Minggu, 07 Agustus 2011

BAGAIMANA MEMAHAMI HADITS NABI

Bagaimana Memahami Hadis Nabi?

Nadirsyah Hosen

Setelah memposting mengenai "Bagaimana memahami al-Qur'an" dan "Bagaimana memahami konsep mutawatir, ijma' dan qat'i al-dalalah", tiba saatnya saya memasuki wilayah yang paling seru, yaitu "Bagaimana memahami Hadis Nabi". Saya bilang ini topik yang paling seru karena hampir semua gerakan pembaruan Islam dimulai dari topik ini, yaitu bagaimana memisahkan antara Hadis yang valid dengan Hadis yang tidak valid. Perbedaan pendapat di kalangan ulama juga terjadi akibat masalah Hadis ini. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Pertama, tidak seperti al-Qur'an, Hadis Nabi tersebar dalam sembilan kitab Hadis utama atau primer (kutubut tis'ah) dan sejumlah kitab hadis sekunder. Tentu saja sulit untuk melacak kedudukan atau keberadaan suatu Hadis dibanding melacak satu ayat al-Qur'an. Kedua, tidak seperti al-Qur'an yang telah diterjemahkan dan juga banyak kitab tafsir yang sudah diterjemahkan pula, 9 kitab Hadis utama tersebut belum seluruhnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemusykilan semakin bertambah mengingat kitab syarh (penjelasan) dari masing-masing 9 kitab utama tersebut belum pula diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Soalnya memang repot menerjemahkan berjilid-jilid kitab-kitab tersebut, dan kalaupun sudah diterjemahkan, apa ada penerbit yang mau menerbitkan dan apa ada pembaca yang mau merogoh koceknya untuk membeli puluhan jilid kitab-kitab tersebut? Bukankah kita lebih senang belajar sesuatu secara instant?

Tetapi, baiklah, dengan resiko mengundang perdebatan dan disalahpahami, saya akan memilih topik-topik yang menarik untuk disajikan kehadapan Isnetter.

1. Sembilan kitab Hadis utama

Saya akan sajikan daftar sembilan kitab Hadis utama. Mohon diingat bahwa urutan atau hirarki 9 kitab Hadis ini berbeda-beda tergantung pandangan ulama tertentu. Maksud saya, boleh jadi ada yang menaruh Shahih Bukhari di urutan pertama, namun ada pula yang menaruh Shahih Muslim di urutan pertama. Begitu selanjutnya. Karena saya tidak bermaksud membandingkan keutamaan satu kitab dari kitab yang lain (perlu tulisan tersendiri soal ini), saya sajikan saja daftar ini apa adanya sesuai abjad nama pengarang (penerbit dan tahun diterbitkannya sesuai yang ada pada saya), tanpa mempertimbangkan hirarki mereka.

  1. Abu Dawud, Sulaiman, "Sunan Abi Dawud", al-Maktabah al-'Ashriyah, Beirut, 1952.
  2. Bukhari, Abu 'Abd Allah Muhammad bin Isma'il al-, "Shahih al-Bukhari", Dar al-Qalam, Beirut, 1987.
  3. Darimi, Abu Muhammad al-,"Sunan al-Darimi", Dar al-Kitab al-'Arabi, 1987.
  4. Hanbal, Ahmad bin, "Musnad al-Imam Ahmad", al-Maktabah al-Islami, n.d.
  5. Ibn Majah, "Sunan Ibn Majah", Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1975.
  6. Malik, Imam, "al-Muwatta", al-Syirkah al-'Alamiyah, 1993.
  7. Muslim, "Shahih Muslim", Dar Ihya al-Turas al-'Arabi, 1972.
  8. Nasa'i, "al-Sunan al-Nasa'i", Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, 1986.
  9. Tirmizi, Abu 'Isa Muhammad al-, "Sunan al-Tirmizi", Dar al-Fikr, Beirut, 1980.

2. Bagaimana cara memahami ke-sembilan kitab tersebut?

Jikalau dihadapan kita ada satu teks Hadis yang terasa sulit kita memahami maksudnya, maka bukalah kitab syarh Hadis tersebut. Masing-masing dari 9 kitab di atas memiliki kitab penjelas (syarh) yang ditulis oleh ulama yang tidak diragukan integritasnya. Sebagai contoh, kitab Fathul Bari li Ibn Hajar dipandang sebagai kitab syarh utama terhadap Shahih Bukhari, disamping kitab 'umdatul qari'. Kitab Imam Nawawi yang men-syarh hadis-hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim juga dipandang sebagai kitab yang dijadikan referensi utama dalam memahami Shahih Muslim. Contoh lain, Sunan Abi Dawud di-syarh oleh tiga kitab, salah satunya adalah 'Aunul Ma'bud. Jadi sebelum kita terburu-buru mengomentari suatu hadis, marilah kita lihat syarh Hadis tersebut.

Disamping itu, terdapat pula kitab-kitab yang men-syarh atau menjelaskan Hadis-hadis berdasarkan topik tertentu. Jadi, tidak khusus kitab shahih bukhari saja, misalnya; tetapi satu hadis ttg satu topik dari sejumlah kitab hadis. Kitab hadis model ini antara lain adalah Subulus Salam, Nailul Awthar, dan lainnya.

Jadi secara metodologis, ikuti langkah berikut untuk memahami sebuah Hadis.

  1. apakah hadis tersebut terdapat dalam sembilan kitab hadis utama?
  2. ika iya, bagaimana komentar ulama dalam kitab syarh utama ttg hadis tersebut?
  3. jikalau keterangan itu belum cukup, bagaimana kitab hadis sekunder dan kitab syarh sekunder bicara ttg hadis tersebut?

3. Apakah semua Hadis dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim itu Shahih semuanya?

Ini topik yang menjadi perdebatan ratusan tahun yang lalu. Berbeda dengan pemahaman kebanyakan ummat Islam, Ibn Hajar sebagai pen-syarh utama menganggap tidak semua Hadis dalam Shahih Bukhari itu bernilai Shahih. Saya sebutkan dua saja contohnya:

  1. hadis Bukhari no. 115, kitab al-'ilm ttg pembelaan abu hurairah. Ini adalah hadis mawquf (ucapan Sahabat Nabi) bukan Hadis marfu' apalagi shahih.
  2. fathul bari (1:47) mengomentari bahwa "iman itu perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang" adalah ucapan para ulama di berbagai negeri sehingga jatuh pada hadis maqthu', bukan hadis marfu' apalagi shahih.

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juga berpendapat tidak semua hadis dalam shahih muslim itu bernilai shahih. Syaikh al-Albani, yang dijadikan rujukan oleh sebagian kawan-kawan di Isnet, juga berpendapat serupa. al-Albani mendha'ifkan hadis dalam shahih muslim ttg kalau seorang makan-minum sambil berdiri lalu diperintah Nabi untuk memuntahkan makan-minum tersebut.

Namun harus diakui secara umum, hadis-hadis yang terdapat dalam shahihain (shahih bukhari dan shahih muslim) bernilai shahih. Karena penilaiannya besifat umum (aghlabiyah), maka penelitian secara khusus akan kedudukan satu hadis dalam shahihain harus dilakukan. Maksud saya, seringkali kita langsung menshahihkan suatu hadis hanya karena diriwayatkan dalam dua kitab ini dan mendha'ifkan hadis sejenis yg terdapat dalam kitab lain (Sunan ibn majah, misalnya). Padahal belum tentu riwayat yang sampai pada Ibn majah lebih jelek ketimbang yg diterima Bukhari. Bahkan boleh jadi, satu hadis dalam sunan al-tirmizi lebih valid ketimbang dalam shahih muslim. Secara teori 'ulumul hadis, hal ini dibenarkan.

4. Perbedaan kriteria menetapkan hadis shahih atau bukan

Boleh jadi, ada satu hadis dinyatakan shahih oleh satu ulama namun dinyatakan dh'if oleh ulama lain. dari sinilah kita bisa menjelaskan mengapa terjadi perbedaan pendapat ulama padahal masing-masing mengaku berpegang pada hadis shahih. Sebagai contoh, masalah azan subuh dua kali atau satu kali ternyata terdapat hadis yang sama-sama mendukung pendapat-pendapat ini. Kitab subulus salam dan bidayatul mujtahid berbeda dalam mendha'ifkan atau menshahihkan hadis-hadis seputar topik ini.

Celakanya, kadang kala ummat Islam tidak mau memahami perbedaan kriteria ini sehingga setiap ibadah yang dijalankan berdasarkan hadis dha'if dipandang bid'ah. Masalahnya kita belum sempat mencek kembali apakah benar ibadah yg dijalankan kelompok lain itu berdasarkan hadis dha'if. Boleh jadi mereka mengamalkannya berdasarkan hadis shahih yang kita dha'ifkan atau didhai'fikan ulama tertentu. Walhasil, ujung-ujungnya, kita pandang bid'ah semua orang yg berbeda pendapat dengan kita. Bid'ah bukan lagi perbuatan yg menyimpang dari sunnah Nabi, melainkan perbuatan yang "kita anggap" menyimpang dari sunnah Nabi. "Anggapan", "asumsi", bahkan "tuduhan" ini telah mencabik-cabik ukhuwah islamiyah diantara kita. Ketimbang mengatakan, "masalah in i tidak ada hadisnya sehingga amalan ini adalah amalan bid'ah!", mengapa tidak kita katakan,"saya belum mendapati dan meneliti ttg hadis tersebut. Sepanjang sepengetahuan saya amalan tsb tidak didukung oleh hadis yang shahih. Tetapi ok-lah saya akan teliti dulu."

Semua ulama sepakat bahwa salah satu unsur keshahihan hadis adalah apabila diriwayatkan oleh perawi yang adil. Namun, apa syarat-syarat seorang perawi dinyatakan adil ? Para ulama berbeda pendapat soal ini. Imam al-Hakim berpendapat bahwa mereka yang memilki kriteria sbb: islam, tidak berbuat bid'ah, tidak berbuat maksiyat sudah dipandang memenuhi kriteria adil. Sementara itu, Imam al-Nawawi berpendapat bahwa kriteria adil adalah mereka yang islam, balig, berakal,memelihara muru'at, dan tidak fasik. Ibn al-Shalah memang hampir sama dg Nawawi ketika memberi kriteria adil, yaitu : islam, balig, berakal, muruat, dan tidak fasik. Namun antara Imam al-Nawawi dan Ibn al-Shalah berbeda dalam menjelaskan soal memelihara muru'at tersebut.

Perdebatan juga muncul, berapa orang yang harus merekomendasikan keadilan tersebut. Apakah cukup dg rekomendasi (ta'dil) satu imam saja ataukah harus dua imam utk satu rawi. Unsur lain yang jadi perdebatan adalah masalah bersambungnya sanad sebagai salah satu kriteria keshahihan suatu Hadis. Imam Bukhari telah mempersyaratkan kepastian bertemunya antara periwayat dan gurunya paling tidak satu kali. Sedangkan Imam Muslim hanya mengisyaratkan "kemungkinan" bertemunya antara perawi dan gurunya; bukan kepastian betul-betul bertemu. Perbedaan ini jelas menimbulkan perbedaan dalam menerima dan menilai kedudukan suatu hadis.

5. Mengapa Hadis Nabi bisa berbeda-beda

Ada sekelompok ummat Islam yang menganggap bahwa perbedaan pendapat mustahil muncul kalau kita kembali kepada al-Qur'an dan Hadis. Saya justru berpendapat bahwa perbedaan pendapat yang genuine muncul justru karena para ulama berpegang tegus pada al-Qur'an dan Hadis. Ini disebabkan al-Qur'an dan Hadis sendiri membuka pintu atau peluang perbedaan pendapat itu.

Sebagai contoh, apa yang harus kita baca di saat kita ruku' dan sujud dalam sholat? Hadis pertama menceritakan bahwa Nabi membaca, "Subhana Rabbiyal A'zim" ketika ruku' dan "Subhana Rabbiyal A'la" ketika sujud. Hadis ini diriwayatkan oleh Huzaifah (Sunan al-Nasa'i, Hadis Nomor 1.036). Akan tetapi Siti Aisyah (radhiyallahu 'anha) meriwayatkan hadis lain (Shahih Muslim, Hadis Nomor [HN} 752, Sunan Abi Dawud, HN: 738, Sunan al-Nasa'i, HN 1.038). Dalam hadis ini, diriwayatkan bahwa Rasul membaca "Subbuhun quddussun rabul malaikati war ruh" baik ketika ruku' maupun ketika sujud. Yang menarik, ternyata Aisyah meriwayatkan pula bahwa Rasul membaca teks lain, "Subhanaka Allahumma Rabbana wa bihamdika Allahummafighrli" (Shaihih Bukhari, HN 752 dan 3.955).

Jikalau benar bahwa perbedaan pendapat tidak akan terjadi kalau kita berpegang pada Hadis Nabi, maka bagaimana dengan fakta ini? yang mana yang benar ? Yang mana yang sesuai dg sunnah Nabi dan yang mana yang bid'ah? Beranikah kita bilang Huzaifah berbohong? Beranikah kita bilang bahwa Siti Aisyah, isteri Nabi, lupa teks mana yang sebenarnya dibaca Nabi? Bagaimana mungkin dari satu perawi (Aisyah) terdapat dua teks yang berbeda. Bagi saya, jawabannya simple saja. Semua ummat Islam yang membaca teks yg berbeda tersebut adalah benar karena mereka punya dasarnya. Namun siapa yang paling benar, serahkan saja pada Allah swt.

Begitupula banyak persoalan klasik dan cukup sederhana sebenarnya namun telah membuat umat Islam tercerai berai dg tuduhan bid'ah [bukankah setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka?]. Contoh lain, ketika anda sujud, yang mana duluan anda jatuhkan ke bumi: tangan anda atau lutut anda. Syaikh al-Albani mengatakan tangan dulu dan yang menjatuhkan lutut dulu telah berbuat bid'ah. Syaikh Bin Baz berpendapat yang mana saja yang paling mudah untuk anda. Boleh lutut dan boleh juga tangan dulu. Ternyata kedua pendapat ini sama-sama ada riwayat yang mendukung. Ternyata pula kedua ulama besar yang berbeda pandangan ini sama-sama mencantumkan pandangannya dalam buku yang berjudul hampir sama, yaitu sifat sholat Nabi atau bagaimana sholat Nabi. Lalu yang mana sebenarnya cara yg dipilh Nabi atau sifat/model sholat Nabi?

Saya tanya kawan saya, seorang bule yang baru masuk Islam, "Brother, ketika kamu sujud, tangan dulu atau lutut dulu yang kamu jatuhkan karena ada dua hadis yg berbeda soal ini." Kawan saya dengan mantap menjawab, "Jikalau memang dua-duanya ada Hadisnya, itu menunjukkan bagi Rasul tidaklah penting tangan atau lutut dulu. Semuanya boleh saja. Bagi saya yang penting ketika sujud bukanlah soal tangan dan lutut itu tetapi bagaimana kita tundukkan diri kita sedemikian rendah, kita sujud mengakui kebesaran-Nya, kita buang semua ego kita dan kita serahkan diri kita di bawah kendali Allah swt. Bukankah ini jauh lebih penting kita diskusikan, Brother?"

Saya terpesona. Seringkali perbedaan hal yang kecil-kecil membuat kita kehilangan waktu untuk merenungi esensi ibadah kita. Seorang muallaf mampu mengajari saya akan hal ini. Alhamdulillah.

Contoh berikutnya, ada Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa ketika Nabi mengakhiri sholat dengan menoleh ke kanan beliau membaca, "Assalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh" dan ketika menoleh ke kiri membaca salam "assalamu 'alaikum wa rhmatullahi" (tanpa "wa barakatuh"). Lihat Sunan Abi Dawud, HN 846. Hadis lain meriwayatkan bahwa baik ke kanan maupun ke kiri, Nabi menolehkan mukanya sambil membaca salam "tanpa wa barakatuh" [Sunan al-Tirmizi, HN 272; Musnad Ahmad, HN: 3.516, 3.549, 3.656, 3.694, 3.775, 3.849, 3.958, 4.020, dan 4.055; Sunan al-Tirmizi, HN: 1.302, 1.130, 1.303, 1.305, 1.307 dan 1.308].

Yang mengejutkan, Sunan Abi Dawud [HN: 845] juga meriwayatkan "tanpa wa barakatuh", padahal pada Hadis Nomor [HN} 846 dia meriwayatkan dengan "wa barakatuh". Sekali lagi, yang mana yang benar? Kenapa pula Abu Dawud mencatat dua hadis berbeda ini dalam kitabnya? Yang mana yang bid'ah dan yang mana yang sunnah. Mungkinkah kebenaran itu tidak satu tetapi berwajah banyak? Mungkinkah yang kita anggap bid'ah selama ini ternyata juga dipraketkkan Nabi?

Sebelum kita terburu-buru mengecam dan membid'ahkan saudara kita, maukah kita barang sejenak menahan diri sambil mempelajari argumen kawan-kawan kita yg berbeda pandangan. Kalaupun setelah kita menelaah argumentasi mereka dan kita tetap tidak sepakat dan menganggap argumen kita lebih kuat, masihkah kita tega menganggap mereka berbuat bid'ah padahal mereka melakukan itu beradasarkan pemahaman mereka akan riwayat (yang kebetulan tidak kita terima) dari Nabi sebagai ekspresi kecintaan mereka terhadap Nabi?

salam hangat,
=nadir=

Sumber kutipan http://media.isnet.org/isnet/Nadirsyah/Hadits.html


BAGAIMANA MEMAHAMI KONSEP MUTAWATIR, IJMA' dan QAT'I al-DALALAH

Bagaimana memahami konsep mutawatir, ijma' dan qat'i al-dalalah?

Nadirsyah Hosen *)

Lazim diketahui bahwa hukum Islam mengandung aspek absolut di satu sisi dan aspek relatif di sisi lain. Keabsolutan syari'ah Islam biasanya berasal dari konsep mutawatir, ijma' dan qat'i al-dalalah. Diskusi dan perdebatan berhenti seketika saat diketahui bahwa topik yang dibahas merupakan ruang lingkup salah satu dari tiga konsep tersebut. Ketiga konsep ini telah berhasil "menjaga gawang" akidah dan syari'ah ummat Islam selama berabad-abad. Ijtihad dinyatakan tidak berlaku terhadap persoalan yang ternyata didukung oleh salah satu dari ketiga hal tersebut.

Kali ini kita mencoba untuk membuktikan bahwa sebenarnya masih banyak persoalan seputar ketiga konsep di atas. Catatan singkat ini hendak menunjukkan bahwa ketiga konsep itu lahir dari pemahaman ulama dan karenanya mengandung perbedaan pendapat; dan perbedaan pendapat tentu saja berpijak pada sisi relativisme ajaran Islam ketimbang sisi absolutnya. Dengan pendekatan lintas mazhab, satu persatu ketiga konsep tersebut akan "dibongkar" atau dilakukan dekonstruksi terhadap keabsolutan ketiganya.

Mutawatir

Secara bahasa, mutawatir bermakna banyak, terkenal atau umum. Istilah mutawatir biasanya digunakan dalam konteks periwayatan. Tidak heran kalau istilah ini paling sering digunakan oleh ulama Hadits, khususnya ketika bicara mengenai Hadits Mutawatir.

Hadits Mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang pada semua tingkatan sanad (rentetan periwayat Hadits sampai kepada Rasulullah SAW), yang secara logika dan kebiasaan dapat dipastikan bahwa para periwayat itu mustahil bersepakat untuk berdusta [Lihat Muhammad 'Ajaj al-Khatib, "Usul al-Hadis:'ulumuh wa musthalahuh", h. 301]. Ulama usul al-fiqh menggunakan istilah mutawatir untuk "khabar yang disampaikan oleh banyak orang yang dengan sendirinya memberi suatu keyakinan/kepastian" [Muhammad Baqir al-Shadr, "Durus fi 'Ilm al-Usul", juz 1, h. 197].

Jikalau kita cermati definisi di atas, maka kata kuncinya adalah pada kata "banyak-orang". Persoalannya berapa orang yang bisa dianggap memenuhi kata "banyak" tersebut ? Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah minimalnya adalah empat orang dengan meng-qiyas-kan kepada jumlah saksi yang diperlukan dalam satu perkara (misalnya tuduhan zina). Ada pula yang mengatakan jumlah minimalnya adalah sepuluh karena bilangan itu merupakan jumlah minimal jam' al-kasrah (kelompok yang banyak). Disamping itu ada pula ulama yang mengatakan bahwa jumlah minimalnya 20 orang, 40 orang, dan 70 orang; bahkan ada yang menetapkan lebih dari itu [Lihat Muhammad Taqi al-Hakim, "al-Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin," h. 195; Mahmud al-Tahhan, "Taysir Mustalah al-Hadits", h. 19]. Perbedaan ini terjadi karena tidak ada nash yang mengatur soal ini secara tegas.

Konsekuensi logis dari perdebatan ini adalah adanya sebuah hadits yang dinilai mutawatir oleh sebagian ulama --sesuai kriteria yang mereka tetapkan-- namun boleh jadi dipandang tidak mutawatir oleh ulama lain, yang memliki kriteria yang berbeda dalam menentukan mutawatir atau tidaknya suatu riwayat. Contohnya adalah hadis mengenai rukun Iman dan rukun Islam yang terdapat dalam Shahih Muslim (Hadis nomor 9), juga diriwayatkan dalam Sunan al-Nasa'i, kitab al-Iman wa Syara`i'ih, HN: 4,904; Sunan Ibn Majah, kitab al-Muqaddimah, HN: 62; Musnad al-Imam Ahmad, kitab Baqi Musnad al-Muksirin, HN: 8,765. Hadis ini diriwayatkan oleh delapan sahabat. Tentu saja bagi yang berpendapat bahwa empat orang saja sudah memenuhi kriteria mutawatir, hadis ini dipandang mutawatir. Tetapi tidak demikian halnya dengan yang berpendapat 10, 20 atau bahkan harus 70 orang.

Ada persoalan lain yang juga diperselisihkan para ulama (mukhtalaf fih) yang menambah keyakinan kita bahwa meskipun hadits mutawatir bernilai qat'i al-tsubut, namun ternyata tidak "mutawatir" dalam hal kriteria menentukan ke-mutawatir-an suatu riwayat. Persoalan dimaksud adalah apakah periwayat yang banyak itu tidak hanya berasal dari satu kaum atau satu negeri saja, tetapi dari berbagai kaum atau berbagai negeri ? Apakah periwayat yang banyak itu terdiri dari orang Islam yang adil dan dapat diterima kesaksiannya. Para ulama berdebat panjang dalam persoalan-persoalan ini.

Ijma'

Kita pindah ke masalah Ijma'. Dalam Islam tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei). Yang ada adalah sebuah Hadis senada yang menyebutkan bahwa tidak mungkin ummatku bersepakat pada kesesatan atau kesalahan (Sunan Ibn Majah, Hadis Nomor 3940). Sepeninggal Nabi Muhammad SAW --yang dipercaya sebagai tokoh yang ma'shum, tanpa kesalahan, ummat Islam hanya bisa mencapai derajat ma'shum lewat kesepakatan total di antara mereka. Inilah yang kemudian melahirkan doktrin Ijma' dalam struktur hukum Islam. Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa ummat Islam sendiri memiliki perbedaan pendapat soal kesepakatan ini sampai pada hal yang sangat teknis. Walhasil, tidak dicapai Ijma' (kesepakatan) dalam merumuskan apa itu Ijma' ['Ali 'Abd al-Raziq, al-Ijma' fi al-Syari'ah al-Islamyah, h. 6].

Ijma' --menurut satu definisi-- adalah kesepakatan para mujtahid dari ummat Muhammad SAW pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum syara'. Definisi ini ditolak oleh ulama lain.

Mazhab

Zhahiri dan Ibn Hibban berpendapat bahwa ijma' hanyalah berlaku untuk shahabat, tidak untuk yang lain. Imam Ahmad --dalam satu riwayat-- mengatakan bahwa ijma' itu adalah kesepakatan khulafa al-rasyidin saja. Imam Malik malah merujuk pada ijma' penduduk madinah. Ulama lain merujuk pada ijma' ahlul haramain (penduduk Mekkah dan Madinah). Sedangkan ulama yang lain menganggap ijma' adalah kesepakatan penduduk Basrah dan Kufah saja; ada yang bilang kufah saja, bahkan ada juga yang bilang bahwa kesepakatan penduduk Basrah saja sudah cukup dipandang sebagai ijma' [Lihat Ibn Hazm, "al-Ihkam fi Usul al-Ahkam," juz 4, h. 128; al-Amidi, "al-Ihkam fi Usul al-Ahkam," juz 1, h. 286, 380-381, dan 404-405; al-Syawkani, "Irsyad al-Fuhul," h. 70, dan 79-80.]

Para ulama ada yang menyusun kriteria terwujudnya ijma', yaitu ijma' tersebut diikuti oleh mereka yang memenuhi persyaratan berijtihad, kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil dan para mujtahid itu berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid'ah. Ada pula yang menambah syarat lain yaitu yang dimaksud dengan mujtahid adalah sahabat saja, ada lagi yang menganggap mujtahid yang dimaksud hanyalah kerabat Nabi saja; sementara itu ada yang berpendapat --seperti telah disinggung sebelumnya-- mujtahid itu hanya ulama Madinah saja. Ada pula yang berpendapat bahwa hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang telah menyepakatinya serta tidak terdapat hukum ijma' sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang sama.

Ada juga ulama yang, misalnya, menolak Imam Dawud al-Zhahiri sebagai ulama yang harus diperhitungkan pendapatnya dalam soal ijma'. Bagi mereka, kalau ulama sudah sepakat bilang "A", dan Imam Dawud berpendapat "B", maka anggap saja sudah terjadi ijma'. Tentu saja para ulama lainnya menolak hal ini dan tetap mengakui Imam Dawud sebagai "peserta" sah dalam hal ijma'.

Contoh lain, Ibrahim bin Umar al-Biqa'iy menolak Fakhruddin al-Razy sebagai salah seorang yang dapat diterima otoritasnya dalam menetapkan sebuah "kesepakatan". Boleh jadi, ulama lain memasukkan al-Razy sebagai "peserta" lakon bernama ijma' ketika Biqa'iy "mengeluarkannya". Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi perdebatan ulama sejak ratusan tahun yang silam dan sampai sekarang belum ada "ijma'" dalam masalah ijma' ini.

Sebagai contoh berikutnya, al-Mughni (2/243) dan Nail al-Awthar (3/223) menyebutkan telah terjadi ijma' dalam hal fardhu 'ain-nya sholat jum'at. Padahal Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid (1/126) menyebutkan itu hanya pendapat jumhur ulama; bukan ijma'. Kitab fiqh yang terakhir ini menyebutkan adanya sekelompok ulama yang berpendapat bahwa sholat jum'at itu fardhu kifayah; bahkan satu riwayat dari Imam Malik mengatakan sholat jum'at itu sunnah. Bukanlah menjadi tujuan tulisan ini membahas soal kewajiban sholat jum'at. Namun dari contoh soal sholat jum'at ini kita bisa menangkap adanya ketidaksepakatan dalam menentukan apakah satu masalah sudah di-ijma'-kan atau belum. Dengan kita luaskan bacaan kita (tidak hanya merujuk pada satu atau dua kitab fiqh), boleh jadi masalah-masalah yang selama ini kita anggap merupakan ijma' ternyata belum merupakan ijma' atau sebuah kesepakatan yang mengikat.

Sejarah juga mencatat bahwa kegagalan mencapai kesepakatan tersebut kemudian melahirkan berbagai bentuk "kompromi". Misalnya, andaikata semua ulama telah sepakat pada satu hal, maka ini dipandang cukup mewakili kesepakatan ummat Islam secara total. Hal ini kemudian bergeser lagi karena ternyata cukup sulit menyatukan pendapat para ulama itu. Kebenaran bukan lagi dilihat berdasarkan kesepakatan total ummat Islam atau kesepakatan ulama, melainkan suara mayoritas di antara para ulama. Jikalau kitab-kitab fiqh sudah menyebut bahwa pendapat A dipegang oleh jumhur (mayoritas) ulama, jarang para santri atau ulama berani membantah atau, setidak-tidaknya, bersikap kritis. Mayoritas telah memegang otoritas kebenaran. Kebenaran bukan lagi ditentukan oleh kekuatan dalil dan logika, namun mengikuti jumlah pemegang pendapat tersebut.

Berbeda dengan istilah Ijma', lahir istilah baru untuk menggambarkan pergeseran ini, yaitu ittifaq. Sehinga kalau ditemukan kalimat bahwa para ulama sudah ittifaq untuk berpendapat A, boleh jadi yang dimaksud sebenarnya adalah hanya kesepakatan para ulama dari mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali), padahal jumlah mazhab dalam Islam konon pernah mencapai bilangan lima ratus.

Masalahnya ternyata tidak mudah menentukan apakah satu pendapat itu didukung oleh mayoritas atau minoritas. Boleh jadi pendapat A didukung oleh mayoritas pada suatu masa di suatu tempat tertentu. Namun di masa lain atau di tempat lain, boleh jadi yang mayoritas adalah B. Problem kedua, Bagaimana cara menghitung "kursi" mayoritas tersebut ? Karena belum pernah dihitung lewat pemilu, maka kitab-kitab fiqh diduga kuat hanya melakukan perhitungan secara umum saja. Boleh jadi, problem ini menimbulkan saling klaim di antara mereka.

Qat'i al-Dalalah

Persoalan terakhir yang hendak dibahas adalah masalah Qat'i al-Dalalah. Al-Qur'an dari sisi al-tsubut-nya telah disepakati oleh seluruh ulama sebagai qat'i. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini; bahkan diyakini bahwa hal ini telah memasuki lapangan teologi, artinya pengingkaran qat'i al-tsubut-nya al-Qur'an akan membawa sejumlah konsekuensi teologis. Namun demikian, dari sisi al-dalalah, ayat al-Qur'an ada yang qat'i dan ada pula yang zanni. Begitu pula halnya dengan Hadits, ada yang mengandung muatan qat'i al-dalalah dan ada pula yang zanni al-dalalah. Pada bagian qat'i al-dalalah inilah uraian di bawah ini terfokus.

Menurut Abdul Wahhab Khallaf, nash al-Qur'an dan Hadits yang bersifat qat'i al-dalalah adalah nash yang menunjuk pada makna tertentu yang tidak mengandung kemungkinan untuk dita'wil (dipalingkan dari makna asalnya) dan tidak ada celah atau peluang untuk memahaminya selain makna tersebut.[Abdul Wahhab Khallaf, "Ilm Usul al-Fiqh", h. 35; bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaili, "Usul al-Fiqh al-Islami," juz 1, h. 441] Contohnya adalah ketentuan jilid seratus kali bagi pezina (QS 24:2). Kata "seratus kali" tidak mengandung kemungkinan ta'wil dan atau pemahaman lain. Dengan demikian ayat ini bersifat qat'i al-dalalah.

Lalu bagaimana kita memberi batasan atau kriteria suatu nash itu qat'i al-dalalah atau sebaliknya, zanni al-dalalah? Ada ulama yang menyusun sepuluh kriteria, yaitu diriwayatkan secara mutawatir, tidak mengandung al-majaz (kiasan), al-isytirak (mengandung dua makna), al-naql, al-idhmar (samar/tersembunyi), al-taqdim, al-ta'khir, al-nasakh, al-takhshish dan ta'arud al-aqli [M. Abu Nur Zuhair, "Mudzakarah fi Usul al-Fiqh li Ghair al-Ahnaf", juz 1, h. 28-29].

Sedikit berbeda dengan kriteria di atas adalah yang dikemukakan oleh al-Syatibi: naql lughat (transfusi bahasa), al-nahw (grammatika) wa 'adam al-Isytirak, 'adam al-majaz, naql al-syar'i aw al-'adi, al-idhmar, al-takhshish li al-'umum, al-taqyid li al-muthlaq, 'adam al-nasikh, al-taqdim wa al-ta'khir dan terakhir, al-ma'aridh al-'aqli. [al-Syatibi, "al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam", jilid 1, h. 35-36].

Dari keterangan di atas, kriteria qat'i al-dalalah itu bisa disederhanakan dengan: pertama, adanya problematika bahasa (susunan kalimat yang diawalkan atau diakhirkan, perbedaan grammatika, kiasan, mengandung makna ganda, dan lainnya); kedua, adanya kondisi tambahan semisal takhshish, taqyid ataupun nasik-mansukh; dan ketiga, adanya indikasi bertentangan dengan nalar atau akal.

Dari pembahasan di atas, kalau kita mau jujur, tentu amatlah sulit untuk mencari teks atau lafaz al-Qur'an dan Hadits yang mencapai derajat qat'i al-dalalah. Sebagai contoh, seringkali ummat islam mengatakan kewajiban sholat lima waktu secara qat'i diraih melalui ayat "aqim al-shalat" yang mengandung lafadz amr (perintah). Padahal lafadz amr itu tidak semuanya bermakna qat'i; adakalanya amr itu mengandung makna mubah dan sunnah. Jadi, dari sisi dalalah dan kriteria di atas, lafaz "aqim al-shalat" tidaklah qat'i. [Perdebatan para ulama soal makna dasar amr itu (al-ashlu fi al-amri) bisa dilihat, salah satunya, dalam Ibn al-Najjar, "Syarh al-Kawkab al-Munir", khususnya jilid ketiga].

Al-Syatibi memberi solusi terhadap persoalan ini. Kesepuluh premis yang diajukannya juga menghasilkan kesulitan untuk mencapai derajat qat'i al-dalalah. Untuk itu beliau mengajukan konsep "mutawatir maknawi", yakni sekumpulan ayat yang zanni tentang suatu tema (shalat, misalnya) saling membantu dan menguatkan akan kewajiban shalat. Ketika ayat-ayat tentang sholat dikumpulkan, ternyata tidak satupun yang mengindikasikan ketidakwajiban sholat. Dengan demikian kewajiban sholat bersifat qat'i. Jika hanya mengandalkan satu ayat maka hasilnya adalah zanni, tetapi karena dibantu oleh sekumpulan ayat senada maka ia menjadi semacam "mutawatir maknawi".

Ketika Zuhair dan Syatibi mengemukakan sepuluh ihtimal dalam menilai qat'i-zanni-nya suatu nash, dapat segera kita lihat bahwa kesepuluh premis tersebut amat dipengaruhi pada keberpihakan mereka dalam persoalan ushuliyyah. Keduanya sama-sama mencantumkan al-nasakh sebagai salah satu ukuran qat'i-zanni. Artinya, kalau terdapat nasakh dalam ayat tertentu maka gugur ke-qat'i-annya. Tentu saja kriteria ini sulit diterima oleh sejumlah ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Qur'an. Abu Muslim al-Asfahani, misalnya, memilih jalan takhshish dalam menghadapi nash yang secara lahiriyah tampak bertentangan. Ini berbeda dengan jumhur ulama yang disamping menggunakan takhshish juga menggunakan nasakh. Tentu saja bagi mereka yang sepaham dengan Abu Muslim ini tidak akan memasukkan nasakh sebagai unsur untuk mengukur qat'i-zanninya suatu nash.

[note: Dipilihnya pendapat Zuhair dan Syatibi karena memang jarang para ulama membahas masalah kriteria qat'i. Sejumlah kitab usul al-fiqh di bawah ini tidak membahas ataupun kalau membahas dilakukan dengan cara yang minimum dan terkesan sambil lalu. Lihat Ibn al-Najjar "Syarh al-Kawkab al-Munir"; al-Badakhsi, "Manahij al-'Uqul"; al-Asnawi, "Nihayat al-Sul", al-Qarafi, "Syarh Tanqih al-Fusul," al-Taimiyah, "al-Musawadah fi Usul al-Fiqh"; Abu Husayn al-Bashri, "al-Mu'tamad fi Usul al-Fiqh." Untuk kalangan Syi'ah bisa dilihat pada al-'Allamah al-Hilli, "Mabadi' al-Wusul ila 'Ilm al-Usul," Taheran, Maktab al-A'lam al-Islami, 1404 H.]

Persoalan am-takhshish juga dimasukkan dalam sepuluh kriteria oleh Zuhair dan Syatibi di atas. Sekali lagi, tulisan ini ber-argue bahwa mereka terpengaruh pada mazhab yang mereka anut ketika memasukkan masalah ini dalam sepuluh kriteria mereka. Kebanyakan dari mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish. Untuk itu, dapat diduga kuat, bahwa bagi kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish tidak perlu dipakai sebagai ukuran menentukan qat'i-nya suatu nash.

Begitu pula persoalan taqyid li al-muthlaq yang disebutkan Syatibi (Zuhair tidak memasukkan hal ini) tidak lepas dari perbedaan pendapat. Disepakati bahwa ayat yang muthlaq wajib diamalkan kemuthlaqannya pada kondisi tidak ada ayat yang men-taqyid-nya. Perbedaan pendapat terjadi pada kondisi terdapatnya lafaz muthlaq dalam nash dan juga terdapat lafaz muqayyad pada nash yang lain. Tidak heran kalau, akibat perbedaan ini, jumhur tidak mwajibkan zakat fitrah pada budak non-muslim sedangkan Hanafiyah mewajibkannya. Hanafiyah juga tidak mensyaratkan dalam kafarat zhihar itu iman tetapi mensyaratkannya pada kafarat al-qatl al-khata'. [Untuk jelasnya silahkan lihat Mustafa Sa'id al-Hin, "Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa'id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha", h. 251-253].

Zuhair dan Syatibi juga memasukkan kriteria ta'arudh al-aqli dalam menentukan qat'i-zanni. Kita mesti menganggap suatu nash itu zanni karena teks nash tersebut bertentangan dengan aqal. Ini persoalan yang amat musykil. Apa sih rasionalisasinya sholat subuh hanya dua rakaat dan zhuhur empat sedangkan maghrib tiga rakaat? Lantas apakah karena tidak rasional (bertentangan dengan akal) maka bilangan rakaat itu dianggap zanni dan bisa berubah? Keyakinan teologis kita mengatakan, tidak! Bilangan rakaat sholat memang tidak rasional tetapi tidak bertentangan dengan akal sehat karena hal itu tidak merugikan diri dan masyarakat.

Untuk tidak menyulitkan kita, maka sebaiknya kriteria tentang ta'arudh al-aqli diganti saja dengan kriteria ma'lum minad din bi al-dharurah (ajaran Islam yang dianggap telah mencapai aksioma). Begitu pula soal nasakh, takhshish dan taqyid sebaiknya tidak usah dijadikan kriteria untuk menentukan qat'i-zanni-nya suatu nash. Solusi Syatibi mengenai "mutawatir maknawi" di atas juga tidak luput dari kritik. Kebetulan ayat mengenai sholat jumlahnya banyak sehingga bisa dikumpulkan dan menjadi "mutawatir maknawi" yang mencapai derajat qat'i. Tetapi bagaimana dengan ayat tentang hukuman bagi pencuri? Bukankah ayatnya cuma satu dan ummat Islam menganggap sudah qat'i (meskipun dengan satu ayat saja?). Beranikah Syatibi mengatakan bahwa ayat pencurian itu tidak qat'i karena tidak mencapai derajat "mutwatir maknawi" ?

Ternyata masalah menentukan kriteria qat'i-nya suatu nash tidaklah bersifat "qat'i". Ini hanyalah bagian dari ijtihad ulama yang tetap bisa dilakukan kritik dan penyempurnaan.

Penutup

Catatan sederhana ini sudah mencoba mendemonstrasikan bahwa persoalan mutawatir, ijma' dan qat'i al-dalalah, yang sering dijadikan penghambat untuk lahirnya ijtihad-ijtihad baru, ternyata masih terbuka untuk dipersoalkan. Tiga kata kunci ini telah menjadi senjata yang mematikan bagi upaya reinterpretasi, reformasi dan reijtihad yang dilakukan ulama kontemporer. Apa boleh buat, dekonstruksi terhadap ketiga konsep tersebut harus dilakukan.

Wa fawqa kulli dzi 'ilmin 'alim
Wa Allahu A'lam bi al-Shawab

salam hangat,
=nadir=

*) Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

sumber kutipan http://media.isnet.org/isnet/Nadirsyah/ijma.html

BAGAIMANA MEMAHAMI AL-QUR'AN

Bagaimana Memahami al-Qur'an?

Nadirsyah Hosen

Jika dihadapan kita terdapat sebuah ayat al-Qur'an, apa yang akan kita perbuat terhadap teks suci tersebut? Paling tidak, kita akan membaca, mencoba memahami dan kemudian mencoba menafsirkannya. Bagaimana kita membaca, memahami dan menafsirkan al-Qur'an? Bagaimana seorang manusia yang lemah dan hina seperti kita dapat memahami makna sebuah ayat yang pada dasarnya merupakan "bahasa" Allah?

Al-Qur'an adalah kalamullah, yang kita tidak tahu bagaimana hakikat bentuk dan jenis kalamullah tersebut [Lihat Syihab al-Din al-Qarafi, "Syarh Tanqih al-Fusul," Beirut, Dar al-Fikr, 1973, h. 67; Jamal al-Din al-Asnawi, "Nihayah al-Sul, Beirut", Dar al-Kutub al-'Ilmiah, 1984, juz 1, h. 41; Wahbah al-Zuhaili, "Usul al-Fiqh al-Islami", Beirut, Dar al-Fikr, 1986, h. 38-399].

Ketika Allah "mengucapkan" kalam-Nya kepada Malaikat Jibril, maka terjadilah sebuah proses pertama dari turunnya wahyu. Kalam tersebut ditangkap dan dipahami oleh Malaikat Jibril untuk kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW lewat medium bahasa Arab. Pada titik ini terjadi proses kedua, yaitu transfer dari firman Allah, yang dipahami oleh Jibril, kepada Nabi melalui medium bahasa yang dapat dipahami oleh Nabi, yaitu bahasa Arab. Ummat Islam meyakini bahwa dalam kedua proses tersebut tidak ada unsur kesalahan ataupun distorsi makna.

Proses ini belum berhenti. Proses selanjutnya adalah ketika Nabi menyampaikan firman Allah tersebut kepada para sahabatnya. Pada titik ini, berbeda dengan Jibril yang hanya menerima dari Allah dan menyampaikannya kepada Nabi secara apa adanya, Muhammad SAW tidak hanya menerima dan menyampaikan, melainkan juga turut menjelaskan dan menafsirkan serta, pada sejumlah ayat, memberi contoh praktis penerapan wahyu Allah tersebut.

Sejarah mencatat bahwa proses keempat juga harus dilewati, yaitu proses pengumpulan ayat-ayat al-Qur'an yang dihapal dan dicatat dalam beberapa bentuk untuk kemudian disatukan. Proses keempat ini, yang terjadi pada masa setelah Nabi wafat, melewati perdebatan sengit di kalangan sahabat, pembentukan panitia pengumpulan dan kemudian proses kesaksian. Sekali lagi, proses belum berhenti. Proses kelima adalah memperbanyak mushaf yang telah selesai pada masa sebelumnya. Sekali lagi, pada titik ini, telah terjadi perdebatan seputar kegiatan ini seperti perbedaan qiraat dan berapa jumlah mushaf yang dikirim ke sejumlah daerah tertentu sebagai pedoman bila terjadi perbedaan bacaan. Setelah semua proses ini dilewati (termasuk penambahan tanda baca) maka al-Qur'an hadir dan bisa kita nikmati dalam bentuknya seperti sekarang.

Proses terakhir (keenam) boleh jadi adalah penafsiran dan penerjemahan ayat al-Qur'an ke dalam berbagai bahasa di dunia yang melibatkan unsur budaya lokal, interpretasi, ekspresi dan pilihan kata atau tafsir tertentu. Pada proses terakhir ini, betapapun hebatnya sebuah tafsir atau sebuah terjemah, kualitasnya tidaklah sama dengan kualitas asli Kalamullah yang dibawa Jibril a.s dan disampaikan kepada Muhammad saw.

Lazim diketahui bahwa ayat-ayat al-Qur'an itu tidak turun sekaligus, tetapi melewati proses panjang selama lebih dari dua puluh tahun. Selama sekitar dua puluh tahun, Allah berdialog dengan hamba-Nya melalui medium bahasa dengan Nabi sebagai medium penjelas. Karena proses turunnya al-Qur'an berangsur-angsur maka sebagian ayat turun untuk "mengomentari" suatu peristiwa khusus atau tertentu (belakangan peristiwa itu dikenal dengan istilah asbabun nuzul), sebagian lagi merupakan cerita dari Allah tentang masyarakat yang lalu, sebagian lagi merupakan pernyataan-pernyataan ketuhanan tentang sejumlah aspek kemanusiaan (akhlak, hukum, tauhid, dan lainnya).

Ketika Nabi menyampaikan (tabligh) isi dan teks wahyu kepada para sahabat, ummat Islam, sekali lagi, menyakini bahwa tidak terjadi perubahan, penyimpangan ataupun kesalahan informasi. Walaupun para ahli ilmu kalam berdebat mengenai kema'shuman Nabi: apakah Nabi ma'shum dalam segala hal atau tidak? namun mereka sepakat bawa Nabi Muhammad SAW itu ma'shum dalam hal menyampaikan wahyu (tabligh).

Seperti disinggung pada proses ketiga di atas, Nabi Muhammad SAW tidak hanya menyampaikan "bahasa" ilahi kepada para sahabat, tetapi juga memahami, menjelaskan, menafsirkan dan mempraktekkannya. Sampai di sini terjadi perdebatan lagi: apakah penafsiran atau ijtihad Nabi itu bisa dianggap bagian dari wahyu (wahy gair matluw) yang pasti benar dan terjamin validitasnya atau murni berdasarkan akal pikiran (ra'yu) yang boleh jadi mengandung kesalahan? Jikalau itu berdasarkan ra'yu, pada bidang apa saja Nabi boleh berijtihad? [lebih lanjut lihat diskusi soal ini dalam Wahbah al-Zuhaili, "Usul al-Fiqh al-Islami", Vol. II, h 1060; Muhammad Salam Madkur, "Manahij al-Ijtihad fi al-Islam", 1974, p. 350; Nadiyah Syarif al-'Umari, "Ijtihad al-Rasul Shalla Allah 'Alayh wa Sallam", 1985, p. 40]

Sejumlah ulama berpendapat bahwa Nabi SAW melakukan ijtihad dalam bidang al-hurub dan al-ahkam al-syari'ah. Ibn Hazm, al-Qadi 'Abd al-Jabbar, dan Abu Hasan al-Basri berpendapat bahwa Nabi berijtihad dalam bidang al-hurub dan fi tatbiq hukm Allah. Kumpulan ulama terakhir ini menolak pendapat bahwa Nabi berijtihad dalam bidang din atau al-ahkam al-syari'ah karena Allah telah menetapkan masalah-masalah dalam kedua bidang tersebut dalam al-Qur'an. Singkat kata, pada titik ini perdebatan muncul dengan terang-terangan.

Kita juga memasuki wilayah yang paling musykil pada bagian ini: bagaimana kita membedakan antara hasil ijtihad Nabi dengan Hadis Nabi yang merupakan sumber kedua ajaran Islam?

Apapun pilihan kita dalam perdebatan di atas, satu hal yang jelas ialah Nabi mewariskan kepada kita Al-Qur'an al-Karim. Namun demikian, al-Qur'an menggunakan sejumlah kata, susunan kalimat dan sistematika yang dapat mengundang sejumlah perdebatan. Sebagian dikarenakan memang kata yang dipilih Allah ternyata mengandung makna lebih dari satu, sebagian lagi dikarenakan penjelasan Allah bersifat isyarat atau mengandung kalimat samar yang membutuhkan kemampuan tertentu untuk memahaminya, dan sebagian lagi karena ayat-ayat yang diturunkan mengandung persoalan kompleks yang kemudian dipadatkan dengan struktur bahasa dan gaya sastra yang mengagumkan sehingga tidak bisa dipahami kecuali oleh mereka yang memiliki kemampuan bahasa dan sastra yang amat baik. Begitulah, sebagai kesimpulan, ada ayat yang begitu mudah dipahami, namun ada pula ayat yang tidak sembarang orang dapat memahaminya.

Salah satu yang menarik adalah gaya bahasa yang digunakan al-Qur'an ketika menjelaskan tentang Dzat Tuhan dan persoalan gaib dimana al-Qur'an menggunakan ungkapan-ungkapan yang sangat manusiawi; yang terasa akrab dengan keseharian manusia. Begitupula retorika yang digunakan al-Qur'an sanggup menantang imajinasi dan daya intelektual manusia dengan ilustrasi dan pengandaian yang menakjubkan. Sampai disini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa meskipun al-Qur'an merupakan produk "langit", namun ia menggunakan ungkapan yang sangat "membumi".

Semua seluk beluk al-Qur'an yang dipaparkan di atas telah dijawab dengan luar biasa oleh para ulama dengan sebuah disiplin ilmu, yaitu 'Ulumul Qur'an. Kaidah-kaidah penafsiran yang telah disusun itu merupakan alat bagi umat Islam untuk dapat memahami kitab sucinya. Yang jadi persoalan, sementara dialog dengan al-Qur'an terus berlangsung, para ulama telah menganggap disiplin ini sebagai ilmu yang telah dewasa atau matang sehingga tidak perlu ada pemikiran baru tentangnya.

Setiap upaya untuk memberikan cara pandang baru atau lain terhadap al-Qur'an dipandang melanggar kesucian al-Qur'an itu sendiri. Padahal cara pandang tersebut belum memasuki wilayah kesucian al-Qur'an atau proses pertama dan kedua yang digambarkan di awal tulisan ini. Para ulama kontemporer berargumen dan berdebat di wilayah non-suci yaitu 'ulumul qur'an. sayang, banyak yg menganggap 'ulumul qur'an sama sucinya dengan al-Qur'an.

Lebih celaka lagi, sebagian ummat islam tidak mengenal disiplin ilmu ini ('ulumul Qur'an). Mereka langsung membaca produknya (tafsir Ibn katsir atau tafsir fi zhilalil Qur'an, misalnya) dan tidak memahami prosesnya (qawa'id al-tafsir sebagaimana dibahas dalam al-Burhan fi 'ulumil Qur'an, atau al-Itqan atau Mabahis fi 'ulumil Qur'an, untuk sekedar menyebut contoh kitab-kitab tentang 'ulumul Qur'an). Ketika muncul produk (tafsir) yang berbeda akibat proses (kaidah) yang berbeda, mereka menjadi bingung dan menolak perbedaan-perbedaan itu dengan alasan perbedaan pendapat itu sesuatu yang jelek, tercela bahkan terlarang dalam Islam.

Memahami sebuah teks sebenarnya melibatkan tiga unsur utama, yaitu pengarang, teks dan pembaca. Sebenarnya membaca tidaklah sekedar membaca, tetapi melibatkan proses panjang seperti digambarkan di atas (lihat lima proses yang digambarkan di awal tulisan ini) antara pengarang, teks dan pembaca. Seorang pengarang yang luar biasa cerdas akan melahirkan teks yang juga luar biasa cerdas, namun "kecerdasan" pengarang dan teks tidak akan berarti apa-apa bila teks tersebut dibaca oleh pembaca yang tidak cerdas. Semakin cerdas kita membaca atau berdialog dengan teks, maka semakin cerdas pula teks itu memberikan jawaban.

Masalahnya, bagaimana pembaca bisa mengetahui dengan baik apa maksud pengarang akan teks tersebut? Lazim diketahui bahwa tidak ada satupun yang mengetahui maksud suatu teks seratus persen selain pengarang teks itu sendiri. Dalam bahasa Islam, hanya Allah SWT yang tahu makna paling hakiki dari al-Qur'an. Kemudian timbul pertanyaan lanjutan, bagaimana teks yang ditulis ribuan tahun yang lalu (proses ketiga, keempat dan kelima) dengan menggunakan bahasa, ungkapan dan ilustrasi serta retorika yang akrab dikenal pada saat kitab suci tersebut diturunkan, ditulis atau ditafsirkan dapat juga dipahami oleh pembaca masa kini? Tidakkah terjadi pergeseran pemahaman akibat teks itu dibaca dan didialogkan oleh pembaca yang berbeda-beda pada masa yang juga berbeda? Apakah pengarang rela kalau teks yang dia tulis ternyata dipahami secara berbeda-beda tergantung siapa, dimana dan bagaimana pembacanya? Apakah seorang pengarang masih mempunyai hak untuk memonopoli pemahaman terhadap teks yang ditulis ketika teks tersebut sudah sampai pada tangan pembaca?

Pertanyaan lebih jauh, pemahaman atau penafsiran siapakah yang paling benar atau paling mendekati kebenaran sebagaimana yang dimaksud oleh pengarang? Siapakah yang berhak mengklaim penafsiran kelompoknya benar dan penafsiran selain kelompoknya salah?

Sejarah mencatat betapa darah amat mudah menetes hanya karena sebuah tafsir. Banyak orang membunuh kelompok lain atas nama ayat suci. Sebenarnya mereka bertindak demikian bukan atas nama kitab suci, melainkan atas nama penafsiran yang mereka anggap sama suci dan sama benarnya dengan kitab suci. Nama Tuhan diagungkan dan diteriakkan sambil membunuh dan menghancurkan ciptaan Tuhan yang paling baik dan sempurna.

Namun tafsir juga bagaikan dua sisi pada mata uang yang sama. Tafsir bisa menggerakkan orang untuk mengklaim sebuah kebenaran; namun tafsir juga bisa menggerakkan orang untuk bersikap ramah, toleran, inklusif, dan pluralis terhadap keragaman tafsir. Lalu dimana posisi kita?

Apakah kita berpihak pada tafsir yang memonopoli kebenaran atau pada tafsir yang mengakui bahwa tafsiran kita terhadap ayat suci hanyalah setetes kebenaran dari samudra khazanah ilahi yang amat luas terbentang, tak bertepi?

Wa fawqa kulli dzi 'ilmin 'alim
Wa Allahu A'lam bi al-Shawab

salam hangat,
=nadir=

Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Sumber kutipan http://media.isnet.org/isnet/Nadirsyah/fahamQ.html

FROM MITHOLOGI TO DISCOVERY

FROM MITHOLOGI TO DISCOVERY

oleh Pak Rebo Lahire Kemis pada 07 Agustus 2011 jam 10:58

Note ini kami tulis untuk menanggapi keraguan umat non muslim terutama umat Kristiani akan keberadaan Al-Qur’an sebagai Firman dari Sang Maha Pencipta Alam Semesta.

Banyak dari mereka yang menganggap bahwa isi Al-Qur’an hanyalah mithos, dongeng, bualan dan kebohongan Muhammad.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Presentasi ini adalah tentang bagaimana

KECEPATAN CAHAYA

KECEPATAN GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK

KECEPATAN YANG TERCEPAT DI JAGAT RAYA INI

yaitu 299279.5 Km/det bisa ditentukan/dihitung dengan tepat berdasar informasi dari dokumen yang sangat tua (AL QURAN)

Mungkin anda pernah tahu bahwa konstanta C, atau kecepatan cahaya yaitu kecepatan tercepat di jagat raya ini diukur, dihitung atau ditentukan oleh berbagai institusi berikut:

** US National Bureau of Standards

C = 299792.4574 + 0.0011 km/det

** The British National Physical Laboratory

C = 299792.4590 + 0.0008 km/det

** Konferensi ke-17 tentang Penetapan Ukuran dan Berat Standar ”Satu meter adalah jarak tempuh cahaya dalam ruang vacum selama jangka waktu 1/299792458 detik".

Tapi anda seharusnya tahu bahwa konstanta C bisa dihitung/ditentukan secara tepat menggunakan informasi dari kitab suci yang diturunkan 14 abad silam.

Dalam Alquran dinyatakan:

”Dialah (Allah) yang menciptakan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkanya tempat tempat bagi perjalanan bulan itu agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)" (10:5)

”Dialah (Allah) yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar dalam garis edarnya" (21:33).

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu". (32:5)

Berdasar ayat-ayat tersebut di atas, terutama ayat yang terakhir (ayat 32:5) dapat disimpulkan bahwa :

Jarak yang dicapai Sang urusan (Malaikat) selama satu hari sama dengan jarak yang ditempuh bulan selama 1000 tahun atau 12000 bulan.

C . t = 12000 . L

dimana :

C = kecepatan Sang urusan

t = waktu selama satu hari

L = panjang rute edar bulan selama satu bulan

Berbagai sistem kalender telah diuji, namun “Sistem kalender bulan sidereal” menghasilkan nilai C yang persis sama dengan nilai C yang sudah diketahui melalui pengukuran.

Ada dua macam sistem kalender bulan:

1. Sisyem sinodik, didasarkan atas penampakan semu gerak bulan dan matahari dari bumi.

1 hari = 24 jam

1 bulan = 29.53059 hari

2. Sistem sidereal, didasarkan atas pergerakan relatif bulan dan matahari terhadap bintang dan alam semesta.

1 hari = 23 jam 56 menit 4.0906 detik = 86164.0906 detik

1 bulan = 27.321661 hari


gambar 1: periode satu bulan sinodik


gambar 2: periode satu bulan sidereal

Selanjutnya perhatikan rute bulan selama satu bulan sidereal. Rutenya bukan berupa lingkaran seperti yang mungkin anda bayangkan, melainkan berbentuk kurva yang panjangnya :

L = v . T

Dimana:

v = kecepatan bulan

T = periode revolusi bulan = 27.321661 hari .

a = 27.321661 days /365.25636 days * 360o = 26.92848o

Sebuah catatan tentang kecepatan bulan (v)

Ada dua tipe kecepatan bulan :

1. Kecepatan relatif terhadap bumi yang bisa dihitung dengan rumus berikut:

ve = 2 . p . R / T

dimana :

R = jari-jari revolusi bulan = 384264 km

T = periode revolusi bulan = 655.71986 jam

Jadi ve = 2 * 3.14162 * 384264 km / 655.71986 jam

= 3682.07 km/jam

2. Kecepatan relatif terhadap bintang atau alam semesta. Yang ini yang akan diperlukan.

kecepatan jenis kedua ini dihitung dengan mengalikan yang pertama dengan cosinus a, sehingga:

v = Ve * Cos a

Dimana a adalah sudut yang dibentuk oleh revolusi bumi selama satu bulan sidereal

a = 26.92848o

Jadi:

C . t = 12000 . L

C . t = 12000 . v . T

C . t = 12000 . ( ve . Cos a ) . T

Ingat !

L = v . T

v = ve . Cos a

ve = 3682.07 km/jam

a = 26.92848o

T = 655.71986 jam

t = 86164.0906 det

C = 12000 . ve . Cos a . T / t

C = 12000 * 3682.07 km/jam * 0.89157 * 655.71986 jam / 86164.0906 det

C = 299792.5 km/det

Bandingkan C (kecepatan sang urusan) hasil perhitungan

dengan nilai C (kecepatan cahaya) yang sudah diketahui !

NILAI C HASIL PERHITUNGAN

*** C = 299792.5 Km/det

NILAI C HASIL PENGUKURAN

C = 299792.4574 + 0.0011 km/det (US National Bureau of Standards)

C = 299792.4590 + 0.0008 km/det (The British National Physical Laboratory)

“Satu meter adalah jarak tempuh cahaya dalam ruang hampa selama 1/299792458 detik " (Konferensi ke 17 tentang Ukuran dan Berat Standar)

Al quran 32: 1-5

Dengan nama Allah yang Maha pengasih Maha penyayang

Alif Lam Mim.

Turunnya kitab ini tanpa keraguan padanya, dari Rabb semesta

Tetapi mengapa mereka mengatakan:"Ia (Muhammad saw) mengada- adakannya". Sebenarnya ini adalah kebenaran dari Rabbmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum dating kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelummu; agar mereka mendapat petunjuk.

Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam periode, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu.

===>>>>>>>>>>>>>>===

“Perhitungan ini membuktikan keakuratan dan konsistensi nilai konstanta C hasil pengukuran selama ini dan juga menunjukkan kebenaran AlQuranul karim sebagai wahyu yang patut dipelajari dengan analisis yang tajam karena penulisnya adalah Sang pencipta alam semesta.”

===>>>>>>>>>>>>>>===

Sumber kutipan : http://www.facebook.com/note.php?note_id=129185993841897

Sabtu, 06 Agustus 2011

DETIK-DETIK MENUJU PERANG BADAR

DETIK-DETIK MENUJU PERANG BADAR

oleh Ibnu Taimiyyah pada 29 Juli 2011 jam 2:25

Perang badar, termasuk perang yang diabadikan oleh al-Qur'an, biasa disebut “yaumul taqol jam’aani” karena selain menjadi perang pertama umat islam dengan kaum musyrik makah, juga menjadi bukti kebesaran islam dengan kemenangan gemilang dalam perang tersebut sehingga Rosul menjamin para veteran badar dengan syurga, menjamin tidak ada dalam dada mereka kenifaqan, anugerah yang sangat besar.

Akan tetapi, di sela-sela keagungan perang badar, penganut kristen melalui tangan-tangan orientalist tempoe doeloe, seperti golhizer dll, telah memanipulasi suatu bentuk PERANG, menjadi bentuk PENJARAHAN yang penuh kesan negatif dan destruktif.

Note ini mencoba menguak kembali detik-detik menuju peperangan gemilang tersebut dengan memperhatikan sumber-sumber primer, memberikan sedikit ulasan singkat, sehingga menampilkan sejarah APA ADANYA.

Adapun sumber-sumber diambil dari kitab-kitab:

  • Shirah nabawiyyah à Ibnu Hisyam
  • Shirah Nabawiyyah à Ibnu Ishaq
  • Kitab al-Maghazy à al-Waqidy
  • ‘Uyuunul AtsAr fie Funuunil Maghazy was Samaa’il was Siar à Ibnu Sayyidin Naas
  • Fiqh Shirah à Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy

Karena itu, sebelum menuju detik-detik sejarah tersebut, ada baiknya kita mengkaji kembali aktivitas nabi pada awal-awal kedatangan beliau ke MADINAH.

  1. Hal pertama yang dilakukan Nabi setelah datang ke yatsrib/madinah, adalah mempersaudarakan antara Muslim Muhaajirin/yang hijrah dengan Muslim anshor/penduduk asli. Hal ini banyak termaktub dalam kitab2 sejarah, seperti Ibnu Ishaq, ibnu Hisyam dll.
  2. Selain itu demi menjaga kerukunan antar umat beragama, Nabi juga membuat suatu kesepakatan bersama dengan Yahudi, yang dikenal dengan PIAGAM MADINAH

الرسول يوادع اليهود وكتابه بين المسلمين: قال ابن إسحاق: وكتب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كتابًا بين المهاجرين والأنصار، وادع فيه يهود وعاهدهم، وأقرَّهم على دينهم وأموالهم، وشرط لهم، واشترط عليهم:

بسم الله الرحمن الرحيم، هذا كتاب من محمد النبي -صلى الله عليه وسلم- بين المؤمنين والمسلمين من قريش ويثرب، ومن تبعهم، فلحق بهم، وجاهد معهم، إنهم أمة واحدة من دون الناس، المهاجرون من قريش على رِبْعَتِهم يتعاقلون بينهم، وهم يَفدون عَانيهم1 بالمعروف والقِسط بين المؤمنين. وبنو عوف على رِبْعتهم يتعاقلون معاقِلَهم2 الأولى، كل طائفة تَفدي عانيها بالمعروف والقسط بين المؤمنين. وبنو ساعدة على رِبْعَتهم يتعاقلون معاقلَهم الأولى وكل طائفة منهم تَفْدي عانيها بالمعروف والقسط بين المؤمنين، وبنو الحارث على رِبْعتهم يتعاقلون معاقلَهم الأولى، وكل طائفة تَفدي عانيها بالمعروف والقسط بين المؤمنين، وبنو جُشَم على رِبْعتهم يتعاقلون معاقلهم الأولى، وكل طائفة منهم تَفْدي عانيها بالمعروف والقسط بين المؤمنين، وبنو النجار على رِبْعَتهم يتعاقلون معاقلَهم الأولى، وكل طائفة منهم تَفْدِي عانيها بالمعروف والقسط بين المؤمنين، وبنو عَمْرو بن عَوْف على رِبْعَتهم يتعاقلون معاقلَهم الأولى، وكل طائفة تَفْدي عانيها بالمعروف والقسط بين المؤمنين، وبنو النَّبِيت على رِبْعتهم يتعاقلون معاقلَهم الأولى، وكل طائفة تَفْدي عانيها بالمعروف والقسط بين المؤمنين، وبنو الأوْس على رِبْعتهم يتعاقلون معاقلهم الأولى، وكل طائفة منهم تفْدي عانيها بالمعروف والقسط بين المؤمنين، وإن المؤمنين لا يتركون مُفْرَحًا بينهم أن يُعطوه بالمعروف في فِداء أو عقل.

Karena terlalu panjang, berikut saya kutip saja esensi piagam tersebut, bersumber pada FIQHU AS-SIRAH; Dirosah Manhajiyyah, ‘Ilmiyyah, karangan Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi

ISI PIAGAM MADINAH

  1. Ummat Islam, baik dari Quraish, Madinah maupun kabilah lain adalah SATU UMAT
  2. Semua umat Islam, dari kabilah mana saja, harus membayar diyat (denda) orang yang terbunuh di antara mereka dan menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang adil antar sesama umat Islam
  3. Umat Islam harus membantu siapa saja di antara mereka yang tidak mampu membayar hutang atau denda
  4. Umat Islam yang bertaqwa akan menindak siapa saja yang berbuat kezhaliman, kejahatan, permusuhan dan perusakan
  5. Seorang Mu’min tidak boleh membunuh orang Mu’min lainnya karena membunuh seorang Kafir. Seorang Mu’min tidak boleh membantu orang kafir untuk memerangi mu’min lainnya
  6. Jaminan Allah adalah satu; Dia melindungi orang-orang yang lemah atas orang-orang yang kuat. Orang mu’min saling menolong antara mereka dalam menghadapi gangguan Pihak lain
  7. Setiap mu’min wajib mengakui berlakunya perjanjian sebagaimana termaktub dalam naskah, jika ia benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir niscaya ia tidak akan memberikan pertolongan dan perlindungan kepada orang yang berbuat kejahatan. Apabila ia menolong dan melindungi orang yang berbuat jahat maka ia terkena laknat dan murka Allah pada hari kiamat.
  8. Di saat menghadapi peperangan, orang-orang Yahudi turut memikul biaya bersama-sama umat Islam.
  9. Orang2 Yahudi dari bani ‘auf dipandang sebagai bagian dari kaum Mu’minin. Kaum yahudi tetap pada agama mereka dan kaum muslimin juga tetap pada agamanya, kecuali orang yang berbuat kezhaliman dan kejahatan maka dia telah membinasakan diri dan keluarganya sendiri
  10. Baik umat Islam maupun kaum Yahudi, masing-masing memikul bebannya sendiri dalam melaksanakan kewajiban memberikan pertolongan secara timbal balik dalam melawan pihak lain yang memerangi salah satu pihak yang terkait dalam perjanjian ini.
  11. Jika terjadi pertentangan atau perselisihan yang dikhawatirkan menimbulkan kerusakan maka perkaranya dikembalikan kepada Allah dan Muhammad Rosulullah.
  12. Setiap orang dijamin keselamatannya untuk meninggalkan atau tetap di Madinah, kecuali (pencekalan/penangkalan) atas orang-orang yang berbuat kezaliman dan kejahatan.
  13. Sesungguhnya Allah lah yang akan melindungi pihak yang berbuat kebajikan dan taqwa

  1. Selain itu, Nabi juga melakukan beberapa Pakta Perdamaian dengan daerah-daerah sekitar Madinah.
    1. Pakta Perdamaian dengan suku Yahudi Madinah sebegaiamana di atas
    2. Pakta perdamaian dengan daerah sekitar; Bani dhamrah, Bani mudlij serta para sekutunya

  • Benturan Pertama; PERANG WADDAN

Ibnu Hisyam merekam sejarah terjadinya perang pertama ini dalam kitab shirahnya;

غَزْوَةُ وَدّانَ

وَهِيَ أَوّلُ غَزَوَاتِهِ عليه الصلاة والسلام

قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : حَتّى بَلَغَ وَدّانَ ، وَهِيَ غَزْوَةُ الْأَبْوَاءِ ، يُرِيدُ قُرَيْشًا وَبَنِيّ ضَمْرَةَ بْنِ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ مَنَاةَ بْنِ كِنَانَةَ فَوَادَعَتْهُ فِيهَا بَنُو ضَمْرَةَ ، وَكَانَ الّذِي وَادَعَهُ مِنْهُمْ عَلَيْهِمْ مَخْشِيّ بْنُ عَمْرٍو الضّمَرِيّ ، وَكَانَ سَيّدَهُمْ فِي زَمَانِهِ ذَلِكَ . ثُمّ رَجَعَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ إلَى الْمَدِينَةِ ، وَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا ، فَأَقَامَ بِهَا بَقِيّةَ صَفَرٍ وَصَدْرًا مِنْ شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوّلِ . قَالَ ابْنُ هِشَامٍ : وَهِيَ أَوّلُ غَزْوَةٍ غَزَاهَا

Perang wadan adalah perang pertama yang dialami Rosulullah.

Ibnu Hisyam berkata: dan Nabi menjadikan Sa’ad bin ‘ubadah sebagai penggantinya di Madinah

Ibnu Ishaq berkata: hingga ketika Nabi sampai di daerah Wadan, dan ia disebut juga Perang Abwa’ dengan sasaran (pasukan) quraish dan Banu dhomroh, bani Dhomroh bin Bakr bin ‘Abdi manat bin kinanah mengajak damai, yang bertindak selaku perwakilan mereka bernama Mahsyi bin ‘amr adh-dhomary, ia adalah pemimpin mereka di zamannya. kemudian nabi kembali ke madinah dengan tidak berperang, beliau tinggal di Madinah akhir bulan shofar hingga awal permulaan bulan robi’ul awwal.

KESIMPULAN: Hal ini menunjukan bahwa tujuan awal dari perang Wada/Abwa, sebenarnya adalah menjaga perbatasan dari infiltrasi pihak-pihak yang tidak senang terhadap negara baru open society based religy value ini.

Selain itu, pendekatan persuasif/perdamaian tampaknya menjadi solusi yang tebaik bagi daerah-derah tetangga bahkan termasuk terhadap pemerintahan Makah. Hal ini terbukti dengan pengajuan Pakta damai Bani Dhamrah walau sangat disayangkan (pasukan) Quraish tidak mau melakukan hal yang sama, padahal lalu lintas perdagangan mereka sangat bergantung dari teritorial negara Baru, Negara Madinah.

Nabi mengirim beberapa satuan (sariyyah) ke beberapa perbatasan makah-madinah.

  • Satuan haritsah bin abi malik

Ibnu ishaq dalam kitabnya sebagaimana dikutip Ibnu Hisyam menyatakan;

سَرِيّةُ عُبَيْدَةَ بْنِ الْحَارِثِ وَهِيَ أَوّلُ رَايَةٍ عَقَدَهَا عَلَيْهِ الصّلَا ةُ وَالسّلَامُ

قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : وَبَعَثَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِي مُقَامِهِ ذَلِكَ بِالْمَدِينَةِ عُبَيْدَةَ بْنَ الْحَارِثِ بْنِ الْمُطّلِبِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ قُصَيّ فِي سِتّينَ أَوْ ثَمَانِينَ رَاكِبًا مِنْ الْمُهَاجِرِينَ لَيْسَ فِيهِمْ مِنْ الْأَنْصَارِ أَحَدٌ ، فَسَارَ حَتّى بَلَغَ مَاءً بِالْحِجَازِ بِأَسْفَلَ ثَنِيّةِ الْمُرّةِ ، فَلَقِيَ بِهَا جَمْعًا عَظِيمًا مِنْ قُرَيْشٍ ، فَلَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمْ قِتَالٌ إلّا أَنّ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقّاصٍ قَدْ رُمِيَ يَوْمَئِذٍ بِسَهْمٍ فَكَانَ أَوّلَ سَهْمٍ رُمِيَ بِهِ فِي الْإِسْلَامِ .

وَبَعْضُ الْعُلَمَاءِ يَزْعُمُ أَنّ رَسُولَ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ بَعَثَهُ حِينَ أَقْبَلَ مِنْ غَزْوَةِ الْأَبْوَاءِ ، قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إلَى الْمَدِينَةِ

Sariyyah ‘abdullah bin harits adalah royyah/bendera pertama yang nabi ikatkan

Ibnu ishaq berkata; Nabi mengutus ‘ubaidah bin harits bin muthollib bin ‘abdi manaf bin qushoy beserta 60 atau 80 pasukan berkuda dari muhajirin, dan tidak ada satu pun seorang anshor/penduduk muslim madinah. Kemudian mereka bergerak hingga mencapai sumur di hijaz di bawah daerah tsamaniyyah murroh. Mereka bertemu dengan sekelompok besar pasukan quraish, akan tetapi tidak terjadi perang di antara mereka, kecuali Sa’ad bin abi Waqosh melepaskan panah. Maka dialah orang pertama yang melepaskan panah dalam islam

Sebagian ‘ulama memperkirakan terjadinya pengiriman satuan tersebut adalah ketika nabi pulang dari perang abwa dan belum sampai Madinah.

Kesimpulan: TERNYATA SETELAH PERANG ABWA, PARA KUFFAR QURAISH TAMPAKNYA MEMPUNYAI STRATEGI LAIN UNTUK MENGHADAPI NABI DAN UMAT ISLAM MADINAH, INI TERBUKTI BAHWA SATUAN TERSEBUT BERTEMU DENGAN SEJUMLAH PASUKAN BESAR WALAU TIDAK TERJADI PEPERANGAN, KARENA PASUKAN KAFIR MAKKAH MENINGGALKAN POSISI.

  • Satuan Hamzah ke daerah Saifil Bahr

[ سَرِيّةُ حَمْزَةَ إلَى سَيْفِ الْبَحْرِ ]

وَبَعَثَ فِي مَقَامِهِ ذَلِكَ حَمْزَةَ بْنَ عَبْدِ الْمُطّلِبِ بْنِ هَاشِمٍ ، إلَى سَيْفِ الْبَحْرِ ، مِنْ نَاحِيَةِ الْعِيصِ ، فِي ثَلَاثِينَ رَاكِبًا مِنْ الْمُهَاجِرِينَ لَيْسَ فِيهِمْ مِنْ الْأَنْصَارِ أَحَدٌ . فَلَقِيَ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ بِذَلِك السّاحِلِ فِي ثَلَاثِ مِئَةِ رَاكِبٍ مِنْ أَهْلِ مَكّةَ . فَحَجَزَ بَيْنَهُمْ مَجْدِيّ بْنُ عَمْرٍو الْجُهَنِيّ . وَكَانَ مُوَادِعًا لِلْفَرِيقَيْنِ جَمِيعًا ، فَانْصَرَفَ بَعْضُ الْقَوْمِ عَنْ بَعْضٍ وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمْ قِتَالٌ .

وَبَعْضُ النّاسِ يَقُولُ كَانَتْ رَايَةُ حَمْزَةَ أَوّلَ رَايَةٍ عَقَدَهَا رَسُولُ اللّهِ لِأَحَدِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ . وَذَلِكَ أَنّ بَعْثَهُ وَبَعْثَ عُبَيْدَةَ كَانَا مَعًا

Kemudian Nabi mengutus Hamzah bin ‘Abdul Mutholib bin Hasyim ke saifil Bahr, di daerah ‘ish’. Dengan 30 pasukan kuda dari muhajirin dan tidak menyertakan seorangpun muslim asli madinah. Kemudian mereka bertemu dengan Abu Jahal bin Hisyam di pantai tersebut dengan 300 pasukan kuda Makah. Kemudian Majdi bin ‘Amr al-Juhani (yang terkait Perdamaian dengan kedua belah Pihak) menahan kedua pasukan tersebut, hingga terjadi perdamaian. Hingga kedua pasukan kembali tanpa peperangan.

Sebagian orang berpendapat bahwa bendera Hamzah adalah bendera pertama yang Nabi ikatkan. Hal ini karena pengiriman utusan Hamzah dan ‘Ubadah terjadi secara bersama-sama.

Kesimpulan : TELAH SANGAT TERLIHAT UPAYA KAFIR QURAISH UNTUK MENDESAK POSISI NEGARA MADINAH DENGAN MENGIRIM SATUAN-SATUAN KE DAERAH PERBATASAN DENGAN JUMLAH YANG CUKUP DIPERHITUNGKAN. SELAIN ITU PAKTA INI MENGGAMBARKAN BAHWA MEMANG SEBENARNYA PERANG BUKANLAH PILIHAN UTAMA UMAT ISLAM, WALAU TERNYATA SUDAH DUA KALI PIHAK QURAISH MEMPERSIAPKAN PASUKAN YANG CUKUP BESAR. BUKANKAH SEBAIKNYA KAFIR QURAISH MELAKUKAN PAKTA PERDAMAIAN SEBAGAIMANA DAERAH-DAERAH SEKITAR, MENGINGAT NILAI STRATEGIS MADINAH BAGI RUTE PERDAGANGAN MEREKA ??

  • Perang Buwath

[ غَزْوَةُ بُوَاطٍ ]

قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : ثُمّ غَزَا رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوّلِ يُرِيدُ قُرَيْشًا . : قَالَ ابْنُ هِشَامٍ : وَاسْتَعْمَلَ عَلَى الْمَدِينَةِ السّائِبَ بْنَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ . قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : حَتّى بَلَغَ بُوَاطٍ ، مِنْ نَاحِيَةِ رَضْوَى ، ثُمّ رَجَعَ إلَى الْمَدِينَةِ وَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا ، فَلَبِثَ بِهَا بَقِيّةَ شَهْرِ رَبِيعٍ الْآخَرِ وَبَعْضَ جُمَادَى الْأُولَى .

Perang Buwath

Ibnu Ishaq berkata: kemudian nabi berangkat untuk berperang dengan sasaran Quraish. Ibnu Hisyam berkata; Nabi menjadikan Sa’ib bin ‘Utman bin Mazh’un sebagai pengganti sementara di madinah. Ibnu Ishaq berkata: Hingga sampai di buwath di bilangan Rodhwa, kemudian pulang dengan tanpa pertempuran.

  • Perang ‘ASYIIROH

قال ابن إسحاق: في أثناء جمادى الأولى يعني من السنة الثانية ثم غزا قريشا حتى نزل العشيرة من بطن ينبع فأقام بها جمادى الأولى وليالي من جمادى الآخرة ووادع فيها بني مدلج وحلفاءهم من بني ضمرة

Ibnu Ishaq berkata: di pertengahan bulan Jumadil ‘Ula dari tahun ke 2, Nabi keluar dengan sasaran Quraish hingga sampai di ’Asyiirah di daerah Yanbu. Beliau tinggal di sana selama Jumadil ‘Awal dan beberapa malam dari Jumadil ‘Akhir dan melakukan Pakta Perdamaian dengan Bani Mudlij serta para sekutunya dari Bani Dhomroh.

KESIMPULAN: tampaknya penggunaan kata Keluar untuk perang adalah kesimpulan sepihak para penulis sejarah, hal ini dimaklumi karena nabi dengan rombongan keluar Madinah lengkap dengan pakaian perang, akan tetapi jika dikaji lebih jauh tampaknya kesimpulan subjektif para penulis sejarah perlu dikaji ulang, hal ini mengingat :

  1. Jumlah pasukan yang Nabi bawa sangat minim untuk dinyatakan sebuah pasukan tempur/perang
  2. Hampir tidak pernah terjadi peperangan pada masa-masa ini, justeru Nabi menerima dengan baik beberapa ajakan perdamaian daerah-daerah sekitar.
  3. Tampaknya, apa yang dilakukan Nabi dan satuan-satu tersebut, tidak lebih dari Ribath (menjaga/mengamankan teritorial terjauh/perbatasan suatu negara).
  4. Selain itu, tampaknya Nabi secara psiko-sosial sedang melakukan bargaining position terhadap kaum Quraish. Seakan2 Nabi ingin berkata :

Wahai kaum quraish, mintalah Pakta perdamaian sebagaimana kami telah melakukannya dengan daerah-daerah sekitar, karena KEPENTINGAN KALIAN TERHADAP KAMI (dalam hal rute perdagangan) LEBIH TINGGI KETIMBANG KEPENTINGAN KAMI TERHADAP KALIAN.

  • Perang Badar Pertama/Perang Safwaan

غزوة بدر الأولى: قال ابن إسحاق: فلم يقم رسول الله صلى الله عليه وسلم بالمدينة حين قدم من غزوة العشيرة إلا ليالي قلائل لا تبلغ العشر حتى أغار كرز بن جابر الفهري على سرح1 المدينة فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم في طلبه حتى بلغ واديًا يقال له: سفوان من ناحية بدر، وفاته كرز بن جابر، فلم يدركه واستعمل على المدينة فيما قال ابن هشام زيد بن حارثة، وذكر ابن سعد أنها في ربيع الأول على رأس ثلاثة عشر شهرا من الهجرة

ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ

1 السرح: الإبل والمواشي التي تسرح للرعي

Ibnu Ishaq berkata: Nabi tidak tinggal di Madinah sejak kedatangan dari perang ‘Usyairah kecuali hanya beberapa malam tidak sampai 10 malam hingga Kurz bin Jabir al-Fiqry merampok Madinah dengan merampas sejumlah unta dan domba, maka Nabi keluar menlakukan pencarian hingga sampai di lembah yg disebut Safwaan di bilangan Badar. Ibnu Sa’ad menyebut itu terjadi di Robi’ul Awal 13 bulan setelah Hijrah.

KESIMPULAN: Tampaknya kejadian Kurz bin Jabir al-Fiqry semakin memanaskan hubungan bilateral antara negara Madinah dengan Quraish, hal ini dapat dilihat dari beberapa hal;

  1. Pakta bahwa Quraish tidak melakukan penangkapan/hukuman terhadap kejahatan Kurz bin Jabir, ataupun ekstradisi ke Madinah menunjukan Quraish tidak mempunyai i’tikad menjalin hubungan bilateral yang baik dengan Madinah.
  2. Hal ini menghasilkan reaksi keras pihak Negara Madinah terhadap rute perdagangan Quraish sebagaimana selanjutnya
  3. Semua prolog ini berakhir di PERANG BADAR KUBRA nanti keep waching Hehee...

  • Sariyyah ‘Abdullah bin Jahsyi dan turunnya ayat (Mereka bertanya kepadamu tentang bulan2 Haram)

سَرِيّةُ عَبْدِ اللّهِ بْنِ جَحْشٍ وَنُزُولُ { يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشّهْرِ الْحَرَامِ }

وَبَعَثَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَبْدَ اللّهِ بْنَ جَحْشِ بْنِ رِئَابٍ الْأَسَدِيّ فِي رَجَبٍ مَقْفَلَهُ مِنْ بَدْرٍ الْأُولَى ، وَبَعَثَ مَعَهُ ثَمَانِيَةَ رَهْطٍ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ لَيْسَ فِيهِمْ مِنْ الْأَنْصَارِ أَحَدٌ

Nabi mengirim satuan ‘Abdullah bin Jahsyi bin Riab al-Asady di bulan Rajab sekembali dari Badar Pertama dan mengutus 80 rombongan dari Muhajirin tanpa seorang pun Anshor bersama ‘Abdullah bin Jahsyi.

[ تَخَلّفُ الْقَوْمِ بِمَعْدِنَ ]

وَسَلَكَ عَلَى الْحِجَازِ ، حَتّى إذَا كَانَ بِمَعْدِنَ فَوْقَ الْفُرُعِ ، يُقَالُ لَهُ بَحْرَانُ ، أَضَلّ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقّاصٍ ، وَعُتْبَةُ بْنُ غَزْوَانَ بَعِيرًا لَهُمَا ، كَانَا يَعْتَقِبَانِهِ . فَتَخَلّفَا عَلَيْهِ فِي طَلَبِهِ . وَمَضَى عَبْدُ اللّهِ بْنُ جَحْشٍ وَبَقِيّةُ أَصْحَابِهِ حَتّى نَزَلَ بِنَخْلَةَ فَمَرّتْ بِهِ عِيرٌ لِقُرَيْشِ تَحْمِلُ زَبِيبًا وَأَدَمًا ، وَتِجَارَةً مِنْ تِجَارَةِ قُرَيْشٍ ، فِيهَا عَمْرُو بْنُ الْحَضْرَمِيّ .

(anggota) Sariyyah tertinggal di daerah Ma’din

Mereka menempuh daerah hijaz, hingga sampai ma’din di atas daerah Furu’, disebut Bahraan, unta Sa’ad bin Abi Waqosh dan Utbah bin ghazwan tersesat hingga mereka mencari jejaknya, sehingga mereka berdua terpisah dari rombongan. ‘Abdullah bin Jahsyi meneruskan perjalanan hingga sampai di daerah Nakhlah, tepat saat kafilah Quraish membawa barang-barang yang dipimpin ‘Amr bin Hadhromy lewat.

وأقبل عبد الله بن جحش وأصحابه بالعير والأسيرين حتى قدموا على رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة.

فلما قدموا على رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "ما أمرتكم بقتال في الشهر الحرام"، فوقف العير والأسيرين وأبى أن يأخذ من ذلك شيئا فلما قال ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم سقط في أيدي القوم وظنوا أنهم قد هلكوا وعنفهم إخوانهم من المسلمين فيما صنعوا وقالت قريش إذا استحل محمد وأصحابه الشهر الحرام وسفكوا فيه الدم وأخذوا فيه الأموال وأسروا فيه الرجال

Kemudian ‘Abdullah bin Jahsyi membawa harta Pampasan perang beserta para tawanan lalu menghadap Nabi di Madinah.

Ketika mereka menghadap, Nabi berkata: “AKU TIDAK MEMERINTAHKAN KALIAN PERANG DI BULAN-BULAN HARAM” lalu nabi membiarkan saja hasil pampasan perang dan para tahanan dengan tidak mengambil sedikitpun, hal ini menyebabkan rasa bersalah dan mereka menyangka telah binasa karena hal ini, ditambah para saudara (mu’min) mereka menyalahkan tindakan ini. Quraish berkata: Kalau begitu, Muhammad dan teman-temannya menghalalkan bulan suci dengan mengadakan pertumpahan darah, mengambil harta dan menawan tawanan (di bulan haram ini) ??

فجعل الله عليهم ذلك لا لهم فلما أكثر الناس في ذلك أنزل الله تعالى: {يَسْأَلونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ}، ففرج الله عن المسلمين ما كانوا فيه

وقبض رسول الله صلى الله عليه وسلم العير والأسيرين وبعث إليه قريش في فداء عثمان بن عبد الله والحكم بن كيسان، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لا نفديكما حتى يقدم صاحبانا"، يعني سعد بن أبي وقاص وعتبة بن غزوان، "فإنا نخشاكم عليهما فإن تقتلوهما نقتل صاحبيكم"، فقدم سعد وعتبة، فأفداهما رسول الله صلى الله عليه وسلم منهم، فأما الحكم بن كيسان فأسلم فحسن إسلامه وأقام عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ومات في بئر معونة شهيدا

Lalu Allah memberi kelonggaran atas sariyyah tersebut dengan menurunkan ayat (Mereka bertanya kepadamu tentang Bulan Haram) hal ini melegakan umat Muslim.

Kemudian nabi mengambil pampasan perang dan para tawanan lalu mengutus (dua tawanan) ‘Utsman bin ‘Abdullah dan Hakam bin Kisan, Nabi Bersabda: Kami tidak akan melepas tawanan dan pampasan perang hingga kalian melepaskan dua sahabat kami yaitu Sa’ad bin Abi Waqosh dan Utbah bin ghazwan. Karena kami lebih kawatir atas kejahatan kalian terhadap keduanya, jika kalian membunuh keduanya kami akan membunuh para tawanan perang. Kemudian Quraish melepaskan Sa’ad dan ‘Utbah, lalu Nabi pun melepas tawanan dan pampasan perang mereka. Adapun Hakam bin Kisan masuk Islam dan tinggal bersama Rosul dan wafat di sumur ma’unah sebagai syahid.

KESIMPULAN:

  1. Adanya tindak kejahatan dari pihak quraish semakin memicu Nabi untuk berjaga-jaga dan mengambil langkah2 penting jika dibutuhkan di perbatasan.
  2. Sebagai manusia yang sangat cerdas, Nabi nampaknya telah memperhitungkan bahwa satuan akan sampai tepat saat bulan-bulan haram, sehingga penyergapan ini hanya berfungsi sebagai alat pemaksa Quraish untuk melakukan Pakta perdamaian, walau ternyata ada sedikit kesalahan operasional di lapangan.
  3. Tertawannya sa’ad bin waqosh dan ‘Utbah bin ghazwan menunjukan memang Quraish telah menjadikan Negara Madinah sebagai Negara Musuh.
  4. Harta pampasan perang dan tawanan yang didapat satuan ‘Abdullah bin Jahsyi awalnya ditolak nabi, akan tetapi setelah turun ayat yang meringankan Nabi memberi opsi yang sangat baik, yaitu menjadikan itu semua sebagai alat perdamaian, yaitu Barter tawanan. Padahal posisi Nabi lebih menguntungkan, tampaknya memang bukan kemenangan materi yang diharapkan Nabi
  5. Dugaan Qurasih yang memfitnah nabi telah melakukan penghalalan di bulan haram ibarat ucapan yesus: Singkirkan dulu balok di mata mu sebelum kau melihat selembar kesalahan di mata orang lain.

Hal ini karena faktanya, mereka telah lebih dulu melakukan penawanan terhadap 2 Madinah. Selain itu kejahatan Quraish; merampas kebebasan beragama, mengusir penduduk, menghalangi dari memakmurkan masjid Haram, menghalangi manusia dari jalan Allah adalah kesalahan yang sangat besar ketimbang kejadian tersebut (Q.S. 2: 217)

  1. Masuk Islamnya Hakam bin Kisan, tampaknya ini terjadi setelah menyaksikan langsung bagaimana peradaban baru yang diciptakan Nabi saat menjadi tawanan, tentu hal yang tidak bisa dianggap enteng. SEORANG TAWANAN YANG JATUH CINTA TERHADAP PENAWANNYA.
  2. Akan tetapi Nabi walaupun lembut bukanlah seorang yang lemah, berbagai pakta seperti; acuhnya Quraish terhadap pakta perdamaian yang dibuat Nabi dengan berbagai daerah perbatasan, munculnya pasukan-pasukan Quraish di berbagai teritorial Madinah, perampokan Kurz bin Jabir al-Fiqry, manawan anggota satuan pasukan, akankah semua pakta ini dibiarkan begitu saja ??

TIDAK, jika hal ini dibiarkan maka negara baru (open society) Madinah hanya akan menjadi cita[cita, tampaknya Qurasih harus diberi pelajaran betapa penting dan strategisnya Negara Madinah bagi mereka.

Yah, Nabi mulai memikirkan satu cara yang efektif guna menyadarkan quraish untuk menjaga hubungan bilateral yang baik dengan Madinah.

Inilah saatnya. Detik-detik kisah yang mengagumkan.

Di mana kehendak Tuhan harus terlaksana demi tergenapinya sebuah nubuat dalam kitab-kitab kuno para Nabi.

  • Perang BADAR KUBRO

قال ابن إسحاق: ثم إن رسول الله صلى الله عليه وسلم سمع بأبي سفيان بن حرب مقبلا من الشام في عير لقريش عظيمة فيها أموال لقريش وتجارة من تجارتهم وفيها ثلاثون رجلا من قريش أو أربعون منهم مخرمة بن نوفل وعمرو بن العاص وقال ابن عقبة وابن عائذ في أصحاب أبي سفيان هم سبعون رجلا وكانت عيرهم ألف بعير

Ibnu Ishaq berkata: Kemudian Rosul mendengar bahwa Abu sofyan bin harb telah pulang dari syam dengan barang-barang dagangan yang sangat banyak, baik dari dana saham maupun barang-barang dagangan untuk Quraish dengan 30 atau 40 orang, di antaranya; Makhromah bin naufal dan ‘Amr bin ‘Ash. Sementara Ibnu ‘Uqbah dan ibnu A’id menyatakan bahwa mereka ada 70 orang dengan seribu onta.

Di sinilah kata-kata yang terkenal itu muncul;

لما سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم بأبي سفيان مقبلا من الشام ندب المسلمين إليهم وقال: هذه عير قريش فيها أموالهم فاخرجوا إليها لعل الله ينفلكموها فانتدب الناس فخف بعضهم وثقل بعضهم وذلك أنهم لم يظنوا أن رسول الله صلى الله عليه وسلم يلقى حربا.

ثُمّ قَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَشِيرُوا عَلَيّ أَيّهَا النّاس وَإِنّمَا يُرِيدُ الْأَنْصَارَ

فَلَمّا قَالَ ذَلِكَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ لَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ : وَاَللّهِ لَكَأَنّك تُرِيدُنَا يَا رَسُولَ اللّهِ ؟ قَالَ أَجَلْ قَالَ فَقَدْ آمَنّا بِك وَصَدّقْنَاك ، وَشَهِدْنَا أَنّ مَا جِئْتَ بِهِ هُوَ الْحَقّ ، وَأَعْطَيْنَاك عَلَى ذَلِكَ عُهُودَنَا وَمَوَاثِيقَنَا ، عَلَى السّمْعِ وَالطّاعَةِ فَامْضِ يَا رَسُولَ اللّهِ لِمَا أَرَدْتَ فَنَحْنُ مَعَك ، فَوَاَلّذِي بَعَثَك بِالْحَقّ لَوْ اسْتَعْرَضْتَ بِنَا هَذَا الْبَحْرَ فَخُضْتَهُ لَخُضْنَاهُ مَعَك

وقال المقداد بن الأسود: يا رسول الله! امض لما أراك الله فنحن معك، والله لا نقول كما قالت بنو إسرائيل لموسى: {اذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ}، ولكن اذهب أنت وربك فقاتلا إنا معكما مقاتلون،

Ketika Nabi mendengar bahwa Abu Sofyan datang dari Syam, Nabi mengajak umat Islam dan berkata: INILAH KAFILAH QURAISH DENGAN HARTANYA, KELUARLAH KE SANA. MUDAH-MUDAHAN ALLAH MEMBERI PAMPASAN PERANG PADA KALIAN hal ini mengakibatkan pro kontra, sebagian khawatir dan merasa berat, hal ini karena mereka tidak pernah menyangka bahwa Nabi akan benar-benar mengajak pada PEPERANGAN.

Kemudian Nabi berkata: sampaikanlah pandangan kalian wahai manusia, yang dimaksud adalah Anshor.

Mendengar itu Sa’ad bin Mu’az berkata: Mungkin yang anda maksud kami wahai Rosulullah ?? Nabi berkata: benar. Sa’ad berkata: sungguh kami telah beriman dan membenarkanmu, dan kami menjadi saksi bahwa apa yang Kamu bawa adalah Kebenaran, dan kami telah memberimu perjanjian dan sumpah setia untuk mendengar dan taat. Maka laksanakanlah Rosulullah apa yang engkau inginkan kami akan selalu bersamamu. Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, jika anda menghadapi lautan dan anda terjun ke dalamnya, niscaya kami pun akan terjun bersama anda.

Miqdad bin Aswad berkata: Wahai Rosulullah, laksanakanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu, kami akan selalu bersamamu demi Allah kami tidak akan berkata sebagaimana Bani Israil berkata kepada Musa: Pergilah engkau dengan Tuhanmu dan berperanglah, kami akan (menunggu) duduk di sini. Akan tetapi pergilah Engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kamipun akan ikut berperang bersamamu.

[ رِسَالَةُ أَبِي سُفْيَانَ إلَى قُرَيْش ٍ ]

قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : وَلَمّا رَأَى أَبُو سُفْيَانَ أَنّهُ قَدْ أَحْرَزَ عِيرَهُ أَرْسَلَ إلَى قُرَيْشٍ : إنّكُمْ إنّمَا خَرَجْتُمْ لِتَمْنَعُوا عِيرَكُمْ وَرِجَالَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ فَقَدْ نَجّاهَا اللّهُ فَارْجِعُوا ، فَقَالَ أَبُو جَهْلِ بْنُ هِشَامٍ وَاَللّهِ لَا نَرْجِعُ حَتّى نَرِدَ بَدْرًا - وَكَانَ بَدْرٌ مَوْسِمًا مِنْ مَوَاسِمِ الْعَرَبِ ، يَجْتَمِعُ لَهُمْ بِهِ سُوقٌ كُلّ عَامٍ - فَنُقِيمُ عَلَيْهِ ثَلَاثًا ، فَنَنْحَرُ الْجُزُرَ ونطعم الطعام ونسقي الخمر وتعزف علينا القيان2 وتسمع بنا الْعَرَبُ وَبِمَسِيرِنَا وَجَمْعِنَا ، فَلَا يَزَالُونَ يَهَابُونَنَا أَبَدًا بَعْدَهَا

فلما نزلت قريش فيما يليهم بعثوا عمير بْن وهب الجمحي فحزر لهم أصحاب رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وكانوا ثلاث مائة وبضعة عشر رجلا،

Surat Abi sofyan kepada Quraish

Ibnu Ishaq berkata: ketika abu sofyan telah merasa perniagaannya selamat ia mengirim utusan/surat kepada Quraish: Kalian telah berangkat untuk menjaga kafilah dagangan dan harta kita, maka sekarang Allah telah menyelamatkannya, karena itu kembalilah. Abu Jahal bin Hisyam berkata: Demi Allah, kami tidak akan kembali hingga sampai Badar – Badar adalah tempat festival salah satu musiman arab, tempat berkumpul pasar setiap tahun – kami akan tinggal 3 hari, menyembelih ternak, pesta daging, minum2, bermain music dengan para penari/biduanita, agar seluruh Arab mendengar perjalanan dan (pasukan) GABUNGAN kami, sehingga mereka tidak akan pernah menakut2i kita selamanya setelah ini.

فقال لهما رسول الله صلى الله عليه وسلم: "كم القوم؟"، قالا: كثير قال: "ما عدتهم؟"، قالا: ما ندري قال: "كم ينحرون كل يوم"، قالا يوما تسعا ويوما عشرا قال صلى الله عليه وسلم: "القوم ما بين التسعمائة والألف"، ثم قال لهما: "فمن فيهم من أشراف قريش"، قالا: عتبة بن ربيعة

ابن عباس يقول: حدثني عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: لما كان يوم بدر نظر رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى المشركين وهم ألف وأصحابه ثلاثمائة وسبعة عشر رجلا فاستقبل نبي الله صلى الله عليه وسلم القبلة ثم مد يديه فجعل يهتف بربه: "اللهم أنجز لي ما وعدتني"،

(para sahabat menemukan para pencari air untuk pasukan quraish) lalu

nabi bertanya kepada keduanya: ada berapa mereka ??

keduanya: banyak.

Nabi: berapa jumlahnya?

keduanya: kami tidak tahu

Nabi: berapa banyak mereka menyembelih hewan (onta) setiap hari ??

Keduanya menjawab: sehari bisa 9 sampai 10 ekor

Nabi berkata: pasukan tersebut sekitar 900 s/d 1.000 personil

Nabi bertanya: Siapakah orang yg paling dimuliakan ??

Jawab keduanya: ‘Utbah bin Robi’ah.

Dari Ibnu ‘abbas, telah menceritakan ‘Umar bin Khattab, ia berkata; ketika hari badar, Nabi melihat pasukan musyrikin ada 1317 personil, kemudian Nabi menghadap qiblat kemudian mengangkat tangannya lalu

قال ابن إسحاق: فجميع من شهد بدرًا من المسلمين، من المهاجرين والأنصار من شهدها منهم، ومن ضُرب له بسهمه وأجره، ثلاثمائة رجل وأربعة عشر رجلًا، من المهاجرين ثلاثة وثمانون رجلًا، ومن الأوس واحد وستون رجلًا، ومن الخزرج مائة وسبعون رجلًا.

Ibnu Ishaq berkata: semua personil pasukan badar bai dari muhajirin maupun anshar, yang mendapat bagian dan balasan ada 314 personil, dari muhajirin 83 personil, dari suku aus 61, dan dari khajraj 170 personil.

Dan Pasukan Kecil ini mendapat kemenangan yang besar.

Begitulah seterusnya pasukan Alloh ini selalu memenangkan pertempuran demi tegaknya ajaran tauhid yang diwarisi para Nabi.

KESIMPULAN:

  1. Tujuan utama Nabi memberi pelajaran quraish tampaknya sangat difahami oleh rombongan kafilah itu sendiri, yaitu Abu Sofyan, ini sangat jelas dari suratnya untuk meminta pasukan quraish mundur selah ia merasa selamat. Tampaknya Abu Sofyan telah memiliki inisiatif yang lain saat mereka berkumpul dan membicarakan masalah ini di Mekah nanti, akan tetapi sayang sekali Abu Jahal dengan kesombongannya tetap memaksa terjadinya perang tersebut.
  2. Fakta yang dihadapai 1.000 pasukan bukanlah harapan Nabi yang hanya berharap memberi pelajaran kecil bagi Quraish akan pentingnya menjalin hubungan bilateral yang baik terhadap negara Madinah, akan tetapi Ketentuan Allah ini justeru menjadi jalan terbaik atas beberapa hal: (a) Terjadinya kemenangan yg gemilang (mustahil terjadi tanpa bantuan Ilahi) (b) Tergenapinya nubuwat Nabi-Nabi terdahulu, bahwa pasukan bani Kedar akan hancur. (c) yang terpenting adalah, TERHINDARNYA NABI DARI TUDUHAN ORIENTALIS YANG TIDAK BERTANGGUNG JAWAB, DENGAN MENYATAKAN BAHWA NABI MENJARAH DAGANGAN QURAISH, PADAHAL FAKTANYA YANG DIHADAPI NABI ADALAH 1.000 PASUKAN LENGKAP DENGAN PERSENJATAAN.
  3. Bahkan hukum internasional dan hukum positif manapun akan selalu berbicara FAKTA, DATA DAN YANG TERPENTING SAKSI lalu apakah hasil kesimpulannya jika FAKTA, DATA DAN SAKSI JUSTERU MENUNJUKAN BAHWA NABI DENGAN JUMLAH 314 ORANG BERPERANG MELAWAN 1.000 PASUKAN ??

DEMIKIANLAH, FAKTA SEJARAH MENGENAI DETIK-DETIK MENUJU PERANG BADAR.

PERANG YANG SELALU MENJADI KEBANGGAN UMAT ISLAM.

PERANG YANG MENJADI PENGGENAPAN ATAS NUBUWAT SEORANG NABI.

Wassalam.....

Sumber : http://www.facebook.com/notes/ibnu-taimiyyah/detik-detik-menuju-perang-badar/241652065855036

Jumat, 05 Agustus 2011

KHILAFAH ISLAM FIKTIF

Khilafah Islam, Fiktif!

Nadirsyah Hosen
(Pengajar di Fakultas Hukum, University of Wollongong, Australia)

Posted in February 8th, 2008 by admin in Politics

1. Wajibkah mendirikan khilafah?

Tidak wajib! Yang wajib itu adalah memiliki pemimpin, yang dahulu disebut khalifah, kini bebas saja mau disebut ketua RT, kepala suku, presiden, perdana menteri, etc. Ada pemelintiran seakan-akan para ulama mewajibkan mendirikan khilafah, padahal arti kata "khilafah" dalam teks klasik tidak otomatis bermakna sistem pemerintahan Islam (SPI) yang dipercayai oleh para pejuang pro-khilafah.

Masalah kepemimpinan ini simple saja: "Nabi mengatakan kalau kita pergi bertiga, maka salah satunya harus ditunjuk jadi pemimpin". Tidak ada nash yang qat'i di al-Qur'an dan Hadis yang mewajibkan mendirikan SPI (baca: khilafah ataupun negara Islam). Yang disebut "khilafah" sebagai SPI itu sebenarnya hanyalah kepemimpinan yang penuh dengan keragaman dinamika dan format. Tidak ada format kepemimpinan yang baku.

2. Bukankah ada Hadis yang mengatakan khilafah itu akan berdiri lagi di akhir zaman?

Para pejuang berdirinya khilafah percaya bahwa Nabi telah menjanjikan akan datangnya kembali khilafah di akhir jaman nanti. Mereka menyebutnya dengan khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Ini dalil pegangan mereka:

"Adalah masa Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan 'Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam." (Musnad Ahmad: IV/273).

Cukup dengan berpegang pada dalil di atas, para pejuang khilafah menolak semua argumentasi rasional mengenai absurd-nya sistem khilafah. Mereka menganggap kedatangan kembali sistem khilafah adalah sebuah keniscayaan. Ada baiknya kita bahas saja dalil di atas. Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari, "fihi nazhar".

Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb. Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis'ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tsb. Sehingga "kelemahan" sanad hadis tsb tidak bisa ditolong.

Rupanya Habib bin salim itu memang cukup "bermasalah." Dia membaca hadis tsb. di depan khalifah 'Umar bin Abdul Aziz untuk menjustifikasi bahwa kekhilafahan 'Umar bin Abdul Aziz merupakan khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bahwa Habib mencari muka di depan khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan: "Setelah kenabian akan ada khilafah 'ala minhajin nubuwwah, lalu akan muncul para raja."

Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh Thabrani (dan dari penelaahan saya ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis Thabrani ini muncul pada masa Mu'awiyah atau Yazid sebagai akibat pertentangan politik saat itu.

"Khilafah 'ala minhajin nubuwwah" di teks Thabrani ini mengacu kepada khulafa al-rasyidin, lalu "raja" mengacu kepada Mu'awiyah dkk. Tapi tiba-tiba muncul Umar bin Abdul Azis -dari dinasti Umayyah-yang baik dan adil. Apakah beliau termasuk "raja" yang ngawur dalam hadis tsb?

Maka muncullah Habib bin Salim yang bicara di depan khalifah Umar bin Abdul Azis bahwa hadis yang beredar selama ini tidak lengkap. Menurut versi Habib, setelah periode para raja, akan muncul lagi khilafah 'ala minhajin nubuwwah-dan ini mengacu kepada Umar bin Abdul Azis. Jadi nuansa politik hadis ini sangat kuat.

Repotnya, istilah khilafah 'ala minhajin nubuwwah yang dimaksud oleh Habib (yaitu Umar bin Abdul Azis) sekarang dipahami oleh Hizbut Tahrir (dan kelompok sejenis) sebagai jaminan akan datangnya khilafah lagi di kemudian hari. Mereka pasti repot menempatkan 'Umar bin Abdul Aziz dalam urutan di atas tadi: kenabian, khilafah 'ala mihajin nubuwwah periode pertama (yaitu khulafa al-rasyidin), lalu para raja, dan khilafah 'ala minhajin nubuwwah lagi. Kalau khilafah 'ala minhajin nubuwwah periode yang kedua baru muncul di akhir jaman maka Umar bin Abdul Azis termasuk golongan para raja yang ngawur.

Saya kira kita memang harus bersikap kritis terhadap hadis-hadis berbau politik. Sayangnya sikap kritis ini yang sukar ditumbuhkan di kalangan para pejuang khilafah.

3. Bukankah khilafah adalah solusi dari masalah ummat? Selama ummat Islam mengadopsi sistem kafir (demokrasi) maka ummat Islam tidak akan pernah jaya?

Di sinilah letak perbedaannya: sistem khilafah itu dianggap sempurna, sedangkan sistem lainnya (demokrasi, kapitalis, sosialis, dll) adalah buatan manusia. Kalau kita menemukan contoh "jelek" dalam sejarah Islam, maka kita buru-buru bilang, "yang salah itu manusianya, bukan sistem Islamnya!". Tapi kalau kita melihat contoh "jelek" dalam sistem lain, kita cenderung untuk bilang, "demokrasi hanya menghasilkan kekacauan!" Jadi, yang disalahkan adalah demokrasinya. Ini namanya kita sudah menerapkan standard ganda.

Biar adil, marilah kita melihat bahwa yang disebut sistem khilafah itu sebenarnya merupakan sistem yang juga tidak sempurna, karena ia merupakan produk sejarah, dimana beraneka ragam pemikiran dan praktek telah berlangsung. Sayangnya, karena dianggap sudah "sempurna" maka sistem khilafah itu seolah-olah tidak bisa direformasi. Padahal banyak sekali yang harus direformasi.

Contoh: dalam sistem khilafah pemimpin itu tidak dibatasi periode jabatannya (tenure). Asalkan dia tidak melanggar syariah, dia bisa berkuasa seumur hidup. Dalam sistem demokrasi, hal ini tidak bisa diterima. Meskipun seorang pemimpin tidak punya cacat moral, tapi kekuasaannya dibatasi sampai periode tertentu.

Saya maklum kenapa sistem khilafah tidak membatasi jabatan khalifah. Soalnya pada tahun 1924 khilafah sudah bubar, padahal pada tahun 1933 (the 22nd Amendment) Amerika baru mulai membatasi jabatan presiden selama dua periode saja. Sayangnya, buku tentang khilafah yang ditulis setelah tahun 1933 masih saja tidak membatasi periode jabatan khalifah. Itulah sebabnya kita menyaksikan bahwa dalam sepanjang sejarah Islam, khalifah itu naik-turun karena wafat, dibunuh, atau dikudeta. Tidak ada khalifah yang turun karena masa jabatannya sudah habis.

Contoh lainnya, sistem khilafah selalu mengulang-ulang mengenai konsep baiat (al-bay`ah) dan syura. Tapi sayang berhenti saja sampai di situ [soalnya sudah dianggap sempurna]. Dalam tradisi Barat, electoral systems itu diperdebatkan dan terus "disempurnakan" dalam berbagai bentuknya. Dari mulai sistem proporsional, distrik sampai gabungan keduanya.

Begitu juga dengan sistem parlemen. Dari mulai unicameral sampai bicameral system dibahas habis-habisan, dan perdebatan terus berlangsung untuk menentukan sistem mana yang lebih bisa merepresentasikan suara rakyat dan lebih bisa menjamin tegaknya mekanisme check and balance.

Tapi kalau kita mau "melihat" ke teori Barat, nanti kita dituduh terpengaruh orientalis atau terjebak pada sistem kafir. Akhirnya kita terus menerus memelihara teori yang sudah ketinggalan kereta.

4. Kalau khilafah berdiri, maka ummat islam akan bersatu. Lantas kenapa harus ditolak? Bukankah kita menginginkan persatuan ummat?

Sejumlah dalil mengenai persatuan ummat Islam dan kaitannya dengan khilafah banyak dikutip oleh "pejuang khilafah" belakangan ini: Rasulullah SAW bersabda: "Jika dibai'at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." (HR. Muslim)

Bagaimana "rekaman" sejarah soal ini? Ini daftar tahun berkuasanya khilafah yang sempat saya catat:

  1. Ummayyah (661-750)
  2. Abbasiyah (750-1258)
  3. Umayyah II (780-1031)
  4. Buyids (945-1055)
  5. Fatimiyah (909-1171)
  6. Saljuk (1055-1194)
  7. Ayyubid (1169-1260)
  8. Mamluks (1250-1517)
  9. Ottoman (1280-1922)
  10. Safavid (1501-1722)
  11. Mughal (1526-1857)

Dari daftar di atas kita ketahui bahwa selepas masa Khulafa al-Rasyidin, ternyata hanya pada masa Umayyah dan awal masa Abbasiyah saja terdapat satu khalifah untuk semua ummat Islam. Sejak tahun 909 (dimana Abbasiyah masih berkuasa) telah berdiri juga kepemimpinan ummat di Egypt oleh Fatimiyyah (bahkan pada periode Fatimiyah inilah Universitas al-Azhar Cairo dibangun).

Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan punya kekhalifahan sendiri (Umayyah II). Di Andalusia inilah sejarah Islam dicatat dengan tinta emas, namun pada saat yang sama terjadi kepemimpinan ganda di tubuh ummat, toh tetap dianggap sukses juga.

Pada masa Fatimiyyah di Mesir (909-1171), juga berdiri kekuasaan lainnya: Buyids di Iran-Iraq (945-1055). Buyids hilang, lalu muncul Saljuk (1055-1194), sementara Fatimiyah masih berkuasa di Mesir sampai 1171. Ayubid meneruskan Fatimiyyah dengan kekuasaan meliputi Mesir dan Syria (1169-1260). Dan seterusnya, ... silahkan diteruskan sendiri.

Jadi, sejarah menunjukkan bahwa khilafah itu tidak satu; ternyata bisa ada dua atau tiga khalifah pada saat yang bersamaan. Siapa yang dipenggal lehernya dan siapa yang memenggal? Mana yang sah dan mana yang harus dibunuh?

Kita harus kritis membaca Hadis-Hadis "politik" di atas. Saya menduga kuat Hadis semacam itu baru dimunculkan ketika terjadi pertentangan di kalangan ummat islam sepeninggal rasul. Alih-alih bermusyawarah, seperti yang diperintahkan Qur'an, para elit Islam tempo doeloe malah melegitimasi pertempuran berdarah dengan Hadis-Hadis semacam itu.

Sejumlah Ulama yang datang belakangan kemudian berusaha "mentakwil" makna Hadis di atas. Mereka menyadari bahwa situasi sudah berubah, dan Islam sudah meluas sampai ke pelosok kampung. Pernyataan Nabi di atas tidak bisa dilepaskan dari konteks traditional-state di Madinah, dimana resources, jumlah penduduk, dan luas wilayah masih sangat terbatas. Cocok-kah Hadis itu diterapkan pada saat ini?

Berpegang teguh pada makna lahiriah Hadis di atas akan membuat darah tumpah di mana-mana. Contoh saja, karena tidak ada aturan yang jelas, maka para ulama berdebat, seperti direkam dengan baik oleh al-Mawardi, M. Abu faris dan Wahbah al-Zuhayli: berapa orang yang dibutuhkan untuk membai'at seorang khalifah? Ada yang bilang lima [karena Abu Bakr dipilih oleh 5 orang], tiga [dianalogikan dengan aqad nikah dimana ada 1 wali dan 2 saksi], bahkan satu saja cukup [Ali diba'iat oleh Abbas saja]. Jadi, cukup 5 orang saja untuk membai'at khalifah. Aturan itu cocok untuk kondisi Madinah jaman dulu, namun terhitung "menggelikan" untuk jaman sekarang.

Disamping itu, urusan "memenggal kepala" itu tidak lagi cocok dengan situasi sekarang. Contoh: ribut-ribut jumlah suara antara Al Gore dengan Bush 4 tahun lalu diselesaikan bukan dengan putusnya leher salah satu di antara mereka.

Begitu juga Gus Dur tidak bisa meminta kepala Mega dipenggal ketika Mega "merebut" kekuasaannya tempo hari. Mekanisme konstitusi yang menyelesaikan semua itu. Nah, mekanisme itu yang di jaman dulu kagak ada. Apa kita mau balik ke jaman itu lagi?

Akhirnya, dengan adanya catatan sejarah yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa khalifah dalam masa yang sama, di wilayah yang berbeda. Hadis politik di atas sudah tidak cocok lagi diterapkan.

5. Jawaban anda sebelumnya seolah-olah hendak mengatakan bahwa berdirinya khilafah justru akan menimbulkan pertumpahan darah sesama ummat islam, bukan menghadirkan persatuan seperti yang didengungkan para pejuang khilafah saat ini. Betulkah demikian? Benarkah sejarah khilafah menunjukkan pertumpahan darah tersebut?

Ketika Bani Abbasiyah merebut khilafah, darah tertumpah di mana-mana. Ini "rekaman" kejadiannya: Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka "memainkan" pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami' milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu'awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya.

Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah, kemudian menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing.

Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.

Kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan as-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya kemudian mengumumkan di kalangan rakyat: "Barangsiapa memasuki masjid Jami', maka ia dijamin keamanannya." Beribu-ribu orang secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita.

Seorang ahli fiqh terkenal di Khurasn bernama Ibrahim bin Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji "akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah". Atas dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim al-Khurasani. Namun ketika ia, setelah berhasilnya gerakan kaum Abbasiyin itu, menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim.

Cerita di atas bukan karangan orientalis tapi bisa dibaca di Ibn Atsir, jilid 4, h. 333-340, al-Bidayah, jilid 10, h. 345; Ibn Khaldun, jilid 3, h. 132-133; al-Bidayah, jilid 10, h. 68; al-Thabari, jilid 6, h. 107-109. Buku-buku ini yang menjadi rujukan Abul A'la al-Maududi ketika menceritakan ulang kisah di atas dalam al-Khilafah wa al-Mulk.

Note:

Yang jelas sejarah "buruk" kekhilafahan bukan hanya milik khalifah Abbasiyah, tapi juga terjadi di masa Umayyah (sebelum Abbasiyah) dan sesudah Abbasiyah. Misalnya, menurut al-Maududi, dalam periode khilafah pasca khulafatur rasyidin telah terjadi: perubahan aturan pengangkatan khalifah seperti yang dipraktekkan sebelumnya, perubahan cara hidup para khalifah, perubahan kondisi baitul mal, hilangnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat, hilangnya kebebasan peradilan, berakhirnya pemerintah berdasarkan syura, munculnya kefanatikan kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum.

Sejarah itu seperti cermin: ada yang baik dan ada yang buruk. Kita harus menyikapinya secara proporsional; jangan "buruk muka, cermin dibelah. Sengaja saya tampilkan sisi buruknya agar kita tidak hidup dalam angan-angan atau nostalgia masa lalu saja, tanpa mengetahui sisi buruk masa lalu itu.

Ada kesan bahwa dengan menjadikan "khilafah is the (only) solution" maka kita melupakan bahwa sebenarnya banyak kisah kelam (sebagaimana juga banyak kisah "keemasan") dalam masa kekhilafahan itu. Jadi, mendirikan kembali khilafah tidak berarti semua problem akan hilang dan lenyap; mungkin kehidupan tanpa problem itu hanya ada di surga saja.

6. Ada sejumlah kewajiban yang pelaksanaannya tidak terletak di tangan individu rakyat. Di antaranya adalah pelaksanaan hudûd, jihad fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya, dan seterusnya. Sejumlah kewajiban syariat ini bergantung pada pengangkatan Khalifah. Bukankah di sinilah letak urgensinya kita mendirikan khilafah?

Cara berpikir anda itu masih menganggap khilafah itu sama dengan sebuah sistem pemerintahan Islam [SPI], padahal hadis-hadis yang menyinggung soal khilafah itu hanya bicara mengenai pentingnya mengangkat pemimpin (dan sekarang semua negara punya pemimpin kan?).

Kalau pertanyaannya saya tulis ulang: bukankah sebagian pelaksanaan syariat islam membutuhkan campur tangan pemimpin? Jawabannya benar,dan itulah yang sudah dilakukan di sejumlah negara: misalnya memungut zakat, memberangkatkan jamaah pergi haji, membuat peradilan Islam (mahkamah syariah), menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal, dst. Jadi, syariat Islam sudah bisa berjalan saat ini tanpa harus ada khilafah.

Lha wong kita sholat, puasa, sekolah, makan, bekerja, menikah, dst. adalah bagian dari syariat Islam dan kita bisa menjalaninya meski tidak ada khilafah dalam arti SPI. Kita menjalaninya karena pemimpin kita membebaskan kita melakukan itu semua. Kita tidak dilarang menjalankannya.

Di Saudi Arabia, tanpa ada khilafah sekalipun hukuman potongan tangan (hudud) sudah diberlakukan. Bukan berarti saya setuju dengan penerapan hudud ini. Saya hanya ingin menunjukkan tanpa khilafah (baca: SPI) maka syariat Islam juga bisa diterapkan.

7. Apa lagi letak keberatan anda terhadap ide mendirikan khilafah?

Kalau khilafah berdiri maka dunia ini tidak akan damai. Perang terus menerus. Para pejuang khilafah menerima saja mentah-mentah Hadis yang mengungkapkan 3 langkah dalam berurusan dengan non-muslim:

  1. Ajak mereka masuk Islam
  2. Kalau mereka enggan, suruh mereka bayar jizyah
  3. Kalau enggan masuk Islam dan enggan bayar jizyah, maka perangilah mereka.

Kalau Indonesia sekarang berubah menjadi khilafah, maka Singapora, Thailand, Philipina dan Australia akan diajak masuk Islam, atau bayar jizyah, atau diperangi. Masya Allah!

Simak cerita Dr. Jeffrey Lang di bawah ini (yang diceritakan ulang oleh Dr Jalaluddin Rakhmat):

Kira-kira dua bulan setelah saya masuk Islam, mahasiswa-mahasiswa Islam di universitas tempat saya mengajar mulai mengadakan pengajian setiap Jum'at malam di masjid universitas. Ceramah kedua disampaikan oleh Hisyam, seorang mahasiswa kedokteran yang sangat cerdas yang telah belajar di Amerika selama hampir sepuluh tahun. Saya sangat menyukai dan menghormati Hisyam. Dia berbadan agak bulat dan periang, dan mukanya tampak sangat ramah. Dia juga mahasiswa Islam yang sangat bersemangat.

Malam itu Hisyam berbicara tentang tugas dan tanggungjawab seorang Muslim. Dia berbicara panjang lebar tentang ibadah dan kewajiban etika orang yang beriman. Ceramahnya sangat menyentuh dan telah berjalan kira-kira satu jam ketika dia menutupnya dengan ucapan yang tidakdisangka- sangka berikut ini.

"Akhirnya, kita tidak dapat lupa --dan ini benar-benar penting-- bahwa sebagai orang Muslim, kita wajib untuk merindukan, dan ketika mungkin berpartisipasi di dalamnya, yakni menggulingkan pemerintah yang tidak Islami --di mana pun di dunia ini-- dan menggantinya dengan pemerintahan Islam."

"Hisyam!" Saya mencela. "Apakah anda bermaksud mengatakan bahwa warga negara Muslim Amerika harus melibatkan diri dalam penghancuran pemerintah Amerika? Sehingga mereka harus menjadi pasukan kelima di Amerika; suatu gerakan revolusioner bawah tanah yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah? Apakah yang kamu maksudkan adalah jika seorang Amerika masuk Islam, dia harus melibatkan diri dalam pengkhianatan politik?"

Saya berfikir begitu dengan maksud memberikan Hisyam suatu skenario yang sangat ekstrem, sehingga dapat memaksanya untuk melunakkan atau mengubah pernyataannya. Dia menundukkan pandangannya ke lantai sementara dia merenungi pertanyaan saya sebentar. Kemudian dia menatap saya dengan suatu ekspresi yang mengingatkan saya terhadap seorang doktor yang hendak menyampaikan khabar kepada pesakitnya bahwa tumornya adalah tumor berbahaya. "Ya," dia berkata, "Ya, itu benar."

Dr. Jeffrey Lang, muslim Amerika yang juga profesor matematik di Universitas Kansas, menceritakan pengalaman di atas untuk menunjukkan betapa "absurdnya" gagasan mendirikan negara Islam bagi orang Islam di Amerika. "Bagi mereka, ide bahwa kaum Muslim --menurut agama mereka-- berkewajiban untuk menyerang negara-negara yang tidak agresif seperti Swiss, Brazil, Ekuador atau jika mereka tidak mau tunduk kepada Islam sangat tidak masuk akal," kata Dr. Lang selanjutnya.

Anehnya, di mana saja Dr. Lang menemukan wacana negara Islam ini dikemukakan, baik di meja diskusi ilmiah maupun di medan perang.

Sekian kutipan dari Dr Jeffrey Lang.

Kalau kita sekarang nggak suka dengan doktrin pre-emptive strikenya Bush, maka sebenarnya kalau sekarang khilafah berdiri, maka khilafah itu juga memiliki doktrin yang sama. Sungguh mengerikan.

Hadis di atas telah diplintir maknanya sedemikian rupa sehingga khilafah akan menjadi monster yang memaksa negara sekitarnya untuk memeluk Islam dengan cara diperangi. Inilah salah satu keberatan saya dengan ide mendirikan kembali khilafah.

8. Saya heran dengan anda. CIA saja sudah bisa memprediksi bahwa khilafah akan berdiri pada tahun 2020. Kalau musuh-musuh Islam saja percaya dengan hal ini, bagaimana mungkin anda sebagai Muslim malah tidak mendukung berdirinya khilafah?

Biar nggak Ge-Er, kawan-kawan yang pro-khilafah coba baca baik-baik laporan lengkapnya di sini: http://www.foia.cia.gov/2020/2020.pdf. Intinya, CIA membuat 4 skenario FIKTIF sbg gambaran situasi tahun 2020. Khilafah itu hanya satu dari empat skenario fiktif tsb. Jadi jangan diplintir seolah-olah CIA mengatakan khilafah akan berdiri tahun 2020.

Possible Futures

In this era of great flux, we see several ways in which major global changes could take shape in the next 15 years, from seriously challenging the nation-state system to establishing a more robust and inclusive globalization. In the body of this paper we develop these concepts in four fictional scenarios which were extrapolated from the key trends we discuss in this report. These scenarios are not meant as actual forecasts, but they describe possible worlds upon whose threshold we may be entering, depending on how trends interweave and play out:

  1. "Davos World" illustrating "how robust economic growth, led by China and India, could reshape the globalization process";
  2. "Pax Americana" "how US predominance may survive the radical changes to the global political landscape and serve to fashion a new and inclusive global order";
  3. "A New Caliphate" "how a global movement fueled by radical religious identity politics could constitute a challenge to Western norms and values as the foundation of the global system"; and
  4. "Cycle of Fear" proliferation of weaponry and terrorism "to the point that large-scale intrusive security measures are taken to prevent outbreaks of deadly attacks, possibly introducing an Orwellian world."

(The quotes are taken from the report's executive summary.)

Of course, these scenarios illustrate just a few of the possible futures that may develop over the next 15 years, but the wide range of possibilities we can imagine suggests that this period will be characterized by increased flux, particularly in contrast to the relative stasis of the Cold War era. The scenarios are not mutually exclusive: we may see two or three of these scenarios unfold in some combination or a wide range of other scenarios.

Yang menarik, laporan itu juga menyebut-nyebut soal Indonesia. Ini prediksi mereka:

"The economies of other developing countries, such as Brazil, could surpass all but the largest European countries by 2020; Indonesia's economy could also approach the economies of individual European countries by 2020."

Lalu apa yang akan terjadi dengan Amerika, masih menurut laporan tersebut:

"Although the challenges ahead will be daunting, the United States will retain enormous advantages, playing a pivotal role across the broad range of issues --economic, technological, political,and military-- that no other state will match by 2020."

Jadi, dari skenario fiktif yang mereka susun, Amerika tetap saja jaya. Kerjaan CIA kan ya memang begitu…kok bisa-bisanya kawan-kawan pejuang pro-khilafah percaya sama CIA. Bukankah prestasi terbesar CIA adalah saat mengatakan di Iraq ada weapon of mass destruction (WMD)?

Kita tahu ternyata WMD memang fiktif belaka. Yah jangan-jangan khilafah juga bakalan bernasib sama: fiktif.

Penulis adalah pengajar di Fakultas Hukum,Universitas Wollongong (NSW, Australia)

Blog: http://nhosen.blogspot.com/

Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Sumber kutipan : http://media.isnet.org/isnet/Nadirsyah/khilafah.htm

Silaturahmi

Mengenai Saya

Foto saya
Orang Jawa, Islam yang nJawani, yang senantiasa berusaha saling asah, asih dan asuh serta hidup berdampingan dengan siapa saja secara damai tanpa saling mengganggu