Rabu, 22 September 2010

MAQASHID AL-SYARI’AH

MAQASHID AL-SYARI’AH DAN PENGEMBANGAN

PEMIKIRAN ISLAM DALAM MUHAMMADIYAH[1]

Oleh : Dr. Afifi Fauzi Abbas

A. Mukaddimah

(Format Pemikiran Keagamaan Muhammadiyah)

Kerangka dasar pemikiran keagamaan Muhammadiyah adalah al-Ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah al-maqbulah dan tajdid al-Din. Hal ini memberi arahan bahwa faham keagamaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan menjelaskan relasi antara “ajaran kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah (al-shahihah/al-maqbulah) ” dengan dimensi “ijtihad dan tajdid” dalam suatu bentuk kesatuan yang utuh. Ia ibarat dua sisi mata uang, meskipun antara sisi yang satu dengan sisi yang lain gambarnya berbeda, namun ia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling memfungsikan. Jika salah satu gambar sisinya tidak ada maka ia tidak dapat difungsikan sebagai alat bayar. Begitu pula halnya dengan matra tentang ”kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah” di satu sisi, dan “ijtihad/tajdid” pada sisi lain. Keduanya dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan, jika keduanya terpisah atau dipisahkan maka ia tidak akan dapat difungsikan untuk menggambarkan faham keagamaan Muhammadiyah, dan tidak layak diklaim sebagai faham keagamaan Muhammadiyah. Kerangka dasar tersebut perlu dikembangkan dalam berbagai metodologi dan manhaj yang kongkret dalam perkembangan pemikiran keagamaan Muhammadiyah.

Lafaz-lafaz al-Qur’an dan al-Sunnah mengandung arti dan maksud tertentu dari Syari', dimana para ulama berusaha menggali dan mencari tahu akan maksud dan arti yang sebenarnya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh para ulama untuk menggali apa yang dimaksud adalah dengan memahami lafaz-lafaz atau ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam nash-nash tersebut. Dalam memahami nash dan melakukan istinbath, pendekatan kebahasaan mutlak diperlukan sebagai langkah awal berijtihad. Pendekatan kebahasaan akan mampu menuntun mujtahid dalam upaya menghindari kesalahan secara metodologis dalam berijtihad.

Problematika muncul ketika upaya untuk kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah tersebut diimplentasikan dalam kehidupan sehari-hari; apa makna sesungguhnya kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah tersebut bagi warga persyarikatan ? dan sejauhmana peran ijtihad dan tajdid tersebut dalam faham keagamaan warga Muhammadiyah, dan bagaimana pula keberlakuan ijtihad dan tajdid itu dalam berbagai ruang lingkup ajaran Islam ; akidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah dunyawiyah.

Kita semua tahu bahwa ayat-ayat Allah itu ada yang disebut dengan ayat-ayat Quraniyyah dan ada pula ayat-ayat Kauniyyah, sehingga pemberlakuan ijtihad atau tajdid itu tentu juga meliputi kedua hal tersebut. Yang agak krusial adalah bagaimana memadukan atau membuat sinergi antara keduanya sehingga tidak terjadi konflik, saling mengklaim kebenaran masing-masing. Apakah kaidah-kaidah ushuliyyah yang telah dibangun oleh para ulama, wilayah kerjanya bersifat partikulair-eksklusif, ataukah juga punya ruang lingkup dan wilayah kerja yang bersifat universal-inklusif. Utamanya bagi Muhammadiyah adalah bagaimana cara yang tepat dan elegan untuk membangun harmoni antara tajdid yang bercorak furifikasi pada satu pihak dengan tajdid yang bercorak dinamisasi di pihak lain.

Jadi ada apa yang dikenal dengan “ijtihad fi maa la nashsha fih” dalam kajian usul fiqh sesungguhnya perlu mendapat apresiasi yang memadai di lingkungan persyarikatan jika kita ingin untuk memberikan respon yang signifikan berbagai persoalan kontemporer yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Pemahaman keagamaan yang diperlukan saat ini tidak hanya pemahaman yang dapat mencerahkan akan tetapi juga pemahaman yang memberdayakan, artinya dapat membawa perubahan dan kemajuan kepada masyarakat.

B. Manhaj Tarjih Dan Perkembangan Pemikiran Keislaman

Menarik untuk dicermati uraian M. Amin Abdullah[2], ketika menje-laskan Pemikiran Islam Kontemporer dan Budaya Modernitas. Beliau mengawali uraiannya dengan memetakan tipologi pemikiran Islam kontemporer. Pada awal abad ini hanya dikenal dua corak pemikiran Islam yang populer, yakni yang bercorak modern (kaum muda) dan yang bercorak tradisionalis (kaum tua). Namun akhir-akhir ini tipologi ini berkembang sedemikian rupa, misalnya saja Syed Hosen Nasr mengelompokkannya menjadi empat tipologi yaitu; modernism, traditionalism, fundamentalism dan mahdiisme. Di samping itu secara historispun yang modern itupun terurai lagi menjadi nasionalisme Islam, sosialisme Islam dn bahkan muncul marxisme Islam. Jika berbagai tipologi itu dapat kita benarkan, maka istilah Islam, secara sosiologis tampaknya memang pluralistik, bukan monolitik seperti yang banyak difahami orang selama ini. Masih ada lagi kategori-kategori lain yang digunakan untuk mencermati pemikiran Islam yaitu; essentialist, scriptualist, acculturtionist, normativist, postmodernist dsb.

Berbagai tipologi tersebut tidak lain adalah sebagai gambaran tentang betapa kayanya respon intelektual keagamaan Islam dalam merespon dan menyikapi berbagai budaya modernitas, yakni budaya yang sangat menggarisbawahi peran ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang jelas berbagai tipologi pemikiran itu tidaklah akan mereda atau surut, akan tetapi akan berkembang terus tanpa henti mengikuti perubahan zaman. Penyebabnya, baik disadari atau tidak, cepat atau lambat, bahkan suka atau tidak suka, budaya modernitas akan merembes masuk ke segala wilayah kehidupan, termasuk pemikiran keagamaan.[3] Budaya modernitas tersebut tidak saja merubah keberadaan dunia lingkungan fisik material, tetapi sekaligus juga merubah mentalitas, cara berfikir dan way of life sekaligus.

Muhammadiyah menyadari betul akan hal-hal tersebut,[4] dimana kebutuhan untuk menyempurnakan manhaj (metodologi) pemikiran keislaman dalam Muhammadiyah, di satu sisi, dipandang merupakan sebuah keniscayaan seiring dengan intensitas dan ekstensitas berbagai perkembangan kehidupan. Sementara pada sisi yang lain merupakan pengakuan atas watak relativitas produk historis terutama yang menyangkut manhaj pemikiran. Manhaj Pemikiran adalah sebuah kerangka kerja metodologis dalam merumuskan masalah pemikiran dan prosedur-prosedur penyelesaiannya; di dalamnya dimuat asumsi dasar, prinsip pengembangan, metodologi dan operasionalisasinya. Manhaj ini bersifat menyeluruh, fleksibel, fungsional, toleran, terbuka, dan responsif terhadap perkembangan keilmuan, dan kemasyarakatan.

Muhammadiyah, sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam (al-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah al-Maqbulah). Di satu sisi sejarah selalu melahirkan berbagai persoalan dan pada sisi yang lain Islam menyediakan referensi normatif atas perbagai persoalan tersebut. Orientasi kepada dimensi ilahiah inilah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan sosio kultural lainnya, baik dalam merumuskan masalah, menjelaskannya maupun dalam menyusun kerangka operasional penyelesaiannya. Orientasi inilah yang mengharuskan Muhammadiyah memproduksi pemikiran, meninjau ulang dan merekonstruksi manhajnya.

Pemikiran keislaman meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan tuntunan kehidupan keagamaan secara praktis, wacana moralitas publik dan discourse keislaman dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia. Masalah yang selalu hadir dari kandungan sejarah tersebut mengharuskan adanya penyelesaian. Muhammadiyah berusaha menyelesaikannya melalui proses triadik/hermeneutis (hubungan kritis /komunikatif-dialogis) antara normativitas dan (al-ruju‘ ila al-Qur'an wa as-Sunnah al-Maqbulah), historisitas berbagai penafsiran atas din, realitas kekinian dan prediksi masa depan. Mengingat proses hermeneutis ini sangat dipengaruhi oleh asumsi (pandangan dasar) tentang agama dan kehidupan, di samping pendekatan dan teknis pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut, maka Muhammadiyah perlu merumuskannya secara spesifik. Dengan demikian diharapkan ruh ijtihad dan tajdid terus tumbuh dan berkembang.

1. Asumsi Dasar Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah[5]

Pada bab IV Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dijelaskan tentang Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam. Diawali dengan Asumsi Dasar Pengembangan Pemikiran Islam, bahwa pemikiran keislaman dibangun dan dikembangkan berdasarkan anggapan dasar atau paradigma tertentu. Di atas asumsi inilah berbagai perspektif dan metodologi pemikiran keislaman ditegakkan. Demikian pula halnya bahwa asumsi dasar penting bagi Muhammadiyah sebagai fondasi bagi pengembangan pemikiran keislaman untuk praksis sosial. Karena itu, pembahasan asumsi mengenai hakikat pandangan keagamaan – posisi Islam dan pemikiran Islam, sumber, fungsi dan metodologi pemikiran Islam – sangat signifikan untuk menentukan cara kerja epistemologi pemikiran keislaman, baik pendekatan maupun metode yang dipergunakan.

Posisi Islam dan Pemikiran Islam adalah berbeda. Pemikiran Islam bukanlah wilayah yang terbebas dari intervensi historisitas (kepentingan) kemanusiaan. Ia dapat berubah sejalan dengan perbedaan ruang dan waktu. Pemikiran Islam tidak dapat mengintervensi nash-nash wahyu. Pemikiran Islam juga tidak diarahkan untuk mengkaji Islam subyektif yang ada dalam kesadaran atau keimanan setiap para pemeluknya. Karena dalam wilayah ini, Allah secara jelas menyatakan kebebasan bagi manusia untuk iman atau kufur, untuk Muslim atau bukan (QS. al-Baqarah: 256 ; al-Kafirun: 1-6). Pemikiran Islam lebih diarahkan untuk mengkaji dan menelaah persoalan-persoalan dalam realitas keseharian umat Muslim yang “lekang dan lapuk oleh ruang dan waktu” (al-waqa‘i’ ghairu mutanahiyah).

Dengan demikian setiap Muslim tidak perlu khawatir bahwa pembaharuan ekspresi, interpretasi dan pemaknaan Islam yang ditawarkan kepada komunitas dalam locus dan tempus tertentu, tidak memiliki pretensi untuk mengganggu apalagi merusak Islam sebagai wahyu ataupun keimanan secara langsung ataupun tidak. At-tajdid wa al-ibtikar merupakan program pembaharuan terencana dan terstruktur yang diletakkan di atas bangunan refleksi normativitas dan historisitas dan aplikasinya pada realitas kehidupan nyata Islam dalam konteks sosial-kemasyarakatan dalam arti luas. Dengan program ini pula dimaksudkan agar Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin; sebuah proses menafsirkan universalitas Islam melalui kemampuan membumikannya pada wilayah-wilayah partikularitas dengan segala keunikannya. Ini berarti pula bahwa pemikiran Islam menerima kontribusi dari semua lapisan baik dalam masyarakat Muslim (insider) maupun non-Muslim (outsider)

Setiap disiplin keilmuan dibangun dan dikembangkan melalui kajian-kajian atas sumber pengetahuannya. Islam sebagai ad-din memiliki dua sumber tak tergugat, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara itu, pemikiran Islam memiliki tiga sumber pengetahuan; teks, ilham atau intuisi dan realitas. Yang dimaksudkan teks di sini adalah meliputi teks-teks keagamaan baik al-Qur’an dan as-Sunnah maupun teks-teks hasil interpretasi dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah penemuan rahasia pengetahuan melalui iktisyaf. Dan yang terakhir adalah realitas yang mencakup realitas kealaman dan realitas kemanusiaan.

Pemikiran Islam dibangun dan dikembangkan untuk mendukung universalitas Islam sebagai petunjuk bagi manusia menuju kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual lebih berkaitan dengan persoalan-persoalan, praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara kesalehan sosial berhubungan erat dengan masalah-masalah moralitas publik (public morality). Dalam wilayah kesalehan individual, pemikiran Islam berupaya memberikan kontribusi berupa petunjuk-petunjuk praktis keagamaan (religious practical guidance), ibadah mahdah dan masalah-masalah yang menyangkut moralitas pribadi (private morality). Sedangkan dalam wilayah kesalehan sosial, pemikiran Islam merespon wacana kontemporer, seperti masalah sosial-keagamaan, sosial budaya, sosial ekonomi, globalisasi dan lokalisasi, iptek, lingkungan hidup, etika dan rekayasa genetika serta bioteknologi, isu-isu keadilan hukum, ekonomi, demokratisasi, HAM, civil society, kekerasan sosial dan agama, gender, dan pluralisme agama, sekaligus merumuskan dan melaksanakan terapannya dalam praksis sosial.

Dalam Islam dikenal ada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran ikhbari dan kebenaran nazhari. Yang pertama adalah kebenaran wahyu yang datang langsung dari Allah. Karena itu bersifat suci dan bukan obyek kajian dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah kebenaran yang diperoleh secara ta‘aqquli. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Islam tidak berada dalam ruang hampa. Nash-nash atau teks wahyu yang diinterpretasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca maupun audiensnya. Ada rentang waktu -- dulu, kini, mendatang -- di hadapan ketiga pihak di atas. Inilah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis (hermeneutical circle); suatu perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci (an-nushush al-mutanahiyah) yang dipandu oleh perubahan-perubahan berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat. Dalam konteks yang terus berubah ini, kebutuhan akan cara pembacaan baru atas teks-teks dan realitas itu menjadi tak terelakkan. Dengan memahami lingkaran hermeneutis semacam ini, Muslim tidak perlu mengulang-ulang tradisi lama (turats) yang memang sudah usang untuk kepentingan kekinian dan kedisinian, tapi juga bukan berarti menerima apa adanya modernitas (hadatsah). Kewajiban Muslim adalah melakukan pembacaan atas teks-teks wahyu dan realitas itu secara produktif (al-Qira’ah al-Muntijah, bukan al-Qira’ah al-Mutakarrirah).

Dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan perkembangan, kontinuitas dan perubahan (ats-tsabat wa at-taghayyur) dalam realitas kontemporer, perlu diupayakan perubahan paradigma. Perubahan paradigma tidak berarti bahwa semua tradisi ditinggalkan, tetapi patut dipahami sebagai upaya modifikasi tradisi pemikiran Islam dalam ukuran tertentu sesuai dengan problem sosial yang ada; dan atau merubah secara total tradisi dengan sesuatu yang sama sekali baru. Yang pertama dalam rangka menjaga kontinuitas dalam pemikiran keislaman atau melakukan pengembangan, sementara yang kedua adalah untuk memproduksi pemikiran keislaman yang sama sekali baru. Perubahan paradigma mengandaikan metodologi – pendekatan dan metode – baru untuk merespon problem-problem di atas sekaligus aplikasinya dalam praksis sosial. Dengan demikian, pemikiran Islam berpegang pada adagium al-muhafazhatu ‘ala al-qadim ash-shalih ma‘a al-akhdz bi al-jadid al-ashlah.

Dengan rekayasa epistemologis semacam ini, terbuka kesempatan bagi munculnya wacana keislaman dalam Muhammadiyah dengan karakteristik antara lain: produktif atau bukan sekedar pengulangan tradisi lama untuk memecahkan masalah baru; fleksibel dalam arti pemikiran keislaman termodifikasi secara luwes, tidak kaku dan terbuka atas kritik dan pengembangan; imaginatif dalam arti membuka horizon pemahaman dan pendalaman baru melalui iktisyaf; kreatif dalam melahirkan wilayah-wilayah baru (yang selama ini “tak terpikirkan” dan “belum terpikirkan”) untuk dipikirkan; dan akibatnya wacana keislaman kontemporer benar-benar berada dalam pergumulan sejarah yang efektif (effective history) dan tidak ahistoris.

2. Prinsip Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah[6]

Manhaj pengembangan pemikiran Islam Muhammadiyah dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamanya, yaitu:

1. Prinsip al-mura‘ah (konservasi) yaitu upaya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul. Pelestarian ini dapat dilakukan dengan cara pemurnian (purification) ajaran Islam. Ruang lingkup pelestarian adalah bidang aqidah dan ibadah mahdhah.

2. Prinsip at-tahditsi (inovasi) yaitu upaya penyempurnaan ajaran Islam guna memenuhi tuntutan spiritual masyarakat Islam sesuai dengan perkembangan sosialnya. Penyempurnaan ini dilakukan dengan cara reaktualisasi, reinterpretasi, dan revitalisasi ajaran Islam.

3. Prinsip al-ibda‘i (kreasi) yaitu penciptaan rumusan pemikiran Islam secara kreatif, konstruktif dalam menyahuti permasalahan aktual. Kreasi ini dilakukan dengan cara menerima nilai-nilai luar Islam dengan penyesuaian seperlunya (adaptatif). Atau dengan penyerapan nilai dan elemen luaran dengan penyaringan secukupnya (selektif).

3. Kerangka Metodologi Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah[7]

Pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan bayani, ‘irfani dan burhani, sesuai dengan obyek kajiannya – apakah teks, ilham atau realitas -- berikut seluruh masalah yang menyangkut aspek transhistoris, transkultural dan transreligius. Pemikiran Islam Muhammadiyah merespon problem-problem kontemporer yang sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial, mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.

Banyak cara, metode, pendekatan yang dapat dilakukan untuk memahami, memaknai al-Quran dan al-Sunnah. Di antaranya adalah dengan cara tekstual/longitudinal/tahlily dan kontekstual/tematik. Coraknya juga banyak ; ada tafsir filologis (yang menggunakan ilmu-ilmu linguistik, filologi, sintaksis, semiotik, stilistik, retorika sebagai perangkat pendukung untuk memaknai al-Quran dan al-Sunnah), ada tafsir ahkam (tafsir eksoterik – mengambil pengetahuan dari teks berupa kualifikasi-kualifikasi hukum), ada tafsir historis (tafsir birriwayah/bil-ma’tsur), ada tafsir teologis (dilakukan untuk memperkuat opini-opini doktrinal dari aliran-aliran teologi), ada tafsir filosofis (tafsir mistis dengan menggunakan ta’wil esoteris), ada tafsir mistis (tafsir esoteris) dan ada tafsir ilmy (ilmiyah), tafsir estetik (metafor) dll. Disamping itu semua ada juga beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk memaknai teks-teks al-Quran dan al-Sunnah, yaitu ada pendekatan bayani, pendekatan burhani dan pendekatan irfany.

Sebagai gerakan dakwah dan tajdid fil Islam, Muhammadiyah selalu menjadikan Islam yang bersumber pada al-Quran dan al-Sunnah al-maqbulah sebagai titik tolak pergerakannya, dan menjadikannya sebagai tolok ukur untuk melihat perjalanan dari hasil kerjanya. Namun dalam perjalanan sejarahnya pola tersebut semakin sulit untuk dipertahankan, karena ada kecendrungan nash-nash al-Quran dan al-Sunnah al-Maqbulah hanya difahami secara tekstual, sehingga tidak lagi memadai untuk merespon perkembangan peradaban manusia. Wacana tentang ini bahkan sangat marak saat ini di kalangan AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah), dan kecendrungan ini tentu saja ada positifnya di samping juga banyak negatifnya. Di sinilah pentingnya manhaj/qaidah yang dapat dijadikan acuan bersama – dikenal dengan Manhaj/Qaidah Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.

Secara ideal Qaidah Majlis Tarjih berguna untuk menyamakan prinsip dan pandangan di kalangan ulama Muhammadiyah dalam soal pendekatan dan metode kajian. Keperluannya sekurang-kurangnya ada dua, pertama : untuk menyatukan pandangan tentang metode analisis, sehingga dapat dijadikan acuan bersama dalam proses kajian di lingkungan Muhammadiyah. Kedua : menyamakan prinsip dan pandangan di kalangan warga persyarikatan dalam soal pendekatan/metode kajian sehingga jika terdapat perbedaan tidak lagi pada hal-hal yang mendasar, akan tetapi pada ketajaman dan keseksamaan dalam proses analisisnya. Kaidah tersebut secara praktis digunakan sebagai acuan dalam proses kajian dan analisis bagi Majlis Tarjih.

Pada pendekatan bayani yang merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak. Metode ini bertumpu pada pemahaman makna lafal sebagai bahan perumusan pesan-pesan yang dikemukakan suatu lafal.

Bayani adalah pendekatan untuk:

a) memahami dan atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam, atau dikehendaki lafzh, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zhahir dari lafzh dan ‘ibarah yang zhahir pula; dan

b) istinbath hukum-hukum dari an-nushush ad-diniyyah dan al-Qur’an khususnya.

Makna yang dikandung di dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara makna dan lafzh. Hubungan antara makna dan lafzh dapat dilihat dari segi:

a) makna wadl‘i, untuk apa makna teks itu dirumuskan, meliputi makna khashsh, ‘amm dan musytarak;

b) makna isti‘mali, makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna haqiqah (sharihah dan mukniyah) dan makna majaz (sharih dan kinayah);

c) darajat al-wudluh, sifat dan kualitas lafzh, meliputi muhkam, mufassar, nash, zhahir, khafi,musykil, mujmal dan mutasyabih; dan

d) thuruq al-dalalah, penunjukan lafzh terhadap makna, meliputi dalalah al-‘ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-nash dan dalalah al-iqtidla’ (menurut Hanafiyah), atau dalalah al-manzhum dan dalalah al-mafhum baik mafhum al-muwafaqah maupun mafhum al-mukhalafah (menurut Syafi‘iyah).

Untuk itu, pendekatan bayani mempergunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asbab al-nuzul, dan istinbath atau istidlal sebagai metodenya. Sementara itu, kata-kata kunci (keywords) yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi ashl – far‘, lafzh – ma’na (manthuq al-lughah dan musykilah al-dalalah; dan nizham al-khithab dan nizham al-‘aql), khabar-qiyas, dan otoritas salaf (sulthah al-salaf).

Bagi Muhammadiyah pendekatan bayani ini tetap sangat diperlukan dalam rangka komitmennya yang konsisten kepada teks, yaitu al-Quran dan al-Sunnah al-Maqbulah, meskipun tidak harus dilakukan secara berlebihan.

Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum-hukum logika. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bahtsiyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtima‘iyyah) dan realitas budaya (tsaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Di dalamnya ada ma’qulat (kategori-kategori) meliputi kully-juz‘iy, jauhar-aradl, ma‘qulat-alfazh sebagai kata kunci untuk analisis.

Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu ‘ilm al-lisan dan ‘ilm al-manthiq. Yang pertama membicarakan lafzh-lafzh, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafzh al-dalalah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafzh tersebut. Sedangkan yang terakhir membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap di antara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya. ‘Ilm al-manthiq juga merupakan alat (manahij al-adillah) yang menyampaikan kita pada pengetahuan tentang maujud baik yang wajib atau mumkin, dan maujud fi al-adzhan (rasionalisme) atau maujud fi al-a‘yan (empirisme).

Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social sciences, al-‘ulum al-ijtima‘iyyah) dan humaniora (humanities, al-‘ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi, pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (susiuluji), antropologi (antrubuluji), kebudayaan (tsaqafi) dan sejarah (tarikhi), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.

Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu perilaku keberagamaan dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan rekacipta masyarakat utama. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan rekacipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan rekacipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (tsaqafi) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajaran, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Muslim. Agar upaya rekacipta masyarakat Muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini juga menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga pendekatan sejarah (tarikhi). Hal ini agar konteks sejarah masa lalu, kini dan akan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ini bermanfaat agar upaya pembaharuan pemikiran Islam Muhammadiyah tidak kehilangan jejak historis. Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.

Oleh karena itu, dalam burhani, keempat pendekatan – tarikhi, susiuluji, tsaqafi dan antrubuluji – berada dalam posisi yang saling berhubungan secara dialektik dan saling melengkapi membentuk jaringan keilmuan.

Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain; ‘ilm atau ma‘rifah; metode ilham dan kasyf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghunus atau gnosis. Ketika ‘irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-‘irfan mempermudahnya menjadi: pembicaraan mengenai

1) al-naql dan al-tawzhif; dan

2) upaya menyingkap wacana qur’ani dan memperluas ‘ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan ‘irfani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutashawwifin dan ‘arifin untuk mengeluarkan makna bathin dari bathin lafzh dan ‘ibarah; ia juga merupakan istinbath al-ma’arif al-qalbiyyah dari al-Qur’an.

Pendekatan ‘irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq, qalb, wijdan, bashirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kasyfi dan manhaj iktisyafi. Manhaj kasyfi disebut juga manhaj ma‘rifah ‘irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kasyf dengan riyadlah dan mujahadah. Manhaj iktisyafi disebut juga al-mumatsilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi.

Pendekatan ‘irfani banyak dimanfaatkan dalam ta’wil. Ta’wil irfani terhadap al-Qur’an bukan merupakan istinbath, bukan ilham, bukan pula kasyf. Tetapi ia merupakan upaya mendekati lafzh-lafzh al-Qur’an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan ‘irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.

Contoh konkret dari pendekatan ‘irfani lainnya adalah Falsafah Ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-bahtsiyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dzawqiyyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.

Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Quran merupakan contoh konkret dari pengetahuan ‘irfani. Namun, dengan keyakinan yang kita pegangi selama ini, mungkin pengetahuan ‘irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba‘ al-rasul.

Dapat dikatakan, meski pengetahuan ‘irfani bersifat subyektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut.

Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima “pengalaman”. Selanjutnya tahap pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. Tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik dimana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.

Implikasi dari pengetahuan ‘irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk didalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fithrah ilahiyyah.

C. Maqashid al-Syari’ah dan Pemikiran Keagamaan Muhammadiyah

Dari apa yang telah dijelaskan di atas timbul satu pertanyaan terkait dengan Maqashid al-Syari’ah, utamanya dimana peran maqashid al-Syari’ah kaitannya dengan pengembangan pemikiran Islam Muhammadiyah ?

Maqashid asy-Syari‘ah adalah tujuan ditetapkan hukum dalam Islam, yaitu untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghin-dari mafsadah, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan tersebut dicapai melalui penetapan hukum yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum (al-Qur’an dan as-Sunnah).[8]

1. Tingkatan Kemashlahatan

a. Yang terkait dengan kebutuhan dlaruriyat; ialah tingkat kebutuhan yang harus ada, yaitu kebutuhan primer. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat – limashlat al-’ammah ; untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

b. Yang terkait dengan kebutuhan hajjiyat ; ialah tingkat kebutuhan sekunder, bila kebutuhan ini tidak terpenuhi ia tidak sampai mengancam keselamatan, tapi hanya akan mengalami kesulitan, maka disinilah munculnya rukhshah.

c. Yang terkait dengan kebutuhan tahsiniyat ; yaitu kebutuhan tertier, yang apabila tidak terpenuhi tidak sampai mengancam salah satu dari yang lima pokok di atas, dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Fungsinya adalah sebagai pelengkap.

Dalam al-Quran atau Hadis, baik secara eksplisit maupun inplisit ba-nyak sekali ditemukan ketetapan-ketetapan yang menerangkan bahwa hu-kum syara’ diturunkan oleh Allah untuk kemaslahatan umat manusia dan menghindarkan mereka dari kemudaratan dan kerusakan, agar manusia berbahagia di dunia dan berbahagia di akhirat kelak. Agar kebahagiaan itu tercapai manusia diharuskan untuk mengikuti sebaik-baiknya panduan hidup berupa hidayah yang sudah ditetapkan oleh syara’, yaitu yang berupa ketetapan-ketetapan yang harus dikerjakan (amar/perintah), kete-tapan-ketetapan yang harus ditinggalkan (nahyi/larangan), dan ketetapan-ketetapan yang boleh memilih (takhyir/mubah).

Jadi maqashid dalam pengertian umum adalah seperti yang dimaksud oleh ayat dan hadis, baik yang ditunjukan oleh pengertian kebahasaan ataupun tujuan-tujuan yang terkandung di dalamnya. Pendekatan kebahasaan yang dimaksud adalah melalui kaidah-kaidah kebahasaan, seperti dalil-dalil syara’ yang ’am, khash, muthlaq, muqayyad, mujmal, mufassar, mubayyan, muhkam, mutasyabih, zhahir, nasikh, mansukh dsb.

Sedangkan maqashid dalam pengertian khusus adalah terkait dengan substansi atau tujuan yang hendak dicapai satu rumusan/ketetapan yang diberikan oleh ayat maupun hadis.

Untuk memahami semua itu diperlukan penalaran dan kemampuan intelektual yang tinggi, yang dalam studi Islam merupakan bagian dari tela’ah Usul Fikih. Dalam ilmu inilah dapat diketahui ketetapan-ketetapan Allah (khitab Allahه), mana yang berupa perintah (al-amr), mana yang larangan (al-nahy) dan mana pula yang berupa pilihan (al-takhyir) dan yang lainnya. Bahkan dengan ilmu ini pula akan dapat diketahui dengan jelas tujuan (maqâshid)[9] dari Syariat Islam itu.

Walaupun pada akhirnya ulama menyatakan bahwa ketetapan-ketetapan Allah itu harus dita’ati dan dilaksanakan, namun mereka berbeda pendapat mengenai alasan-alasan pelaksanaannya. Sebahagian ulama berpendapat bahwa pelaksanaan khithâb itu merupakan ketaatan belaka, tanpa ada 'illat apapun Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa khithâb syara dilaksanakan karena mengandung kemaslahatan (mashâlih) bagi manusia. Meskipun pendapat ini semula merupakan pendapat kelompok Mutazilah, namun kemudian menjadi pendapat kebanyakan ulama.[10]

2. Tolok Ukur Kemashlatan

Ungkapan yang menyatakan bahwa syariat diturunkan untuk kemaslahatan manusia untuk masa sekarang dan masa yang akan datang (mashalih al-‘ibad lil’ajal wa al-ajal) tidak hanya didukung oleh dalil naqly yang qathiy tetapi juga berdasarkan hasil penelitian (istiqrâiy). Hal ini dimungkinkan karena manusia diberi kemampuan untuk melaksanakan taklif syara yang berisi mashâlih al-dunyâ wa al-âkhirat. Kedua mashâlih[11] tersebut berbeda dalam watak dan sifatnya. Mashâlih dunyâwiyah itu terbagi dua, yaitu dilihat dari segi posisi keberadaannya (maمwaqi’ al-wujud) dan dilihat dari hubungannya dengan ketetapan syara (ta’allaq bi-khithab al-syar’ع ).[12]

Dilihat dari sudut pandang keberadaannya untuk mashâlih dunyâwiyah tersebut tidak ada yang murni. Segala sesuatu yang bersifat keduniaan ini jika dikatakan berguna dan menguntungkan, di dalamnya ada tersirat walaupun kecil yang bersifat merugikan. Demikian juga sebaliknya, setiap yang dikatakan mashlahah, pasti mempunyai mafâsid dan setiap mafâsid mempunyai mashâlih. Ia sangat tergantung dari pemenuhan tuntutan hidup baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Pertimbangannya dilakukan melalui penelitian dan kebiasaan mana yang lebih besar antara manfaat dan kemudaratannya. Yang lebih besar manfaatnya, maka dinamakan al-mashâlih, jika lebih besar madaratnya dinamakan al-mafâsid. Jadi ukuran maslahat dan mafsadat pada hal-hal yang bersifat keduniaan dilakukan melalui tarjîh terhadap kebiasaan yang berlaku.

Dilihat dari sudut pandang hubungannya dengan ketetapan Syara, maka kemaslahatan dan kemudaratan yang telah ditetapkan oleh Syara, itulah yang menjadi tolok ukur. Setiap yang ditetapkan oleh Syara berupa perintah hal itu adalah al-mashâlih dan setiap yang dilarang oleh Syara itu adalah al-mafâsid.

Perintah dan larangan itu sebenarnya sangat sejalan dengan al-mashâlih dan atau al-mafâsid yang berjalan di dunia ini. Seandainya ada perintah atau larangan yang di dalamnya mengandung maslahat dan mafsadat (keduanya sekaligus), maka maslahat dan mafsadat itu harus diabaikan, karena setiap larangan adalah mafsadat dan setiap perintah adalah maslahah.

Sedangkan mashlahah ukhrawiyah sifatnya adalah murni, tidak ada campuran antara maslahah dan mafsadah. Hal demikian adalah karena masalah akhirat tidak termasuk yang menjadi garapan akal dan juga tidak termasuk dalam lapangan penelitian. Surga adalah kenikmatan, orang yang di surga tidak akan merasakan sedikitpun kesengsaraan. Sebaliknya neraka adalah ‘azâb (kesengsaraan), orang yang masuk neraka tidak akan pernah merasakan kenikmatan apapun.

Bila dikatakan surga dan neraka itu bertingkat-tingkat atau ada derajatnya, bukan berarti di surga itu ada mafsadat atau di neraka itu ada maslahah. Adanya derajat itu hanya menunjukan tingkat kenikmatan atau tingkat kesengsaraan.

Berkaitan dengan mashâlih dan mafâsid ini lahirlah beberapa kaidah, yaitu

-االااصلل ففى االممناافعع االااذنن وو ففى االممضاار االممنعع مردودان[13]

Artinya :

Prinsipnya pada setiap yang bermanfaat itu diizinkan dan pada setiap yang mendatangkan kemudaratan itu dilarang

- االممعتتبرر ععندد االتتعاارضض االرراججح[14]

Artinya:

Yang dipergunakan/diamalkan ketika ada pertentangan adalah yang lebih kuat dalilnya (yang râjih).

-أأى االششىءء ككلفف االللـهه ببه ككانن ممصللحة[15]

Artinya :

Segala sesuatu yang ditetapkan oleh Allah untuk hambanya pasti mengandung kemaslahatan.ة

اان ممصاالحح االددارر االااخررة وومففاسسدهها للاتتعررف االاا بباللشررع[16]

Artinya :

Persoalan maslahah dan mafsadah yang berhubungan dengan hari akhirat tidak dapat diketahui kecuali melalui syara’.

3. Teknik memahami mashlahah

Meskipun para ulama tidak sepakat dalam menetapkan ada tidaknya kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat atau kemudaratan dunia dan kemudaratan akhirat, karena sulitnya untuk memisahkan antara keduanya. Bagi seorang muslim yang baik, jika ia melaksanakan kegiatan-kegiatan keduniaan selalu dihubungkan dengan keakhiratan. Hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah, dunia merupakan washîlah, dunia merupakan mazraah untuk mencapai akhirat.

Suatu ketetapan Syara baru dapat dilaksanakan apabila ketetapan-ketetapan tersebut dapat difahami oleh manusia. Karena al-Quran sebagai sumber tasyri diturunkan dalam bahasa Arab, maka untuk memahaminya tidak ada cara lain kecuali melalui bahasa Arab. Tanpa pengenalan bahasa Arab, struktur serta gaya bahasanya, tidak mungkin al-Quran dapat difahami secara baik.

Akan tetapi yang perlu disadari adalah bahwa al-Quran sebagai kitab suci yang dimaksudkan sebagai petunjuk bagi umat manusia, maka ia harus dapat difahami oleh umat manusia dalam berbagai tingkatan. Itulah sebabnya al-Quran itu diturunkan oleh Allah dalam bahasa yang mudah untuk difahami ( ممعههودد) yaitu dalam bahasa yang populer sudah dikenal dalam bahasa Arab.

Pada dasarnya tidak ada bahasa non Arab (ajam) dalam al-Quran, kalaupun ada jumlahnya sangat sedikit, dan itupun sudah di-Arab-kan, artinya sudah populer pemakaiannya di kalangan masyarakat Arab. Di dalam pemakaian bahasa bisa saja orang-orang Arab memakai kata-kata yang umum (âm) dan yang dimaksudkan adalah zhâhir âm itu. Bisa juga yang âm itu dimaksudkan âm pada satu sisi, tetapi khâsh pada sisi lainnya, atau bisa juga lafaznya âm tapi yang dimaksudkan adalah khâsh, atau kata zhâhir tetapi yang dimaksudkan bukan zhâhir.[17] Itu semua tergantung kepada keadaan dari kata-kata itu sendiri dan qarînah-qarînah yang memberikan petunjuk terhadap pengertian dari kata dimaksud.

Di dalam bahasa Arab ada dua hal yang perlu mendapat perhatian yang menyangkut lafal suatu kata yang menunjukkan beberapa pengertian :

a. Al-Dilâlah al-Ashliyah, yaitu lafal-lafal atau ungkapan-ungkapan yang muthlaq, yang menunjukkan pengertian-pengertian yang mutlak. Dalam bentuk ini bahasa Arab mempunyai pengertian-pengertian dengan bahasa-bahasa lain sehingga ia dapat dialihbahasakan dalam bentuk apapun dan melahirkan maksud atau pengertian yang sama.

b. Al-Dilâlah al-Tabiah, yaitu lafal-lafal atau ungkapan-ungkapan yang muqayyad, yang menunjukan maksud atau pengertian tambahan. Bentuk ini merupakan ciri khas dari bahasa Arab, sebagaimana bahasa lain mempunyai ciri khas juga. Untuk memahami kata-kata atau ungkapan-ungkapan dalam bentuk ini perlu diperhatikan keadaan مبmukhbir (pembicara), mukhbar anh (yang diajak bicara), mukhbar bih (yang dibicarakan), nafs al-ikhbâr (inti/isi pembicaraan), قfi al-hal wa al-masâq (situasi dan kondisi), dan nau al-uslûb (gaya bahasa); yaitu al-îdlâh (yang jelas), al-ikhfa (yang samar-samar), al-îjâz (kiasan), dan al-ithnâb (sanjungan) dan yang lain-lain.[18]

Untuk memahami al-Quran, di samping harus mengikuti jalur dan aturan tata bahasa Arab, bahasa yang digunakan al-Quran bukanlah bahasa yang sulit. Bahasa yang dipakai al-Quran adalah bahasa Arab yang ummi karena Rasulullah saw. yang membawa syariat ini orangnya adalah ummi.[19] Disamping itu, al-Quran tidak hanya ditujukan kepada golongan tertentu, misalnya golongan terpelajar saja, sehingga hanya mereka yang bisa memahami al-Quran, akan tetapi al-Quran diturunkan untuk semua golongan sehingga setiap tingkatan masyarakat bisa memahami al-Quran sesuai dengan kapasitas pemahaman yang mereka miliki. Dengan kata lain seperti komentar Syekh Abdullah Darraz, untuk memahami al-Quran dan mengenal awâmir dan nawâhinya tidak diperlukan penguasaan sains, matematika, dan ilmu-ilmu sejenisnya.[20]

Meskipun demikian, tidaklah berarti seluruh isi al-Quran dan kandungannya dapat difahami oleh semua orang. Dalam hal yang menyangkut rahasia/hikmat dan istilah-istilah yang dipakai al-Quran yang akan dijadikan istinbâth hukum, apalagi dalam pengembangan pemikiran Islam, al-Quran hanya bisa difahami oleh orang-orang tertentu (khawâs). Orang yang dapat menyelami kandungan al-Quran dan mampu melakukan ijtihad terhadap yang dimaksud al-Quran bukanlah orang biasa atau kebanyakan, akan tetapi orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan tertentu pula. Ini semua dimaksudkan untuk menghindarkan manusia dari tuntutan/mengikuti hawa nafsunya.[21]

Jadi syariat itu dirurunkan oleh Allah SWT. tentu tidak hanya sekedar untuk difahami semata, tetapi juga untuk diamalkan. Kalau tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, dengan menetapkan segala macam peraturan maka tujuan syariat tersebut sesungguhnya juga adalah agar manusia bisa terbebas dari kungkungan hawa nafsunya.

Kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat tidak akan tercapai tanpa melaksanakan syariat ini. Untuk melaksanakannya komponen pokok yang harus dimiliki oleh manusia adalah ketaatan dan kebaktiannya kepada Allah yang dilandasi oleh iman. Untuk itu syariat juga bertujuan menghindarkan manusia dari tindakan mengikuti hawa nafsu, sehingga manusia dapat mengendalikan dirinya dan hanya tunduk kepada Tuhan.

Seorang mukallaf dapat terhindar dari dorongan dan keinginan hawa nafsu, apabila ia berlindung di bawah naungan hukum-hukum Allah, sebab dalam berbagai bentuknya hukum-hukum itu dirurunkan untuk membentengi manusia dari perbuatan mengikuti hawa nafsu. Hal ini semua dimaksudkan agar manusia benar-benar mengabdi kepada Allah, menjadi hamba-Nya yang terpilih dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Ada bukti kuat dalam sejarah bahwa berdasarkan pengalaman maupun adat istiadat yang berlaku, maslahat agama dan dunia tidak dapat tercapai kalau manusia hanya mengikuti hawa nafsunya. Atas dasar pemikiran seperti inilah muncul kaidah :

اان ككل ععملل ككانن االممتببع ففيهه االههوىى بباططلااق ممن غغيرر االتتقاات االىى االاامرر ااو االننهىى ااو االتتخيييرر, ففهوو بباططل بباططلااق[22]

Artinya:

Setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu secara mutlak tanpa memperdulikan perintah Tuhan, larangan-Nya dan petun-juk-Nya maka perbuatan tersebut juga batal secara mutlak.

-اان ااتبباعع االههوى ططرييق االىى االممذممومى وان فجاء فى ضمن االممحممودد [23]

Artinya :

Mengikuti hawa nafsu itu jalan menuju kepada perbuatan yang tercela, meskipun bisa dibuatkan kesan terpuji.م

Dari uraian tersebut dapat difahami bahwa, untuk pengembangan pemikiran Islam Muhammadiyah, (agar ia tetap berada dalam koridor al-Quran dan al-Sunnah), maka apa yang telah dilakukan oleh para ahli Usul Fikih terdahulu yang telah berusaha dengan sungguh-sungguh menyusun kaidah-kaidah kebahasaan – yang mengkristal dalam bentuk al-qawa’id al-ushuliyah, sehingga dengan kaidah-kaidah tersebut kandungan makna dan maksud dari nash-nash Syara dapat dimengerti dengan baik. Maka ketika kita ingin secara langsung melakukan penggalian dari sumber aslinya, maka kita dapat dengan mudah mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh para imam yang telah menghasilkan kaidah-kaidah tersebut.

Hasil pemahaman (konsep) saja tentu tidak cukup, karena hasil pemahaman itu harus dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, karena itulah yang menjadi tujuan utama dari ber-Muhammadiyah ; yaitu bagaimana al-Islam yang agama Allah itu dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk pengamalannya tentu saja persoalan ruang, waktu dan tempat akan ikut mempengaruhinya. Untuk itu diperlukan kearifan lokal, diperlukan pemahaman yang utuh tentang kaidah-kaidah pemaknaan – qawa’id al-fiqhiyyah, sehingga praktek keagaamaan itu selalu up to date tanpa harus meninggalkan apa-apa yang telah digariskan oleh al-Quran maupun oleh al-Sunnah. Di sinilah signifikansinya pemahaman yang utuh tentang maqashid al-syari’ah dalam pengembangan pemikiran Islam Muhammadiyah.

4. Problem Bagi Majlis Tarjih

Berbagai kaidah Ushuliyyah dan kaidah Fiqhiyyah yang sudah ada, ketika akan diaplikasikan dalam praktek bertarjih dalam Muhammadiyah, apa yang dapat dijadikan acuan dan panduan. Manhaj Tarjih sampai hari ini tidak mengatur hal-hal yang demikian – teknis implementatif. Majlis Tarjih tidak menetapkan sampai pada hal-hal yang bersifat teknis berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul dan kaidah-kaidah fikih ini. Barangkali ini pulalah yang menjadikan tarjih menjadi sebuah kegiatan yang menantang dan dan penuh dinamika.

Yang patut menjadi catatan kita adalah kemana kecendrungan aliran pemikiran Ushul Fiqh Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah ? Apakah mengikuti model pemikiran Ushuli Mutakallimin, ataukah mengikuti model ushuli Fukaha’ ataukah memilih model yang ketiga yaitu yang maqarin seperti yang menjadi kecendrungan ahli-ahli Ushul muta’akhhirin ? Tanpa mempersoalkan kecendrungan model pemikiran Ushul Fiqhnya, karena sampai hari ini belum ada hasil penelitian yang dapat menjelaskan hal yang demikian. Yang pasti setiapkali dilakukan sidang Tarjih seyogianya setiap peserta tahu dan paham bagaimana penting dan strategisnya pemahaman yang baik dan benar tentang ushul sebagai alat untuk melakukan tarjih, sehingga tidak lagi timbul kesan bahwa yang tidak paham seluk beluk ushul malah kadangkala ngotot untuk memaksakan pendapatnya untuk dijadikan putusan tarjih.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Ciputat, 4 Maret 2010



[1] Tulisan ini berasal dari makalah yang disampaikan pada acara Seminar Nasional “ Studi Kritik Metode Tarjih dam Himpunan Putusan Tarjih”, Gedung Islamic Center Kota Parepare, Sulawesi Selatan, Sabtu : 13 Maret 2010

[2] Abdullah M.Amin Abdullah, Paham Keagamaan Kembali Kepada Al-Quran dan As-Sunnah Dalam Era Transformasi Teologis di Tengah Tantangan Kemanusian Universal,Berita Resmi Muhammadiyah No.22/1990-1995 Syawal 1415/Maret 1995, h.44-53

[3] Sekarang ini apa yang menamakan dirinya dengan The New Age membuka diri terhadap gagasan-gagasan dan cara-cara berfikir baru, menolak ajaran agama-agama formal, kajiannya yang serba realistis dan bersandar pada nalar. Untuk lebih jauh bisa dicermati, Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa depan: Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta, Paramadina, 1995)

[4] Cermati Muqaddimah Keputusan Munas Tarjih XXV tentang Manhaj Tarjih dan Perkembangan Pemikiran Islam.

[5] Lebih lanjut cermati Manhaj Tarjih Bab IV, poin A

[6] Cermati Manhaj Tarjih Bab IV, poin B

[7] Lebih lanjut cermati Manhaj Tarjih Bab IV, poin C

[8] Cermati Manhaj Tarjih Bab III, poin A

[9] Menurut al-Syâthibi, maqâshid itu dapat dilihat dari dua segi : pertama : dilihat dari tujuan atau kepentingan al-Syâri’ dan kedua : dilihat dari tujuan atau kepentingan mukallaf. Dilihat dari kepentingan manusia Allah menetapkan syari’at yang pertama dan utama adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan kemaslahatan di akhirat. Dilihat dari kepentingan mukallaf adalah bagaimana ketetapan-ketetapan Allah tersebut dapat difahami dan diamalkan.

[10] Inilah barangkali yang menjadi sumbangan yang amat berarti kelompok Mu’tazilah dalam bidang Usul Fikih. Lihat al-Syâthibi, al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, juz II, ( Beirut, Dâr al-Ma’rifah, t.th. ), h.6

[11] Al-Syâthibi tidak memberikan difinisi eksplisit tentang al-mashâlih ini, ia hanya menerangkan kebalikannya yaitu mafâsid dan selanjutnya menerangkan pula tentang manfa’ah dan masyaqqah. Al-Ghazaly menerangkan bahwa al-mashlahah menurut syara’ itu haruslah berkaitan dengan pemeliharaan lima hal yang pokok yaitu : agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan serta memelihara harta. Lihat al-Ghazaly, al-Mushtasyfâ, juz I, h. 140. Lihat juga al-Bûthy , Dlawâbith al-Mashlahah, h. 23

[12] Al-Syâthiby, al-Muwâfaqât … , h.15

[13] Al-Syâthibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, tahqiq Abdulah Darâz, (Beirut, Dâr al-Ma’rifah, t.th.), jilid II, hal. 40.

[14] Al-Syâthibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl … , h 41.

[15] Al-Syâthibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl … , h.43.

[16] Al-Syâthibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl … , h.47.

[17] Al-Syâthiby, al-Muwâfaqât fî Ushûl … , h.69

[18] Al-Syâthiby, al-Muwâfaqat fî Ushûl … , h. 66-67

[19]Syari’at Islam adalah syariat yang mubârakah dan ummiyah ( ( هذه الشريعة المباركة أمية karena masyarakat yang akan menerimanya juga ummi, ini semata-mata untuk kemasla-hatan manusia. Hal ini sejalan dengan ayat : هو الذى بعث فى الاميين رسولا منهم Al-Syâthiby, al-Muwâfaqât … , h.69

[20] Al-Syâthiby, al-Muwâfaqâ fî Ushûl , h.69

[21] Disinilah barangkali strategisnya pilihan model ijtihad yang dilakukan oleh Muhammadiyah, yaitu ijtihad jama’i, sehingga banyak orang dalam berbagai keahlian dan kompetensi dapat melakukan sumbang saran sebelum dilakukan pengambilan keputusan.

[22] Al-Syâthibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl … , h.173.

[23] Al-Syathibi. Al-Muwâfaqât fî Ushûl … , h.174.طياىامم

Silaturahmi

Mengenai Saya

Foto saya
Orang Jawa, Islam yang nJawani, yang senantiasa berusaha saling asah, asih dan asuh serta hidup berdampingan dengan siapa saja secara damai tanpa saling mengganggu