serta hamba diijinkan mendampingi, maka saya rela melayani Gusti (Penguasa) dari Mataram, demikianlah Sang (Panembahan) Senapati, begitu mendengar sabda Sang Dyah, yang sangat-sangat manis tersebut.

50. Saya tan dêraneng kayun, asteng Dyah cinandhak ririh, Sang Rêtna sêndhu turira, Dhuh Pangeran mangke sakit, kadar ta arsa punapa, srita-sritu nyêpêng driji.

Semakin tak bisa menahan hasrat, digenggamnya tangan (Sang) Dyah dengan lembut, Sang Ratna (Intan) berkata sendu, Aduh sakit Pangeran, apa sih maunya, menggenggam jari jemari hamba?

51. Asta kelor driji ulun, yen putung sintên nglintoni, nadyan Wong Agung Mataram, mangsi sagêd karya driji, kakung mesêm lon dêlingnya, Dhuh wong ayu sampun runtik.

Jari jemari hamba kecil dan rapuh bagai daun kelor, kalau sampai putus siapa yang akan mengganti, walaupun Manusia Agung dari Mataram, tidak akan mungkin bisa menciptakan jari-jemari, sang pria (Panembahan Senopati) tersenyum pelan bisiknya, Jangan marah cantik.

52. Nggon sun nyêpêngasteng masku, yayi aja salah tampi, mung yun uning sotyanira, Dyah Narpa nglingira aris, Yen têmên nggen uning sotya, king têbih andene keksi.

Aku menggenggam tanganmu, jangan salah sangka, hanya ingin melihat cincin yang kamu kenakan, Ratu Dyah berkata lirih, Kalau memang hanya ingin melihat cincin yang hamba kenakan, dari kejauhan sebetulnya bisa kan ?

53. Yêkti dora arsanipun, sandinya angasta driji, yêktine mangarah prana, kêtareng gêtêr ing galih, dene durung mangga karsa, paring jangji sih mring cêthi.

Pasti (kangmas) berbohong, hanya berpura-pura menggenggam jari, padahal menginginkan sesuatu yang lain, terlihat jelas gemetaran, sebelum terlanjur jauh, berikanlah hamba janji cinta yang bisa meyakinkan hamba.

54. Kakung mesêm sarwi ngungrum, swara rum mangênyut galih, Narpaning Dyah wus kagiwang, mring kakung asihnya kêngis, esêmnya mranani priya, Senapati trênyuh galih.

Sang pria (Panembahan Senopati) tersenyum lantas bernyanyi, suaranya merayu merdu menghanyutkan hati, Ratu Wanita terpikat, kepada sang pria (Panembahan Senopati) cintanya meluap, senyum manisnya memabukkan, (Panembahan) Senopati luluh hatinya.

55. Narpaning Dyah lon sinambut, pinangku ngras kang pênapi, Sang Dyah tan lêngganeng karsa, labêt wus katujweng galih, jalma-jalma dera ngantya, pangajapan mangke panggih.

Ratu Wanita ditarik lembut, dipangku dengan mesranya, Sang Dyah tidak menolak, apa yang diinginkan hati (Panembahan Senopati), hasrat alami seluruh makhluk, yang diimpikan sekarang terwujud.

56. Lan titisnya Sang Hyang Wiku, kang mêngkoni ngrat sêkalir, Senapati nir wikara, karênan mring Narpa Dewi, tansah liniling ngêmbanan, de lir ndulu golek gadhing.

Bagaikan keinginan Sang Hyang Wiku, yang menguasai seluruh alam, begitulah (Panembahan) Senopati tiada yang bisa menghalangi kehendaknya, terhanyun kecantikan Ratu Wanita, terus ditatapnya dia yang ada di pangkuan, bagai melihat boneka cantik yang indah.

57. Binêkta manjing jinêm rum, tinangkêban ponang samir, kakung ndhatêngaken karsa, datansah brêmara sari, mrih kilang mêkaring puspa, kang neng madya kuncup gadhing.

Dibopong menuju ke tempat tidur, ditutuplah kelambu, sang pria (Panembahan Senopati) melepaskan hasrat, bagaikan kumbang, yang menikmati bunga yang tengah mekar, menikmati sari yang berada di tengah kuncup kelopak bunga gading.

58. Jim Prayangan miwah Lêmbut, neng jrambah sami mangintip, mring Gusti nggen awor raras, kapyarsa pating kalêsik, duk Sang Dyah katameng sara, ngrêrintih sambate lalis.

Jin Perayangan dan Makhluk halus, di luar berebut ingin mengintip, ingin melihat Gusti-nya yang tengah memadu hati, terdengar suara mereka berbisik berisik, ketika Sang Dyah terkena senjata, tak terasa merintih mengaduh lirih.

59. Kagyat katemben pulang yun, Sang Dyah duk senanira nir, nggeladrah rempu ning tilam, ukel sosrah njrah kang sari, kongas ganda mrik mangambar, bedhahe Pura Jeladri.

Terkejut kesakitan manakala tertimpa hasrat, Sang Dyah pecahlah mahkotanya, menyemburat membasahi tempat tidur, berpautan erat jatuhlah sari-sari kenikmatan, tercium bau wangi membersit, mengiringi pecahnya mahkota penguasa istana samudera.

60. Dyah ngalintreg neng tilam rum, jwala nglong kerkatira nir, Senapati wlas tumingal, Sang Dyah lin sinambut ririh, sinucen dhateng patirtan, wusira gya lenggah kalih.

Maka terbaring lemaslah (Sang) Dyah di atas ranjang wangi, seolah tanpa kekuatan, (Panembahan) Senopati iba melihatnya, dipeluknya Sang Dyah, dibopong menuju tempat mandi, sehabis mandi keduanya duduk berdampingan.

61. Dyah sareyan pangkyan kakung, tan pegad dipun-arasi, mring kakung Sang Senapatya, nyengkah ngeses Sang Retna Di, raket sih kalihnya sama, penuh langen ngasmara di.

(Sang) Dyah tiduran di atas pangkuan sang pria (Panembahan Senopati), tiada henti-henti terus dicium, oleh sang pria (Panembahan) Senopati, mengerang mendesis Sang Retna Adi (Sang Intan yang indah), berpelukan erat keduanya, dipenuhi kenikmatan asmara yang indah.

62. Cinendhak rengganing kidung, pasihane sang akalih, dugi ngantya sapta dina, Senapati neng jeladri, ing mangke arsa kondura, marang prajanya Matawis.

Singkat diceritakan, kedua insan yang tengah memadu hasrat, hingga sampai tujuh hari, keberadaan (Panembahan) Senapati di dalam samudera, genap tujuh hari berkehendak untuk pulang, kembali ke negara Mataram.

63. Kakung nabda winor rungrum, Dhuh mas mirah ingsun Gusti, ya sira kariya arja, ingsun kondur mring Matawis, wus lama aneng samodra, mesthi sun diarsi-arsi.

Sang Pria (Panembahan Senopati) bersabda dengan berat hati, Aduh Gusti (Ayu) emas merahku, semoga kamu senantiasa bahagia, aku pamit hendak pulang ke Mataram, sudah terlampau lama berada di (istana) samudera, pastilah aku dinanti-nantikan.

64. Marang wadyengsun Matarum, wus dangu tugur ing nagri, Narapaning Dyah sareng myarsa, yen kakung mit kondur nagri, sekala manca udrasa, druwaya badra dres mijil.

Oleh rakyatku di Mataram, sudah lama menjaga negeri sendirian (tanpa ditemani Raja-nya), Ratu Wanita begitu mendengar, bahwa Sang Pria (Panembahan Senopati) berpamitan hendak pulang ke negerinya, seketika meluap kesedihannya, air matanya keluar deras.

65. Dereng dugi onengipun, mring kakung kemangganing sih, alon lengser sangking pangkyan, udrasa sret dennya angling, Kaya mengkono rasanya, wong tresna den timbangi.

Belum puas hasrat hati, kepada Sang Pria yang dicintainya, segera beranjak pelan dari pangkuan, berat dia berkata, Betapa indah rasanya, apabila cinta bisa berimbang saling memberi.

66. Kaya timbang tresnaingsun, yen sun bisa nyaput pranti, myang nguja sakarsanira, mesthi kanggo nggon sun nyethi, kakung uning wus kadriya, mring udrasa Sang Retna Di.

Cinta ini akan terasa lebih sempurna, apabila aku bisa memenuhi, dan memberikan apapun yang dikehendaki kangmas, pasti akan berguna apabila aku bisa membantu, Sang Pria (Panembahan Senopati) menyadari apabila (Sang Ratu Kidul) tengah berniat dalam hati untuk membantunya, hal itu tampak dari ucapan Sang Retna Adi (Sang Intan yang Indah.

67. Lon ngudhar paningsetipun, cindhe puspa pinrada di, Dyah sinambut gya ingemban, binekta mider kuliling, marang kebon petamanan, kinidung ing pamijil.

Pelan-pelan melepas kain setagen (kain pengikat kemben), berhias bunga-bunga emas, (Sang) Dyah segera dipeluk, dibawa berkeliling, menikmati indahnya taman, sembari terlantun kidung Mijil.


PANEMBAHAN SENOPATI DAN RATU PANTAI SELATAN (2)
Oleh : Damar Shashangka

Diambil Pupuh-Pupuh yang menceritakan pertemuan antara Panêmbahan Senopati, Penguasa Mataram dengan Kangjêng Ratu Kidul, Ratu Pantai Selatan.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiQ14zL0yH49AViwTt7wfBUxmLxusVhaIPL_HMDld9sM1UgDmTgLnmb8IZu_6EoRiwTElvCLfujUA-rRJxQlAKwwSZgtCyMZoxDFg0UCcsj5aBTiaqk3HiPv2laZBQlfm-tYJ24LJICQoP/s1600/ratu.jpg

PUPUH

M I J I L

1. Dhuh mas mirah aja sumlang ati, titenana ingong, lamun supe marang sira angger, marcapada myang dêlahan yayi, nggon-ingsun mangabdi, ditulus sihipun.

Aduh emas merahku janganlah gundah di hati, buktikanlah, aku tidak akan lupa kepadamu, dari hidup sampai mati yayi (dinda), pengabdian cintaku, tulus dan murni.

2. Nadyan ingsun pas wus sugih krami, tur sami yu kaot, gênging trêsna wus tan liya angger, ingkang dadi têlêng ingsun kang sih, mung andika Gusti, nggen sun ngawu-awu.

Walaupun aku banyak memiliki istri, yang sangat cantik-cantik, besarnya cintaku hanya untukmu, yang menjadi cinta utamaku, hanya kamu Gusti (Ayu), aku benar-benar tergila-gila.

3. Malawija neng jro tilam sari, tan lêngganing pangkon, mung pun kakang timbangana angger, ingsun yekti anandhang wiyadi, dereng antuk jampi, tan lyan sira masku.

(Tidakkah kau lihat) besarnya hasratku di atas ranjang kepadamu, tak lepas-lepas aku memangkumu, hanya saja aku meminta buktikan cintamu, pastilah aku akan tetap menderita sakit, yang tak mendapatkan penyembuhan, hanya kamu obat penyembuhku.

4. Ambirata rêntênging tyas kingkin, satêmah sun-antos, nadyan kinen laju jrak neng kene, tan suminggah sakarsa mêstuti, nging kapriye yayi, solahe wadyengsun.

Lenyapkanlah gundahnya hati yang menderita, sungguh aku nantikan, walau harus aku menunggu di sini, aku akan melakukannya, akan tetapi bagaimana yayi (dinda), dengan para rakyatku?

5. Narpaning Dyah tyasnya lir jinait, kapraneng pamuwos, kemanisen kakung pangrengihe, dadya luntur sihira Sang Dewi, mring kakung lon angling, Pangran nuwun tumrun.

Bagaikan tertusuk jarum pemintal hati Ratu Wanita, terperangah oleh kata-kata, ucapan manis sang pria (Panembahan Senopati) yang manis, merebaklah cinta Sang Dewi sepenuhnya, kepada Sang pria (Panembahan Senopati) pelahan dia berkata, Turunkan aku Pangeran.

6. Sing ngêmbanan wus tumrun Sang Dewi, long lênggah sêkaron, malih Sang Dyah matur mring kakunge, Pangran nuwun ngapuntên kang cêthi, dene kumawani, dosa gungan kakung.

Sang Dewi telah turun dari pangkuan, pelan duduk berjajar, berkata lagi Sang Dyah kepada Sang pria (Panembahan Senopati), Mohon maafkan hamba, karena telah berani, kepada seorang pria yang hamba berbakti kepadanya.

7. Datan langkung panuwuning cêthi, sih trêsnanya yektos, sampun siwah putra wayah tembe, tinulusna darbe cêthi mami, kakung ngrakêti ngling, Dyah ingras pinangku.

Tiada lain permintaan hamba, hanyalah kesungguhan cinta, jangan sampai terputus hingga anak cucu kangmas nanti, seterusnya menjadi kekasihku, Sang pria (Panembahan Senopati) memeluk sembari berkata, dan memangku kembali serta menciumi mesra.

8. Ya mas mirah aja sumlang galih, sok bisaa klakon, malih Sang Dyah matur mring kakunge, Nggih Pangeran yen wus mangguh wêsthi, praptanireng jurit, mrih enggal lun tulung.

Baiklah emas merahku janganlah ragu, kelak pasti akan terjadi, lagi Sang Dyah berkata, Terima kasih Pangeran apabila tengah menghadapi bahaya, di tengah peperangan, agar supaya saya bisa secepatnya membantu.

9. Magut Sang Dyah kakung lon winangsit, ubayaning têmon, Sêdhakêpa myang mêgêng napase, anjêjaka kisma kaping katri, yêkti amba prapti, ngirit wadya lêmbut.

Sang Dyah mendekatkan wajahnya kepada sang pria (Panembahan Senopati) sembari pelan memberikan petunjuk, sebagai akhir pertemuan mereka, Bersedekaplah kangmas sembari menahan nafas, jejakan kaki ke tanah sebanyak tiga kali, pastilah hamba akan datang, bersama para prajurit makhluk halus.

10. Lawan amba atur araneng jurit, mrih dibya kinaot, Tigan Lungsung Jagad nggih namine, dhinahara gung sawabe ugi, panjang yuswa yêkti, kyating sara timbul.

Dan hamba haturkan agar senantiasa unggul dalam peperangan, agar supaya sakti tak terkalahkan, sebutir Telur bernama Lungsung Jagad, makanlah akan besar khasiatnya, panjang usia, kekuatan tersembunyi akan timbul.

11. Lawan Lisah Jayengkatong nami, dewa kang sih mring ngong, kalih sampun ngaturkên kakunge, Senapati sawusnya nampeni, langkung trustheng galih, antuk sraneng pupuh.

Dan juga Minyak bernama Jayengkatong, pemberian Dewa kepada hamba. Kedua benda telah dipasrahkan kepada Sang pria (Panembahan Senopati), (Panembahan Senapati) setelah menerima, sangat gembira dihati, karena mendapat sarana ampuh untuk keunggulan dalam perang.

12. Malih Sang Dyah mangsit marang laki, ngelmining keraton, mrih kinedhêp mring lêlêmbut sakeh, Senapati wus kadriyeng wangsit, wusana Sang Dewi, ngrakêt wêcêng kakung.

Kembali Sang Dyah memberikan petunjuk kepada sang pria (Panembahan Senapati), Ilmu Keraton Pantai Selatan, agar supaya disegani, seluruh makhluk halus, (Panembahan) Senapati telah memahami semua petunjuk, setelah itu Sang Dewi, memeluk erat-erat Sang pria (Panembahan Senopati).

13. Dhuh Pangeran yen marengi karsi, ing panuwun ingong, sampun age-age kondur mangke, wilangun lun yekti dereng dugi, paran polah mami, yen paduka kondur.

Aduh Pangeran jika bersedia, memenuhi permintaan hamba, tundalah kepulangan kangmas, menurut hamba belum saatnya, bagaimana dengan saya nanti, apabila paduka pulang sekarang?

14. Raka ngimur mrih lipuri yayi, Adhuh mirah ingong kang sih trêsna marang ing dasihe, myang sak jarwa wus sun trima yayi, nging sun mêksa amit, mêgat oneng masku.

Sang Raka (Kanda) menghibur hati Sang Yayi (Dinda), Aduh emas merahku, cinta kasihku sudah jelas kamu buktikan, bahkan petunjukmu telah aku terima yayi (dinda), bagaimanapun juga aku memaksakan diri untuk pamit, berpisah dengan engkau emas merahku.

15. Aja brangta mirah wong akuning, lilanana ingong, ingsun kondur mring Mataram prajeng, nora lama mêsthi nuli bali, mring Pureng Jêladri, tuwi dika masku.

Jangan tersedihkan oleh karena rindu emas merahku, relakanlah aku, pulang ke Kerajaan Mataram, tidak akan lama aku pasti kembali, ke Istana Samudera, menemui engkau oh emasku.

16. Saking labêt datan bêtah mami, pisah lan mas ingong, sangking wrate wong mêngkoni prajeng, Sang Dyah ngungsêp pangkyan ngling ing laki, Pangran sampun lami, nggih nuntêna wangsul.

Sungguh sebenarnya tidak tahan aku, berpisah dengan emasku, hanya karena berat tanggung jawab seorang Raja yang memiliki rakyat (maka terpaksa aku harus pulang), Sang Dyah menjatuhkan kepala ke pangkuan dan berkata, Jangan terlalu lama oh Pangeran, segeralah kembali.

17. Dugi nggusthi mêgat onenging sih, gya mijil sang anom, Ratu Kidul ndherekkên kondure, asarimbit kêkanthen lumaris, rawuh Srimanganti, gya kakung nglingnya rum.

Dan pada akhirnya waktu perpisahan tiba, segera keluar Sang Anom (Muda), Ratu Kidul melepas kepulangannya, beriringan sembari bergandeng tangan, tiba di Srimenganti, segera sang pria (Panembahan Senopati) berkata manis.

18. Wus sun trima sih-ira mas yayi, nggennya ngatêr mring ngong, among ingsun minta sih-ira-ngger, srana tumbal usadaning kingkin, Sang Dyah manglêgani, sih katrêsnane kakung.

Sudah cukup aku terima bakti cintamu yayi (dinda), dengan mengantarkan kepergianku, sebelum berpisah aku minta bukti cintamu sekali lagi, sebagai tumbal terampuh untuk mengobati kerinduanku. Sang Dyah menuruti, permintaan Sang pria (Panembahan Senapati).

19. Atur gantyan manglungkên sing lathi, tinampen waja lon, gêrêgetan ginigit lathine, Sang Dyah kagyat Raka sru pinulir, purna kang karon sih, sewangan lêstantun.

Segera pasrah menyediakan bibir indahnya, bertaut bibir dan gigi pelan, gemas digigit bibir ranumnya, Sang Dyah terkejut namun segera membalas ciuman, selesailah yang tengah dimabuk cinta, lantas berpisah.

20. Senapati praptanireng njawi, puranya Sang Sinom, sirna wangsul keksi samodrane, Senapati nggenya napak warih, lir mangambah siti, tinindakkira laju.

(Panembahan) Senopati telah sampai di luar, istana Sang Awet Muda (Kangjeng Ratu Kidul), sirna seketika wujud istana dan berganti samudera, (Panembahan) Senapati saat menapaki air laut, bagaikan berjalan di tanah rata, dia berjalan terus.

21. Senapati sak praptaning gisik, wêspadeng pandulon, kang pitêkur neng Parangtritise, wus saestu lamun Guru yêkti, niyakaning Sunan Adilangu.

Sesampainya (Panembahan) Senopati di pesisir pantai, waspada seketika, manakala melihat siapa yang tengah bertafakur di pantai Parangtritis, jelas terlihat adalah Sang Guru, tak lain adalah Sunan Adilangu (putra Sunan Kalijaga).

22. Senapati gepah nggen mlajengi, mring Guru sang kaot, prapta laju, mangusweng padane, pamidhangan ngasta mring Sang Yogi, luwarnya ngabekti, lengser lenggah bukuh.

Cepat (Panembahan) Senapati berlari, mendekati Sang Guru yang mulia, bersujud di kakinya, lantas mencium tangan Sang Yogi, selesai berbakti, segera duduk bersila takzim.

23. Sunan Adi gya ngandika aris, Jêbeng sokur ingong, lamun sira katêmu neng kene, sabab ingsun arsa anjarwani, pratingkah kang yêkti, mrih arjaning laku.

Sunan Adilangu segera berkata pelan, Anakku sangat bersyukur diriku, bisa bertemu denganmu di sini, sebab aku memang ingin memberikan nasehat kepadamu, tentang perbuatan yang patut, agar selamat senantiasa dirimu.

24. Sira sinung digdaya lan sêkti, ngluwihi sagung wong, sun prêlambang samodra pamane, kita ambah tan têlês kang warih, lir dharatan ugi, tyasnya aja ujub,

Dirimu diberi anugerah digdaya dan sakti, melebihi manusia umumnya, terbukti di tengah samudera, kamu berjalan di atasnya tanpa terbasahi oleh air sedikitpun, bagaikan kamu berjalan di daratan, walau begitu janganlah sombong.

25. Riya Kibir Sumêngah tan keni, sêgahe Hyang Manon, Nabi Wali Oliya sêdene, yen nêraka tuk sikuning Widdhi, karseng Hyang Piningit, bab catur piyangkuh.

Riya’ (Pamer) Kibir (Sombong) congkak itu semua tidak sepatutnya, larangan Hyang Manon (Yang Maha Agung), juga larangan para Nabi Wali dan Auliya’ semua, akan mendapatkan neraka sebagai kutuk Hyang Widdhi, begitulah larangan Yang Maha Tersembunyi, tentang keangkuhan.

26. Wong gumêdhe anglungguhi kibir, sapa padha lan ngon, larangane Hyang Sukma Kang Murbeng, kibir riya piyangkuhing jalmi, mrih ngalêma luwih, keringan sawêgung.

Manusia yang merasa tinggi dan sombong, siapa yang bisa menandingi aku, benar-benar larangan Hyang Suksma (Yang Maha Samar) Sang Penguasa Sejati, kesombongan, suka pamer serta keangkuhan, agar supaya dipuji lebih dari yang lain, lebih terkenal dari sesama.

27. Amêmadha marang ing Hyang Widdhi, wong pambêg mengkono, kalokeng rat mring praja liyane, ujubira piyangkuh ngêngkoki, gawoka kang ngeksi, lumaku gumunggung.

Seolah-olah mempersamakan dirinya dengan Hyang Widdhi, manusia yang seperti itu, terkenal di dunia dan kerajaan lainnya, keangkuhan dan ingin memperlihatkan dirinya terus menjadi, agar supaya kagum yang melihat, agar supaya senantiasa dipuji-puji.

28. Sak solahe was tan darbe maning, mung lêgane batos, sakeh patrap ja mêngkono jêbeng, Senapati tuhunên kang kapti, lan sun plambang maning, kan tan lungguh ngelmu

Setiap tindakan sudah tidak memiliki pertimbangan, hanya menuruti kepuasan diri sendiri, janganlah seperti itu anakku, ingatlah akan tujuan hidup yang sesungguhnya oh Senapati, dan aku nasehatkan satu hal lagi, bahwa manusia yang benar-benar memegang ilmu.

29. Aja sira pambêg kaya langit, bumi gunung argon, lan samodra plambang patrap kabeh, pan ya kaki pambêganing langit, saengganing jalmi, ngêndêlkên yen luhur.

Janganlah bersikap seperti langit, seperti bumi seperti gunung, dan seperti samudera, yang dimaksud bersikap seperti langit, adalah seorang manusia, yang mengandalkan keluhurannya.

30. Bumi kandêl jêmbare ngluwihi, dwi lir pambêging wong, wus tan ana mung iku dayane, myang kang gunung digung gêng inggil, sagra jro tirtaning, gurnita kang alun,

Jangan bersikap seperti bumi yang tebal dan luasnya melebihi apapun, jikalau manusia, bersikap seolah tidak ada lagi yang melebihi luasnya kekuasaannya, bersikap seperti gunung merasa besar dan tinggi, bersikap seperti samudera merasa paling dalam pengetahuannya, dan merasa paling dahsyat ombaknya.

31. Ngêndêlakên digdayane sami, bumi samodra rob, langit arga pambêg jalma kabeh, wus tan ana polataning maning, sisip pambêg jalmi, kurang jêmbar kawruh.

Semua mengandalkan kedigdayaannya, bumi dan samudera, langit dan gunung adalah seumpama watak-watak jelek manusia, sudah tiada kebaikannya lagi, sesat kelakuan manusia yang seperti itu, kurang luaslah wawasannya.

32. Yen sira yun wigya dadi Aji, mangreh sagunging wong, aja pêgat istiyarmu jêbeng, laku pasrah mring Kang Murbeng Bumi, neng musik di-êning, mrih uning Sukma Gung.

Jikalau kamu menginginkan untuk menjadi Aji (Raja), menguasai seluruh orang, jangan pernah putus usahamu anakku, senantiasa berpasrah kepada Yang Maha Menguasai Bumi, heningkanlah segala keliaran batinmu, agar supaya bisa mengetahui Suksma Agung (Maha Samar Yang Agung).

33. Ginampangan sêka karseng Widdhi, di-têrang pandulon, aja sêrêng sak pêkoleh bae, ngibadaha nglungguhana gami, nging driya di eling, mrih manise wadu.

Pastilah akan gampang terwujud apa yang kamu kehendaki atas kehendak (Hyang) Widdhi, buatlah terang penglihatan kesadaranmu, jangan suka bertindak seenaknya, perbanyak ibadah penuhilah perintah agama, dalam hati senantiasa diingat, agar manis jalan hidupmu.


PANEMBAHAN SENOPATI DAN RATU PANTAI SELATAN (3)

Oleh : Damar Shashangka

Diambil Pupuh-Pupuh yang menceritakan pertemuan antara Panêmbahan Senopati, Penguasa Mataram dengan Kangjêng Ratu Kidul, Ratu Pantai Selatan.


PUPUH

DHANDHANGGULA

1. Lawan jêbeng ya sun tanya yêkti, antuk apa sira sêka sagra, Senapati lon ature, Inggih binêktan ulun, Tigan Lungsung Jagat ken nêdhi, lan Jayengkaton lisah, dwi sêrana katur, Sang Wiku wrin lon dêlingya, Katujone durung kongsi sira bukti, yen wis-a dadi apa.

Dan lagi anakku sungguh aku ingin bertanya, apa yang kamu dapatkan dari tengah samudera? (Panembahan) Senopati menjawab pelan, Yang saya peroleh, Telur Lungsung Jagad yang harus saya makan, dan Minyak Jayengkatong, kedua benda dihaturkan, Sang Wiku melihat dan berkata, Untunglah belum sempat kamu pakai, jikalau sudah kamu pakai aku tak bisa membayangkan akan menjadi apa kamu?

2. Têmah antuk sêngsareng ngaurip, yêkti wurung sira dadi Nata, nggonirarsa mêngku ngrate, sida neng samodra gung, datan bisa mulih Matawis, de wadyanta tan wikan, myang garwa putramu, labête wus salin tingal, kita dadi jodhone Ni Kidul mêsthi, sabab nir manungsanya.

Hanya akan mendapatkan kesengsaraan hidup, akan gagal keinginanmu untuk menjadi Raja, gagal impianmu menguasai dunia, kamu akan tinggal di dalam samudera, tidak akan bisa pulang ke Mataram, seluruh rakyatmu tidak akan bisa melihatmu, begitu juga istri dan anakmu, karena sudah berganti alam, menjadi pasangan Ratu Kidul, hilanglah wujud manusiamu.

3. Maneh jêbeng sun tanya kang yêkti, sira rêmên marang narpaning dyah, kaya ngapa suwarnane, Senapati lon matur, Wananipun ayu nglangkungi, sak tuwuk dereng mriksa, kêng kadya Dyah Kidul, Sang Wiku mesêm ngandika, Kêsamaran kita jêbeng Senapati, kêna ngayu sulapan.

Dan lagi aku sungguh-sungguh bertanya, kamu jatuh hati kepada Ratu Wanita, bagaimanakah wujudnya? (Panembahan) Senopati menjawab pelan, Wujudnya sangat cantik, seumur hidup belum pernah hamba melihat, wanita secantik Dyah Kidul, Sang Wiku tersenyum dan berkata, Engkau jatuh cinta, terpikat wujud cantik yang sesungguhnya hanyalah sihir belaka.

4. Sabab sira durung sidik ngeksi, nguni sun wus namun manjing Pura, Dyah supine ya sun colong, neng jênthik driji Sang Rum, iki warna dêlêngên kaki, kagyat Sang Senapatya, nggenira andulu, de supe langkung gêng-ira, pan sak wêngku tebok bolonging li-ali, tumungkul Senapatya.

Sungguh kamu belum awas, dulu aku sudah pernah memasuki Istana (samudera), cincin (Sang) Dyah aku curi, dari jari kelingking Sang Rum (Wangi), lihatlah ini anakku, terkejut Sang (Panembahan) Senapati, manakala melihat, wujud cincin sedemikian besarnya, sebesar tebok (tampah kecil tempat memilah butiran padi dengan kulitnya setelah ditumbuk, terbuat dari jalinan bambu : Damar Shashangka) lobang lingkarannya, (Panembahan) Senapati tertunduk.

5. Driya maksih maiben ing galih, Sunan Adi ing tyas wus waskitha, Senapati tyas sandeyeng, wusana ngling Sang Wiku, Payo jêbeng ya padha bali, mumpung Narpeng Dyah nendra, katon warna tuhu, mêngko jêbeng waspadakna, ri wusira Jêng Sunan lan Senapati, linggar manjing samodra.

Masih belum percaya dalam hati, Sunan Adi menangkap ketidakpercayaan itu, bimbanglah hati (Panembahan) Senapati, lantas berkatalah Sang Wiku, Anakku mari kita buktikan, mumpung Ratu Wanita sedang tidur sekarang, akan terlihat wujudnya yang asli, perhatikanlah dengan seksama nanti, setelah itu Jeng Sunan dan (Panembahan) Senapati, berjalan ke tengah samudera.

6. Sak praptaning jro Pureng Jêladri, Ratu Kidul wus kêpanggih nendra, nglênggorong langkung agênge, lukar ngorok mandhêkur, rema gimbal jatha mangisis, panjangnya tigang kilan, sak carak gêng-ipun, kopek nglembereh sakiyan, Senapati kamigilan wrin ing warni, tansah lêgêg tan nêbda.

Sesampainya didalam istana samudera, Ratu Kidul didapati tengah tertidur, tubuhnya rebah dan sangat-sangat besar, bahkan terdengar bunyi dengkurannya, rambut gimbal taringnya tampak mencuat, panjangnya tiga jengkal jari, sebesar carak (ceret/tempat air minum) besarnya taring, payudaranya menggelantung turun, (Panembahan) Senapati ngeri melihat wujud tersebut, terpaku tak bisa bicara sepatah katapun.

7. Sunan Adi nêbdeng Senapati, Jêbeng iku warnane sanyata, kang bisa ayu sulape, linulu mring Hyang Agung, lamun wungu sakarêp dadi, bisa salin ping sapta, sadina warna yu, yen wis tutug pandulunya, payo mulih bok mênawi mêngko tangi, gawe rêngating driya.

Sunan Adi berkata kepada (Panembahan) Senopati, Anakku itulah wujud dia yang sesungguhnya, bisa berubah wujud sangat-sangat cantik hanya karena kekuatan sihir belaka, mendapat anugerah dari Hyang Agung, manakala terjaga dari tidur wujud apapun yang diinginkannya bisa dia buat, mampu merubah wujud tujuh kali, dalam sehari dengan wujud cantik yang berbeda-beda, apabila kamu sudah cukup melihat, mari kita segera pulang jangan sampai nanti dia terbangun, tidak enak di hati jadinya nanti.

8. Wusnya nulya kentar pyagung kalih, ing samarga Sunan tansah jarwa, Ya sun tan malangi jêbeng, nggonira kita wanuh, lan Dyah Narpa sak karsa kaki, wis bênêr karsanira, nging ta cêgah ingsun, wênangira mung pêrsobat, sabab iku kang rumêksa Pulo Jawi, wênang sinambat karsa.

Setelah itu segera beranjak pulang kedua priyayi (bangsawan) agung, sepanjang jalan Sunan (Adilangu) terus menasehati, Aku tidak bermaksud menghalangi anakku, kedekatanmu, dengan Ratu Wanita terserahlah kepadamu, sesungguhnya sudah benar apa yang kamu lakukan (sebagai seorang Raja), namun aku menyarankan, sebatas pertemanan saja (antara dua orang Penguasa), sebab dialah yang menjaga pulau Jawa, tak ada salahnya jika dimintai bantuan.

9. Mayo padha mulih mring Matawis, ingsun arsa kampir wismanira, wusnya dwi gancang tindake, Sunan ing Ngadilangu, dhinerekkên lan Senapati, tindakira lir kilat, sakêdhap prapta wus, njujug dalêm pêpungkuran, Sunan Adi lawan wayah Senapati, arsa ngyêktekkên srana.

Marilah kita pulang ke Mataram, aku ingin mampir sejenak ke istanamu, setelah itu keduanya mempercepat jalan masing-masing, Sunan Adilangu, diiringi (Panembahan) Senapati, jalannya secepat kilat, hanya sekejap saja sudah sampai, langsung menuju ruang belakang, Sunan Adi dan sang cucu yaitu (Panembahan) Senapati, hendak membuktikan khasiat benda yang diperoleh dari samudera.

10. Juga Juru Taman Senapati, jalma tuwa madad karêmannya, dadya mêngguk raga ngronggok, yen angot tan tuk turu, sambat muji marang Hyang Widdhi, nuwun kuwatan rosa, pinanjangna ngumur, sabên muji pan mangkana, kantya tan wrin yen gustenira miyosi, tumrun bale krengkangan.

Tersebutlah Juru Taman (Panembahan) Senapati, sudah uzur usianya dan suka madat, sehingga terkena sakit batuk badannya kurus, jika kumat batuknya dia tak bisa tidur semalaman, memohon selalu kepada Hyang Widdhi, supaya diberikan kesehatan, agar diberikan panjang umur, setiap berdoa pasti seperti itu permintaannya, saat itu tak disadarinya jika Gustinya menghampiri, berusaha turun dia dari balai dengan susah payah.

11. Senapati wusnya lêngah angling, Heh Ki Taman mau sun miyarsa, sira muji minta kyate, iku ta apa tuhu, minta ing Hyang saras-ing sakit, lan dawane mur-ira, Juru Kêbon matur, Nggih Gusti yêktos amba, rintên dalu nênuwun maring Hyang Widdhi, panjanging umur saras.

Setelah duduk berkatalah (Panembahan) Senapati, Hai Ki Taman aku tadi melihat, engkau berdoa meminta kekuatan badan, apakah permintaanmu itu sungguh-sungguh? Meminta sembuhnya penyakitmu, meminta panjangnya usiamu, Juru Kebun (Taman) menhaturkan jawaban, Benar Gusti sungguh hamba, siang malam meminta kepada Hyang Widdhi, agar diberikan usia panjang dan kesembuhan.

12. Yen wis mantêp panuwunmu kaki, sun paringi sêsarating gêsang, dimen sirna lara kabeh, Ki Taman nêmbah nuwun, majêng sinung Tigan tinampi, laju kinen nguntala, saksana nguntal wus, Ki Taman mubêng angganya, lir gangsingan tantara jumêglug muni, wrêksa sol sangking prênah.

Kalau memang kamu sungguh-sungguh, aku akan memberikan sarana buat hidupmu, agar supaya sirna segala penyakitmu, Ki Taman menghaturkan terima kasih, bergerak mendekat diberi telur dan diterima sudah, segera disuruh memakan mentahan, segera dimakan seketika itu juga, Ki Taman berputar-putar tubuhnya, bagaikan gasing dan menggeram keras, suaranya bagaikan pohon yang tumbang dari tempatnya.

13. Gya jênggelek warna gêng nglangkungi, Juru Taman lir gunung anakan, jatha gimbal kalih kagêt, wrin langkung tyasnya ngungun , Sang Wiku ngling mring Senapati, Iku jêbeng dadinya, yen nut mring Ni Kidul, Sang Sena mingkuh tan nebda, mitênggêngên gêgêtun uningeng warni, de kadya arga suta.

Seketika berubah wujudnya sangat besar, Juru Taman bagaikan gunung anakan besarnya, taring muncul dan rambut berubah gimbal terkejut (Panembahan Senapati), melihat kejadian itu sangat heran hatinya, Sang Wiku berkata kepada (Panembahan) Senapati, Seperti itulah kejadiannya, apabila kamu menuruti perkataan Ratu Kidul, Sang (Panembahan) Sena(pati) tak bisa berkata-kata, tertegun dan kecewa melihat akan hal itu, melihat wujud bagai anakan gunung.

14. Sunan Adi gya ngandika malih, Kari siji jêbeng nyatakêna, kang ran Lênga Jayengkatong, Sang Senapatya mêstu, nulya dhawuh kinon nimbali, pawongan nguni êmban, têngran Nini Panggung, lan gamêl nami Ki Kosa, tan adangu kalihnya wus têkap ngarsi, Sang Sena lon ngandika.

Sunan Adi(langu) segera berbicara lagi, Tinggal satu benda lagi anakku buktikanlah, apa yang dinamakan Minyak Jayengkatong tersebut, Sang (Panembahan) Senapati menurut, lantas memerintahkan untuk memanggil, seorang emban (pelayan wanita), bernama Nini Panggung, dan seorang penabuh gamelan bernama Ki Kosa, tak berapa lama kemudian keduanya telah menghadap, Sang (Panembahan) Sena(pati) pelan berkata.

15. Bibi Panggung mula sun timbali, lan si Kosa ya padha sun jajal. nggonên Lênga Jayengkatong, nggennya sung Ratu Kidul, yen wis ngarja sêkti ngluwihi, kang liningan wot sêkar, tan lêngganeng dhawuh, Panggung Kosa tinetesan, Jayengkatong gya sirna kalih tan keksi, pan wus manjing nyeluman.

Bibi Panggung kamu saya panggil, berikut Ki Kosa kalian berdua akan aku coba, untuk memakai Minyak Jayengkatong, pemberian Ratu Kidul, apabila sudah memakai pasti akan menjadi sakti luar biasa, yang diperintahkan hanya menurut, tidak membantah lagi, (Nini) Panggung (dan) Ki Kosa ditetesi, (Minyak) Jayengkatong seketika tak terlihat keduanya, beralih alam menjadi siluman.

16. Sak sirnanya ngungun Senapati, abdi tiga pan salah kêdadyan, wusana lon ngandikane, Heh Kosa bibi Panggung, de wong roro padha tan keksi, umatur kang sinêbdan, Inggih Gusti ulun, keng cêthi tan kesah-kesah, sangking ngarsa wit pinaringan lisah Gusti, de mawi tan katinggal.

Begitu keduanya sirna tak terlihat heranlah (Panembahan) Senapati, ketiga abdinya berubah tidak lumrah, lantas pelan dia berkata, Hai (Ki) Kosa (dan) Bibi Panggung, kalian sekarang tidak bisa dilihat oleh mata lagi. Menjawab yang telah tak terlihat, Benarlah demikian Gusti, namun saya tidak akan pergi jauh (dari istana Mataram), semenjak saat diberi Minyak oleh Gusti, walaupun kami tak akan bisa dilihat mata.

17. Sunan Adi lon nambungi angling, Heh Ni Panggung sira lan si Kosa, padha narimaa karo, pan wus karseng Hyang Agung, sira dadi wadaling Gusti, dede jatining jalma, mêngko tan kadulu, pan wis dadi ê-Jim padha, nging ta sira aja lunga sing Matawis, êmongên Gustinira.

Sunan Adi(langu) pelan menyahut, Hai kamu Ni Panggung dan si Kosa, ikhlaskanlah ini semua, sudah menjadi kehendak Hyang Agung, kalian semua dijadikan tumbal oleh Gusti kalian, kalian sekarang bukanlah manusia, sudah tidak bisa dilihat, kalian sudah berubah menjadi Jin, akan tetapi janganlah kalian meninggalkan Mataram, dampingilah Gusti kalian.

18. Prayogane jêbeng Senapati, bocahira têlu ingsun prênah, Panggung Kosa ing ênggone, anenga wringin sêpuh, Juru Taman neng Gunung Mrapi, ngêreha lêmbut ngarga, rumêksa-a kêwuh, mungsuh kirdha jroning praja, Juru Taman kang katêmpuh mapag jurit, mêstu kang sinung sêbda.

Sepertinya akan lebih baik oh anakku Senapati, apabila ketiga abdi ini aku tempatkan, (Nini) Panggung dan (Ki) Kosa, penunggu di pohon Beringin tua, sedangkan Juru Taman aku tempatkan di Gunung Merapi, memimpin seluruh makhluk halus yang ada di gunung tersebut, menjaga keamanan, menghadang musuh yang hendak merusak kerajaan, Juru Taman yang bertugas menghadapi, semua yang diperintah mematuhinya.

19. Katrinya wus kinon manggon sami, Panggung Kosa lawan Juru Taman, sang kalih dugi karsane, gya kondur dalêmipun, Senapati ngungun ing galih, duk aneng pureng sagra, de meh sisip nglakur, Sunan Adi gya ngandika, Senapati wismamu tan dipagêri, kêbo glar neng pêgungan.

Ketiganya sudah menempati tempat yang diperintahkan, (Nini) Panggung (Ki) Kosa dan Juru Taman, setelah selesai membuktikan, kedua priyagung (Sunan Adilangu dan Panembahan Senapati) masuk ke dalam istana, (Panembahan) Senapati terus terheran-heran dalam hati, hasil dari istana samudera, hampir saja membuat dia celaka salah jalan, Sunan Adi(langu) mendadak berkata, Senapati istanamu tanpa pagar pembatas, bagaikan seekor kerbau yang dibiarkan terumbar.

20. Tanpa kandhang ya kang kêbo sapi, heh ta jêbeng Senapati Nglaga, iku pan sisip pasrahe, karana Allah dudu, piyangkuhmu aneng Matawis, sebarang karsanira, kadhinginan ujub, kêbo sapi tanpa kandhang, wahanane sapa wani marang mami, dursila satru kridha.

Tanpa kandang, oh anakku Senapati Ngalaga, hal ini adalah kepasrahan yang keliru, bukan kepasrahan kepada Allah yang benar, bahkan terkesdan angkuh kerajaan Mataram, semua perbuatanmu, selalu didahului kecongkakan, bagai kerbau dan sapi tanpa kandang, menampakkan siapa yang berani dengan aku, akan memancing orang jahat dan musuh.

21. Bêcik nganggo ênêng lawan êning, lumakuwa sokur lawan rêna, wisma-a lan pêpagere, kêbo sapi yen ucul, kêluhana dipuncêkêli, yen mulih prapteng wisma, kandhangna sadarum, sêlarahe pacêlana, tunggonana yen turu kêlawan wengi, pasrahna mring Kang Murba.

Kenakanlah kesadaran yang jernih (ening) dan penuh ketenangan (eneng), berjalanlah dengan hati penuh syukur dan tulus, istana dengan diberi pagar (adalah wujud kepasrahan yang benar), ibarat kamu memiliki kerbau dan sapi jika berontak hendak lepas, pegang erat keluh (tali pengikat yang ada dihidung)nya, apabila di dalam kandang, masukkanlah semuanya, kunci rapat pintu kandang, jagalah baik-baik siang maupun malam, itulah bentuk kepasrahan yang benar kepada Sang Penguasa Sejati.

22. Anganggoa andum lawan milih, dipatuta lan lakuning praja, lungguh-ira lan ngelmune, istiyar-mu di-agung, anganggowa sumêndhe Widdhi, sêbarang tingkahira, anganggoa sokur, karane dipun prayitna, laku linggih solah muna lawan muni, pracihna dadi nata.

Pilahlah dan pilihlah, apa saja yang pantas bagi sebuah kerajaan, yang sesuai dengan kedudukan dan kecerdasan kamu, perbanyaklah ikhtiar, dan bersandar kepada (Hyang) Widdhi, setiap tindakanmu, warnailah dengan rasa syukur, senantiasa ingat, baik saat berjalan duduk berbicara, ingatlah bahwa kamu adalah Raja.

23. Mêngko jêbeng ingsun mêrtikêli, karya kitha mrih kukuh prajanta, salamêta prapta ing têmbe, jêbeng ngambila ranu, aja akeh kêbak kang kêndhi, Senapati wot sêkar, dhawuh cêthi mundhut, tirta ing kêndhi pratala, kang liningan sandika nulya nyaosi, tirta mungging lantingan.

Nanti akan aku berikan petunjuk anakku, bagaimana membangun kota agar kokoh kerajanmu, selamat sejahtera hingga nanti, ambilkan air anakku, jangan terlalu banyak air di dalam kendhi secukupnya saja, (Panembahan) Senapati memenuhi permintaan, segera menyuruh agar mengambil, air didalam kendhi tanah, yang diperintahkan segera mengambilkan dan tak lama kembali membawa apa yang diminta, air di dalam kendhi.

24. Nulya linggar wau Sunan Adi, ngasta pandêlêngan isi tirta, tindak ngidêri dhadhahe, Senapati tut pungkur, sarwi mbêkta ingkang têtali, ngethengi rut-ing tirta, ngandika Sang Wiku, Heh ya jêbeng Senapatya, ge turutên sak tilase banyu iki, karyanên kuthanira.

Lantas bergeraklah Sunan Adi(langu), sembari membawa kendhi berisi air, berjalan mengelilingi perbatasan, (Panembahan) Senapati mengiringi di belakang, sembari membawa tali, untuk mengukur tanah dimana air dicurahkan, berkata Sang Wiku (Sunan Adilangu), Hai anakku Senapati, ikutilah bekas dimana air aku curahkan, bangunlah tembok kota di situ.

25. Jêbeng rehne tumitah ngaurip, aja kandhêg laku panarima, lan diwêruh wêwekane, ingon-ingonmu sagung, uga padha kêlawan kasih, yen kurang pangrêksanya, têmah praja eru, saking datan wruh ing wêka, nora ngrasa yen manungsa mung sinilih, marang Kang Murbeng Alam.

Karena dititahkan menjadi makhluk hidup oh anakku, jangan berhenti menjalankan hati yang dipenuhi syukur, dan seyogyanya biasa memperhatikan kebutuhan, dari semua rakyatmu, perlakukan dengan kasih, manakala kurang diperhatikan, bakal menciptakan rusa juhnya kerajaan, disebabkan kurangnya perhatianmu, tidak merasa bahwa semua ini hanyalah pinjaman, pinjaman dari Yang Menguasai Alam.

26. Lawan sira diwaspadeng gaib, lamun kita marentah mring wadya, enakêna kabeh tyase, tuhunên ujar ingsun, nuli siram rêntaha dasih, awita konên nyithak, wongira Matarum, sak pakolehe nggon karya, bêcingahên kuthanira den bêcik, dadya tilar sun wuntat.

Dan waspadalah selalu, manakala kamu memberikan perintah kepada seluruh rakyat, buatlah nyaman hati mereka, turutilah nasehatku, siramilah hati mereka denga kasih, sekarang mulailah mencetak, suruhlah orang-orang Mataram, dalam bekerja, usahakan mengerjakan sebagus mungkin, sehingga bisa bertahan lama sampai nanti.

27. Jêbeng yen wis jumbuh traping urip, sasat sira wus madêg narendra, mêngkoni ngrat Jawa kabeh, nêtêpi manungsa gung, lan Hyang Sukma kinarya silih, mêngkoni ngalam padhang, kang kuwasa tuhu, asung sak warneng gumêlar, pan manungsa kang winênang andarbeni, lêstari tanpa kara.

Anakku manakala sudah sesuai dengan laku hidup yg sesungguhnya, sungguh bagaikan sudah menjadi Raja, sesuai dengan kelakuan manusia utama, menjadi wakil Hyang Suksma, menguasai alam dunia, yang bernar-benar berkuasa, kepada seluruh yang hidup, karena memang manusia seperti itulah yang berhak memiliki, dan akan kuat tanpa rintangan.

28. Lan diwêruh kahananing Widdhi, jêbeng uga nggene kang sênyata, pan ya sira sak solahe, nging kêsampar kêsandhung, dene sira nora ngulati, nggone cêdhak asamar, tan ana kang dunung, ngalela neng ngarsanira, Gustinira neng ngarsa katon dumêling, anging kalingan padhang.

Ketahuilah keberadaan (Hyang) Widdhi, oh anakku keberadaan-Nya yang sejati, sesungguhnya tak berpisah dengan segala aktivitasmu, akan tetapi tiada kamu hiraukan, bahkan tiada kamu ketahui, sangat dekat namun samar, tiada bertempat jauh di sana, benar-benar nyata di depanmu, Tuhan sesungguhnya ada di depan matamu, tetapi terliputi alam dunia.

29. Senapati wot sêkar nuwun sih, jarweng Sunan Adi wus kadriya, nging mêksih sandeya tyase, de naluri kang tinut,……………………………….., ………………………., ……………………………….., ……………………………., ………………………………., ……………………………….

(Panembahan) Senapati mematuhi dan menghaturkan terima kasih, semua nasehat Sunan Adi(langu) sudah dimasukkan dalam hati, namun masih gelisah hatinya, masih berat dengan keberadaan Ratu Kidul, ……………………………….., ……………………………., ……………………………, …………………………….., ………………………….., ………………………………., ………………………….

(Selesai)

Sumber : http://damar-shashangka.blogspot.com/2010/05/babad-tanah-jawa-3.html

Silaturahmi

Mengenai Saya

Foto saya
Orang Jawa, Islam yang nJawani, yang senantiasa berusaha saling asah, asih dan asuh serta hidup berdampingan dengan siapa saja secara damai tanpa saling mengganggu