Senin, 19 Juli 2010

BATAS AURAT WANITA DALAM TAFSIR ALMISBAH

Mengkritik Penafsiran Quraish Shihab tentang Ayat Hijab (Telaah Atas Tesis Saifullah Al Ali, S.Th.I yang Berjudul Batas Aurat Wanita dalam Tafsir Al-Misbah)
oleh akhialbani

A. Pendahuluan

Akhir-akhir ini, umat Islam seakan terhenyak dengan derasnya arus pemikiran liberal yang menyerang sendi-sendi ajaran Islam, tak terkecuali dalam kajian penafsiran Al-Quran. Dalam tataran ideal, metodologi tafsir Al-Quran seharusnya disesuaikan dengan metode penafsiran Rasulullah dan para sahabat, serta tabi’in.[i] Merekalah rujukan utama kita. Namun, saat ini dimunculkanlah ilmu hermeneutika dalam khazanah tafsir Al-Quran. Ilmu yang mula-mula diterapkan dalam menafsirkan bibel ini, dipaksakan untuk dapat diterapkan dalam menafsirkan berbagai kitab suci, terutama Al-Quran.[ii] Dan mungkin, inilah bencana terbesar yang menimpa umat ini berkaitan dengan berbagai upaya musuh-musuh Islam untuk mendekonstruksi kemapanan hukum-hukum Islam.

Setidaknya ada tiga persoalan serius apabila hermeneutika diterapkan pada teks Al-Quran. Pertama, memunculkan sikap kritis yang terkadang berlebihan dan curiga terhadap Al-Quran. Kedua, teks Al-Quran akan dipandang sebagai produk budaya yang dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis Arab dan diabaikan dari hal-hal yang sifatnya transenden (ilahiyyah). Ketiga, memunculkan relativisme tafsir, sehingga kebenaran tafsir itu menjadi sangat relatif, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan.[iii]

Padahal, corak penafsiran yang mengedepankan semangat relativisme dan pemahaman skeptik terhadap Al-Quran jelas tidak mendapatkan tempat dalam khazanah ‘ulumul Quran dan tafsir. Pandangan bahwa Al-Quran sebatas teks historis yang relatif, temporal, kondisional dan senantiasa berevolusi seiring dengan kecenderungan penafsir dan zaman adalah pengeliruan terhadap wahyu. Di samping itu, dikotomi antara teks dan konteks, antara yang normatif dan yang historis, hanyalah upaya terselubung yang bermuara pada penolakan Al-Quran sebagai wahyu suci.[iv]

Berangkat dari uraian di atas, kami tertarik untuk mengkaji sebuah tesis yang ditulis oleh Saifullah Al Ali, S.Th.I, yang berjudul Batas Aurat Wanita dalam Tafsir Al-Misbah.[v] Tesis ini mengkaji pemikiran tafsir M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat hijab, yang telah banyak diketahui oleh publik bahwa Quraish Shihab menganggap hukum jilbab itu tidak wajib bagi muslimah. Sehingga, ditengarai Quraish Shihab ‘kerasukan’ paham relativisme tafsir sebagai buah hermeneutika dalam menafsirkan ayat-ayat hijab. Karena, penafsirannya berlawanan dengan penafsiran ulama-ulama mufassirin pada umumnya. Selanjutnya, uraian-uraian berikut ini akan mengkritisi tesis yang ditulis oleh Saifullah Al Ali, S.Th.I tersebut.

B. Isi Kajian dan Pembahasan

Kajian terhadap tesis Saifullah Al Ali, S.Th.I yang berjudul Batas Aurat Wanita dalam Tafsir Al-Misbah ini akan diarahkan pada beberapa bagian dalam tesis tersebut, yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan signifikasi penelitian, telaah pustaka dan kerangka teori, metode penelitian, temuan dan analisis, serta penutup (kesimpulan dan saran).

1. Latar Belakang Masalah

Saifullah Al Ali mengawali penulisan tesisnya dengan menegaskan pemahaman Al-Quran sebagai teks historis, yang sangat dipengaruhi oleh konteks lokal-temporal yang spesifik. Untuk itu dalam konteks keindonesiaan, diperlukan tafsir yang representatif dan yang mengerti dengan budaya dan kondisi bangsa Indonesia. Saifullah menulis dalam tesisnya :

“Tidak ada yang membantah bahwa Al-Quran adalah hasil proses metamorfosa dari teks oral menjadi teks tertulis. Proses metamorfosis ini menunjukkan bahwa Al-Quran adalah teks bahasa, yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Teks apa pun merupakan fenomena sejarah dan memiliki konteks spesifik, tak terkecuali Al-Quran. Sebagai firman yang memanusiawi, Al-Quran tidak lahir dalam ruang hampa budaya, tapi lahir dalam ruang-waktu yang sarat budaya. Atas dasar ini, teks Al-Quran, seperti teks-teks linguistik lain, adalah teks historis.”[vi]

Sedangkan pandangan bahwa Al-Quran adalah teks linguistik yang terpengaruh dengan kultur Arab pra-Islam dan harus dipahami dengan pendekatan konteks sejarah saat itu (empiris-historis), akan membawa pengertian sebagai berikut : Pertama, bahwa Al-Quran dihasilkan secara kolektif dari serangkaian faktor politik, ekonomi dan sosial. Atau dengan kata lain, Al-Quran adalah hasil pengalaman individual yang diperoleh Nabi Muhammad dalam waktu dan tempat tertentu (specific time-space context), di mana latar belakang sejarah saat itu mengambil peranan inti dalam mewarnai pemikiran beliau, dan bahasa sebagai perangkat ungkapan sejarah. Kedua, menyamarkan kedudukan suci dan keabsolutan Al-Quran. Ketiga, penentuan kontekstual terhadap makna mengesampingkan kemapanan bahasa dan susunan makna dalam bahasa (semantic structures), menyebabkan kosa kata dalam teks kitab suci selalu permisif untuk disusupi berbagai dugaan, pembacaan subyektif dan pemahaman yang hanya mendasarkan pada relativitas sejarah. Keempat, memisahkan makna antara yang ‘normatif’ dan yang ‘historis’ di satu sisi, dan menempatkan kebenaran (truth) secara kondisional menurut kultur tertentu dan suasana historis di sisi lain, akan cenderung pada paham sekular.[vii]

Saifullah kembali menulis :

“Pemahaman Al-Quran dalam konteks Indonesia, menurut Quraish Shihab, harus diberi interpretasi sesuai watak, kepribadian, budaya bangsa dan perkembangan yang positif, sehingga Al-Quran dapat berfungsi dalam kehidupan kontemporer. Dengan cara demikian, pemahaman terhadap Al-Quran akan dapat bersifat dialogis, antara wahyu di satu pihak dengan realitas di pihak lain, sehingga kehadirannya lebih fungsional.”[viii]

Sepanjang penuturannya di bagian ‘latar belakang masalah’ ini, Saifullah seakan ingin menjadikan konsep ‘relativisme tafsir’ ini sebagai ruh yang menjiwai penulisan tesisnya. Dan, di sini sangat jelas sekali gambaran ‘keberpihakan ilmiah’ Saifullah terhadap pemikiran tafsir Quraish Shihab tentang ayat hijab, yang disinyalir banyak kalangan amat kontroversial. Di bagian ini, Saifullah sama sekali tidak menyinggung walau satu paragraf pun, pendapat beberapa kalangan pemikir Islam yang mengcounter pemahaman Al-Quran sebagai produk budaya yang terikat dengan konteks sosio-historis Arab yang spesifik. Jika ini dilakukan, tentu sejak awal Saifullah akan mampu membeberkan pemikiran tafsir Quraish Shihab tentang ayat hijab dalam bingkai pro dan kontra. Dan, hal ini kami anggap lebih adil, obyektif dan mencerdaskan. Itu jika Saifullah ‘tidak percaya diri’ untuk memposisikan dirinya sebagai peneliti yang tidak sepakat dan bersikap kritis terhadap model penafsiran Quraish Shihab tentang ayat hijab.

2. Rumusan Masalah

Penulis tesis ini, Saifullah Al Ali, merumuskan masalah yang akan dibahas dalam tesis ini ke dalam tiga poin besar. Pertama, bagaimana deskripsi M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah tentang batas aurat wanita? Kedua, apa yang menjadi faktor-faktor penyebab penafsiran Quraish Shihab tentang batas aurat wanita? Ketiga, bagaimana penyebaran ide penafsiran Quraish Shihab di kalangan tokoh yang muncul sebelum, semasa dan setelah Tafsir Al-Misbah disusun?[ix]

Menyimak rumusan masalah di atas, kita bisa melihat bahwa penulis tesis tersebut hanya berorientasi mendeskripsikan dan mengeksplorasi semata penafsiran Quraish Shihab tentang ayat hijab, serta tidak terlalu menggunakan ‘pisau analisis’ yang tajam untuk membedah gaya penafsiran Quraish Shihab, mengangkat penyakitnya dan mentashfiyahnya dari berbagai kesalahan penafsiran. Seharusnya, penulis bisa menambahkan poin keempat dalam rumusan masalah itu, yaitu bagaimana reaksi ilmiah para tokoh muslim terhadap penafsiran Quraish Shihab tersebut? Penulis bisa melakukan studi komparasi dalam bab khusus terhadap beberapa pandangan yang kontra dengan tafsir Quraish Shihab, sehingga tesis tersebut bisa lebih komprehensif mengeksplorasi penafsiran Quraish Shihab tentang ayat hijab, dan beberapa letupan pemikiran yang muncul sebagai reaksi dari hal tersebut.

3. Tujuan dan Signifikasi Penelitian

Terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis tesis dalam melakukan penelitian tentang batas aurat wanita dalam Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Pertama, untuk menjelaskan deskripsi M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah tentang batas aurat wanita. Kedua, untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab penafsiran Quraish Shihab tentang batas aurat wanita. Ketiga, untuk menjelaskan penyebaran ide penafsiran Quraish Shihab di kalangan tokoh yang muncul sebelum, semasa dan setelah Tafsir Al-Misbah.[x]

Adapun signifikasi penelitian ini adalah : Pertama, diharapkan dapat memperjelas batas aurat wanita, terutama dalam konteks ke-Indonesiaan. Kedua, memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam studi Al-Quran dan studi tentang wanita.[xi]

Di dalam rumusan tujuan dan signifikasi penelitian di atas terdapat ungkapan yang patut kita cermati, yaitu kalimat ‘memperjelas batas aurat wanita, terutama dalam konteks ke-Indonesiaan’. Apa yang dimaksud dengan batas aurat wanita, terutama dalam konteks ke-Indonesiaan? Apakah Islam menetapkan batas aurat wanita yang berbeda-beda antara di Arab Saudi, Indonesia, Mesir, Amerika dan daerah-daerah lainnya? Apabila batas aurat wanita dipahami berbeda-beda sesuai dengan konteks sosio-historis suatu daerah, maka hukum menutup aurat (berjilbab) pun akan menjadi relatif, tergantung konteks daerahnya masing-masing. Bisa jadi, bila jilbab (hijab) dihukumi wajib di Saudi bagi wanita muslimah, namun di Indonesia bisa dihukumi tidak wajib, karena konteksnya berbeda dengan Saudi. Apakah ini yang dimaksud batas aurat wanita dalam konteks ke-Indonesiaan?

Sebelum mengkaji penafsiran Quraish Shihab tentang ayat hijab dalam tesis ini, kiranya perlu kami kemukakan pernyataan Quraish Shihab tentang jilbab, yang dituangkan dalam bukunya Wawasan Al-Quran. Setelah menyimak penuturan ini, semoga akan memberikan kegamblangan pemahaman terkait dengan tafsir jilbab Quraish Shihab dalam konteks ke-Indonesiaan. Quraish Shihab menegaskan :

“Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu[xii], bahkan mungkin berlebih. Namun, dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka ‘secara pasti telah melanggar petunjuk agama’. Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.”[xiii]

Dengan pernyataan itu, bukankah hukum berjilbab kini menjadi sangat relatif dan kabur eksistensinya? Karena Indonesia tidak sama dengan Arab, dan jilbab dianggap sebagai adat istiadat negara Arab, yang tidak harus dipaksakan untuk diterapkan di Indonesia. Karena wanita Indonesia telah memiliki batasan aurat yang bisa jadi berbeda dengan wanita Arab. Dengan menukil pernyataan Muhammad Thahir bin Asyur, Quraish Shihab semakin jelas meletakkan fondasi penafsirannya, ia menulis :

“Kami percaya bahwa adat kebiasaan suatu kaum tidak boleh –dalam kedudukannya sebagai adat– untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.”[xiv]

Beginikah tafsir representatif ayat hijab dalam konteks ke-Indonesiaan yang dimaksud oleh penulis tesis tersebut?

4. Telaah Pustaka dan Kerangka Teori

Di dalam bagian ‘telaah pustaka’, penulis tesis ini mendeskripsikan beberapa karya penelitian yang telah dilakukan, terkait dengan pemikiran maupun gaya penafsiran Quraish Shihab. Kemudian, pada bagian ‘kerangka teori’, penulis menjelaskan perkembangan penafsiran Al-Quran dari waktu ke waktu; yang dulu hanya bersandar pada riwayah (tafsir bil ma’tsur), namun sesuai dengan perkembangan zaman kini peran akal dan ijtihad mulai mewarnai penafsiran Al-Quran.

Dengan mengutip pernyataan Quraish Shihab dalam buku Membumikan Al-Quran[xv], Saifullah –penulis tesis ini– menegaskan :

“Pada mulanya usaha penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran bersandar pada riwayah, sementara penggunaan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa, serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosa kata. Namun, sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga lahirlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.”[xvi]

Maka, dalam ilmu tafsir Al-Quran kita mengenal dua tipe besar tafsir di dunia Islam, yakni tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi. Tafsir bir ra’yi (rasio) menurut Manna’ Al-Qaththan di dalam Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran, adalah tafsir di mana mufassir hanya mengandalkan pemahamannya sendiri dan kesimpulan rasionalnya semata dalam menjelaskan ma’ani Al-Quran.[xvii] Para ulama, seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Al-Alusi dan lainnya mengatakan bahwa tafsir yang hanya mengandalkan rasio semata adalah haram hukumnya. Namun, Ibnu Taimiyyah di dalam Muqaddimah fi Ushul At-Tafsir berpendapat bahwa hadits-hadits shahih dan perkataan-perkataan sejenis dari kalangan ulama salaf yang melarang tafsir bir ra’yi harus dipahami sebagai keberatan mereka untuk berbicara dalam tafsir Al-Quran tanpa bekal keilmuan yang cukup. Sedangkan jika orang berbicara tentang apa yang ia ketahui, seperti bahasa Arab dan syariat, atau dengan bekal keilmuan yang mumpuni, maka ia tak terlarang untuk berbicara dan menggeluti tafsir bir ra’yi.[xviii]

Menurut Abdurrahman Al-Baghdadi, cara menafsirkan Al-Quran haruslah sesuai dengan cara yang sesuai dengan Al-Quran itu sendiri secara tekstual, bukan kontekstual (sesuai kondisi dan situasi).[xix] Sedangkan terkait dengan peran akal (ra’yu) sebagai sumber tafsir, Abdurrahman Al-Baghdadi menegaskan bahwa menafsirkan Al-Quran berdasarkan ra’yu lazim disebut dengan ijtihad dalam menafsirkan Al-Quran. Dalam hal itu, para ulama ahli tafsir yang bersangkutan memang mengenal bahasa Arab dan mengenal baik lafazh-lafazh yang mereka temukan dalam puisi dan prosa zaman sebelum Islam. Selain itu, mereka berpegang pada berita-berita yang dipandang benar mengenai sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran (asbabun nuzul). Berdasarkan sarana-sarana pembantu seperti itu, mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Quran menurut pengertian yang diperoleh dari hasil ijtihadnya masing-masing.

Arti menafsirkan Al-Quran berdasarkan ar-ra’yu tidak lebih dari itu. Mereka tidak mengatakan semaunya sendiri dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, tetapi bersandar pada sastra zaman sebelum Islam, seperti puisi, prosa, adat istiadat Arab, dan cara mereka berdialog. Selain itu, mereka bersandar pula pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah, dan hal-hal yang dialami beliau, seperti permusuhan kaum kafir, perlawanan-perlawanan terhadap beliau, hijrah beliau, peperangan-peperangan dan segala yang terjadi selama itu, yang menyebabkan turunnya ayat-ayat Al-Quran dan hukum-hukumnya. Itulah yang dimaksud dengan tafsir berdasarkan ar-ra’yu, yakni memahami kalimat-kalimat Al-Quran dengan jalan memahami maknanya yang ditunjukkan oleh pengetahuan bahasa Arab dan peristiwa yang dicatat oleh seorang ahli tafsir.[xx]

Jadi, peran akal tetap terbatas dengan beberapa kaidah penafsiran, sehingga ahli tafsir tidak terjerumus kepada sikap menafsirkan Al-Quran berdasarkan rasio semata. Dan, inilah yang ditinggalkan oleh para liberalis, sehingga mereka menafsirkan Al-Quran secara ngawur dan menyesatkan.

5. Metode Penelitian

Penulis tesis menegaskan bahwa penelitian yang ia lakukan tentang batas aurat wanita dalam Tafsir Al-Misbah merupakan penelitian kepustakaan (library research), dengan menggunakan metode analisis deskriptif (descriptive analysis), dan analisis eksplanatori (explanatory analysis), dengan pendekatan historis.

Kami melihat bahwa penulis tesis belum mampu menggunakan metode analisis eksplanatori secara maksimal dalam penulisannya, sehingga lebih cenderung hanya sebatas deskripsi teks saja, dan kurang mendalam pembahasannya. Metode analisis eksplanatori adalah suatu analisis yang berfungsi memberi penjelasan yang lebih mendalam daripada sekedar mendeskripsikan makna sebuah teks.[xxi] Sedangkan metode analisis deskriptif adalah pemaparan apa adanya terhadap apa yang dimaksud oleh suatu teks dengan cara memparafrasekan dengan bahasa peneliti.[xxii]

5. Temuan dan Analisis

Salah satu ayat hijab yang ditafsirkan secara kontroversial oleh Quraish Shihab di dalam tafsirnya adalah :

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[xxiii]

Tafsir Quraish Shihab tentang ayat-ayat hijab banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Thahir bin Asyur dan Muhammad Said Al-Asymawi, dua tokoh berpikiran liberal asal Tunis dan Mesir, yang berpendapat bahwa jilbab adalah produk budaya Arab.

Asymawi menulis sebuah buku yang berjudul Kritik Atas Jilbab, yang diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation, April 2003, editor Nong Darol Mahmada, seorang aktivis liberal. Pandangan yang mengatakan bahwa jilbab itu tidak wajib ditegaskan dalam buku ini. Bahkan Asymawi dengan lantang berkata bahwa hadits-hadits yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijab itu adalah hadis ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Buku ini, secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.[xxiv]

Adian Husaini menilai bahwa Asymawi bukanlah pakar yang otoritatif dalam bidang syariat Islam, yang sepatutnya tidak disejajarkan oleh Quraish Shihab dengan para ulama-ulama besar yang otoritatif di bidangnya. Asymawi pun juga dikenal sebagai tokoh pluralisme agama yang mengakui kebenaran relatif tiap-tiap agama.[xxv]

Setidaknya ada dua poin besar yang bisa kami rumuskan berkaitan dengan penafsiran Quraish Shihab terhadap ayat hijab.

Pertama, Quraish Shihab berpendapat bahwa Al-Quran tidak menentukan secara tegas dan rinci tentang batas-batas aurat, sehingga hal itu dianggap sebagai masalah khilafiyah. Bahkan, Najwa Shihab, salah satu putrinya, juga sering tampil di publik tanpa memakai kerudung.[xxvi] Ini merupakan tanda bahwa M. Quraish Shihab konsisten dengan pendapatnya. Sebab kalau ada ketentuan yang pasti dan batas yang jelas, maka kaum muslimin dan para ulamanya tidak akan berbeda pendapat. Meskipun masing-masing cerdik pandai memiliki alasan tiap kali menyampaikan pendapat. Namun pendapat mereka tidak lepas dari pertimbangan adaptasi, logika, pertimbangan kerawanan terhadap rangsangan syahwat, dan tentu saja pertimbangan teks keagamaan.[xxvii]

Ayat-ayat Al-Quran yang diajukan sebagai dalil selalu mengandung aneka interpretasi. Perbedaan para ulama tentang batas-batas yang ditoleransi untuk dilihat dari wanita membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang nilai keshahihan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan batas aurat wanita. Ini menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanni yakni dugaan. Seandainya ada hukum yang pasti bersumber dari Al-Quran maupun sunnah, tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak pula menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas dan sempitnya batas-batas itu.

Perbedaan para pakar tersebut, bagi M. Quraish Shihab, adalah perbedaan antara pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat, serta pertimbangan nalar. Bukan hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas. Dari sini kemudian M. Quraish Shihab mengambil kesimpulan bahwa batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir-mengkafirkan.[xxviii]

Kedua, Quraish Shihab berpendapat bahwa jilbab merupakan adat istiadat dan produk budaya Arab. Dan menurutnya, dengan mengutip perkataan Muhammad Thahir bin Asyur, bahwa adat kebiasaan suatu kaum tidak boleh –dalam kedudukannya sebagai adat– untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.[xxix]

Kemudian Ibnu Asyur –yang disepakati Quraish Shihab– memberikan beberapa contoh dari surat Al-Ahzab ayat 59, yang memerintahkan kaum mukminah agar mengulurkan jilbabnya. Asyur memberikan penjelasan kalau perintah mengulurkan jilbab adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak mendapatkan kewajiban.[xxx]

Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu (Al-Ahzab ayat 59), bahkan mungkin berlebih. Namun, dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka ‘secara pasti telah melanggar petunjuk agama’. Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.[xxxi]

Menurut Asymawi, illat hukum pada ayat ini (Al-Ahzab ayat 59), atau tujuan dari penguluran jilbab adalah agar wanita-wanita merdeka dapat dikenal dan dibedakan dengan wanita-wanita yang berstatus hamba sahaya dan wanita-wanita yang tidak terhormat, supaya tidak terjadi kerancuan di antara mereka. Illat hukum pada ayat di atas, yaitu membedakan antara orang-orang merdeka dan hamba sahaya kini telah tiada, karena masa kini sudah tidak ada lagi hamba sahaya. Dengan demikian, tidak ada lagi keharusan membedakan antara yang merdeka dengan yang berstatus budak, maka ketetapan hukum yang dimaksud menjadi batal dan tidak wajib diterapkan berdasar syariat agama. Demikian pendapat Muhammad Said Al-Asymawi sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab.[xxxii]

Sangat gamblang sekali, bahwa penafsiran Quraish Shihab tentang ayat hijab sangat dipengaruhi corak pemikiran liberal, yang diusung oleh Ibnu Asyur dan Asymawi. Sehingga, Quraish Shihab terjebak ke dalam belenggu relativisme tafsir yang merupakan buah dari ilmu hermeneutika yang disuntikkan ke dalam ilmu tafsir. Dan menurut hermeneutika ini, tidak ada tafsir yang qath’i, tidak ada yang pasti kebenarannya, semuanya relatif, semuanya zhanni.[xxxiii] Dengan model tafsir hermeneutik ala kontekstual historis ini, hukum Islam bisa diubah sesuai dengan kemauan siapa saja yang mau mengubahnya, karena tidak ada standar dan metodologi yang baku. Cara seperti ini tidak bisa diterapkan dalam penafsiran Al-Quran, sebab Al-Quran adalah wahyu yang lafaz dan maknanya dari Allah, bukan ditulis oleh manusia. Karena itu, ketika ayat-ayat Al-Quran berbicara tentang perkawinan, khamr, aurat wanita dan sebagainya, Al-Quran tidak berbicara untuk orang Arab saja. Maka, dalam penafsiran Al-Quran memang tidak mungkin lepas dari makna teks, karena Al-Quran memiliki teks yang final dan tetap.[xxxiv]

Begitu pula dengan kewajiban menutup aurat bagi wanita. Ayat tentang kewajiban menutup aurat bagi wanita (An-Nuur : 31, dan Al-Ahzab : 59), sudah dipahami seluruh ulama sepanjang sejarah Islam, bahwa wanita muslimah wajib menutup tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan. Karena ayat Al-Quran bersifat universal, maka perintah menutup aurat itu berlaku untuk semua wanita dan sepanjang zaman, bukan hanya untuk wanita Arab. Sebab, anatomi tubuh seluruh wanita adalah sama, baik Arab, Eropa, Cina, atau Jawa. Oleh karena itu, sepanjang sejarah Islam, para ulama hanya berbeda pendapat dalam soal kewajiban menutup wajah (cadar) dan batasan tangan. Tidak ada yang berpendapat bahwa wanita boleh memperlihatkan perut atau punggungnya. Apalagi, yang berpendapat bahwa batasan aurat wanita tergantung situasi dan kondisi. Konsep finalitas dan universalitas teks Al-Quran inilah yang patut disyukuri oleh umat Islam, sehingga umat Islam seluruh dunia sampai saat ini memiliki sikap yang sama tentang berbagai masalah mendasar dalam Islam.[xxxv]

Lalu, bagaimana dengan penafsiran Quraish Shihab yang menganggap jilbab adalah tradisi orang Arab? Kalau kita cermati, substansi tafsir Quraish Shihab tersebut sangat sejalan dengan gagasan yang disuarakan oleh kaum liberal. Dan, penafsiran model ini sangat berbahaya, dan tentu saja tidak bisa kita terima. Sebuah artikel di situs JIL (www.islib.com) menyatakan, “Dalam konteks Al-Quran sebagai mitos, saya berpendapat bahwa makna denotatif Al-Quran (baca : ayat muamalah) adalah bersifat lokal-temporal yang cuma diperuntukkan bagi masyarakat di mana Al-Quran turun. Sedang unsur yang universal dan relevan untuk semua tempat dan zaman ada pada makna konotatifnya. Sebagai misal, perintah jilbab dalam Al-Quran sebagaimana diisyaratkan oleh makna denotatifnya, tidaklah berarti bahwa seluruh umat Islam wajib memakai jilbab, tapi makna konotatif dari perintah tersebut adalah : Pertama, pemakaian busana untuk menutup aurat ditentukan oleh standar ‘kepantasan’ budaya masing-masing, layaknya jilbab yang menjadi standar kepantasan masyarakat Arab waktu itu. Ini makna konotatif yang mungkin kita temukan pada lapisan pertama. Kedua, keharusan umat Islam ‘menghormati tradisinya’ masing-masing, sebagaimana masyarakat Arab memandang jilbab sebagai tradisi. Dan ini makna yang bersemayam pada lapisan berikutnya. Kedua makna konotatif inilah –untuk sementara waktu– yang merepresentasikan universalitas ayat jilbab. Tentu, masih diandaikan adanya tumpukan makna yang terendap dan harus terus digali dalam ayat jilbab ini.”[xxxvi]

Situs www.islib.com telah banyak sekali memposting artikel-artikel yang menolak formalisasi kewajiban jilbab dalam konteks ke-Indonesiaan.[xxxvii] Dan tujuan mereka satu, yakni mendekonstruksi kemapanan hukum-hukum Islam yang telah disepakati oleh para ulama sepanjang sejarah.

6. Kesimpulan dan Saran

Penulis tesis, Saifullah Al Ali, memaparkan uraian kesimpulan dan saran dalam format tulisan lepas dan terkesan mengulang-ulang beberapa kutipan pada paragraf-paragraf sebelumnya. Menurut kami, uraian penutup dan saran ini akan lebih baik jika dituangkan dalam beberapa item kesimpulan yang ringkas. Karena, dalam pemaparan-pemaparan sebelumnya, penulis kami anggap belum mampu mendeskripsikan hasil penelitian dengan gamblang yang merepresentasikan pemikiran tafsir Quraish Shihab. Maka, penuturan uraian kesimpulan dalam beberapa item pokok akan melengkapi kekurangan uraian-uraian sebelumnya, serta akan lebih memahamkan para pembaca.

Dikarenakan sejak awal penulisan, penulis tesis ini memperlihatkan ‘keberpihakan ilmiah’ dengan pemikiran Quraish Shihab, maka ia tidak menyarankan pentingnya dialog-dialog ilmiah antara pihak-pihak yang pro dan kontra dengan penafsiran Quraish Shihab. Sehingga, masyarakat akan semakin cerdas dan memahami hujjah-hujjah kedua belah pihak.

C. Penutup

Alhamdulillah, dengan keterbatasan ilmiah yang kami miliki, akhirnya kami bisa merampungkan penelitian terhadap tesis yang berjudul Batas Aurat Wanita dalam Tafsir Al-Misbah. Sebagai kesimpulan dari pembahasan ini kami kemukakan sebagai berikut :

1. Dari sisi penulisan, penulis tesis ini kami anggap belum mampu mendeskripsikan secara gamblang hasil penelitiannya dalam sistematika pembahasan yang merepresentasikan penafsiran Quraish Shihab.

2. Penulis memiliki ‘keberpihakan ilmiah’ dengan pemikiran Quraish Shihab, sehingga kurang mampu menyajikan pembahasan yang kritis-obyektif.

3. Dari sisi obyek kajian, penafsiran Quraish Shihab tentang ayat hijab diasumsikan terpengaruh dengan pemikiran liberal Ibnu Asyur dan Asymawi. Ia berpendapat tafsir ayat hijab tersebut bersifat relatif. Pertama, menurut Quraish Shihab, batasan aurat wanita dalam Al-Quran tidak jelas dan bersifat khilafiyah. Kedua, jilbab merupakan adat istiadat Arab, sehingga tidak bisa dipaksakan diterapkan dalam konteks ke-Indonesiaan. Sehingga, jilbab hukumnya tidak wajib bagi muslimah Indonesia.

***

Referensi

Abdul Hayyie Al-Kattani, Lc., Al-Quran dan Tafsir, dalam Jurnal Al-Insan, Vol. I, No. 1, Januari 2005.

Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Gema Insani Press, Jakarta, Cet. I, 2006.

Adian Husaini, M.A. dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Gema Insani Press, Jakarta, Cet. II, 2008.

Henri Shalahuddin, M.A., Konsep Tafsir Al-Quran dan Tantangannya, di dalam Islamic Worldview : Bahan Kuliah di Program Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakata, 2008.

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran : Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, Cet. VIII, 1998.

Saifullah Al Ali, S.Th.I, Batas Aurat Wanita dalam Tafsir Al-Misbah, tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008.
www.islib.com.

[i] Dalam ilmu tafsir Al-Quran dikenal istilah tafsir bil ma’tsur, sebuah model tafsir yang berpijak pada nash dan riwayat yang shahih; yakni menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, atau dengan Sunnah karena ia datang sebagai penjelas Al-Quran, atau dengan riwayat dari sahabat karena mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui ilmu tentang Al-Quran, atau dengan riwayat dari para tabi’in karena mereka biasanya menerima hal itu dari para sahabat. Tafsir model ini, menurut Manna’ Al-Qaththan di dalam Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, merupakan tafsir yang harus diikuti dan diambil, karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan sebagai jalan yang aman untuk menjaga seseorang dari kesalahan dan penyimpangan dalam memahami Al-Quran. Tapi semua itu dengan catatan kita harus membersihkannya dari riwayat-riwayat yang lemah dan palsu. (Lihat tulisan Abdul Hayyie Al-Kattani, Lc., Al-Quran dan Tafsir, dalam Jurnal Al-Insan, Vol. I, No. 1, Januari 2005, hal. 97-99).

[ii] Adian Husaini, M.A. dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Gema Insani Press, Jakarta, Cet. II, 2008.

[iii] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Gema Insani Press, Jakarta, Cet. I, 2006, hal. 153-155.

[iv] Henri Shalahuddin, M.A., Konsep Tafsir Al-Quran dan Tantangannya, di dalam Islamic Worldview : Bahan Kuliah di Program Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakata, 2008.

[v] Tesis setebal 127 halaman ini diajukan kepada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, untuk memperoleh gelar magister dalam ilmu agama Islam, Program Studi Agama Filsafat Konsentrasi Studi Al-Quran dan Hadits, tahun 2008. Bertindak sebagai pembimbing adalah Dr. Hamim Ilyas, M.A. Tesis tersebut diujikan pada hari Rabu, 7 Mei 2008, di hadapan tim penguji yang terdiri dari : Dr. Alim Roswantoro, M.Ag. (Ketua Sidang), Drs. Mochammad Sodik, S.Sos, M.Si. (Sekretaris Sidang), Dr. Hamim Ilyas, M.A. (Pembimbing/Penguji), dan Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag. (Penguji).

[vi] Batas Aurat Wanita dalam Tafsir Al-Misbah, hal. 1. Redaksi teks ini dikutip dari Ahmad Fawaid Sjadzi, Memanusiakan Al-Quran : Marhaban Abu Zaid, www.islamlib.com.

[vii] Henri Shalahuddin, M.A., Konsep Tafsir Al-Quran dan Tantangannya, dalam Islamic Worldview, 2008.

[viii] Ibid., hal. 4.

[ix] Ibid., hal. 6.

[x] Ibid., hal. 6-7.

[xi] Ibid., hal. 7.

[xii] Al-Ahzab [33] : 59.

[xiii] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran : Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, Cet. VIII, 1998, hal. 179.

[xiv] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, hal. 178.

[xv] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Mizan, Bandung, 2000, hal. 77.

[xvi] Batas Aurat Wanita dalam Tafsir Al-Misbah, hal. 11.

[xvii] Ibid.

[xviii] Ibid.

[xix] Adian Husaini, M.A. dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, hal. 49.

[xx] Ibid., hal. 78-79.

[xxi] Sahiron Syamsudin, Pengolahan Data dalam Penelitian Tafsir, makalah Pelatihan Mahasiswa BEMJ Tafsir-Hadits, Pusat Penelitian Bahasa, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1999, hal. 3-4. Dikutip dari Batas Aurat Wanita dalam Tafsir Al-Misbah, hal. 15.

[xxii] Ibid.

[xxiii] Al-Ahzab [33] : 59.

[xxiv] Lihat Nong Darol Mahmada, Kritik Atas Jilbab, www.islib.com, tanggal 17 April 2003.

[xxv] Batas Aurat Wanita dalam Tafsir Al-Misbah, hal. 95.

[xxvi] Ibid., hal. 84.

[xxvii] Ibid., hal. 69.

[xxviii] M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Lentera Hati, Jakarta, Cet. III, 2006, hal. 67. Ibid., hal. 70.

[xxix] Ibid., hal. 73.

[xxx] Ibid.

[xxxi] Ibid., hal. 74.

[xxxii] Ibid., hal. 89.

[xxxiii] Adian Husaini, M.A. dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, hal. 19.

[xxxiv] Ibid., hal. 23.

[xxxv] Ibid., hal. 24.

[xxxvi] Rony Subayu, Al-Quran Sebagai Mitos, www.islib.com, tanggal 10 April 2005.
[xxxvii] Bisa dibaca misalnya; Novriantoni, Kasus Jilbab Padang dan ‘Fasisme Kaum Moralis’; Sudarto, Masyarakat Terkelabui oleh Formalisasi Jilbab; Nong Darol Mahmada, Kritik Atas Jilbab; Sri Rahayu Arman, Jilbab : Antara Kesucian dan Resistensi; Saiful Amien Sholihin, Menyorot Aurat dan Jilbab; Andree Feillard, Di Indonesia, Tidak Pakai Jilbab Pun Aman; Nong Darol Mahmada, Hijabisasi Perempuan dalam Ruang Publik; Musdah Mulia, Saya Keberatan Kalau Jilbab Dipaksakan; di www.islib.com.

Sumber http://akhialbani.wordpress.com/2009/02/10/mengkritik-penafsiran-quraish-shihab-tentang-ayat-hijab-telaah-atas-tesis-saifullah-al-ali-sthi-yang-berjudul-batas-aurat-wanita-dalam-tafsir-al-misbah/

Jumat, 16 Juli 2010

RANGGA WARSITA

Rangga Warsita
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Raden Ngabehi Rangga Warsita (alternatif: Ronggowarsito; lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Maret 1802 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 24 Desember 1873 pada umur 71 tahun) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa.


Raden Ngabehi Rangga Warsita

Asal-Usul

Nama aslinya adalah Bagus Burham. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara dan cucu dari Yasadipura II, pujangga besar Kasunanan Surakarta.

Ayah Bagus Burham merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burham juga memiliki seorang pengasuh setia bernama Ki Tanujoyo.
Riwayat Masa Muda

Sewaktu muda Burham terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di Desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.

Ketika pulang ke Surakarta, Burham diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwana IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819.

Pada masa pemerintahan Pakubuwana V (1820 – 1823), karir Burham tersendat-sendat karena raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya agar pangkat Burham dinaikkan.

Pada tanggal 9 November 1821 Burham menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burham berkelana sampai ke pulau Bali di mana ia mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku.
Puncak Kejayaan Karir

Bagus Burham diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian kakeknya (Yasadipura II), Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga keraton Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845.

Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.

Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh kesah rakyat kecil.
Misteri Kematian

Patung Rangga Warsita di depan museum Radya Pustaka, Surakarta

Pakubuwana IX naik takhta sejak tahun 1861. Ia adalah putra Pakubuwana VI yang dibuang ke Ambon tahun 1830 karena mendukung Pangeran Diponegoro. Konon, sebelum menangkap Pakubuwana VI, pihak Belanda lebih dulu menangkap juru tulis keraton, yaitu Mas Pajangswara untuk dimintai kesaksian. Meskipun disiksa sampai tewas, Pajangswara tetap diam tidak mau membocorkan hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Dipanegara.

Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwana VI dengan alasan bahwa Pajangswara telah membocorkan semuanya. Fitnah inilah yang menyebabkan Pakubuwana IX kurang menyukai Ranggawarsita, yang tidak lain adalah putra Pajangswara.

Hubungan Ranggawarsita dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F. Winter, Sr., tetap saja gerak-geriknya diawasi Belanda. Ranggawarsita dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ranggawarsita pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870.

Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.

Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any (1979). Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak keraton Surakarta yang berpendapat kalau Ranggawarsita adalah peramal ulung sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri.

Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia, yaitu Soekarno dan Gus Dur pada masa mereka menjabat.
Ranggawarsita dan Zaman Edan

Istilah Zaman Edan konon pertama kali diperkenalkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:

amenangi jaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.

yang terjemahannya sebagai berikut:

menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Syair tersebut masih relevan hingga zaman modern ini di mana banyak dijumpai para pejabat yang suka mencari keutungan pribadi tanpa memedulikan kerugian pihak lain.
Karya Sastra

Karya sastra tulisan Ranggawarsita antara lain,

* Bambang Dwihastha : cariyos Ringgit Purwa
* Bausastra Kawi atau Kamus Kawi – Jawa, beserta C.F. Winter sr.
* Sajarah Pandhawa lan Korawa : miturut Mahabharata, beserta C.F. Winter sr.
* Sapta dharma
* Serat Aji Pamasa
* Serat Candrarini
* Serat Cemporet
* Serat Jaka Lodang
* Serat Jayengbaya
* Serat Kalatidha
* Serat Panitisastra
* Serat Pandji Jayeng Tilam
* Serat Paramasastra
* Serat Paramayoga
* Serat Pawarsakan
* Serat Pustaka Raja
* Suluk Saloka Jiwa
* Serat Wedaraga
* Serat Witaradya
* Sri Kresna Barata
* Wirid Hidayat Jati
* Wirid Ma'lumat Jati
* Serat Sabda Jati

Ramalan tentang Kemerdekaan Indonesia

Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu, Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma.

Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka Lodang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia.

Pengalaman pribadi Presiden Soekarno pada masa penjajahan adalah ketika berjumpa dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam penderitaan, karena mereka yakin pada kebenaran ramalan Ranggawarsita tentang datangnya kemerdekaan di kemudian hari.

Ranggawarsita pantas mendapat gelar pahlawan nasional, meskipun perjuangannya tidak menggunakan pedang atau senapan, melainkan menggunakan tinta yang sanggup membangkitkan semangat kaum pribumi dan meresahkan pemerintah Hindia Belanda
Kepustakaan

* Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu
* Andjar Any. 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu
* M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Rangga_Warsita

RAMALAN JAYABAYA

Ramalan Jayabaya
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ramalan Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal Usul utama serat jangka Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yg digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keaslianya tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yg menuliskan bahwasanya Jayabayalah yg membuat Ramalan-ramalan tersebut.

"Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani."

Meskipun demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut dalam kitab-kitab mereka: Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya, bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha. Sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.[1]
Asal-usul

Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang dikumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak jamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).

Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah "Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak! Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong.

Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala jamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.

Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).

Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada jamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.
Analisa

Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu.

Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak jaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton". Giri Kedaton ini nampaknya Merupakan jaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai jaman Sunan Giri ke-3.

Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai "Ratu Bobodo") ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.

Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.

Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti dijaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung).

Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan "JANGKA JAYABAYA" dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad.

Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.

Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan sebagai jaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama "REPUBLIK INDONESIA"!. Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.

Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.

Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.
Kitab Musasar Jayabaya

Asmarandana

1. Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
2. Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
3. Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negara-nya.
4. Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum bernama, Sultan Maolana.
5. Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa pantas dihormati.
6. Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu menge.nai Kitab Musarar.
7. Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak Dewata.
8. Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali.
9. Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah,
10. Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
11. Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya.
12. Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung.
13. Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Jayabaya seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara Wisnu..
14. Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
15. Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
16. Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengarn endangnya.
17. Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus.
18. Kedelapan endang seorang. Kemudian ki Ajar menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu waspada kemudian menarik senjata kerisnya.
19. Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya.
20. Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya.
21. Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda.


Sinom

1. Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi.
2. Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada jaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berobah lagi. Diberi lambang Jaman Catur semune segara asat.
3. Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi. Menghancurkan keburukan.
4. Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut. Kemudian ada jaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia.
5. Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada jaman Anderpati yang bernama Kala-wisesa.
6. Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah.
7. Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian berganti jaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
8. Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar.
9. Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti jaman lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati Kalawisaya.
10. Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
11. Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti jaman Kalajangga. Beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun kemudian musnah.
12. Negara ini diberi lambang: cangkrama putung watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti jaman di Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma.
13. Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
14. Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar. Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat.
15. Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
16. Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di pulau Jawa. Jaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang.
17. Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti.
18. Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi(Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita) kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti, namun nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan.
19. Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak.
20. Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan).
21. Nakhoda(Orang asing)ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu , randa loro nututi pijer tetukar(( Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
22. Tidak berkesempatan menghias diri(Raja yang tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan ), sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.
23. Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.
24. Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang tua.
25. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda negara pecah.
26. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.
27. Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
28. Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
29. Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.

Isi Ramalan

1. Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran --- Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
2. Tanah Jawa kalungan wesi --- Pulau Jawa berkalung besi.
3. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang --- Perahu berjalan di angkasa.
4. Kali ilang kedhunge --- Sungai kehilangan mata air.
5. Pasar ilang kumandhang --- Pasar kehilangan suara.
6. Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak --- Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
7. Bumi saya suwe saya mengkeret --- Bumi semakin lama semakin mengerut.
8. Sekilan bumi dipajeki --- Sejengkal tanah dikenai pajak.
9. Jaran doyan mangan sambel --- Kuda suka makan sambal.
10. Wong wadon nganggo pakeyan lanang --- Orang perempuan berpakaian lelaki.
11. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman--- Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
12. Akeh janji ora ditetepi --- Banyak janji tidak ditepati.
13. keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe--- Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
14. Manungsa padha seneng nyalah--- Orang-orang saling lempar kesalahan.
15. Ora ngendahake hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
16. Barang jahat diangkat-angkat--- Yang jahat dijunjung-junjung.
17. Barang suci dibenci--- Yang suci (justru) dibenci.
18. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit--- Banyak orang hanya mementingkan uang.
19. Lali kamanungsan--- Lupa jati kemanusiaan.
20. Lali kabecikan--- Lupa hikmah kebaikan.
21. Lali sanak lali kadang--- Lupa sanak lupa saudara.
22. Akeh bapa lali anak--- Banyak ayah lupa anak.
23. Akeh anak wani nglawan ibu--- Banyak anak berani melawan ibu.
24. Nantang bapa--- Menantang ayah.
25. Sedulur padha cidra--- Saudara dan saudara saling khianat.
26. Kulawarga padha curiga--- Keluarga saling curiga.
27. Kanca dadi mungsuh --- Kawan menjadi lawan.
28. Akeh manungsa lali asale --- Banyak orang lupa asal-usul.
29. Ukuman Ratu ora adil --- Hukuman Raja tidak adil
30. Akeh pangkat sing jahat lan ganjil--- Banyak pejabat jahat dan ganjil
31. Akeh kelakuan sing ganjil --- Banyak ulah-tabiat ganjil
32. Wong apik-apik padha kapencil --- Orang yang baik justru tersisih.
33. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin --- Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
34. Luwih utama ngapusi --- Lebih mengutamakan menipu.
35. Wegah nyambut gawe --- Malas untuk bekerja.
36. Kepingin urip mewah --- Inginnya hidup mewah.
37. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka --- Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
38. Wong bener thenger-thenger --- Orang (yang) benar termangu-mangu.
39. Wong salah bungah --- Orang (yang) salah gembira ria.
40. Wong apik ditampik-tampik--- Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
41. Wong jahat munggah pangkat--- Orang (yang) jahat naik pangkat.
42. Wong agung kasinggung--- Orang (yang) mulia dilecehkan
43. Wong ala kapuja--- Orang (yang) jahat dipuji-puji.
44. Wong wadon ilang kawirangane--- perempuan hilang malu.
45. Wong lanang ilang kaprawirane--- Laki-laki hilang perwira/kejantanan
46. Akeh wong lanang ora duwe bojo--- Banyak laki-laki tak mau beristri.
47. Akeh wong wadon ora setya marang bojone--- Banyak perempuan ingkar pada suami.
48. Akeh ibu padha ngedol anake--- Banyak ibu menjual anak.
49. Akeh wong wadon ngedol awake--- Banyak perempuan menjual diri.
50. Akeh wong ijol bebojo--- Banyak orang tukar istri/suami.
51. Wong wadon nunggang jaran--- Perempuan menunggang kuda.
52. Wong lanang linggih plangki--- Laki-laki naik tandu.
53. Randha seuang loro--- Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
54. Prawan seaga lima--- Lima perawan lima picis.
55. Dhudha pincang laku sembilan uang--- Duda pincang laku sembilan uang.
56. Akeh wong ngedol ngelmu--- Banyak orang berdagang ilmu.
57. Akeh wong ngaku-aku--- Banyak orang mengaku diri.
58. Njabane putih njerone dhadhu--- Di luar putih di dalam jingga.
59. Ngakune suci, nanging sucine palsu--- Mengaku suci, tapi palsu belaka.
60. Akeh bujuk akeh lojo--- Banyak tipu banyak muslihat.
61. Akeh udan salah mangsa--- Banyak hujan salah musim.
62. Akeh prawan tuwa--- Banyak perawan tua.
63. Akeh randha nglairake anak--- Banyak janda melahirkan bayi.
64. Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne--- Banyak anak lahir mencari bapaknya.
65. Agama akeh sing nantang--- Agama banyak ditentang.
66. Prikamanungsan saya ilang--- Perikemanusiaan semakin hilang.
67. Omah suci dibenci--- Rumah suci dijauhi.
68. Omah ala saya dipuja--- Rumah maksiat makin dipuja.
69. Wong wadon lacur ing ngendi-endi--- Perempuan lacur dimana-mana.
70. Akeh laknat--- Banyak kutukan
71. Akeh pengkianat--- Banyak pengkhianat.
72. Anak mangan bapak---Anak makan bapak.
73. Sedulur mangan sedulur---Saudara makan saudara.
74. Kanca dadi mungsuh---Kawan menjadi lawan.
75. Guru disatru---Guru dimusuhi.
76. Tangga padha curiga---Tetangga saling curiga.
77. Kana-kene saya angkara murka --- Angkara murka semakin menjadi-jadi.
78. Sing weruh kebubuhan---Barangsiapa tahu terkena beban.
79. Sing ora weruh ketutuh---Sedang yang tak tahu disalahkan.
80. Besuk yen ana peperangan---Kelak jika terjadi perang.
81. Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor---Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
82. Akeh wong becik saya sengsara--- Banyak orang baik makin sengsara.
83. Wong jahat saya seneng--- Sedang yang jahat makin bahagia.
84. Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul--- Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
85. Wong salah dianggep bener---Orang salah dipandang benar.
86. Pengkhianat nikmat---Pengkhianat nikmat.
87. Durjana saya sempurna--- Durjana semakin sempurna.
88. Wong jahat munggah pangkat--- Orang jahat naik pangkat.
89. Wong lugu kebelenggu--- Orang yang lugu dibelenggu.
90. Wong mulya dikunjara--- Orang yang mulia dipenjara.
91. Sing curang garang--- Yang curang berkuasa.
92. Sing jujur kojur--- Yang jujur sengsara.
93. Pedagang akeh sing keplarang--- Pedagang banyak yang tenggelam.
94. Wong main akeh sing ndadi---Penjudi banyak merajalela.
95. Akeh barang haram---Banyak barang haram.
96. Akeh anak haram---Banyak anak haram.
97. Wong wadon nglamar wong lanang---Perempuan melamar laki-laki.
98. Wong lanang ngasorake drajate dhewe---Laki-laki memperhina derajat sendiri.
99. Akeh barang-barang mlebu luang---Banyak barang terbuang-buang.
100. Akeh wong kaliren lan wuda---Banyak orang lapar dan telanjang.
101. Wong tuku ngglenik sing dodol---Pembeli membujuk penjual.
102. Sing dodol akal okol---Si penjual bermain siasat.
103. Wong golek pangan kaya gabah diinteri---Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
104. Sing kebat kliwat---Yang tangkas lepas.
105. Sing telah sambat---Yang terlanjur menggerutu.
106. Sing gedhe kesasar---Yang besar tersasar.
107. Sing cilik kepleset---Yang kecil terpeleset.
108. Sing anggak ketunggak---Yang congkak terbentur.
109. Sing wedi mati---Yang takut mati.
110. Sing nekat mbrekat---Yang nekat mendapat berkat.
111. Sing jerih ketindhih---Yang hati kecil tertindih
112. Sing ngawur makmur---Yang ngawur makmur
113. Sing ngati-ati ngrintih---Yang berhati-hati merintih.
114. Sing ngedan keduman---Yang main gila menerima bagian.
115. Sing waras nggagas---Yang sehat pikiran berpikir.
116. Wong tani ditaleni---Orang (yang) bertani diikat.
117. Wong dora ura-ura---Orang (yang) bohong berdendang.
118. Ratu ora netepi janji, musna panguwasane---Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
119. Bupati dadi rakyat---Pegawai tinggi menjadi rakyat.
120. Wong cilik dadi priyayi---Rakyat kecil jadi priyayi.
121. Sing mendele dadi gedhe---Yang curang jadi besar.
122. Sing jujur kojur---Yang jujur celaka.
123. Akeh omah ing ndhuwur jaran---Banyak rumah di punggung kuda.
124. Wong mangan wong---Orang makan sesamanya.
125. Anak lali bapak---Anak lupa bapa.
126. Wong tuwa lali tuwane---Orang tua lupa ketuaan mereka.
127. Pedagang adol barang saya laris---Jualan pedagang semakin laris.
128. Bandhane saya ludhes---Namun harta mereka makin habis.
129. Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan---Banyak orang mati lapar di samping makanan.
130. Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara---Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
131. Sing edan bisa dandan---Yang gila bisa bersolek.
132. Sing bengkong bisa nggalang gedhong---Si bengkok membangun mahligai.
133. Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil---Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
134. Ana peperangan ing njero---Terjadi perang di dalam.
135. Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham---Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
136. Durjana saya ngambra-ambra---Kejahatan makin merajalela.
137. Penjahat saya tambah---Penjahat makin banyak.
138. Wong apik saya sengsara---Yang baik makin sengsara.
139. Akeh wong mati jalaran saka peperangan---Banyak orang mati karena perang.
140. Kebingungan lan kobongan---Karena bingung dan kebakaran.
141. Wong bener saya thenger-thenger---Si benar makin tertegun.
142. Wong salah saya bungah-bungah---Si salah makin sorak sorai.
143. Akeh bandha musna ora karuan lungane---Banyak harta hilang entah ke mana
144. Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe---Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
145. Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram---Banyak barang haram, banyak anak haram.
146. Bejane sing lali, bejane sing eling---Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
147. Nanging sauntung-untunge sing lali---Tapi betapapun beruntung si lupa.
148. Isih untung sing waspada---Masih lebih beruntung si waspada.
149. Angkara murka saya ndadi---Angkara murka semakin menjadi.
150. Kana-kene saya bingung---Di sana-sini makin bingung.
151. Pedagang akeh alangane---Pedagang banyak rintangan.
152. Akeh buruh nantang juragan---Banyak buruh melawan majikan.
153. Juragan dadi umpan---Majikan menjadi umpan.
154. Sing suwarane seru oleh pengaruh---Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
155. Wong pinter diingar-ingar---Si pandai direcoki.
156. Wong ala diuja---Si jahat dimanjakan.
157. Wong ngerti mangan ati---Orang yang mengerti makan hati.
158. Bandha dadi memala---Hartabenda menjadi penyakit
159. Pangkat dadi pemikat---Pangkat menjadi pemukau.
160. Sing sawenang-wenang rumangsa menang --- Yang sewenang-wenang merasa menang
161. Sing ngalah rumangsa kabeh salah---Yang mengalah merasa serba salah.
162. Ana Bupati saka wong sing asor imane---Ada raja berasal orang beriman rendah.
163. Patihe kepala judhi---Maha menterinya benggol judi.
164. Wong sing atine suci dibenci---Yang berhati suci dibenci.
165. Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat---Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
166. Pemerasan saya ndadra---Pemerasan merajalela.
167. Maling lungguh wetenge mblenduk --- Pencuri duduk berperut gendut.
168. Pitik angrem saduwure pikulan---Ayam mengeram di atas pikulan.
169. Maling wani nantang sing duwe omah---Pencuri menantang si empunya rumah.
170. Begal pada ndhugal---Penyamun semakin kurang ajar.
171. Rampok padha keplok-keplok---Perampok semua bersorak-sorai.
172. Wong momong mitenah sing diemong---Si pengasuh memfitnah yang diasuh
173. Wong jaga nyolong sing dijaga---Si penjaga mencuri yang dijaga.
174. Wong njamin njaluk dijamin---Si penjamin minta dijamin.
175. Akeh wong mendem donga---Banyak orang mabuk doa.
176. Kana-kene rebutan unggul---Di mana-mana berebut menang.
177. Angkara murka ngombro-ombro---Angkara murka menjadi-jadi.
178. Agama ditantang---Agama ditantang.
179. Akeh wong angkara murka---Banyak orang angkara murka.
180. Nggedhekake duraka---Membesar-besarkan durhaka.
181. Ukum agama dilanggar---Hukum agama dilanggar.
182. Prikamanungsan di-iles-iles---Perikemanusiaan diinjak-injak.
183. Kasusilan ditinggal---Tata susila diabaikan.
184. Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi---Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
185. Wong cilik akeh sing kepencil---Rakyat kecil banyak tersingkir.
186. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil---Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
187. Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit---Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
188. Lan duwe prajurit---Dan punya prajurit.
189. Negarane ambane saprawolon---Lebar negeri seperdelapan dunia.
190. Tukang mangan suap saya ndadra---Pemakan suap semakin merajalela.
191. Wong jahat ditampa---Orang jahat diterima.
192. Wong suci dibenci---Orang suci dibenci.
193. Timah dianggep perak---Timah dianggap perak.
194. Emas diarani tembaga---Emas dibilang tembaga
195. Dandang dikandakake kuntul---Gagak disebut bangau.
196. Wong dosa sentosa---Orang berdosa sentosa.
197. Wong cilik disalahake---Rakyat jelata dipersalahkan.
198. Wong nganggur kesungkur---Si penganggur tersungkur.
199. Wong sregep krungkep---Si tekun terjerembab.
200. Wong nyengit kesengit---Orang busuk hati dibenci.
201. Buruh mangluh---Buruh menangis.
202. Wong sugih krasa wedi---Orang kaya ketakutan.
203. Wong wedi dadi priyayi---Orang takut jadi priyayi.
204. Senenge wong jahat---Berbahagialah si jahat.
205. Susahe wong cilik---Bersusahlah rakyat kecil.
206. Akeh wong dakwa dinakwa---Banyak orang saling tuduh.
207. Tindake manungsa saya kuciwa---Ulah manusia semakin tercela.
208. Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi---Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
209. Wong Jawa kari separo---Orang Jawa tinggal setengah.
210. Landa-Cina kari sejodho --- Belanda-Cina tinggal sepasang.
211. Akeh wong ijir, akeh wong cethil---Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
212. Sing eman ora keduman---Si hemat tidak mendapat bagian.
213. Sing keduman ora eman---Yang mendapat bagian tidak berhemat.
214. Akeh wong mbambung---Banyak orang berulah dungu.
215. Akeh wong limbung---Banyak orang limbung.
216. Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka---Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.

Kepustakaan

1. ^ Alan H. Feinstein.1994. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 276-280.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ramalan_Jayabaya

DIALOG NABI MUHAMMAD DAN IBLIS



Upaya Mengambil Hikmah

Dialog Nabi Muhammad SAW dengan Iblis



Naskah ini disarikan dari dua rujukan. Terdapat beberapa perbedaan kecil atas terjemahan, kami mencoba merangkumnya.


Source-I: Bab-II POHON SEMESTA / Pustaka Progressif / Cetakan-I/Oktober 1999. Dari Kitab Syajaratul Kaun oleh Muhyiddin Ibnu Arabi / Darul ‘Ilmi al-Munawar asy-Syamsiyah, Madinah. Translated by: Nur Mufid, Nur Fu’ad.


Source-II : Dari Judul Asli : Syajaratul Kaun dan Hikayah Iblis. Risalah Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi [Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1360/1941 ] Translated By : Wasmukan, Risalah Gusti / Cetakan-II, Mei 2001.


Dengan asma Allah, Yang Maha Rahman, Yang Maha Rahiim. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam bagi Muhammad SAW, serta salam bagi keluarganya yang suci juga bagi semua sahabat Rasulullah yang mulia. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya tertancap kuat dan cabangnya (menjulang tinggi) ke langit (QS. 14:24).


Topik Renungan:

NGERI!!, KHAWATIR!! TAKUT!! WASPADA!! ISTIGHFAR, TAUBAT, DZIKIR, TAFAKKUR


Kisah Dialog Rasulullah SAW Dengan Iblis


Diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal r.a. dari Ibn Abbas r.a., ia berkata:”Kami bersama Rasululah SAW berada di rumah seorang sahabat dari golongan Anshar dalam sebuah jamaah. Tiba-tiba, ada yang memanggil dari luar: “Wahai para penghuni rumah, apakah kalian mengizinkanku masuk, karena kalian membutuhkanku”. Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat:”Apakah kalian tahu siapa yang menyeru itu?”. Para sahabat menjawab,”Tentu Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasulullah berkata: “Dia adalah Iblis yang terkutuk – semoga Allah senantiasa melaknatnya”. Umar bin Khattab r.a. berkata:”Ya, Rasulullah, apakah engkau mengizinkanku untuk membunuhnya?”. Nabi SAW berkata pelan:”Bersabarlah wahai Umar, apakah engkau tidak tahu bahwa dia termasuk mereka yang tertunda kematiannya sampai waktu yang ditentukan [hari kiyamat]?. Sekarang silakan bukakan pintu untuknya, karena ia sedang diperintahkan Allah SWT. Fahamilah apa yang dia ucapkan dan dengarkan apa yang akan dia sampaikan kepada kalian!”.


Ibnu Abbas berkata:“Maka dibukalah pintu, kemudian Iblis masuk ke tengah-tengah kami. Ternyata dia sudah tua Bangka dan buta sebelah mata. Dagunya berjanggut sebanyak tujuh helai rambut yang panjangnya seperti rambut kuda, kedua kelopak matanya [masyquqatani] memanjang [terbelah ke atas, tidak ke samping], kepalanya seperti kepala gajah yang sangat besar, gigi taringnya memanjang keluar seperti taring babi, kedua bibirnya seperti bibir macan/kerbau [tsur].


Dia berkata, “Assalamu ‘alaika ya Muhammad, Assalamu ‘alaikum ya jamaa’atal-muslimin [salam untuk kalian semua wahai golongan muslimin]”


Nabi SAW menjawab:”Assalamu lillah ya la’iin [Keselamatan hanya milik Allah SWT, wahai makhluq yang terlaknat. Aku telah mengetahui engkau punya keperluan kepada kami. Apa keperluanmu wahai Iblis”.


Iblis berkata:”Wahai Muhammad, aku datang bukan karena keinginanku sendiri, tetapi aku datang karena terpaksa [diperintah]”


Nabi SAW berkata:”Apa yang membuatmu terpaksa harus datang ke sini, wahai terlaknat?”.


Iblis berkata,”Aku didatangi oleh malaikat yang diutus Tuhan Yang Maha Agung, ia berkata kepadaku,”Sesungguhnya Allah SWT menyuruhmu untuk datang kepada Muhammad SAW dalam keadaan hina dan bersahaja. Engkau harus memberitahu kepadanya, bagaimana tipu muslihat godaanmu dan rekayasamu terhadap Bani Adam, bagaimana engkau membujuk dan merayu mereka. Engkau harus menjawab dengan jujur apa saja yang ditanyakan kepadamu’. Allah SWT berfirman,”Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, jika engkau berbohong sekali saja dan tidak berkata benar, niscaya Aku jadikan kamu debu yang dihempas oleh angin dan Aku puaskan musuhmu karena bencana yang menimpamu”. Wahai Muhammad, sekarang aku datang kepadamu sebagaimana aku diperintah. Tanyakanlah kepadaku apa yang kau inginkan. Jika aku tidak memuaskanmu tentang apa yang kamu tanyakan kepadaku, niscaya musuhku akan puas atas musibah yang terjadi padaku. Tiada beban yang lebih berat bagiku daripada leganya musuh-musuhku yang menimpa diriku”.


Rasulullah kemudian mulai bertanya:”Jika kamu jujur, beritahukanlah kepadaku, siapakah orang yang paling kamu benci?”.


Iblis menjawab:”Engkau, wahai Muhammad, engkau adalah makhluq Allah yang paling aku benci, dan kemudian orang-orang yang mengikuti agamamu”.


Rasulullah SAW:”Siapa lagi yang kamu benci?”.


Iblis:”Anak muda yang taqwa, yang menyerahkan jiwanya kepada Allah SWT”.


Rasulullah:”Lalu siapa lagi?”.


Iblis:”Orang Alim dan Wara [menjaga diri dari syubhat] yang saya tahu, lagi penyabar”.


Rasulullah:”Lalu, siapa lagi?”.


Iblis:”Orang yang terus menerus menjaga diri dalam keadaan suci dari kotoran”.


Rasulullah:”Lalu, siapa lagi?”.


Iblis:”Orang miskin [fakir] yang sabar, yang tidak menceritakan kefakirannya kepada orang lain dan tidak mengadukan keluh kesahnya“.


Rasulullah:”Bagaimana kamu tahu bahwa ia itu penyabar?”.


Iblis:”Wahai Muhammad, jika ia mengadukan keluh kesahnya kepada makhluq sesamanya selama tiga hari, Tuhan tidak memasukkan dirinya ke dalam golongan orang-orang yang sabar“.


Rasulullah:”Lalu, siapa lagi?”.


Iblis:”Orang kaya yang bersyukur“.


Rasulullah bertanya:” Bagaimana kamu tahu bahwa ia bersyukur?”.


Iblis:” Jika aku melihatnya mengambil dari dan meletakkannya pada tempat yang halal”.


Rasulullah:”Bagaimana keadaanmu jika umatku mengerjakan shalat?”.


Iblis:”Aku merasa panas dan gemetar”.


Rasulullah:”Kenapa, wahai terlaknat?”.


Iblis:”Sesungguhnya, jika seorang hamba bersujud kepada Allah sekali sujud saja, maka Allah mengangkat derajatnya satu tingkat”.


Rasulullah:”Jika mereka shaum?”.


Iblis:”Saya terbelenggu sampai mereka berbuka puasa”.


Rasulullah:”Jika mereka menunaikan haji?”.


Iblis”Saya menjadi gila”.


Rasulullah:”Jika mereka membaca Al Qur’an?’.


Iblis:”Aku meleleh seperti timah meleleh di atas api”.


Rasulullah:”Jika mereka berzakat?”.


Iblis:” Seakan-akan orang yang berzakat itu mengambil gergaji / kapak dan memotongku menjadi dua”.


Rasulullah:”Mengapa begitu, wahai Abu Murrah?”.


Iblis:” Sesungguhnya ada empat manfaat dalam zakat itu. Pertama, Tuhan menurunkan berkah atas hartanya. Kedua, menjadikan orang yang bezakat disenangi makhluq-Nya yang lain. Ketiga, menjadikan zakatnya sebagai penghalang antara dirinya dengan api neraka. Keempat, dengan zakat, Tuhan mencegah bencana dan malapetaka agar tidak menimpanya”.


Rasulullah:”Apa pendapatmu tentang Abu Bakar?”.


Iblis:”Wahai Muhammad, pada zaman jahiliyah, dia tidak taat kepadaku, bagaimana mungkin dia akan mentaatiku pada masa Islam”.


Rasulullah:”Apa pendapatmu tentang Umar?”.


Iblis:”Demi Tuhan, tiada aku ketemu dengannya kecuali aku lari darinya”.


Rasulullah:”Apa pendapatmu tentang Utsman?”.


Iblis:” Aku malu dengan orang yang para malaikat saja malu kepadanya”.


Rasulullah:”Apa pendapatmu tentang Ali bin Abi Thalib?”.


Iblis:”Andai saja aku dapat selamat darinya dan tidak pernah bertemu dengannya [menukar darinya kepala dengan kepala], dan kemudian ia meninggalkanku dan aku meninggalkannya, tetapi dia sama sekali tidak pernah melakukan hal itu”.


Rasulullah:”Segala puji hanya bagi Allah yang telah membahagiakan umatku dan menyengsarakanmu sampai hari kiamat”.


Iblis yang terlaknat berkata kepada Muhammad:” Hay-hata hay-hata [tidak mungkin tidak mungkin]. Mana bisa umatmu bahagia sementara aku hidup dan tidak mati sampai hari kiamat. Bagaimana kamu senang dengan umatmu sementara aku masuk ke dalam diri mereka melalui alirtan darah, daging, sedangkan mereka tidak melihatku. Demi Tuhan yang menciptakanku dan membuatku menunggu sampai hari mereka dibangkitkan. Akan aku sesatkan mereka semua, baik yang bodoh maupun yang pandai, yang buta-huruf dan yang melek-huruf. Yang kafir dan yang suka beribadah, kecuali hamba yang mukhlis [ikhlas]”.


Rasulullah:”Siapa yang mukhlis itu menurutmu?”.


Iblis dengan panjang-lebar menjawab:”Apakah engkau tidak tahu, wahai Muhammad. Barangsiapa cinta dirham dan dinar, dia tidak termasuk orang ikhlas untuk Allah. Jika aku melihat orang tidak suka dirham dan dinar, tidak suka puji dan pujaan, aku tahu bahwa dia itu ikhlas karena Allah, maka aku tinggalkan ia. Sesungguhnya hamba yang mencintai harta, pujian dan hatinya tergantung pada nafsu [syahwat] dunia, dia lebih rakus dari orang yang saya jelaskan kepadamu. Tak tahukah engkau, bahwa cinta harta termasuk salah satu dosa besar. Wahai Muhammad, tak tahukan engkau bahwa cinta kedudukan [riyasah] termasuk dosa besar. Dan bahwa sombong, juga termasuk dosa besar. Wahai Muhammad, tidak tahukan engkau, bahwa aku punya tujuh puluh ribu anak. Setiap anak dari mereka, punya tujuh puluh ribu syaithan. Di antara mereka telah aku tugaskan untuk menggoda golongan ulama, dan sebagian lagi menggoda anak muda, sebagian lagi menggoda orang-orang tua, dan sebagian lagi menggoda orang-orang lemah. Adapun anak-anak muda, tidak ada perbedaan di antara kami dan mereka, sementara anak-anak kecilnya, mereka bermain apa saja yang mereka kehendaki bersamanya. Sebagian lagi telah aku tugaskan untuk menggoda orang-orang yang rajin beribadah, sebagian lagi untuk kaum yang menjauhi dunia [zuhud]. Syetan masuk ke dalam dan keluar dari diri mereka, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain, dari satu pintu ke pintu yang lain, sampai mereka mempengaruhi manusia dengan satu sebab dari sebab-sebab yang banyak. Lalu syetan mengambil keikhlasan dari mereka. Menjadikan mereka menyembah Allah tanpa rasa ikhlas, tetapi mereka tidak merasa. Apakah engkau tidak tahu, tentang Barshisha, sang pendeta yang beribadah secara ikhlas selama tujuh puluh tahun, hingga setiap orang yang sakit menjadi sehat berkat da’wahnya. Aku tidak meninggalkannya sampai dia dia berzina, membunuh, dan kafir [ingkar]. Dialah yang disebut oleh Allah dalam Qur’an dengan firmannya [dalam Surah Al Hasyr]:”(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) syaitan ketika mereka berkata pada manusia:"Kafirlah kamu", maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata:"Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam" (QS 59:16).

Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa kebohongan itu berasal dariku. Akulah orang yang pertama kali berbohong. Barangsiapa berbohong, dia adalah temanku, dan barangsiapa berbohong kepada Allah, dia adalah kekasihku. Apakah engkau tidak tahu, bahwa aku bersumpah kepada Adam dan Hawa, “Demi Allah aku adalah penasihat kamu berdua”. Maka, sumpah palsu merupakan kesenangan hatiku, ghibah, membicarakan kejelekan orang lain, dan namimah, mengadu domba adalah buah kesukaanku, melihat yang jelek-jelek adalah kesukaan dan kesenanganku. Barangsiapa thalaq, bersumpah untuk cerai, dia mendekati perbuatan dosa, meskipun hanya sekali, dan meskipun ia benar. Barangsiapa membiasakan lisannya dengan ucapan cerai, istrinya menjadi haram baginya. Jika mereka masih memiliki keturunan sampai hari kiyamat, maka anak mereka semuanya adalah anak-anak hasil zina. Mereka masuk neraka hanya karena satu kata saja

Wahai Muhammad, sesungguhnya di antara umatmu ada yang mengakhirkan shalat barang satu dua jam. Setiap kali mau shalat, aku temani dia dan aku goda dia. Kemudian aku katakan kepadanya:”Masih ada waktu, sementara engkau sibuk”. Sehingga dia mengakhirkan shalatnya dan mengerjakannya tidak pada waktunya, maka Tuhan memukul wajahnya. Jika ia menang atasku, maka aku kirim satu syetan yang membuatnya lupa waktu shalat. Jika ia menang atasku, aku tinggalkan dia sampai ketika mengerjakan shalat aku katakan kepadanya,’Lihatlah kiri kanan’, lalu ia menengok. Saat itu aku usap wajahnya dengan tanganku dan aku cium antara kedua matanya dan aku katakan kepadanya,’ Aku telah menyuruh apa yang tidak baik selamanya’. Dan engkau sendiri tahu wahai Muhammad, siapa yang sering menoleh dalam shalatnya, Allah akan memukul wajahnya.

Jika ia menang atasku dalam hal shalat, ketika shalat sendirian, aku perintahkan dia untuk tergesa-gesa. Maka ia ‘mencucuk’ shalat seperti ayam mematuk biji-bijian dengan tergesa-gesa. Jika ia menang atasku, maka ketika shalat berjamaah aku cambuk dia dengan ‘lijam’ [cambuk] lalu aku angkat kepalanya sebelum imam mengangkat kepalanya. Aku letakkan ia hingga mendahului imam. Kamu tahu bahwa siapa yang melakukan itu, batallah shalatnya dan Allah akan mengganti kepalanya dengan kepala keledai pada hari kiyamat nanti.

Jika ia masih menang atasku, aku perintahkan dia untuk mengacungkan jari-jarinya ketika shalat sehingga dia mensucikan aku ketika ia sholat. Jika ia masih menang, aku tiup hidungnya sampai dia menguap. Jika ia tidak menaruh tangan di mulutnya, syetan masuk ke dalam perutnya dan dengan begitu ia bertambah rakus di dunia dan cinta dunia. Dia menjadi pendengar kami yang setia.

Bagaimana umatmu bahagia sementara aku menyuruh orang miskin untuk meninggalkan shalat. Aku katakan kepadanya,’ Shalat tidak wajib atasmu. Shalat hanya diwajibkan atas orang-orang yang mendapatkan ni’mat dari Allah’. Aku katakan kepada orang yang sakit:” Tinggalkanlah shalat, sebab ia tidak wajib atasmu. Shalat hanya wajib atas orang yang sehat, karena Allah berkata:”Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit,……… Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagimu, agar kamu memahaminya (QS 24:61). Tidak ada dosa bagi orang yang sakit. Jika kamu sembuh, kamu harus shalat yang diwajibkan”. Sampai dia mati dalam keadaan kafir. Jika dia mati dan meninggalkan shalat ketika sakit, dia bertemu Tuhan dan Tuhan marah kepadanya. Wahai Muhammad, jika aku bohong dan ngawur, maka mintalah kepada Tuhan untuk membuatku jadi pasir. Wahai Muhammad, bagaimana engkau bahagia melihat umatmu, sementara aku mengeluarkan seperenam umatmu dari Islam.


Nabi berkata:” Wahai terlaknat, siapa teman dudukmu?”.


Iblis:” Pemakan riba”.


Nabi:” Siapa teman kepercayaanmu [shadiq]?”.


Iblis:” Pezina”.


Nabi:” Siapa teman tidurmu?”.


Iblis:” Orang yang mabuk”.


Nabi:” Siapa tamumu?”.


Iblis:” Pencuri”.


Nabi:” Siapa utusanmu?”.


Iblis:”Tukang Sihir”.


Nabi:” Apa kesukaanmu?”.


Iblis:” Orang yang bersumpah

cerai”.


Nabi:”Siapa kekasihmu?”.


Iblis:”Orang yang meninggalkan shalat Jum’at”.


Nabi:”Wahai terlaknat, siapa yang memotong punggungmu?”.


Iblis:”Ringkikan kuda untuk berperang di jalan Allah”.


Nabi:” Apa yang melelehkan badanmu?”.


Iblis:”Tobatnya orang yang bertaubat”.


Nabi:”Apa yang menggosongkan [membuat panas] hatimu?”.


Iblis:”Istighfar yang banyak kepada Allah siang-malam.


Nabi:”Apa yang memuramkan wajahmu (membuat merasa malu dan hina)?”.


Iblis:”Zakat secara sembunyi-sembunyi”.


Nabi:” Apa yang membutakan matamu?”.


Iblis:”Shalat di waktu sahur [menjelang shubuh]”.


Nabi:”Apa yang memukul kepalamu?”.


Iblis:”Memperbanyak shalat berjamaah”.


Nabi:”Siapa yang paling bisa membahagiakanmu?”.


Iblis:”Orang yang sengaja meninggalkan shalat”.


Nabi:”siapa manusia yang paling sengsara [celaka] menurutmu?”.


Iblis:”Orang kikir / pelit”.


Nabi:”Siapa yang paling menyita pekerjaanmu [menyibukkanmu]?”.


Iblis:”Majlis-majlis ulama”.


Nabi:”Bagaimana kamu makan?”.


Iblis:”Dengan tangan kiriku dan dengan jari-jariku”.


Nabi:”Dimana kamu lindungkan anak-anakmu ketika panas?”.


Iblis:” Di balik kuku-kuku manusia”.


Nabi:” Berapa keperluanmu yang kau mintakan kepada Allah ?”.


Iblis:” Sepuluh perkara”.


Nabi:” Apa itu wahai terlaknat?”.


Iblis:” Aku minta kepada-Nya untuk agar saya dapat berserikat dalam diri Bani Adam dalam harta dan anak-anak mereka. Dia mengizinkanku berserikat dalam kelompok mereka. Itulah maksud firman Allah: Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syetan kepada mereka melainkan tipuan belaka (QS 17:64). Setiap harta yang tidak dikeluarkan zakatnya maka saya ikut memakannya. Saya juga ikut makan makanan yang bercampur riba dan haram serta segala harta yang tidak dimohonkan perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk. Setiap orang yang tidak memohon perlindungan kepada Allah dari syetan ketika bersetubuh dengan istrinya maka syetan akan ikut bersetubuh. Akhirnya melahirkan anak yang mendengar dan taat kepadaku. Begitu pula orang yang naik kendaraan dengan maksud mencari penghasilan yang tidak dihalalkan, maka orang yang naik kendaraan dengan maksud mencari penghasilan yang tidak dihalalkan, maka saya adalah temannya. Itulah maksud firman Allah:”……., dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki …… (QS 17:64.) Saya memohon kepada-Nya agar saya punya rumah, maka rumahku adalah kamar mandi. Saya memohon agar saya punya masjid, akhirnya pasar menjadi masjidku. Aku memohon agar saya punya al-Qur’an, maka syair adalah al-Qur’anku. Saya memohon agar punya adzan, maka terompet adalah panggilan adzanku. Saya memohon agar saya punya tempat tidur, maka orang-orang mabuk adalah tempat tidurku. Saya memohon agar saya punya teman-teman yang menolongku, maka maka kelompok al-Qadariyyah menjadi teman-teman yang membantuku. Dan saya memohon agar saya memiliki teman-teman dekat, maka orang-orang yang menginfaqkan harta kekayaannya untuk kemaksiatan adalah teman dekatku. Ia kemudian membaca ayat: "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan dan syetan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya. (QS. 17:27)


Rasulullah berkata:” Andaikata tidak setiap apa yang engkau ucapkan didukung oleh ayat-ayat dari Kitabullah tentu aku tidak akan membenarkanmu”.


Lalu Iblis meneruskan:”Wahai Muhammad, saya memohon kepada Allah agar saya bisa melihat anak-cucu Adam sementara mereka tidak dapat melihatku Kemudian Allah menjadikan aku dapat mengalir melalui peredaran darah mereka. Diriku dapat berjalan kemanapun sesuai dengan kemauanku dan dengan cara bagaimanapun. Kalau saya mau, dalam sesaatpun bisa. Kemudian Allah berfirman kepadaku:”Engkau dapat melakukan apa saja yang kau minta”. Akhirnya saya merasa senang dan bangga sampai hari kiamat. Sesungguhnya orang yang mengikutiku lebih banyak daripada yang mengikutimu. Sebagian besar anak-cucu Adam akan mengikutiku sampai hari kiamat. Saya memiliki anak yang saya beri nama Atamah. Ia akan kencing di telinga seorang hamba ketika ia tidur meninggalkan shalat Isya. Andaikata tidak karenanya tentu ia tidak akan tidur lebih dahulu sebelum menjalankan shalat. Saya juga punya anak yang saya beri nama Mutaqadhi. Apabila ada seorang hamba melakukan ketaatan ibadah dengan rahasia dan ingin menutupinya, maka anak saya tersebut senantiasa membatalkannya dan dipamerkan di tengah-tengah manusia sehingga semua manusia tahu. Akhirnya Allah membatalkan sembilan puluh sembilan dari seratus pahala-Nya sehingga yang tersisa hanya satu pahala, sebab, setiap ketaatan yang dilakukan secara rahasia akan diberi seratus pahala. Saya punya anak lagi yang bernama Kuhyal. Ia bertugas mengusapi celak mata semua orang yang sedang ada di majlis pengajian dan ketika khatib sedang memberikan khutbah, sehingga, mereka terkantuk dan akhirnya tidur, tidak dapat mendengarkan apa yang dibicarakan para ulama. Bagi mereka yang tertidur tidak akan ditulis pahala sedikitpun untuk selamanya.

Setiap kali ada perempuan keluar pasti ada syetan yang duduk di pinggulnya, ada pula yang duduk di daging yang mengelilingi kukunya. Dimana mereka akan menghiasi orang-orang yang melihatnya. Kedua syetan itu kemudian berkata kepadanya,’keluarkan tanganmu’. Akhirnya ia mengeluarkan tangannya, kemudian kukunya tampak, lalu kelihatan nodanya.

Wahai Muhammad, sebenarnya saya tidak dapat menyesatkan sedikitpun, akan tetapi saya hanya akan mengganggu dan menghiasi. Andaikata saya memiliki hak dan kemampuan untuk menyesatkan, tentu saya tidak akan membiarkan segelintir manusiapun di muka bumi ini yang masih sempat mengucapkan, “Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya”, dan tidak akan ada lagi orang yang shalat dan berpuasa. Sebagaimana engkau wahai Muhammad, tidak berhak memberikan hidayat sedikitpun kepada siapa saja, akan tetapi engkau adalah seorang utusan dan penyampai amanah dari Tuhan. Andaikata engkau memiliki hak dan kemampuan untuk memberi hidayah, tentu engkau tidak akan membiarkan segelintir orang-pun kafir di muka bumi ini. Engkau hanyalah sebagai hujjah [argumentasi] Tuhan terhadap makhluq-Nya. Sementara saya adalah hanyalah menjadi sebab celakanya orang yang sebelumnya sudah dicap oleh Allah menjadi orang celaka. Orang yang bahagia dan beruntung adalah orang yang dijadikan bahagia oleh Allah sejak dalam perut ibunya, sedangkan orang yang celaka adalah orang yang dijadikan celaka oleh Allah sejak dalam perut ibunya. Kemudian Rasulullah SAW membacakan firman dalam QS Hud : Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat (QS 11:118), kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabbmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan; sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahanam dengan izin dan manusia (yang durhaka) semuanya (QS 11:119), dilanjutkan dengan : Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku (QS 33:38)”.


Kemudian Rasulullah berkata lagi kepada Iblis: ”Wahai Abu Murrah [Iblis], apakah engkau masih mungkin bertaubat dan kembali kepada Allah, sementara saya akan menjaminmu masuk surga”.


Ia iblis menjawab:” Wahai Rasulullah, ketentuan telah memutuskan dan Qalampun telah kering dengan apa yang terjadi seperti ini hingga hari kiamat nanti. Maka Maha Suci Tuhan, yang telah menjadikanmu sebagai tuan para Nabi dan Khatib para penduduk surga. Dia, telah memilih dan mengkhususkan dirimu. Sementara Dia telah menjadikan saya sebagai tuan orang-orang yang celaka dan khatib para penduduk neraka. Saya adalah makhluq celaka lagi terusir. Ini adalah akhir dari apa yang saya beritahukan kepadamu dan saya mengatakan yang sejujurnya”. Segala puji hanya milik Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, awal dan akhir, dzahir dan bathin. Semoga shalawat dan salam sejahtera tetap selalu diberikan kepada seorang Nabi yang Ummi dan kepada para keluarga dan sahabatnya serta para Utusan dan Para Nabi.


Hikmah dari Kisah tersebut di atas Sebagai upaya mencari hikmah adalah :


  • Kita perlu semakin menancapkan keyakinan, bahwa syetan tidak punya kuasa sedikitpun bagi orang-orang yang disucikan-Nya.
  • Jadi upaya kita adalah memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia ridho dan berkenan membersihkan segala dosa baik sengaja maupun tidak untuk mendapatkan ampunan-Nya.
  • Bila kita simak, perbedaan mendasar keyakinan Iblis Adalah tidak ada keinginannya untuk bertaubat, walau Rasulullah SAW telah menghimbaunya bahkan dengan menawarkan jaminan untuk mendapatkan ampunan. Dengan tegas Allah berfirman: Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar (QS. 20:82).
  • Bila kita cermati hadangan dan rintangan yang akan dilakukan oleh Iblis dari kisah tersebut membuat kesadaran bahwa upaya untuk menjalani kehidupan sungguh tidak mudah.
  • Hanya karena Maha Rahman dan Maha Rahiim-Nya sajalah kita akan selamat dalam menjalani kehidupan ini hingga akan selamat dari jebakan-jebakan syetan.


Namun perlu juga diingat, Rasulullah juga pernah mengatakan bahwa Jihad Terbesar adalah Mengalahkan Hawa Nafsu Kita Sendiri.


Semoga Bermanfaat.

Silaturahmi

Mengenai Saya

Foto saya
Orang Jawa, Islam yang nJawani, yang senantiasa berusaha saling asah, asih dan asuh serta hidup berdampingan dengan siapa saja secara damai tanpa saling mengganggu