Sabtu, 26 Juni 2010

SEMBILAN WALI & SITI JENAR

Penulis & Fotografer:Seno Gumira Ajidarma

(1) MAULANA MALIK IBRAHIM

Maulana Malik Ibrahim yang makamnya terdapat di Gresik, selain disebut sebagai Sunan Gresik, juga sering disebut-sebut sebagai walisanga yang pertama, yang tampaknya hanyalah didasarkan kepada tahun kewafatan yang tertulis pada nisannya, yakni 822 Hijriah, yang berarti 1419 Masehi. Dibandingkan dengan Sunan Ngampel Denta yang dianggap sebagai perintis dan pelopor, dan tahun kewafatannya diduga sekitar tahun 1467, kiranya data semacam ini mengundang sebutan bahwa Malik Ibrahim adalah wali yang pertama di antara para walisanga.

Meski hanya dugaan, legenda akan tetap beredar demi pengukuhan. Di antara banyak legenda, kita periksa saja yang ditemukan oleh Husein Djajadiningrat dalam disertasinya Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten (1913).

Sebetulnya yang diteliti oleh Djajadiningrat adalah tentang sifat-sifat penulisan sejarah Jawa, dengan Sajarah Banten sebagai kasusnya, tempat antara lain terdapatnya kisah-kisah walisanga, termasuk juga tentang Maulana (Djajadiningrat mengeja Molana) Malik Ibrahim yang jelas disebutnya sebagai dongeng. Disebutkan dalam Sajarah Banten bahwa Malik Ibrahim adalah penyebar Islam tertua, yang kisahnya berjalin dengan kisah “saudara sepupu”- nya, Putri Suwari yang juga disebut sebagai Putri Leran.

Konon Molana Ibrahim ulama sohor dari Arab, keturunan Zeinulabidin, cicit Nabi Muhammad, menetap dengan sesama orang beriman lainnya di Leran. Lantas datang saudara sepupu lain, raja Cermen dari tanah seberang, yang bermaksud mengislamkan Angkawijaya raja Majapahit – jika berhasil, bahkan ia berniat menghadiahkan putrinya menjadi istri raja Majapahit.

Ringkas cerita, bersualah kedua raja ini di perbatasan, raja Cermen yang diiringi 40 wali mem-persembahkan sebuah delima, diterima tidaknya menjadi ukuran apakah raja itu akan masuk Islam. Disebut betapa raja Majapahit merasa heran, mengapa seorang raja dari seberang mempersembahkan buah delima, seolah-olah buah semacam itu tak ada di Jawa.

Mengetahui yang dipikirkan raja Majapahit, raja Cermen pamit untuk kembali ke Leran, hanya Molana Magfur, putera Malik Ibrahim, tinggal di Majapahit. Ketika buah dibelah, di dalamnya terdapat permata, maka segeralah raja meminta agar Molana Magfur menyusul raja Cermen agar balik ke Majapahit. Raja Cermen ternyata menolak. Ketika sampai di Leran berjangkit penyakit yang membunuh banyak orang. Tiga dari lima orang saudara sepupu yang bersamanya datang dari seberang, Jafar, Sayid Kasim, dan Sayid Ghart tewas pula karenanya – makam mereka terkenal dengan nama kuburan panjang. Tak ketinggalan sakit pula Putri Leran, putrinya, yang berencana ia nikahkan dengan raja Majapahit. Adapun doanya kepada Tuhan adalah, mohon kesembuhan putrinya agar bisa dinikahkan, tetapi kalau raja Majapahit tak bisa masuk Islam mohon agar usia putrinya dipendekkan saja – dan itulah yang terjadi.

Ternyata Angkawijaya menyusul ke Leran, dan ketika mendengar kematian ketiga “pangeran” ia disebutkan menilai rendah kepercayaan raja Cermen, karena tidak bisa menghalangi kematian para pangeran yang masih muda. Sampai di sini Malik Ibrahim berperan lagi, dengan memberi jawaban bahwa ketidakpahaman raja yang seperti itu tentunya diakibatkan penyembahan kepada dewa-dewa, dan bukan kepada Tuhan yang hakiki. Dikisahkan betapa Angkawijaya menjadi murka dan terpaksa ditenangkan para pengikutnya. Pulanglah ia ke Majapahit dan tidak mau mengingat lagi peristiwa yang terjadi tahun 1313 (tentunya penanggalan Saka, meski hanya dalam dongeng) itu. Disebutkan bahwa Malik Ibrahim kemudian pindah dari Leran ke Gresik, setelah meninggal dimakamkan di gerbang timur kota pelabuhan itu.

Makam dan pembongkaran

Masih ada lagi legenda tentang Malik Ibrahim, tetapi mirip cerita sinetron laga, sehingga bagi pembaca Intisari yang budiman lebih berguna disajikan cerita tadi saja, karena pembongkarannya akan menjelaskan beberapa hal.

Pertama, tentang dihubung-hubungkannya Malik Ibrahim dengan Putri Leran. Cerita ini terbentuk tentu karena terdapatnya kuburan atau makam panjang di Leran, yang tanggalnya lebih tua tiga abad. Dalam penelitian J.P. Moquette, batu nisan Malik Ibrahim berasal dari Cambay di Gujarat, sedangkan Djajadiningrat menyebutkan tentang makam di Leran, bahwa “Batu-batu nisan semacam itu masih tiga abad lagi lamanya dipesan di luar Jawa, yaitu di India.” Belum bisa disimpulkan apa pun dari data ini, kecuali pengenalan bahwa untuk setiap pernyataan dalam ilmu sejarah dituntut pendasaran yang kuat. Dalam hal makam panjang di Leran, bisa diikuti misalnya beberapa cuplikan dari uraian ahli epigrafi (ilmu tentang prasasti) Louis-Charles Damais dalam artikel “Epigrafi Islam di Asia Tenggara” (1968) dari buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara (1995):

“Prasasti paling tua yang dikenal di Jawa berasal dari suatu zaman ketika kebanyakan orang-orang Muslim di pulau itu berasal dari luar; kemungkinan besar mereka adalah pedagang, entah mereka menetap atau hanya singgah, walaupun kemungkinan yang kedua itu jelas lebih besar. Yang dimaksud di sini ialah nisan seorang gadis di kuburan Leran, beberapa kilometer dari Gresik di Jawa Timur, sebelah barat laut pelabuhan besar Surabaya (ucapan Jawanya adalah Suroboyo).

“Oleh karena kami di sini tidak mungkin dapat memerinci dan membahas hasil bacaan Moquette yang telah berjasa sebagai orang pertama yang menafsirkan prasasti itu, ataupun hasil pembacaan Ravaisse yang telah mengadakan beberapa perubahan, cukuplah kami kemukakan bahwa almarhumah bernama binti Maymun, sebagaimana cukup terbukti. Tanggalnya Jumat 7 Radjab 475 tahun Hijriah, atau 2 Desember 1082 M, artinya keesokan hari padanan teoretis menurut Tabel-tabel. Tanggal ini telah menimbulkan perdebatan, oleh karena 70 dan 90 mudah dikacaukan dalam tulisan Arab yang tidak ada tanda diakritiknya dan oleh karena epitaf itu mengandung kesalahan; yang tertulis sesungguhnya ialah ….., jadi harus dibetulkan. Akan tetapi hari pekan yang tercantum itu beserta kemungkinan paleografinya menurut kami merupakan kunci masalah itu, dan padanannya dengan tarikh Julius bagi kami tidak meragukan lagi, seperti telah kami uraikan sebabnya dalam tulisan lain.

“Tidak diketahui siapa gerangan gadis itu. Menurut dongeng setempat, ia adalah seorang putri raja, yaitu Putri Dewi Suwari atau Putri Leran. Unsur ini sudah tentu tidak tepat, karena sengkalan-sengkalan (kalimat yang menunjuk tahun – Red) yang bersangkutan dengan gadis itu menunjuk angka-angka tahun yang kira-kira tiga abad lebih muda, sedangkan prasasti itu sekurang-kurangnya jelas mengenai angka abad dalam tahun Hijriah. Sebuah dongeng dalam teks yang disebut oleh Knebel pada tahun 1906 dan yang ketika itu milik juru kunci makam itu, mengemukakan umpamanya sebuah sengkalan yang diartikan sama dengan 1308 Saka = 1386 (-87) M. Sebuah sengkalan lain sama dengan 1313 Saka = 1391 (-92) M. Lagipula, seandainya binti Maymun itu seorang putri raja, derajatnya pasti tertera pada nisannya, sedangkan di sini tidak. Jadi, sudah boleh dianggap pasti bahwa pada waktu itu yang bersangkutan adalah anak orang asing yang menetap untuk sementara waktu, tetapi yang tidak kita ketahui apa-apanya.” Intisari sendiri juga belum memeriksa, bagaimana diketahui bahwa yang disebut sebagai gadis itu bukannya nenek-nenek.

Kedua, dan dengan begitu, layak diperiksa pula fakta mengenai Maulana Malik Ibrahim itu sendiri, apakah sesuai dengan dongengnya, masih memanfaatkan penelitian Louis-Charles Damais yang diterbitkan dua tahun setelah pria Prancis yang menikah dengan perempuan Indonesia itu meninggal pada 1966:

“Yang dikemukakan sekarang ialah prasasti lain, dari daerah yang sama, dari masa tiga abad sesudah prasasti binti Maymun, sebab tanggalnya Senin 12 Rabi al-awwal 822 H = 10 April 1419 M (dua hari sesudah padanannya yang teoretis). Prasasti itu terdapat di sebuah kuburan di Gresik yang bernama Gapura Wetan. Menurut suatu tradisi setempat, makam itu makam salah seorang tokoh yang dianggap termasuk penyebar agama Islam yang pertama di Jawa, yang sering dinamakan Wali Sanga. Bahwasanya dia termasuk salah seorang penyebar utama agama Islam, agaknya patut diragukan, mengingat bahwa penyebaran agama itu di Jawa Timur telah berlangsung jauh lebih awal, akan tetapi sudah tentu tidaklah mustahil bahwa tokoh itu, jika memang berwibawa, telah dapat mengajak orang masuk agama Islam, sehingga hal itu masih dikenang orang. Dia juga dianggap keturunan Nabi yang datang dari Tanah Arab. Dan salah satu namanya menurut dongeng, yang malah menganggapnya sebagai seorang paman Dewi Putri Suwari, adalah Mawlana Maghribi, “Guru dari Barat”. Tetapi hal itu tidak tertulis pada nisannya. Prasasti berbahasa Arab itu, yang keadaannya masih baik sekali, tidak menyebutkan asal-usulnya, tetapi kita dapat membaca namanya dengan jelas, yaitu Malik Ibrahim, sebuah nama yang juga masih bertahan dalam tradisi setempat.”

Islamisasi: faktor Gresik

Dengan begitu menjadi jelas perbedaan teks, antara yang mengemukakan fakta dengan yang berimajinasi, bahwa antara Malik Ibrahim dan Maymun (Djajadiningrat menyebutnya Fatimah binti Maimun, tapi ia mengacu epigraf M. van Berchem yang mengikuti petunjuk Snouck Hurgronje, dosen pembimbingnya yang tersohor) ternyata tak ada hubungannya sama sekali, meskipun fakta keduanya terhubungkan dalam konteks spekulasi lain, bahwa Gresik atau tepatnya Garesik yang bentuk krama-nya dalam prasasti dan naskah ditulis sebagai Tandes, adalah kota pelabuhan yang menjadi jalan masuk agama Islam di Jawa.
Kalau kita ikuti kembali hasil penelitian Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974), terbaca laporan dari berita-berita kuno yang tersusun sebagai berikut:

“Menurut berita-berita Cina, Gresik didirikan sebagai kota pelabuhan pada paruh kedua abad ke-14 di sebidang tanah pantai yang terlantar. Penduduk pertama ialah pelaut dan pedagang Cina. Pada abad ke-15 perkampungan baru itu mungkin telah menjadi makmur; pada tahun 1411 seorang penguasa Cina di situ telah mengirim utusan yang membawa surat-surat dan upeti ke keraton Kaisar di Cina. Pada tahun 1387 M. Gresik sudah dikenal sebagai wilayah kekuasaan maharaja Majapahit. Ini terbukti dari Piagam Karang Bogem, yang berisi ketetapan tentang kawula, budak, atau orang tebusan di keraton yang berasal dari Gresik.

“Mungkin maharaja Majapahit yang bersemayam di pedalaman Jawa Timur beranggapan bahwa daerah-daerah pantai juga termasuk wilayahnya dan di situ kekuasaannya sebagai penguasa wilayah juga diakui. Hubungan antara raja pribumi dan pedagang asing yang menetap di negara mereka yang ingin mempertahankan hubungan mereka dengan tanah leluhurnya, lebih-lebih dari sudut kepentingan perdagangan, dapat diduga dengan adanya berita-berita tentang perutusan dari seberang lautan ke Cina. Seperti yang diberitakan pada permulaan abad ke-15 sehubungan dengan Gresik, perutusan yang menghadap kaisar Tiongkok (biasanya orang Cina peranakan), mengambil peranan yang penting.”

Dengan membandingkan angka-angka tahun, kita bisa meraba konteks keberadaan Malik Ibrahim, yang oleh Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2, Jaringan Asia (1990), disebutkan, “… mungkin sekali pedagang dari Gujarat.” Namun dengan pertimbangan angka tahun itu pula, kelompok makam panjang di Leran kehilangan konteks yang penting dalam pembahasan tentang penyebaran Islam di Jawa.

Menjadi misterius memang apa yang sebetulnya terjadi sehingga orang-orang ini bermakam panjang pada abad ke-11 di Leran. Memang diyakini mereka Muslim, kemungkinan pedagang asing yang singgah, dan tidak dipertimbangkan sama sekali sebagai penyebar Islam, meski kuburan mereka adalah yang tertua. Dalam bahasa Damais pun, “Di sini tidak ikut kami perhitungkan makam di Leran, yang dilihat dari segala segi merupakan kelompok tersendiri.” Pertanyaannya, ketika Majapahit masih berkuasa penuh, apakah itu berarti Islam hanya beredar di pesisir seperti Gresik, itu pun di antara para pedagang asing?

Kuburan Matahari

Louis-Charles Damais memeriksa setidaknya 36 berkas laporan, oleh para peneliti maupun pejabat pemerintah Hindia Belanda, untuk akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa para ahli kepurbakalaan Belanda telah melewatkan fakta penting di depan hidung mereka, betapa pada puncak kejayaan Majapahit, yakni masa pemerintahan Hayam Wuruk, sebagian anggota keluarga kerajaan telah memeluk agama Islam, seperti dibuktikannya melalui pembahasan epigrafis tujuh makam di Tralaya.

Melalui berkas “Makam Islam di Tralaya” (1955), kita bisa mengikuti penelusuran Damais atas berbagai data menyangkut tujuh makam yang dituliskannya,” … disebutkan pertama kali 75 tahun lalu; meskipun demikian nilai purbakala dan sejarahnya selalu diabaikan.”

Secara ringkas, yang terutama diabaikan adalah fakta terdapatnya tulisan Arab pada nisan-nisan tersebut, karena selalu dianggap sebagai tambahan baru pada nisan lama yang berangka tahun Saka. Dengan sangat rumit, bahkan disebut seperti perhitungan matematis, Damais akhirnya bisa membuktikan bahwa pada kelompok makam yang oleh penduduk disebut Kuburan Srengenge tempat dimakamkannya Pangeran Surya, boleh diyakini terdapatnya para anggota kerajaan Majapahit yang telah memeluk Islam, dan dimakamkan masing-masing tahun 1376, 1380, 1418, 1407, 1427, 1467, 1475, 1467, 1469, dan yang agak meloncat, yakni 1611.

Mengapa data angka kematian lebih dari tujuh? Karena Damais berhasil juga menemukan tumpang tindihnya nisan-nisan tersebut, bahwa yang sepertinya di tempat kaki ternyata untuk kepala juga misalnya, sehingga ia berpendapat sebetulnya terdapat sepuluh makam di sana. Perhatikan pula bahwa angka tahun yang tertua hanya sebelas tahun lebih muda dari Nagarakrtagama yang ditulis Prapanca.

Sayang sekali tidak cukup ruang untuk menceritakan kembali bagaimana mengagumkannya Damais menguak misteri, bahkan ketika sebagian nisan berprasasti itu disebutnya sudah hilang, sehingga ia menafsir hanya dari yang tersisa maupun dari foto-foto yang diambil para peneliti dan petugas dinas purbakala Hindia Belanda, yang telah mencatat terdapatnya kuburan tersebut se-jak abad ke-19. Dengan meneliti ke-36 berkas ilmiah maupun laporan dinas atas kelompok makam tersebut, Damais menemukan misalnya dalam konteks makam ke-9, “Kami tidak melihat nisan itu disebutkan di mana pun, sebab para ilmuwan, yang telah meneliti situs Tralaya, tidak pernah menunjukkan minat sedikit pun pada prasasti Arab. Padahal teks pendek itu sangat penting karena menunjukkan bahwa di samping angka tahun berangka Jawa kuno, sekurang-kurangnya ada satu yang bertahun Hijriah dan berasal dari periode yang sama.”

Bahwa kuburan itu kuburan bangsawan Majapahit, tertandai dari apa yang disebut medalion yang dilingkari “kalangan bersinar dari Majapahit”. Suatu tanda yang rupanya telah mengarahkan penyebutan Kuburan Srengenge (Matahari) atau Pangeran Surya itu. Juga dari lokasinya yang begitu dekat dengan pusat pemerintahan di Trowulan. Menarik sekali analisis Damais atas kesalahan tulis kalimah syahadat pada salah satu nisan itu, yang terarah kepada tukang pahatnya, bahwa mungkin saja pengetahuannya sangat kurang atau nihil, mampu mengucapkan syahadat tapi tidak mengetahui aturan ejaan bahasa Arab, dan mungkin pula salah menafsirkan tanda dari sebuah contoh model bahasa Arab tertulis.

Terutama sekali Damais mengoreksi kesalahan teknis maupun keluputan tafsir para ilmuwan pendahulunya, yang tampak sulit melepaskan diri dari stigma bahwa kejayaan Majapahit memustahilkan terdapatnya pemeluk Islam dari kalangan penduduk asli. Kesimpulan Damais memang sebaliknya, “Secara pribadi kami tidak dapat berbuat lain kecuali menganggap angka tahun pada nisan-nisan Tralaya sebagai bukti keberadaan orang Islam, yang mungkin sekali berbangsa Jawa, di ibu kota Majapahit, sejak tahun-tahun akhir abad ke-13 Saka. Jadi, pada hemat kami tidak dapat dikatakan, seperti halnya Krom, bahwa situs itu ‘dilihat dari dirinya sendiri tidak mempunyai arti arkeologis’. Justru sebaliknya, dalam suatu kajian sistematis mengenai makam-makam Islam tertua di Jawa – yang masih harus dilakukan – situs itu tidak pelak lagi akan meng-ambil tempat yang penting.”

Dengan demikian, dari ziarah pustaka edisi ini pembaca Intisari terhadapkan bukan saja dengan Malik Ibrahim, yang angka pada nisannya (1419) melahirkan dongeng dirinya sebagai “walisanga pertama”; tetapi juga dengan kelompok makam panjang Leran yang jauh lebih tua (1082) dan diduga sebagai makam orang asing yang sebetulnya hanya singgah; maupun dengan makam Islam di Tralaya yang juga sebagian besar lebih tua (1376/1611) dari zaman Majapahit, yang kali ini diduga kuat adalah makam orang Jawa.

Demikianlah ilmu-ilmu sejarah menyingkap mitos, seperti yang sudah semestinya menjadi tugas ilmu pengetahuan.


(2) SUNAN NGAMPEL DENTA, WALI PERINTIS DARI CEMPA

Setiap orang mempunyai nama yang diberikan ketika ia dilahirkan, tetapi nama para wali yang disebut-sebut orang banyak ternisbahkan oleh nama tempat yang secara historik terhubungkan dengan riwayat hidup mereka.

Dalam hal Sunan Ampel, tentu saja nama itu terhubungkan dengan Ampel yang kini menjadi bagian dari Kota Surabaya. Namun bagi sejarawan seperti Graaf dan Pigeaud, rupanya kata Ampel tidak terdapat dalam seluruh sumber mereka, baik itu “cerita Jawa” maupun catatan para pengembara seperti Tome Pires dari Portugal.

Maka dalam hal Sunan Ampel, kita temukan nama Raden Rahmat, orang suci dari Ngampel Denta: tepatnya, Sunan Ngampel Denta. Disebutkan bahwa Raden Rahmat berasal dari dan merupakan anggota keluarga kerajaan di Cempa – tetapi di manakah Cempa itu?

Putri Islam di Majapahit

Perbincangan Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974) memperkenalkan kita kepada dua teori, yang pertama menganggap Cempa sebagai Jeumpa di Aceh, yang memang merupakan rute tradisional datangnya Islam ke Jawa yang berawal dari Arab Saudi (Aceh, Campa, Pasai, Johor, Cirebon), seperti rute yang telah ditempuh seorang wali bernama Syekh Ibnu Maulana.

Pada abad ke-15, Pasai tentu jauh lebih terkenal dari Jeumpa sebagai pusat keagamaan. Karenanya Graaf dan Pigeaud lebih cenderung kepada teori kedua, bahwa Cempa berada di pantai timur Hindia Belakang, yang dalam Sajarah Melayu disebutkan pernah menjadi taklukan Majapahit. Memang konteks Majapahit inilah yang menghubungkan Cempa dengan Jawa. Untuk itu kita rujuk dahulu “cerita Jawa” perihal Raden Rahmat ini, sebelum nanti kembali lagi kepada perbincangan tentang fakta sejarahnya.

Alkisah, seperti diceritakan kembali oleh Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri dalam Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad (2000), Raden Rahmat diperkirakan lahir awal abad ke-15 di Campa (Cempa dan Campa digunakan bergantian oleh berbagai sumber). Terdapat berbagai versi tentang siapa ayahnya tersebut: Ibrahim Asmarakandi, keturunan Arab yang menikahi putri raja Campa; tapi ada juga Ibrahim Al Ghozi atau Ibrahim Zainal Akbar – ketiga versi ini mempunyai kesamaan, bahwa Ibrahim adalah keturunan Nabi Muhammad.

Dalam versi pertama, yang berasal dari Babad Tanah Djawi, disebutkan bahwa Asmarakandi adalah perubahan ucapan atas kata Samarkand, yakni asal-usul Ibrahim di Asia Tengah. Dari sini berarti Ibrahim memahami Islam seperti diikuti oleh keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib yang berkembang di Persia, termasuk sebagian besar Asia Tengah di mana terdapat Samar-kand – maka ia sebetulnya disebut Ibrahim as-Samarkandy. Pada masa itu sudah umum terdapat komunitas Islam di kawasan Indocina, dari mana Tiongkok semasa pemerintahan dinasti Yuan mencari para pakar Islam asal Turkestan untuk menjadi penasihat kaisar.

Namun yang penting dari data tersebut bukanlah soal Ibrahim, melainkan bahwa putri Campa yang dinikahinya itu mempunyai saudara yang disunting – atau dianugerahkan kepada – raja Majapahit. Itulah Andrawati atau Putri Darawati yang tentu saja kemudian dikirim untuk bermukim ke Keraton Majapahit. Ke sanalah dua putra Ibrahim yang bernama Raden Rahmat (Sayid Ngali Rahmat) dan Raden Santri atau Raden Pandita (Sayid Ngali Murtala atau Ali Murtadho) datang untuk “menengok” (nanti akan jelas kenapa harus diberi tanda kutip) putri Campa saudara ibunda mereka – dan selama di Majapahit ternyata diizinkan berdakwah menyebarkan agama Islam. Beserta mereka ikut pula Raden Burereh, seorang sepupu, anak raja yang sarjana, yang sebetulnya adalah Abu Hurerah.

Bukan hanya izin yang diberikan, melainkan juga tanah yang sekarang disebut Ampel itu, yang memungkinkan Raden Rahmat membangun salah satu pusat penyebaran Islam pertama di Jawa bagian timur. Seperti diketahui, dalam kisah Walisanga, Sunan Ampel disebutkan berputra Sunan Bonang yang menjadi guru Sunan Kalijaga, serta bermurid antara lain Sunan Giri yang juga merupakan wali tersohor.

Gara-gara Vietnam
Jika “cerita Jawa”, babad, maupun legenda ingin dipercaya, mulai dari Hikayat Hasanuddin, Sadjarah Dalem, Hikajat Bandjar, sampai Babad Tanah Djawi, para pembaca akan menemui kesulitan dengan terdapatnya berbagai versi, apalagi menyangkut mertua, menantu, jumlah istri, jumlah anak, dan sebagainya – sebegitu jauh soal Cempa yang kadang disebut Campa itu tetap: bahwa ada seorang anggota kerajaan Cempa tinggal di Keraton Majapahit dan pada gilirannya menyebarkan Islam dari Ngampel Denta (tentu juga menjadi pertanyaan besar tentang gelar “Raden” yang disandangnya itu, yang tidak berlaku di Majapahit dan apalagi di Cempa).

Kini baiklah kita ikuti spekulasi ilmu sejarah seperti dilakukan Graaf dan Pigeaud berdasarkan “cerita Jawa” maupun data peninggalan.

“Seorang raja Majapahit, atau seorang anggota keluarga raja, menjelang pertengahan abad ke-15 telah membawa gadis Islam dari keluarga baik-baik yang berasal dari Cempa ke istananya. (Sejak dahulu kala Majapahit selalu mempunyai hubungan dengan Cempa). Wanita Islam itu meninggal pada tahun 1448 dan dimakamkan secara Islam (= Putri Cempa).

“Beberapa tahun sebelumnya, dua orang keluarga putri itu, kakak beradik, meninggalkan Cempa dan melawat ke Jawa. Mereka ini juga beragama Islam; ayah mereka adalah orang Barat yang kawin di Cempa dengan wanita dari keluarga bangsawan. Salah satu alasan kedua kakak-beradik itu pergi ke Jawa ialah karena ancaman orang-orang Annam untuk menyerang Cempa. (Pires, petualang Portugis itu menetapkan kedatangan orang-orang Islam pertama ke Jawa sekitar tahun 1443; pada tahun 1446 ibukota Cempa diduduki oleh bangsa Annam). Dua orang kakak beradik dengan darah campuran ini [Barat-Asia, Arab (?) dan Indocina (?)] telah berhasil menjadi pemuka kelompok-kelompok Islam yang masih baru di Gresik dan Surabaya. Dalam kedudukan itu mereka diakui oleh wakil-wakil maharaja di Majapahit (pecat tanda = penilik pasar, di Terung). Tetapi keturunan mereka tidak mendapat kekuasaan duniawi di Gresik dan Surabaya.”

Jika memang Sunan Ampel ini disetujui berpengaruh besar, menarik kiranya bahwa Pangeran Ngampel Denta ini tidak akan pernah sampai ke Jawa jika Campa atau Cempa tidak diserbu Annam, yang tak lebih dan tak kurang adalah Vietnam. Sajarah Melayu menyebutnya sebagai Kerajaan Kuci yang menyerbu Cempa karena pinangan rajanya kepada putri Kerajaan Cempa ditolak. Dengan menyuap bendahara raja, pintu gerbang kota dibuka dari dalam, dan ibukota Cempa, yakni Bal, dikuasai. Pau Kubah, raja Cempa gugur, dua putranya, Pau Liang dan Indra Berma, masing-masing lolos ke Aceh dan Malaka. Sajarah Melayu ini dipercaya oleh kedua sejarawan Belanda tersebut, karena ditulis menjelang perempat kedua abad ke-16, tak jauh sesudah runtuhnya dinasti lama Campa.

Dari sumber lain, kedua sejarawan mendapat data bahwa tahun 1471 Campa direbut Annam. Cocok dengan tahun pemerintahan Sultan Mansur di Malaka (1458 – 1477) yang memberi suaka kepada pangeran Campa yang melarikan diri. Mungkinkah Pau Liang yang lari ke Aceh itulah yang akhirnya sampai ke Jawa Timur sebagai Raden Rahmat? Hubungan dengan Jawa Timur baru terlacak dari Hikayat Hasanuddin yang menyebutkan, Kerajaan Campa ditaklukkan raja dari Koci ketika Raden Rahmat bermukim di Jawa. Dengan begitu kedua sejarawan bisa memperkirakan, Raden Rahmat dan kedua saudaranya sebelum tahun 1471 sudah berangkat dari Cempa ke Jawa Timur. Akibatnya, waktu menetapnya Raden Rahmat di Ngampel Denta terletakkan dalam perempat ketiga abad ke-15, sesuai dengan tarikh pada makam Putri Campa, yakni 1448.

Ngampel Denta 2006

Disebutkan dalam legenda bahwa penunjukan Raden Patah sebagai Sultan Demak dilakukan oleh Sunan Ngampel Denta, dengan syarat bahwa selama 40 hari sebelumnya Sunan Giri memegang dahulu pimpinan, untuk menghapus segenap “bekas kekafiran” yang ditinggalkan kerajaan sebelumnya. Legenda ini representasi sikap bermusuhan terhadap Majapahit, yang memalingkan pendengarnya dari fakta sejarah bahwa Islam berkembang bebas semasa Majapahit – setidaknya seperti terlihat dari riwayat Raden Rahmat – karena memang legenda ini baru beredar abad ke-17 atau ke-18 ketika kekuasaan kerajaan Islam semakin mutlak, meski pengaruh politik kaum alim ulama justru jauh berkurang.

Sampai di sini kita kutip kembali De Graaf dan Pigeaud, tetapi untuk melakukan koreksi: “Satu kenyataan ialah bahwa makam Sunan Ngampel Denta, yang disanjung-sanjung sebagai wali tertua di Jawa, tidak menjadi tempat ziarah yang ramai dikerumuni orang pada abad-abad kemudian. Lagi pula makam itu tidak diberi cungkup seperti yang biasa ada pada makam-makam orang penting. Dalam cerita Jawa dinyatakan bahwa hal itu memang menjadi kehendak Sunan sendiri. Tetapi hal itu juga dapat dianggap sebagai akibat kenyataan bahwa Sunan Ngampel tidak membentuk dinasti pemimpin agama; jadi berbeda dengan Sunan Giri dan Sunan Gunungjati.”

Sementara sebagian pernyataan boleh diperdebatkan, bisa dipastikan bahwa makam Sunan Ngampel Denta tidak kalah ramainya dibandingkan dengan makam para wali lain pada abad ke-21 ini. Bahkan dari semua makam yang telah dilaporkan Intisari adalah makam Sunan Ngampel Denta ini saja yang tidak boleh dipotret ataupun direkam kamera video. Apakah kita bisa mengatakannya paling dikeramatkan – dan karena itu menjadi yang paling dipentingkan?

Kompleks makam dan permukiman Ngampel Denta sendiri telah menjadi khas dan unik bukan karena kesunyiannya, melainkan telah mengalami metamorfosa: betapa sebuah pusat keagamaan dengan mesjid besar di tengah kampung mampu melebur dalam sebuah pusat perdagangan, tanpa harus kehilangan suasana sakral sama sekali. Sebaliknya, kompleks makam dan Mesjid Ampel ini bagaikan sebuah perayaan menyatunya kekhusyukan agama dengan gairah kehidupan sehari-hari, bagaikan suatu bukti betapa agama bisa sangat membumi.


(3) SUNAN GIRI, DINASTI PEMUKA AGAMA DARI GIRI


Sejarah Giri sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari Gresik; dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974) karya De Graaf dan Pigeaud keduanya disebutkan sebagai kesatuan Gresik-Giri, yang menjadi pusat keagamaan penting pada abad ke-16. Meski begitu bagi pembaca Intisari, sebisa mungkin perbincangannya dipisahkan, karena konteks Gresik dalam penyebaran Islam akan dilaporkan dalam ziarah pustaka tersendiri.



Kisah Sunan Giri dalam legenda terulang kembali bersama riwayat Sunan Ngampel Denta dan Sunan Bonang. Bahwa bersama Sunan Bonang yang adalah putra Sunan Ngampel Denta, mereka menjadi murid Sunan Ngampel Denta tersebut sebelum mengembara sampai tanah Melaka dan berguru kepada Syekh Wali Lanang, yang ternyata adalah ayah Sunan Giri, jika mengacu Babad Tanah Djawi. Dalam Babad Gresik ayahnya adalah Ishak Maksum, dalam Babad Demak adalah Maulana Ishak. Ketidakpastian macam ini agaknya yang membuat Sumanto Al Qurtuby dalam Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI (2003) menyebutkan bahwa "historisitas tokoh ini juga masih kabur". Meskipun begitu, legenda tentang Sunan Giri yang bernama muda Raden Paku, bahwa ketika bayi dimasukkan peti dan dilempar ke laut, sampai diselamatkan nakhoda kapal dagang milik Nyai Gede Pinatih, berhasil dimanfaatkan De Graaf dan Pigeaud dengan sangat baik.

Bayi itu dilahirkan Dewi Sekardadu, putri raja "kafir" Menak Sembuyu yang pernah disembuhkan Syekh Wali Lanang, yang kemudian jadi suaminya, dari suatu penyakit, meski raja Blambangan itu sendiri tak berhasil dibawanya masuk Islam. Itulah sebabnya ia tinggalkan Blambangan, yang lantas kejangkitan wabah penyakit, dan rakyat menuduh kandungan Dewi Sekardadu sebagai penyebabnya. Bayi itu lantas dilarung. Nyai Gede Pinatih yang memelihara bayi itu disebut sebagai janda Patih Samboja, patih Blambangan, dan tentunya janda pedagang ini Islam, karena menyekolahkan anak angkatnya ini kepada orang suci dari Ngampel Denta. Dalam versi yang dikutip Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri dalam Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad (2000), Patih Samboja adalah Ki Samboja saja, abdi dalem istana Blambangan yang diusir raja, pindah ke Majapahit, dan diberi kedudukan di Gresik. Sepulang dari Melaka, Raden Paku membuka perguruan di Giri yang berarti gunung, tetapi bukan hanya Sunan Giri namanya, melainkan juga Prabu Satmata

Kuasa Rohani, kuasa duniawi

Bagi Graaf dan Pigeaud, dongeng semacam itu mendukung berbagai penemuan lain, bahwa penyebaran Islam terhubungkan dengan pelayaran serta perdagangan di laut, khususnya dengan pedagang-pedagang mancanegara. Menurut mereka, "Apabila Samboja boleh disamakan dengan Kaboja, Cambodia, maka suami Nyai Gede Pinatih mungkin juga seorang asing dari seberang laut, seperti juga ayah kandung Raden Paku." Dalam cerita tutur Jawa disebutkan bahwa Nyai Gede Pinatih sebagai pengasuh Prabu Satmata meninggal tahun 1477; pembuatan kedaton atau istana berlangsung 1485, disusul pembuatan "kolam" tiga tahun kemudian; dan pada 1506 berpulanglah Prabu Satmata.

Adapun "kolam" diduga adalah "taman" yang memang termasuk di dalamnya adalah danau tiruan, dengan pulau kecil di tengahnya inilah taman air (taman sari) yang merupakan bagian dari kompleks istana raja Jawa. Artinya, bangunan tersebut adalah legitimasi kekuasaan duniawi, dan jika Prabu Satmata adalah juga Sunan Giri, berarti kekuasaan rohani tersatukan dengan kekuasaan duniawi. Dalam komentar Graaf dan Pigeaud, "Memiliki taman semacam ini tentu menambah wibawa dan kekuasaan pemimpin agama pertama di Giri."

Lebih jauh kedua sejarawan membahas, "Tindakan Prabu Satmata dari Giri itu (seperti juga yang dilakukan para wali Islam di Jawa pada zaman yang sama) dapat dianggap sebagai usaha memantapkan dan menguatkan pusat keagamaan dan kemasyarakatan ini bagi kepentingan para pedagang Islam yang sering kurang semangat agamanya." Para pedagang ini keturunan asing, berasal dari golongan menengah, dan diduga sudah tinggal di Jawa sejak abad ke 14, baik di kota besar maupun kecil. "Dibangunnya kedaton dan dipakainya nama gelar raja (Prabu Satmata) boleh dianggap sebagai gejala telah meningkatnya kesadaran harga diri pada wali dan pemimpin kelompok keagamaan Islam yang lebih muda; lebih dari kelompok-kelompok yang lebih tua, merasa dirinya anggota masyarakat Islam internasional," tulis Graaf dan Pigeaud, lagi.

Perhatikan bahwa konsentrasi para sejarawan ini bukanlah personifikasi Sunan Giri itu sendiri, melainkan bagaimana personifikasi Sunan Giri dalam legenda menunjukkan fenomena agama dalam sejarah Jawa. Tentang kediaman di puncak bukit misalnya disebutkan, "... dialah orang pertama di antara ulama yang membangun tempat berkhalwat dan tempat berkubur di atas bukit." Dibahas, "Tempat keramat di atas gunung tentu sudah dianggap penting dalam kehidupan keagamaan sebelum zaman Islam di Jawa Timur/Dapat diduga bahwa kelompok-kelompok 'kafir' yang memiliki satu atau beberapa 'bukit keramat' sebagai pusat keagamaannya telah memberikan perlawanan bersenjata waktu orang-orang alim Islam datang untuk menjadikan gunung keramat mereka menjadi daerah Islam. Apakah Giri dekat Gresik sebagai pusat kehidupan Islam dan sebagai tempat penghayatan agama bagi orang-orang Islam beriman telah didirikan sekadar mencontoh 'gunung keramat' di Jawa Timur? Ataukah didirikan di bekas 'gunung keramat'?"

Personifikasi Nyai Gede Pinatih juga memungkinkan spekulasi bahwa pembangunan kedaton Giri mendapat dukungan dana komunitas dagang tersebut. Dalam bahasa Al Qurtuby yang khusus meneliti tentang peranan Tionghoa sebagai penyebar Islam, "Bahkan di Giri, back up dana Giri Kedaton adalah seorang Cina Muslimah dan saudagar kaya bernama Nyai Gede Pinatih yang sekaligus ibu angkat Sunan Giri."

Graaf dan Pigeaud menegaskan, pemimpin agama di Giri,"... sebenarnya berasal dari kalangan pelaut dan pedagang asing, yang tinggal di kota pelabuhan Gresik. Cerita Jawa tentang awal mula keturunan Giri tidak memberitakan apa-apa tentang pemilikan tanah atau wilayah pertanian." Ini juga mengukuhkan posisi Gresik dan Surabaya sebagai kota pelabuhan, tempat para pembawa agama Islam yang berdagang mendarat, dan baru dari sini menyebarkannya ke barat.

Sunan Giri yang mana?

Sunan Dalem tercatat sebagai penguasa kedua pada 1506. Dalam legenda, Prabu Satmata dan Sunan Dalem suka dicampuradukkan. Diduga, pada masa Sunan Dalem baru dimulai sikap permusuhan antara Majapahit dan Giri, menandakan mulai ditanggapinya pengislaman di kota-kota pelabuhan sebagai bahaya bagi kekuasaan Majapahit. Disebutkan dalam legenda bahwa Majapahit menuduh para pemimpin agama di Giri berusaha merebut kekuasaan duniawi di kota pelabuhan tua Gresik; dan betapa Sunan Dalem "memperlihatkan ketidaksenangannya untuk memberi penghormatan kepada maharaja 'kafir' di Majapahit sebagai penguasa tertinggi, meskipun Tuban, yang sama tuanya dengan Giri-Gresik, dan waktu itu sudah Islam, melakukannya." Menurut Graaf dan Pigeaud, "Keyakinan beragama yang teguh pada keturunan Giri ini mungkin disebabkan ia keturunan seorang cendekiawan agama."

Cerita tentang Sunan Giri yang ikut dalam pendudukan kota tua Majapahit, yang dalam sejarah diduduki orang-orang Islam tahun 1527, beredar dari abad ke-17 atau ke-18, itu pun di Jawa Tengah. Jika "fiksi" ini mau "dicocokkan" dengan fakta, sebetulnya tidak terhubungkan dengan Sunan Giri yang Raden Paku murid Sunan Ngampel Denta, melainkan Sunan Dalem ini. Yang lebih bisa dipercaya justru cerita tutur atas konflik dengan Sengguruh (sekarang Malang), yang disebutkan pernah menduduki Giri pada 1535, sehingga Sunan Dalem menyingkir ke Gumena, sementara orang-orang "kafir" dari selatan tadi merusak antara lain kuburan Prabu Satmata.

Konon kawanan lebah kemudian keluar dari makam itu dan berhasil mengusir mereka kembali ke Sengguruh. Faktanya, pada 1535 pasukan Demak menduduki Pasuruan, padahal Sengguruh termasuk wilayah Pasuruan, membuat mereka harus melepaskan Giri dan kembali agar tak terputus hubungan dengan markas besarnya di pedalaman.

Jatuhnya Majapahit diduga membuat para ulama Giri merasa merdeka dan bebas, juga dari raja Islam yang baru di Demak. Dalam pendudukan Tuban tahun 1527 dan Surabaya tahun 1531 oleh Sultan Tranggana dari Demak, tidak terdapat berita didudukinya juga Giri-Gresik. Mengingat hubungan erat Gumena-Gresik, yang dalam catatan Tome Pires dalam Suma Oriental dikatakan selalu saling bertengkar, Graaf dan Pigeaud menyebutkan bahwa "Sunan Dalem di Giri itu pada 1535 telah mengambil keuntungan politik dari rasa takut yang ditimbulkan oleh kedatangan laskar 'kafir' dari Sengguruh untuk memperkuat kekuasaannya sendiri di kota pelabuhan itu." Berdirinya mesjid di Gumena pada 1539, dalam cerita tutur, adalah pengukuhan kekuasaan para ulama Giri di Gresik.

Yang terekemuka: Sunan Giri Prapen

Pemimpin agama yang paling terkemuka dari Giri adalah penguasa keempat-penguasa ketiganya, putra Sunan Dalem yang diceritakan wafat tahun 1546 hanya memimpin dua tahun, lantas diberi gelar Sunan Seda-ing-Margi. Sejarawan G.P.Rouffaer dalam Encyclopaedie (1930) menduga Sunan Giri ketiga ini gugur tahun 1548 ketika ikut Sultan Tranggana dari Demak menyerbu kerajaan "kafir" di Panarukan -meski kerajaan ini sejak lama mempunyai hubungan dengan pedagang-pedagang Gresik. Nyaris tak ada fakta maupun fiksi tentang Sunan Giri ketiga ini.

Sunan Giri keempat yang menggantikannya adalah Sunan Prapen, kakaknya, yang mendapat nama itu dari tempat ia dimakamkan. Berbeda dengan adiknya, masa kekuasaannya panjang sekali, antara 1548 sampai sekitar 1605. Pelaut Belanda Olivier van Noort pada 1601 mampir di Gresik dan mendengar (bukan melihat tentu) bahwa raja tua itu berusia 120 tahun, dan seperti dikutip Graaf dan Pigeaud dari De Reis om de Wereld 1598-1601 (1926)," ...istri-istrinya yang banyak itu mempertahankan hidupnya dengan menyusuinya seperti seorang bayi." Lanjutnya usia sang raja juga tercatat dalam Berita Cina, yang mengabarkan usianya sebagai lebih dari seratus tahun. Ia meninggal tahun 1605.

Tahun 1549, setahun setelah berkuasa, ia membangun lagi kedaton, karena bangunan yang didirikan kakeknya dianggap tidak setara lagi dengan kejayaan mereka. Jatuhnya Demak sepeninggal Sultan Tranggana pada 1546 jelas mempunyai pengaruh. Perlu didirikan bangunan besar sebagai tanda kemerdekaan. Berdirinya Mesjid Kudus pada 1549 boleh diambil sebagai bandingan atas penanda sikap merdeka dari kekuasaan Demak ini. Namun meski Sunan Giri Prapen, demikian ia populer di kalangan peziarah, tercatat paling berjasa memperluas pengaruh kekuasaan duniawi dan rohani Giri, ia tidak mengganggu urusan politik penguasa-penguasa pedalaman Jawa Tengah. Bahkan di Jawa Timur pun tidak. Ia berekspansi dalam hubungan dagang melalui laut ke arah timur.

Para pelaut Gresik membawa nama Giri ke pantai-pantai kepulauan Nusantara bagian timur pada abad ke-16 dan ke-17, suatu tanda terdominasinya Gresik oleh para pemimpin agama Giri pada masa Sunan Prapen. Namanya disebut dengan jelas dalam kisah-kisah di Lombok, bagaimana ia setelah singgah di Pulau Sulat dan Sungian, mengislamkan raja "kafir" di Teluk Lombok, memasuki Tanah Sasak di barat daya, lantas melanjutkan pelayaran ke Sumbawa dan Bima. Namun kisah yang berasal dari Babad Lombok ini juga menunjukkan gagalnya usaha penyebaran ekonomi dan budaya Jawa mereka di Bali Selatan, karena perlawanan Dewa Agung sang raja Gelgel, seperti dikutip oleh Roo de la Faille dalam Lombok: Studie over Lomboksch adatrecht (1928).

Bukan hanya di timur, dalam Babad Lombok juga disebut tentang murid yang belajar di Giri menjadi pemimpin agama di Makassar, meski asalnya sendiri dari Minangkabau. Nama murid itu, Dato ri Bandang, ternyata juga tersebut-sebut di Kutai, Kalimantan Timur, dalam De Kroniek van Koetai (C.A.Mees, 1935); sementara dalam penelitian S.G.Veld tahun 1882, di Pasir, Kalimantan Selatan, tersebutlah perkawinan "pangeran-pangeran dari Giri dengan putri-putri setempat"; bahkan Raja Matan dari Sukadana yang memerintah tahun 1590, seperti dicatat G.Muller tahun 1843, memakai nama Giri Kusuma, yang diduga keras sebagai bukti pengaruh Giri. Di Maluku, dalam Hikajat Hitu karya Rijali, tercatat tentang perjanjian tahun 1565 dengan "Raja Giri" yang juga disebut "Raja Bukit", mengenai penempatan pasukan Jawa selama tiga tahun, untuk melindungi mereka dari kemungkinan adanya serangan Portugis. Raja Ternate yang memerintah antara 1486 sampai 1500 disebut pernah menjadi pejabat di Giri, dan dengan pedangnya menetak kepala seorang Jawa, yang mengamuk dan mau menyerang Sunan Giri, sampai belah dan menembus ke batu karang-dikisahkan betapa bertahun kemudian masih kelihatan bekas pedangnya di batu itu.

Antara politik dan agama

Penting untuk diketahui bahwa kekuasaan rohani Sunan Giri Prapen diakui oleh raja-raja Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Terdapat cerita yang dapat dipercaya, betapa pada 1581 upacara pelantikan Sultan Pajang yang juga sudah tua berlangsung di Giri Kedaton. Seperti dibahas secara rinci dalam karya De Graaf yang lain, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati (1954), upacara yang dihadiri oleh sebagian besar penguasa Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura ini bermakna penting bagi keberadaan Sunan Giri Prapen sebagai negarawan-bahwa dalam kepemimpinan rohaninya, berlangsung ketertiban pemerintahan duniawi. Suatu kondisi yang terganggu semenjak Senapati mulai memerintah Mataram pada 1584.

Sebegitu jauh, Sunan Giri menjadi pendamai antara Surabaya yang menjadi pusat perlawanan raja-raja Jawa Timur, dan Mataram yang berekspansi ke mana-mana. Sesudah tahun 1589, Giri Kedaton menjadi tempat berlindung raja-raja Jawa Tengah dan Jawa Timur yang tanahnya diduduki Mataram. Sikap ini hanya bisa dilakukan justru karena tidak bermusuhan, bahkan memihak Mataram itu - toh tidak bisa dipercaya kisah ramalan Sunan Giri tentang akan berkuasanya Mataram di seluruh Jawa. Cerita itu beredar abad ke 17 dan ke-18, lebih sebagai fiksi atau "politik dongeng" para abdi dalem Mataram, karena Sunan Giri adalah sahabat para kerabat Sultan Pajang.

Tercatat tentang niatnya untuk membuat cungkup di atas makam Prabu Satmata, yang mendirikan dinasti pemimpin-pemimpin rohani di Giri. Pada tahun 1590 itu rupanya terbetik kesadaran, betapa kekuasaannya di Jawa Timur berada di atas landasan rohani teguh seorang ulama yang adalah kakeknya tersebut. Selama dua abad, para sunan di Giri mampu mempertahankan kemerdekaan terhadap serangan raja-raja pedalaman Majapahit dan Mataram.

Menurut Graaf dan Pigeaud, "Keraton di Giri sungguh besar sumbangannya untuk kemajuan peradaban Islam di Pesisir, yang masih tetap melanjutkan tradisi kebudayaan 'kafir' pra-Islam." Mereka juga mencatat bahwa, "Perdagangan antarpulau, kekayaan, dan pengaruh politik rupanya lebih diperhatikan oleh para sunan di Giri daripada hidup saleh secara Islam dan mempelajari ilmu agama."

Ketika Sultan Agung berkuasa, Panembahan Kawis Guwa dari Giri dibawa ke Mataram sebagai tawanan pada 1636. Agaknya di sanalah akhir wibawa politik Giri Kedaton, sebagai kekuasaan duniawi maupun kekuasaan rohani. Kebalikan dari Giri, tak puas dengan ekspansi kekuasaan duniawi, raja-raja Mataram juga mau jadi penguasa rohani seperti ditunjukkan oleh denah keraton mereka, bahwa Mesjid Agung dan kauman (pemukiman ulama dan pengikutnya) terintegrasi dalam sistem pemerintahan kerajaan. Perhatikan pula istilah Panembahan yang tertambahkan di depan nama Senapati.

Denys Lombard menuliskan dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2, Jaringan Asia (1990), "Akhirnya Sultan Agung menguasai Giri, tempat keramat lama, dan pengikut - pengikut Sunan diusirnya./ Menarik untuk dicatat bahwa di antara pembela-pembela Giri terdapat pasukan-pasukan Cina. Keturunan Sunan Giri yang penghabisan, dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yang diusir dari tempat leluhur mereka dahulu memegang pemerintahan, konon lama mengembara dengan menyamar menjelajahi seluruh Pulau Jawa; kisah pengembaraan mereka itulah yang menjadi plot Serat Cabolang dan Serat Centini, puisi panjang yang dianggap mengungkapkan inti kearifan dan filsafat Jawa...."

Itulah akhir riwayat dinasti pemuka agama di Giri yang pengaruhnya pernah begitu besar. Tinggal para pengemis kini, menengadahkan tangan kepada para peziarah yang mendaki.

(4) SUNAN BONANG, WALI YANG MEMBUJANG DENGAN EMPAT MAKAM


Mereka yang melacak jejak Sunan Bonang setidaknya akan mendapatkan tiga lokasi pemakaman, yang jika para juru kuncinya ditanggapi terlalu serius, tentu akan menjadi bingung – karena tiada cara untuk membuktikan kesahihannya.

Kerancuan ini disebabkan antara lain karena sejak awal tidak terbedakan, mana yang makam dan mana yang petilasan: tempat para wali pernah tinggal, mengajar, atau sekadar lewat saja. Meski begitu, petilasan boleh dianggap tak kalah penting dengan makam, karena makam sebetulnya hanyalah tempat para beliau dikubur, sedangkan petilasan justru merupakan atmosfer lingkungan hidup seorang wali ratusan tahun silam.

Apabila petilasan yang menjadi ukuran, maka jumlah lokasi yang terhubungkan dengan Sunan Bonang menjadi empat.

Kisah empat lokasi

Lokasi pertama, dan yang paling populer, adalah makam di belakang Mesjid Agung Tuban. Barang siapa berkunjung ke sana akan melihat suatu kontras, antara Mesjid Agung Tuban yang arsitekturnya megah dan berwarna-warni itu, dengan astana masjid Sunan Bonang di belakangnya yang sederhana. Di dekat astana mesjid yang mungil itulah terletak makam Sunan Bonang. Untuk mencapai tempat itu kita harus menyusuri gang sempit di samping mesjid besar, bagaikan perlambang atas keterpinggiran alam mistik dalam kehidupan pragmatik masa kini.

Lokasi kedua adalah petilasan di sebuah bukit di pantai utara Jawa, antara Rembang dan Lasem, tempat yang dikenal sebagai mBonang, dan dari sanalah memang ternisbahkan nama sang sunan. Di kaki bukit itu konon juga terdapat makam Sunan Bonang, tanpa cungkup dan tanpa nisan, hanya tertandai oleh tanaman bunga melati. Namun atraksi utama justru di atas bukit, tempat terdapatnya batu yang digunakan sebagai alas untuk shalat – di batu itu terdapat jejak kaki Sunan Bonang, konon kesaktiannya membuat batu itu melesak.

Situs ini berdampingan dengan makam Putri Cempo (Cempa, Campa) dan ini terjelaskan oleh cerita tutur bahwa Sunan Bonang adalah putra Sunan Ngampel Denta yang berasal dari Cempa tersebut – seperti teruraikan dalam Intisari bulan lalu. Sunan Bonang telah memindahkan makam putri Darawati atau Andarawati yang merupakan maktuanya tersebut dari makam lama di Citra Wulan (bertarikh Jawa 1370 alias 1448 Masehi, mungkin maksudnya di wilayah ibukota Majapahit) ke Karang Kemuning, Bonang, tak dijelaskan kenapa. Namun keterangan ini muncul sebagai catatan kaki atas cerita tentang perampasan barang-barang berharga Demak ketika direbut Mataram, dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974) karya Graaf dan Pigeaud.

Lokasi ketiga adalah makam Sunan Bonang di Tambak Kramat, Pulau Bawean. Ketika Intisari melacak ke pulau terpencil antara Jawa dan Kalimantan tersebut, terdapat dua makam Sunan Bonang di tepi pantai – dan tiada cara untuk memastikan mana yang lebih masuk akal, meski untuk sekadar “dikira” sebagai makam Sunan Bonang. Salah satu makam memang tampak lebih terurus, karena dibuatkan “rumah” dan diberi kelambu – sedang makam satunya masih harus bersaing pengakuan dengan spekulasi lain bahwa itu sebenarnya makam seorang pelaut dari Sulawesi yang kapalnya karam di sekitar Bawean.

Dengan begitu, sudah terdapat tiga situs yang disebut sebagai makam Sunan Bonang. Tentang makam di Bawean terdapat legenda yang bisa diikuti dari Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad (2000) karya Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri. Konon setelah Sunan Bonang wafat di Bawean, murid-muridnya di Tuban menghendaki agar Sunan Bonang dimakamkan di Tuban, tetapi para santri di Bawean berpendapat sebaiknya dimakamkan di Bawean saja, mengingat lamanya perjalanan menyeberangi laut. Syahdan, para penjaga jenazah di Bawean telah disirep (ditidurkan dengan mantra) oleh mereka yang datang Bawean telah disirep (ditidurkan dengan mantra) oleh mereka yang datangmalam hari dari Tuban.

Dikisahkan betapa kuburan dibongkar {versi lain, dalam Misteri Syekh Siti Jenar: Peranan Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (2004) karya Hasanu Simon, jenazah masih di tengah ruangan dan jenazah dibawa berlayar ke Tuban malam itu juga, untuk dimakamkan di dekat astana mesjid Sunan Bonang. Meskipun begitu, menurut para santri Bawean, yang berhasil dibawa ke Tuban sebetulnya hanyalah salah satu kain kafan; sebaliknya menurut para santri Tuban, yang terkubur di Bawean juga hanyalah salah satu kain kafan.

Lokasi keempat adalah sebuah tempat bernama Singkal di tepi Sungai Brantas di Kediri. Konon dari tempat itu, seperti dituturkan dalam Babad Kadhiri, Sunan Bonang melancarkan dakwah tetapi gagal mengislamkan Kediri. Ketika laskar Belanda-Jawa pada 1678 menyerang pasukan Trunajaya di daerah itu, mereka menemukan mesjid yang digunakan sebagai gudang mesiu, seperti dilaporkan Antonio Hurdt. Menurut Graaf dan Pigeaud, “Adanya mesjid yang cukup penting di Singkal pada abad ke-17 menyebabkan legenda yang mengisahkan tempat itu sebagai pusat propaganda agama Islam pada permulaan abad ke-16 menjadi agak lebih dapat dipercaya.” Tentang Babad Kadhiri itu sendiri, yang disebutkan telah dibicarakan G.W.J. Drewes, dianggap Graaf dan Pigeaud sebagai “kurang penting bagi sejarawan, yang mencari peristiwa-peristiwa yang serba pasti.”

Meskipun Hasanu Simon meragukan Sunan Bonang pernah pergi ke Bawean, berdasarkan faktor usia dan kesulitan perjalanan masa lalu, tersebutnya Sunan Bonang di berbagai tempat ini membenarkan penemuan Graaf dan Pigeaud. “Menurut cerita, Wali Lanang di Malaka memberikan tugas-tugas berbeda tetapi senada kepada kedua muridnya: Santri Bonang pada umumnya harus menyebarkan (dan memang, kenyataannya kelak Sunan Bonang banyak menjelajahi daerah-daerah), tetapi Raden Paku harus menetap di Giri (dan tentang dia tidak diberitakan perjalanan-perjalanan jauh).” Kedua sejarawan ini juga sama sekali tidak menghubungkan Sunan Bonang dengan Bawean.

Siapakah Sunan Bonang?
Berdasarkan cerita tutur dari berbagai sumber tersebutkan Sunan Bonang adalah putra Sunan Ngampel Denta dari istrinya yang bernama Nyai Ageng Manila (sumber lain menyebut Dewi Candrawati, putri dari Majapahit), dan kelak ia menjadi imam yang pertama di Mesjid Demak. Diperkirakan lahir antara 1440 atau 1465, dan meninggal 1525, masa pelajaran ditempuh di bawah ayahnya, dengan saudara seperguruan Raden Paku yang kelak menjadi Sunan Giri. Namanya sendiri adalah Makdum Ibrahim dan karena tidak pernah menikah, atau setidaknya tak berputra, ia juga disebut Sunan Wadat Anyakra Wati.

Konon ia dan Raden Paku bermaksud naik haji ke Mekah, dan sebelumnya berguru kepada Abdulisbar atau Dulislam di Pasai (versi lain Wali Lanang, kali ini ayah Raden Paku, di Malaka), tetapi yang kemudian diminta kembali ke Jawa oleh gurunya. Menurut Abdul Hadi WM dalam Sunan Bonang, Perintis dan Pendekar Sastra Suluk (1993), “Pada tahun 1503, setelah beberapa tahun jabatan imam mesjid dipegangnya, dia berselisih paham dengan Sultan Demak dan meletakkan jabatan, lalu pindah ke Lasem. Di situ dia memilih Desa Bonang sebagai tempat tinggalnya. Di Bonang dia mendirikan pesantren dan pesujudan (tempat tafakur), sebelum akhirnya kembali ke kampung halamannya, Tuban.”

Sangat terkenal kisahnya sebagai wali yang memberikan Raden Sahid alias Brandal Lokajaya suatu pencerahan, sehingga kelak menjadi pendakwah sinkretik ulung bernama Sunan Kalijaga. Namun dalam Serat Dermagandul yang baru ditulis tahun 1879, yang bersikap negatif terhadap para wali, seperti diteliti Denys Lombard dalam Nusa Jawa, Silang Budaya 2: Jaringan Asia (1990), Sunan Bonang “digambarkan sebagai tokoh kasar dan tidak tahu malu.” Tentu saja ini bagian dari “politik dongeng” yang sering bisa dilacak atas berbagai legenda, mengingat tokoh Sabdopalon dan Nayagenggong dalam karya itu digambarkan menolak masuk Islam.

Sementara itu, sejauh cerita yang menyebut Sunan Bonang sebagai putra Sunan Ngampel Denta bisa dipercaya, Sunan Bonang tentu tergolong keturunan orang Cam – tepatnya keturunan orang asing yang menyebarkan Islam di Jawa. Mungkinkah ini yang membuat orang berspekulasi bahwa nama Sunan Bonang berasal dari Lim Bun An bahkan juga Bong Ang atau Bong Bing Nang, sementara Sunan Ngampel Denta tersebut sebagai Bong Swie Hoo? Tentu maksudnya bahwa para wali ini adalah keturunan Tionghoa, seperti disebut tanpa argumentasi meyakinkan dalam Tuanku Rao (1964) oleh Mangaraja Onggang Parlindungan maupun dalam Kalidjaga (1956) oleh Hadiwidjaja.

Spekulasi ini hanya meyakinkan sejauh menyangkut Raden Patah, sultan Demak yang pertama, seperti terbahas dalam Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI (2003) karya Sumanto Al Qurtuby. Tentang para wali, jangankan sebagai keturunan Tionghoa, sedangkan keberadaan mereka secara historik saja hanya bisa dibeberkan dengan spekulasi yang sangat hati-hati, melalui analisis teliti terhadap sumber-sumber yang nyaris merupakan dongeng. Para sejarawan lebih cenderung merujukkan cerita tentang ketionghoaan itu, untuk menafsir fakta keberadaan komunitas Muslim Tionghoa, yang sudah bertebaran di berbagai daerah pantai di Jawa Timur sejak abad ke-15. Hilda Soemantri dalam Majapahit Terracotta Art (1997) misalnya menunjuk keramik “orang berturban” di antara keramik “orang Tartar”, “Tionghoa tertawa”, maupun “Tionghoa bertopi”, yang menunjukkan ketertarikan para seniman keramik Majapahit kepada orang-orang asing, termasuk yang beragama Muslim, di daerah pantai.

Ini tentu saja mendukung “teori Cina” sebagai salah satu teori tentang kedatangan Islam di Pulau Jawa, terutama melalui Tuban dan Gresik. Pengembara dari Tiongkok, Ma Huan, mencatat adanya Xin Cun (Kampung Baru) di Gresik yang berpenduduk seribu orang Tionghoa asal Guangdong dan Zhangzhou. Sebegitu jauh, pelacakan atas keberadaan Sunan Ngampel Denta, yang disebut sebagai ayah Sunan Bonang, hanya terujuk kepada keberadaan bangsa Cam dan terdapatnya poros Jawa Timur-Campa – dan kitab seperti Serat Dermagandul adalah bentuk “perlawanan” kepercayaan lama setelah Islam menjadi dominan di Jawa pada abad ke-19.

Tentang “kitab Bonang”
Sarjana Belanda B.Schrieke menulis tesis Het Boek van Bonang pada 1916, seperti mengandaikan bahwa manuskrip yang dibahasnya adalah karya atau ajaran Sunan Bonang. Sayang sekali bahwa penamaan “Kitab Bonang” itu tidak dianggap tepat, juga oleh Graaf dan Pigeaud, karena tidak ada bukti meyakinkan bahwa naskah itu memang ditulis oleh Sunan Bonang. Meski begitu, disetujui bahwa manuskrip tersebut memberi gambaran tentang ajaran Islam macam apa yang dominan didakwahkan pada abad ke-16, jadi mungkin pula diajarkan seorang wali seperti Sunan Bonang, sebagai pengenalan pertama kepada orang-orang yang jika tidak memeluk agama Buddha atau Hindu, tentu memeluk kepercayaan sebelum agama besar yang mana pun tiba di Jawa.

Tesis Schrieke itu kemudian dikoreksi oleh Drewes, dan diberi terjemahan bahasa Inggris sebagai The Admonitions of Seh Bari (1969). Manuskrip yang dimaksud, seperti diuraikan Abdul Hadi WM, rupanya terdiri dari sejumlah suluk – suatu genre dalam kesusastraan Jawa, Sunda, dan Madura yang memang muncul pertama kali abad ke-15 bersama penyebaran Islam. Bukan kebetulan agaknya, karena suluk berarti jalan kerohanian, isinya adalah ajaran-ajaran tasawuf. Dalam hal manuskrip terbincangkan ini, khususnya yang berjudul Suluk Wujil (koreksian Purbatjaraka terhadap Schrieke yang menyebutnya Suluk Dulil), disebutkan Purbatjaraka sebagai ajaran rahasia untuk orang-orang tertentu saja. Rahasia artinya tidak begitu saja bisa dipahami, seperti dapat diperiksa dari kutipan-kutipan berikut:

“Tak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda hingga tua renta. Mereka tak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi wali.

“Apabila seseorang sembahyang di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang yang bersembahyang, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang itu saja. Namun jika terdapat 10.000 orang bersembahyang di sana, maka Ka’bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia akan dimasukkan ke sana, maka seluruh dunia akan tertampung juga.”

Teks seperti ini, disebutkan Abdul Hadi WM sebagai, “… kerap menimbulkan persoalan. Baik golongan kebatinan maupun ortodoks jarang dapat memberi tafsir yang sesuai dan bermanfaat terhadap hakikat ajaran para sufi.” Manuskrip ini disalah tafsirkan Schrieke sebagai karya Sunan Bonang, kemungkinan besar karena tokoh bernama Sunan Bonang muncul dalam Suluk Wujil, sebagai guru tasawuf tokoh Wujil yang berarti cebol. Purbatjaraka dalam Kepustakaan Djawa (1952) menduga karya itu ditulis oleh “sastrawan Jawa yang menjadi murid sang wali”. Sementara berdasarkan penelitiannya, menurut Drewes penulisnya adalah Seh Bari dari Karang, daerah Banten. Terutama dalam suluk tersebut, unsur-unsur kerohanian Jawa klasik dan tasawuf Islam terpadukan. Kisahnya sendiri mewadahi gagasan zaman peralihan: Wujil, seorang terpelajar Majapahit yang meninggalkan aga Hindu dan beralih menjadi penganut Islam.

Dengan demikian, meski dari sudut ilmu sejarah tidak bisa dipastikan bahwa Sunan Bonang yang menulis Suluk Wujil, dari manuskrip tersebut tergambarkan segi-segi wajd (ekstase mistis) dan kasyf (tersingkapnya mata batin) yang akan membawa seseorang kepada kesadaran supralogis, atau bisa disebut dimensi mistik, yang layak diduga sebagai daya tarik bagi orang-orang Jawa abad ke-15 dan 16 untuk menerima Islam.


(5) SUNAN KUDUS, KETEGASAN SEORANG WALI



Dalam sajak penyair sufi Melayu terkenal Hamzah Fansuri terdapat kutipan: Hamzah Fansuri di dalam Mekkah/Mencari Tuhan di Bait al-Ka’bah/ Di Barus ke Kudus terlalu payah/ Akhirnya dapat di dalam rumah

Perhatian bahwa penyair besar dan guru tasawuf yang diyakini hidup antara pertengahan abad ke-16 dan awal abad ke-17 itu menyebut Kota Kudus sebagai salah satu alternatif dalam proses mencari Tuhan. Mengingat Hamzah Fansuri sendiri tinggal di Barus, Kota pelabuhan di Sumatera Utara, penyebutan tersebut membuktikan posisi Kudus sebagai kota suci, atau tepatnya pusat keagamaan, yang sudah dikenal. Ternyata, nama Kudus itu sendiri diberikan dengan sadar untuk mengesahkan keberadaannya sebagai pusat keagamaan tersebut, seperti tertulis dalam inskripsi di masjid dengan menaranya yang berarsitektur khas gaya Hindu: “… telah mendirikan mesjid Aqsa ini di negeri Quds …” Adalah lidah Jawa yang memuntir istilah Arab al-Quds yang berarti Baitulmukadis menjadi Kudus.

Nama kota itu sebelumnya memang bukan Kudus, melainkan Tajug. Ketika masih bernama Tajug, tempat itu dalam buku De Graaf dan Pigeaud disebut-sebut “digarap” oleh seorang Tionghoa Muslim bernama The Ling Sing, yang kemudian disebut Mbah Telingsing. Tajug itu sendiri berarti “rumah-rumahan (di atas makam) dengan atap meruncing”, gaya bangunan ini sejak lama rupa-rupanya sudah digunakan untuk tujuan-tujuan keramat. Jadi, Kudus yang berasal dari Tajug ini boleh diandaikan tempatnya telah lama dimaknai dengan sifat kekeramatan tertentu.

Adalah Sunan Kudus yang dianggap membuatnya “resmi” sebagai kota suci. Namun Sunan Kudus manakah yang kita bicarakan ini? Penyelidikan dari sejumlah buku menunjukkan setidaknya sampai tiga orang telah terkacaukan sebagai Sunan Kudus. Dalam kisah mengenai Sunan Muria pada Intisari edisi November lalu, disebutkan tentang salah seorang walisanga angkatan ke-3 yang bernama Ja’far Shodiq (atau Jafar Sidik) dan akan disebut Sunan Kudus. Nah, ini bisa disebut sebagai “Sunan Kudus Palestina” karena seperti dicatat dalam buku Hasanu Simon, disebut berasal dari Palestina dan datang di Jawa pada 1435.

Juga kadang terkacaukan sebagai Sunan Kudus adalah Sunan Ngudung, panglima perang balatentara Demak yang gugur dalam penyerbuan ke Majapahit, yang kemudian digantikan putranya, juga bernama Ja’far Shodiq, yang berhasil membawa Demak meraih kemenangan – inilah Sunan Kudus ketiga, dan yang paling sering dirujuk, sebagai wali paling tegas dalam penegakan syariat dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan.

Namun dalam ketegasannya, setidaknya seperti terkisahkan dalam legenda, Sunan Kudus ini juga disebutkan sangat toleran terhadap tradisi non-Islam yang masih dianut penduduk ketika mula-mula berdakwah, yakni penghormatan agama Hindu terhadap sapi. Demi menjaga perasaan, disebutkan ia menganjurkan kepada yang sudah masuk Islam agar jangan menyembelih sapi untuk keperluan pesta, melainkan kerbau saja. Agaknya ini juga menjelaskan betapa sampai sekarang di Kudus masih akan ditemukan orang menjual soto kerbau dan sate kerbau, yang rupanya juga menjadi ciri kota itu.

Menyangkut angka-angka tahun, masih terjadi kekaburan mengenai siapa yang membangun Menara Kudus terkenal itu. Di atas menara terdapat penanda tahun (candrasengkala) gapuro rusak ewahing jagad yang berarti tahun 1685. Padahal masa pemerintahan Raden Patah yang berkuasa semasa hidup Sunan Kudus adalah 1462 – 1518, dan diduga Sunan Kudus wafat antara 1518 atau 1550. Dengan begitu terdapat jarak satu abad antara kematian Sunan Kudus dan pembangunan menara masjid, dan berarti gugur pula legenda yang menyatakan menara tersebut adalah jarahan yang dipindahkan dari depan Keraton Majapahit.

Tahun pembangunan masjid itu sendiri, seperti tertera, adalah 1549, juga tidak cocok dengan masa hidup Sunan Kudus. Akibatnya timbul dugaan, kata Arab Quds memang datang dari Ja’far Shodiq asal Palestina tadi, bahkan mungkin pula Mbah Telingsing. Tidak ada satu pun yang pasti -kecuali bahwa Menara Kudus sampai hari ini masih berdiri.

Musafir dari Barat, Antonio Hurdt, dalam ekspedisi ke Kediri tahun 1678, seperti dilacak De Graaf dan Pigeaud, menyatakan kekaguman atas “menara raksasa, suatu bangunan yang kukuh tampan dan yang arsitekturnya jelas diilhami oleh candi-candi zaman pra-Islam.” Perhatikan bahwa angka tahun itu tidak selaras dengan candrasengkala yang terdapat di menara.
Mengapa Sunan Kudus pindah dari Demak?

Peneliti Widji Saksono dalam Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisanga (1995) menyebut angka pembangunan masjid tahun 1537, dan ini membawa kepada cerita lain, seperti bisa dibaca dari buku Hasanu Simon: ketika Sultan Demak dijabat oleh Trenggana dan masjid tersebut dibangun, Ja’far Shodiq yang belum bergelar Sunan Kudus tidak lagi menjabat panglima perang. Keadaan ini ditafsirkan akibat perselisihan paham dengan Sultan, yang kemungkinan telah menurunkan jabatannya sebagai penghulu Masjid Demak. Maka berpindahlah Ja’far Shodiq ke Kudus. Disebutkan suatu ketika beliau memimpin rombongan naik haji ke Mekah, sehingga ia juga disebut amirul hajj dan dikenal sebagai ahli fiqih. Masuk akal jika ditafsirkan, Sunan Kudus seperti ingin memindahkan wibawa keagamaan dari Demak ke Kudus. Disebut keagamaan, tapi tak lebih dan tak kurang politik jua adanya. Artinya lebih serius dibandingkan dengan sekadar perkara perbedaan pendapat tentang awal bulan puasa, seperti disebutkan dalam tambo Jawa yang dikutip De Graaf dan Pigeaud.

Riwayat Sunan Kudus memang diwarnai oleh berbagai manuver politik. De Graaf dan Pigeaud menguraikan, mungkin saja Sunan Kudus meninggalkan Demak “karena keinginan untuk hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk memperdalam ilmu ketuhanan dan melakukan karya-karya yang direstui Tuhan, di luar lingkungan keraton (Demak)” – dan keputusan itu diperkirakan beberapa tahun sebelum 1549, tahun keterteraan angka di mihrab masjid besar Kudus.

Namun kedua sejarawan itu juga mengungkap versi lokal (yang dicatat: kurang dapat dipercaya) bahwa Sunan Kudus pindah karena tidak suka dengan kedatangan Sunan Kalijaga dari Cirebon pada 1543. Barangkali memang data-datanya tidak akurat, untuk menghindari istilah tidak ada, tetapi masih bisa ditafsirkan sebagai terdapatnya indikasi rivalitas antara kedua wali tersebut.

Meredupnya wibawa Kudus

Historiografi Jawa menyebutkan bahwa Sunan Prawata semula adalah murid Sunan Kudus yang berpindah menjadi murid Sunan Kalijaga. Pada masa lalunya, Sunan Prawata membunuh Pangeran Seda Lepen, kakak ayahnya, agar Trenggana, ayahnya itu, bisa menjadi raja; Aria Panangsang, anak Seda Lepen, yang menjadi murid Sunan Kudus, diperintahkan gurunya untuk membunuh Sunan Prawata, yang segera dituruti dengan mengirim Rangkud, orang keper-cayaannya. Dalam legenda adegan pembunuhan berlangsung dramatis: menyadari masa lalunya, Sunan Prawata mempersilakan Rangkud membunuhnya, apa lacur keris yang menembus tubuh Prawata menyebabkan kematian permaisuri pula. Maka dengan sisa tenaga Prawata melemparkan keris pusakanya ke arah Rangkud, yang meski hanya terkena gagangnya toh tewas juga. Tiga mayat bergelimpangan di peraduan Sultan Demak.

Rivalitas berlanjut ketika sengketa antara Aria Panangsang dari Jipang dan Jaka Tingkir dari Pajang yang meruncing sebetulnya adalah atas dorongan Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga di belakang masing-masing yang bertikai, ketika Aria Panangsang membangkang terhadap Kesultanan Pajang. Legenda Jawa menyebutkan pertarungan seru antara Aria Panangsang melawan Sutawijaya yang kelak menjadi Panembahan Senopati pendiri Mataram.

Namun De Graaf dan Pigeaud mengutip berbagai macam babad, serat, dan cerita tutur Jawa itu dengan sangat hati-hati, rapi, dan teliti, tanpa bermaksud menyuguhkannya sebagai fakta, melainkan alat bantu guna menafsirkan data-data layak sejarah yang sangat terbatas: “Kiranya dapat diperkirakan bahwa kemenangan Jaka Tingkir, Sultan Pajang, atas Aria Panangsang dari Jipang, murid tersayang Sunan Kudus, pada tahun 1549, sangat merugikan wibawa peme-rintahan Kudus di Jawa Tengah.”

Akhirnya bukan hanya Kudus, tetapi juga wibawa Demak menyurut ketika hanya menjadi bagian Kesultanan Pajang, apalagi setelah Kerajaan Mataram menjadi kokoh. Pusat kekuasaan di Jawa berpindah dari pesisir ke pedalaman, meski Demak dan Kudus tetap dihormati sebagai pusat keagamaan.

Sunan Kudus dan Ki Ageng Pengging

Telah disebutkan reputasi Sunan Kudus sebagai pemegang syariat yang teguh. Suatu sikap yang ditegaskan dengan kekerasan manakala menghadapi masalah keagamaan yang diakibatkan Syekh Siti Jenar. Riwayat yang belakangan ini akan diuraikan kelak untuk menutup serial Walisanga, cukup dikatakan sekarang Sunan Kudus menjadi sponsor utama hukuman mati atas Syekh Siti Jenar yang juga disebut Syekh Lemah Abang.

Kata abang (merah) dari sinilah yang dirujukkan kepada kaum “abangan”, meski konsep manunggaling kawulo-Gusti (menyatunya hamba-Tuhan) belum tentu dikenal mereka yang merasa sebagai pelaku “abangan”. Mengenai oposisi “abangan-mutihan” atau “abangan-santri” perlu diperhatikan pendapat peneliti Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2005): “Penelitian mutakhir – baik di Barat maupun Indonesia – menolak gambaran ini, dan buku ini mendukung penolakan tersebut.” Pemilahan “santri-priyayi-abangan” yang menjadi populer karena penelitian Clifford Geertz dalam buku Agama Jawa (1960) telah (dianggap) gugur.
Ketegasan yang sama juga diperlihatkan Sunan Kudus ketika menghadapi penolakan tunduk Ki Ageng Pengging kepada Demak, yang lebih terorientasikan kepada politik kepercayaan (agama) ketimbang politik kewilayahan. Ceritera tutur Jawa mengenai kerajaan penting, Pengging, di daerah atas Bengawan Solo pada abad ke-15 dan ke-16, seperti ditunjukkan De Graaf dan Pigeaud, dapat dipercaya. Menurut mereka, “Dapat diperkirakan bahwa pada abad ke-15, Pengging di sebelah barat kerajaan dan Blambangan di sebelah timur kerajaan mempunyai kedudukan yang setaraf terhadap kota raja Majapahit di Jawa Timur. “Juga diperkirakan Pengging masih bertahan abad ke-16, karena kota raja Majapahit pun baru tahun 1527 direbut orang Islam.” Menurut Babad Tanah Djawi, dalam catatan De Graaf dan Pigeaud, kerajaan Pengging runtuh oleh tindakan kekerasan “Alim Ulama dari Kudus”, yang juga dengan “kelompok alim”-nya telah memerangi “kekafiran” di Majapahit.

Sampai di sini, kita akan beralih kepada disertasi Nancy K. Florida, yang pernah dikutip dalam laporan tentang Sunan Kalijaga, tentang Ki Ageng Pengging sebagai sosok “ketakdapatditentukan”, yakni berada di luar kategori pilihan antaralternatif-alternatif seperti: luar versus dalam, jiwa versus raga, kuasa duniawi-politis versus kuasa spiritual. Dalam Babad Jaka Tingkir yang ditelitinya, menurut Florida, Ki Ageng Pengging menolak penempatan dirinya pada bagian pinggir. Dialah sosok pinggiran yang melawan keterpinggiran. Ia menolak untuk memilih “yang ini atau yang itu”, jalan yang ditempuhnya bersifat “yang ini dan itu”; jadi meskipun cerita tutur menyebutnya sebagai Kebo Kenanga yang menjadi murid Syekh Siti Jenar, ia tidak melawan kekuasaan secara frontal seperti Syekh Siti Jenar, melainkan dalam posisi “ketakdapatditentukan” dan ini menghancurkan pilihan yang diberikan penguasa kepadanya, yakni tunduk atau memberontak, Ki Ageng Pengging berada di luar keduanya. Katanya:

“Kalau memilih yang dalam salah / Kalau memilih yang luar tersesat / Bimbanglah dalam kepercayaan / Kalaulah memilih yang atas / Bagai memburu gema / Kalaulah memilih depan / Sungguh kesasar tersesat / Kesasar tujuh mazhab / Atas, bawah, kiri, kanan milikku / Tak ada yang kumiliki”.

Menurut Florida, “Penolakan Ki Ageng Pengging untuk memilih ini mengakibatkan dia dijatuhi hukuman sebagai musuh negara, dan karenanya menandatangani surat kematiannya. Dan lawan bicaranya memang secara langsung mengeksekusi hukuman tersebut. Namun, hanya dengan kehendak Pengging sendirilah tusukan Sunan Kudus pada sikunya dapat membawa kematiannya; bahkan dengan kematiannya pun, junjungan dari Pengging ini masih tak dapat di-tentukan keberadaannya.”
Kita ikuti bagaimana peristiwa tersebut berlangsung dalam Babad Jaka Tingkir:

Pangeran Kudus katanya manis: “O, Kakanda Pengging, Paduka / Dapatkah mati di dalam hidup / Saya ingin menyaksikannya” Ki Ageng menyahut lembut: / “Memang, saya bisa / Dengan ataupun tanpa dirimu / Janganlah menggampangkan iman / Jika kau ingin menyaksikan / Burung Yang Elok / Engkau harus tahu Asal dan Tujuan” Keras jawaban Pangeran Kudus: / “Lalu, di manakah hidup dan / matimu?” / Ki Ageng halus ucapannya: “Belahlah sikuku / Dengan sekinmu sendiri” / Dibelahlah ketika itu / Jatuh lalu tewas / Lantas mengucapkan salam / Kanjeng Pangeran Kudus lembut menyahut: “Wa’alaikum salam.”

Sekin adalah pisau untuk mengkhitan, yang tentu saja boleh dimaknai sebagai simbol dengan penafsiran masing-masing. Seperti juga Burung Yang Elok disepakati sebagai kiasan bagi Pencerahan.

Sosok ketakdapatditentukan Ki Ageng Pengging sebaliknya juga menghadirkan makna ketegasan Sunan Kudus sebagai representasi syariat Islam yang tak bisa ditawar lagi. Mengenai akidah dalam keimanan, bahkan ketegasan Sunan Kudus mengada dalam kekerasan. Tak salah jika dikatakan bahwa sosok Sunan Kudus terhadirkan sebagai wali yang paling tegas.


(6) SUNAN KALIJAGA, WALI YANG ORISINAL


Kadilangu terletak tak jauh dari Demak di Jawa Tengah. Kalau Anda datang dari arah Semarang, sebelum sampai di Demak bisa mampir ke Kadilangu dahulu. Udara biasanya panas, tetapi orang-orang yang mengalir tanpa putus wajahnya begitu tulus – dan ketulusan itulah yang memberi perasaan damai. Memang, di sanalah terletak makam yang dalam tesis Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI (2003) disebutkan sebagai “paling dikeramatkan di Jawa Tengah”, yakni makam Sunan Kalijaga.

Nama ini terdengar begitu akrab, tetapi lebih akrab lagi adalah karya-karyanya sebagai pendakwah kreatif, yang sering dimanfaatkan tanpa disadari lagi sebagai gubahan Sunan Kalijaga. Seperti terjadi dengan kidung Rumeksa Ing Wengi, yang disamping berfungsi sebagai kidung tolak bala, jika dibawakan Nyi Bei Madusari juga terdengar indah sekali. Perhatikan:

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna.

Ada kidung melindungi di malam hari
Penyebab kuat terhindar dari segala kesakitan
Terhindar dari segala petaka
Jin dan setan pun tidak mau
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat
Guna-guna dari orang tersingkir
Api menjadi air
Pencuri pun menjauh dariku
Segala bahaya akan lenyap.

Kidung ini disusun dalam sastra macapat yang ditulis dalam metrum dhandhanggula. Sebuah ulasan dalam buku best seller yang ditulis seorang sarjana agronomi, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (2003) karya Achmad Chodjim, dengan memikat telah menghadirkan makna kidung yang juga bisa berarti sabda atau firman, sebagai teknik membangkitkan konsentrasi dan kekuatan pikiran. Menurut Chodjim, kata-kata yang tertata rapi di dalam sebuah doa, sebenarnya untuk menjadi titik perhatian dan tujuan dari pelafal doa. Titik perhatian inilah yang akan membangkitkan konsentrasi dan dengan itu menjelmakan kekuatan pikiran. Mengacu kepada Michael Talbot dalam Mysticism and The New Physics: Beyond Space-Time, Beyond God, To The Ultimate Cosmic Consciousness (1981), Chodjim memaparkan bahwa kekuatan pikiran dapat menghasilkan sebuah medan biogravitasi (gravitasi makhluk hidup) yang dapat berinteraksi dengan dan mengubah medan gravitasi yang mengendalikan materi. Teori ini terbuktikan oleh populernya kidung gubahan Sunan Kalijaga sebagai penolak bala kejahatan yang dilakukan malam hari. Mulai dari kejahatan “masuk akal” seperti pencurian, sampai yang disebut gaib seperti sihir, teluh, santet, yang tentunya dipercaya keberadaannya pada masa kehidupan Sunan Kalijaga.

Chodjim menyampaikan kisah nyata, bahwa kidung ini masih berfungsi di desa pada masa kini demi kebutuhan praktis, misalnya mengusir hama tikus. Dikisahkan bahwa pelafal doa berpuasa 24 jam, makan sahur dan buka tengah malam, lalu kidung Rumeksa ing Wengi ini dibaca sambil mengelilingi pematang sawah atau ladang. Alhasil, tikus benar-benar tidak datang ke sawah tersebut. Perhatikan, bukan tikus mati di mana-mana, melainkan sekadar tidak datang. Menurut Chodjim, doa memang bukan untuk merusak, tetapi menjaga harmoni alam. Disebutkan dengan tegas sebagai doa, bukan sihir atau mantra negatif – dan yang disebut doa secara sungguh-sungguh memiliki kesakralan dan kesucian.

Adapun hubungan fakta atas kidung Rumeksa ing Wengi dan reputasi Sunan Kalijaga sebagai pendakwah, agama Islam diperkenalkan Sunan Kalijaga tidak sebagai formalitas yang kaku. Dalam perbincangan bait-bait selanjutnya dari kidung tersebut yang terlalu panjang dikutip di sini, Chodjim menekankan betapa Sunan Kalijaga mementingkan terbangunnya keyakinan dalam beragama daripada hafalan atas doa-doa itu sendiri, dan karena orang Jawa abad XV tidak mudah mengucapkan apalagi memahami bahasa Arab, dalam memperkenalkan orang Jawa terhadap keindahan dan kebesaran beragama, Sunan Kalijaga mengacu alam pikiran Jawa masa itu.

Dalam disertasi yang ditulis seorang pemuda 29 tahun pada 1935, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, disebutkan bahwa di antara para wali, ajaran Sunan Kalijaga adalah “yang paling orisinil.” Pemuda itu, P.J.Zoetmulder, yang kelak terkenal sebagai mahapakar Jawa Kuno, mengambil kesimpulannya antara lain setelah memeriksa Serat Wirid yang ditulis Ranggawarsita, yang berisi ajaran-ajaran para tokoh yang secara bersama disebut sebagai Walisanga, para pendakwah yang menyebarkan Islam di tanah Jawa pada abad XV.

Seperti apakah ujudnya orisinalitas itu, dan mengapa orisinalitas harus dianggap penting? Rupa-rupanya, dalam penyebaran agama Islam, kecenderungan Sunan Kalijaga untuk peduli kepada konteks lokal di tempat ia berdakwah sangat dimaknai sampai hari ini. Namun sebelum sampai ke sana, mungkin baik kita ikuti kembali “sastra lisan” tentang proses kewalian Sunan Kalijaga, yang jangan dicari kefaktaannya melainkan makna yang berada di balik kisah itu. Historiografi Jawa sulit dibaca seperti membaca buku sejarah modern -karena itu harus selalu diterima sebagai materi untuk ditafsirkan kembali.

Episode brandal

Ada sebuah episode dalam kehidupan Sunan Kalijaga, yang boleh kita sebut sebagai episode Brandal Lokajaya. Memang, sebelum mendapat pencerahan dan disebut Sunan Kalijaga, disebutkan bahwa ia bernama Raden Syahid, putra Adipati Tuban, yakni Tumenggung Wilatikta yang juga disebut Aria Teja IV, seorang keturunan Ranggalawe. Dipandang secara politis, penyebutan Ranggalawe ini bukanlah hubungan, melainkan “penghubungan” dengan Majapahit, demi legitimasi kekuasaan Mataram kelak -seolah-olah Sunan Kalijaga menjadi penghubung dan sekaligus pengukuh kesinambungan Majapahit-Demak-Mataram.

Sebagai Raden Syahid, disebutkan betapa pemuda ini sudah sangat kritis terhadap kemiskinan di sekitarnya dalam kekuasaan Majapahit, sehingga ia bertindak sebagai “maling budiman”, yakni merampok orang kaya yang korup, dengan cara mencegatnya di dalam hutan dan hasilnya dibagikan kepada orang-orang miskin. Mohon dicatat juga terdapatnya versi lain, seperti yang dikutip Nacy K. Florida dari Babad Jaka Tingkir untuk disertasinya Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang (1995), bahwa Raden Syahid merampok bukan karena ia seorang maling budiman, melainkan karena betul-betul bejat. Dalam kedua versi, Raden Syahid bertemu batunya ketika mencegat seorang tua yang tidak diketahuinya adalah Sunan Bonang, seorang wali kutub tingkat pertama.

Seperti biasa, ia bermaksud membegal Sunan Bonang, terutama tongkatnya yang dalam pandangannya berlapis emas -tetapi ketika berhasil merebutnya, ternyata hanya terbuat dari kuningan, maka lantas dikembalikan. Sunan Bonang berkata jangan menganggap remeh yang tampaknya sederhana, dan ia perlihatkan betapa tongkat itu mampu mengubah buah aren menjadi emas. Dengan bernafsu, Raden Syahid memanjat untuk mengambil buah-buah emas itu, yang ternyata berubah menjadi buah hijau kembali – saat itulah Raden Syahid menyadari kerendahan derajat hidupnya. Ia lantas menyatakan ingin berguru kepada Sunan Bonang, bukan untuk bisa mengubah buah menjadi emas, melainkan untuk belajar “ilmu-ilmu”.

Sunan Bonang lantas menancapkan tongkatnya di tanah, dan meminta Raden Syahid tafakur di sana sambil menjaga tongkatnya itu, sebelum akhirnya berlalu untuk membantu Raden Patah membangun kerajaan Demak. Peristiwa itu berlangsung di tepi sungai, dan dari ketafakurannya selama bertahun-tahun di sana Raden Syahid mendapat nama sebutannya, Sunan Kalijaga. Alkisah selama tafakur Raden Syahid berhasil menghayati arti kehidupan, dan ketika Sunan Bonang kemudian menemuinya kembali (sangat terkenal ilustrasi tentang akar-akaran yang sudah meliputi seluruh tubuh Raden Syahid) segeralah ia diberi pelajaran, yang isinya bisa dirujuk dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang ditulis Iman Anom pada 1884, dan telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Balai Pustaka pada 1993. Dalam “suluk linglung” itu juga dikisahkan pertemuan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir di tengah samudera ketika akan beribadah haji ke Mekah, yang sangat mirip dengan cerita wayang Dewaruci, bahwa untuk mendapatkan pencerahan seseorang cukup memasuki dirinya sendiri, yang dalam dirinya merupakan alam luas tak berbatas.

Kisah ini, dengan berbagai perbedaan versi yang tidak mengubah alur, sangat terkenal, dan merupakan “sejarah” paling pokok dari pembangunan karakter Sunan Kalijaga: yakni bahwa selalu ada segi-segi “kebadungan” dalam diri Sunan Kalijaga – justru sesuatu yang sangat penting dalam kelanjutan sejarah penyebaran Islam di Jawa, seperti terlihat dari perdebatannya dengan para wali lain untuk mempertahankan warisan tradisi Hindu-Buddha dalam kesenian sebagai sarana berdakwah, yang tentu tidak begitu saja bisa segera diterima oleh para sunan yang sangat teguh dalam syariat agama.

Dalam kompromi dengan para wali lain itulah, Sunan Kalijaga dengan kreatifnya mengubah boneka wayang kulit yang semula tiga dimensi menjadi pipih dua dimensi (supaya tidak seperti patung, yang di Saudi Arabia masa itu tentu identik dengan berhala), serta memanfaatkan segala sarana pertunjukannya seperti layar yang putih dan kosong, blencong, bayangbayang, posisi penonton di depan atau di belakang layar, dan wayang kulit itu sendiri untuk berfilsafat dan berdakwah, menyampaikan ajaran agama Islam dengan cara yang dipahami dan disukai oleh masyarakat Jawa. Bukankah pertanyaan sederhana seperti, “Kalau wayang digerakkan oleh dalang lantas siapa yang menggerakkan dalang?”, akan sangat mudah mengundang renungan atas kekuasaan Tuhan? Orisinalitas dalam pemikiran Sunan Kalijaga untuk mempertahankan lokalitas jelas merupakan kontribusi penting bagi kemandirian identitas budaya Islam di Jawa, dulu maupun sekarang.

Saka Tatal & Jung Cina

Peristiwa penting lain dalam riwayat Sunan Kalijaga terlihat dari kasus saka tatal yang terkenal. Diriwayatkan bahwa para wali bergotong royong membangun Mesjid Demak, dan Sunan Kalijaga mendapat bagian mendirikan salah satu dari empat tiang utama Mesjid. Entah kenapa, Sunan Kalijaga sudah sangat terlambat ketika memulai pekerjaannya, sehingga dengan “kesaktian”-nya ia terpaksa menggantikan balok kayu besar itu dengan potongan-potongan balok kecil, yang disebut tatal – dan ternyata tiang yang tampaknya darurat itu mampu menyangga atap mesjid, sama kuat dengan tiang-tiang utama lain, meski sekarang tentunya sudah direnovasi. Dalam tradisi lisan Jawa, saka tatal itu adalah bukti kedigdayaan Sunan Kalijaga, tetapi bagi penelitian ilmiah, soalnya ternyata menjadi lain.

Dalam buku Qurtuby yang sudah disebutkan, tesis yang meneliti peranan Tionghoa dalam penyebaran Islam di Indonesia, disebutkan bahwa teknik perakitan yang digunakan Sunan Kalijaga untuk menyangga atap mesjid dengan himpunan tatal itu sama dengan cara penyambungan potongan kayu untuk tiang kapal jung Cina. Sehubungan dengan tujuan penelitiannya, timbul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut: Apakah Sunan Kalijaga memintabantuan tukang-tukang asal Tiongkok, yang tentunya terdapat dalam masyarakat Tionghoa yang telah bermukim sepanjang Pantai Utara di Jawa; apakah Sunan Kalijaga, sebagai wali yang kreatif dan menghayati hadits “tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”, telah mempelajari teknik itu dari orang-orang Tionghoa; dan yang paling rawan adalah, apakah Sunan Kalijaga sendiri adalah seorang keturunan Tionghoa?

Semua ini baru pertanyaan. Sejumlah buku sejarah yang kurang teliti, antara lain oleh seja-rawan kenamaan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (1968), dengan yakin pernah menyebutkan nama lain Sunan Kalijaga sebagai Gan Si Cang. Sumber Muljana adalah buku M.O. Parlindungan berjudul Tuanku Rao (1964), dan sumber Parlindungan adalah Malay Annal (Catatan Tahunan Melayu) yang terdapat dalam penelitian pakar kenamaan Belanda, H.J. de Graaf dan Pigeaud, tetapi yang tidak satu sejarawan pun sebelumnya, dalam hal Sunan Kalijaga, berani memastikannya.

Kita tidak punya ruang untuk berkisah tentang Gan Si Cang yang “terhubungkan” dengan Sunan Kalijaga, sehingga menimbulkan kerancuan, tetapi bisa melihat apa pendapat Qurtuby sebagai peneliti mutakhir: “Mungkinkah cerita kesaktian Sunan Kalijaga di atas sebetulnya hanyalah narasi masyarakat tradisional atas keahlian teknologi perkapalan yang dimiliki sang sunan? Atau Gan Si Cang sebetulnya hanyalah “tokoh khayalan” yang sengaja diciptakan peng-gubah teks Malay Annals untuk menyamarkan figur Sunan Kalijaga?” Qurtuby berpendapat “agak susah” untuk mengidentifikasikan Gan Si Cang dengan Sunan Kalijaga, karena tradisi lokal tak secuilpun memunculkan kecinaan Sunan Kalijaga; namun kiranya pendapat Qurtuby berikut sangat menarik: “Kalaupun Gan Si Cang adalah ‘tokoh historis’, kemungkinan ia adalah nama lain bukan Sunan Kalijaga yang bisa saja pada waktu itu dimanfaatkan keahliannya oleh penguasa Demak untuk turut serta membangun mesjid.”

Sementara itu, dalam pemeriksaan Florida atas Babad Jaka Tingkir sebagai bagian disertasinya, kita akan menemukan ulasan menarik atas peranan tokoh Sunan Kalijaga, ketika pembangunan Mesjid Demak sampai kepada saat harus menentukan arah kiblat. Dalam babad ini terdapat adegan perdebatan para wali tentang arah kiblat. Nancy Florida, yang meneliti budaya Jawa selama 25 tahun sebelum sampai penulisan disertasi ini, menafsirkannya secara politis sebagai “penawaran”, bahkan kadang disebut juga “perlawanan” Muslim Jawa terhadap hegemoni “Islam pusat” di Mekah masalahnya, bukankah tidak mungkin menghadapkan arah kiblat tidak ke Ka’bah? Disebutkan, Sunan Kalijaga diberi tugas menangani masalah ini, agar kiblat tetap seperti seharusnya, tanpa memberi posisi Muslim Jawa “tunduk” kepada suatu kekuasaan duniawi di manapun, meski tetap tunduk menyerahkan diri kepada Tuhan, karena Islam memang berarti penyerahan diri.

Maka Sunan Kalijaga mengambil langkah berikut, seperti dibahasakan oleh Florida sendiri dalam menganalisis Babad Jaka Tingkir. “Sunan Kalijaga merampungkan proses lokalisasi ini. Berkat penanganan ajaibnya, sang Mesjid akhirnya menurut bersepakat dengan Ka’bah Mekah, dan pada saat yang sama Ka’bah pun menurut bersepakat dengan Mesjid Demak. Tindakan Kalijaga adalah suatu hal yang radikal:

Tangan kanan memegang Ka’bah Allah /Tangan kiri memegang /Balok puncak Mesjid itu /Ditariklah keduanya / Telah terulur diadu terantuk / Atap Ka’bah dan balok puncak Mesjid / Dinyatakan sewujud / Sempurna segaris tiada melenceng.

“Dengan tindakan berganda ini, keduanya dinyatakan dan dibuktikan sebagai keberadaan atau substansi yang satu. Kenyataan satu-yang-adalah-dua itu yang menyatakan pemapanan kiblat diwujudkan dengan kesegarisan dalam keterhubungan antara struktur Demak dan Mekah yang di dalamnya struktur Mekah (meskipun jelas lebih tua) tidaklah memiliki dominasi yang mutlak. Kesepakatan diraih berkat penanganan sang wali merdeka Kalijaga menghasilkan perwujudan Mesjid Demak sebagai pusat – salah satu pusat di dalam dunia Islam yang tidak mengakui kekuasaan duniawi mana pun sebagai mutlak. Tindakan berganda yang membuka peluang untuk penyebaran berbagai-bagai pusat ini justru berhasil, karena tindakan ini merupakan perlawanan terhadap “keterpinggiran” mereka yang memang ada di pinggir.”

Tentu saja kita tidak bisa mengandaikan bahwa Sunan Kalijaga dalam babad tersebut adalah Sunan Kalijaga historis, yang dari darah dan daging, tetapi bukankah justru tugas penelitian sejarah tidak sekadar memisahkan antara yang mitos dan fakta, melainkan juga menafsirkan mitos demi pemahaman sejarah secara menyeluruh? Setidaknya kita mendapatkan informasi dari babad tersebut, bagaimana masyarakat Jawa memandang Sunan Kalijaga: kreatif dan merdeka.

Lir-ilir, lir-ilir

Makam Sunan Kalijaga kini berada di dalam “rumah” kokoh dengan ukiran Jepara terbaik di pintu, jendela, maupun tiang-tiangnya. Bisa dibayangkan betapa masa lalu, ketika Sunan Kalijaga bermukim dan mengajar di sana, tempat itu tentu jauh lebih sunyi daripada sekarang. Tanpa listrik tentu, dan tanpa suara bising dari jalan raya antarkota. Namun meski dahulu kala Kadilangu adalah desa yang sunyi, bisa dibayangkan terdapatnya keceriaan yang melingkupinya, berkat wibawa dan kegairahan seorang wali pecinta kesenian, yang selalu siap dan terbuka terhadap perubahan. Sehingga, meski antara pemakaman yang wingit dan pasar cinderamata di luarnya tampak seolah-olah tidak cocok, jika masyarakat di sekitarnya tidak keberatan, maka Sunan Kalijaga pun kiranya bisa dibayangkan tidak akan terlalu keberatan.

Catatan ini ingin menekankan, bahwa “ziarah pustaka” bisa membuat pemikiran kita jadi produktif, sebagai alternatif “ziarah kuburan” yang sebenarnya, meski “penghayatan lingkungan” bukannya tidak penting – tanpa kita harus jadi sejarawan professional. Maka kita tutup ziarah ini dengan sebuah lagu dolanan gubahan Sunan Kalijaga, yang bukan hanya ceria tapi juga penuh makna, karena sebenarnya membawa sebuah pesan keagamaan yang serius:


Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo, dak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
Domono jlumatono kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
Ya surak-a surak horeeee!


(7) SUNAN GUNUNG JATI



Masuk di dalam Kompleks pemakaman Gunung Sembung, sering terlihat penziarah perorangan atau rombongan dari kalangan etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan Islam, umat Buddha dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa Astana, sekitar tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat itu.

Untuk mereka disediakan ”kavling” khusus di sisi barat serambi depan kompleks pemakaman. Tentu bukan karena diskriminasi. ”Kami tak membeda-bedakan penziarah,” kata Yusuf Amir, salah seorang juru kunci kompleks pemakaman. ”Penziarah muslim ataupun nonmuslim semuanya bisa berdoa di sini,” Yusuf, 36 tahun, menambahkan.

Pemisahan tempat semata-mata karena ritual yang berbeda. Di sayap barat itu terdapat makam Ong Tien, salah seorang istri Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dia adalah putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi tentang perjodohan mereka. Yang paling spekatakuler tentulah versi ”nujum bertuah” Sunan Gunun Jati.

Syahdan, dalam persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam sambil berpraktek sebagai tabib. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur, si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar pun kemudian tertarik menjajal kesaktian ‘’sinse” dari Tanah Pasundan itu.

Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan baskom, sehingga tampak seperti hamil, kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.

Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ”abdi dalem” ketawa terkekeh. Tapi, sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata benar-benar hamil, sedangkan kandungan saudarinya justru lenyap. Kaisar meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar Ong Tien dinikahi.

Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, Hoesein terang-terangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya legenda.

Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ”nujum” itu, dalam buku Sejarah Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif Hidayatullah memang pergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu tempat di Yunan. Ia juga pernah diundang Kaisar Hong Gie.

Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam pertemuan itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak setuju. Syarif Hidayatullah lalu dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien kepada Syarif Hidayatullah sudah sangat mendalam.

Dia mendesak terus ayahnya agar diizinkan menyusul kekasihnya ke Cirebon. Setelah mendapat izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal Panglima Lie Guan Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang berharga dari Istana Kerajaan Cina, terutama berbagai barang keramik.

Barang-barang kuno ini kini masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan di kompleks pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh anak. Putri Cina itu keburu meninggal setelah empat tahun berumah tangga. Besar kemungkinan, sumber yang dirujuk P.S. Sulendraningrat adalah Carita Purwaka Caruban Nagari.

Naskah yang ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720. Banyak sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam kitab tersebut lebih rasional dibandingkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran Arya mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi.

Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis pada 1677-1698. Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati. Dia lahir pada 1448, wafat pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ”Wukir Saptarengga”, kompleks makam Gunung Sembung.

Cerita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang sama. Berdasarkan naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah. Tokoh yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung Jati.

Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein ini berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Buku-buku sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru, sering menyebut Fatahillah sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu punya makam sendiri.

”Tak satu pun naskah asli Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan Fatahillah,” kata Dadan Wildan, seperti tertulis dalam disertasinya, Cerita Sunan Gunung Jati: Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta – Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa Sejarah dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon.

Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, September lalu. Naskah yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah Sunda –yang ditulis pertengahan abad ke-20.

Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi Sulaiman sampai jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal usul Syarif Hidayatullah, semuanya sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya Sultan Mesir, Syarif Abdullah. Ibunya adalah Nyai Lara Santang.

Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran Walangsungsang itu memakai nama Syarifah Mudaim. Lara Santang dan Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon, berguru pada Syekh Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga dengan sebutan Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam, keduanya disuruh ke Mekkah menunaikan ibadah haji.

Di situlah, seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari, mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon istri yang wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang kebetulan mirip, lalu diboyong ke Mesir.

Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi penguasa Nagari Caruban Larang cikal bakal kerajaan Cirebon. Sejak itu dia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari perkawinan Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama.

Selama empat tahun ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata’ullahi Sadzili. Kemudian ia ke Baghdad untuk belajar tasauf, lalu kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.

Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati.

Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan, alias Faletehan.

dikutip dari Sunatullah.com

(8) SUNAN MURIA, EKSIS DALAM LEGENDA


Dari caranya memilih lokasi padepokan, Sunan Muria menjadi wali yang paling eksotik. Padepokan itu kini menjadi kompleks pemakaman di kaki Gunung Muria, Jawa Tengah, tepatnya di Colo, yang dari kakinya sendiri masih harus mendaki jalan melingkar sepanjang 7 kilometer. Disebut kaki gunung, tapi posisinya berada di suatu puncak.

Pada masa kini, peziarah bisa mencapai Colo dengan mobil, dan dari sana memanfaatkan jasa ojek karena jalan menjadi curam. Namun bisa disaksikan betapa masih banyak para peziarah ini menghayati perjalanan menuju puncak dengan jalan kaki – salah satu metode yang membuat banyak tempat suci sengaja ditempatkan di gunung, karena kelelahan pendakian serta udara tipis konon membantu kondisi mental untuk mendapatkan pengalaman spiritual.

Maka memang terlihat, dalam udara sejuk, wajah-wajah yang percaya kepada berkah yang sangat mungkin didapatkan dari ziarah, berduyun-duyun tanpa perasaan terbeban. Ojek-ojek berseliweran naik turun, tetapi itu tidak memberikan perasaan ketinggalan, justru semakin terhayati makna peziarahan dalam perjalanan. Mundur ke abad XV, tanpa aspal, raung sepeda motor, dan rumah tembok – terbayang sebuah suasana yang begitu layak didatangi dari jauh. Ini semua menjadi bagian dari sosok seorang wali, dan rupa-rupanya dengan cara itu mendapatkan wibawa dan memberi pengaruh, bahkan sampai jauh hari setelah mereka meninggal dunia.

Sejarawan De Graaf dan Pigeaud berdasarkan sumber-sumber literer menyatakan dalam Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa (1974) bahwa semula Demak merupakan sebuah distrik yang “terletak di pantai selat yang memisahkan Pegunungan Muria dari Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik, sehingga kapal-kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang. Tetapi sudah sejak abad XVII jalan pintas itu tidak lagi dapat dilayari setiap saat.”

Hanya saja, “Selama musim hujan orang dapat berlayar dengan sampan lewat tanah yang tergenang air, mulai dari Jepara sampai Pati di tepi Sungai Juwana. Pada tahun 1657, Tumenggung Pati mengumumkan bahwa ia bermaksud menggali saluran air baru dari Demak ke Juwana, hingga dapat menjadi pusat perdagangan. Boleh jadi ia bermaksud memulihkan jalan air lama, yang satu abad lalu masih dapat dipakai.”

Dalam bukunya yang lain, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I (1961), De Graaf masih mencatat, “… residen ini dengan sebuah kapal kecil melewati daratan yang tergenang air di sebelah selatan Muria.” Dengan begitu, jika memang Sunan Muria hidup di abad XV, berarti ia menyeberangi selat itu lebih dahulu, sebelum mendaki sampai ke puncak Colo untuk mendirikan padepokannya.

Dalam buku Misteri Syeh Siti Jenar: Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (2004) tulisan Hasanu Simon, terdapat suatu tabel tentang periodisasi Walisanga yang mencapai enam angkatan, dan Sunan Muria tergolong dalam angkatan keenam, yang baru dimulai tahun 1478.

Dalam tabel ini, para wali angkatan pertama, antara 1404-1421, tidak ada yang bergelar sunan sama sekali. Sunan Ampel baru masuk pada angkatan kedua, antara 1421-1436; Syarif Hidayatullah dan Ja’far Shodiq yang kelak disebut Sunan Kudus, baru tercatat di angkatan ketiga, antara 1436-1463; Sunan Bonang, Sunan Gunungjati, Sunan Giri, Sunan Drajad, dan Sunan Kalijaga terdapat di angkatan keempat, antara 1463-1466; dalam angkatan kelima, antara 1466-1478, masuk nama Raden Fattah; dan baru dalam angkatan terakhir Sunan Muria masuk bersama Sunan Pandanaran.

Tabel ini hanya berlaku jika kelembagaan Walisanga memang harus sembilan, yang dalam kenyataannya tidak begitu, bahkan kata sanga (sembilan) di sana sering disebut berasal dari sana yang berasal dari kata Arab tsana’ (terpuji). Mengingat kata wali berasal dari awliya, yakni orang beriman, maka pengertian walisana tentu menunjukkan penghargaan masyarakat Jawa abad XV kepada para pendakwah tersebut, seperti terjelaskan oleh Widji Saksono dalam Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisongo (1995). Sarjana ini juga mencatat, setidaknya terdapat 21 wali yang termasuk dalam lingkaran Walisanga, sedangkan dari buku Hasanu Simon tercatat pula yang disebut wali nukba (pengganti), yang jumlahnya sampai 25 orang. Akan halnya Sunan Muria, Saksono mencatat terdapatnya ketidaksepakatan untuk memastikan, apakah ia tergolong wali utama atau wali pengganti. Kata sunan berasal dari susuhunan yang berarti junjungan menegaskan makna penghargaan tersebut, meski para pendakwah angkatan pertama, seperti Maulana Malik Ibrahim, tidak ada yang digelari sunan dan meski begitu tentu tak kurang dihargai pula – seperti bisa disaksikan dari mengalirnya peziarah ke makam para wali ini di mana pun mereka berada.

Keturunan Arab atau Jawa?

Ke atas gunung itulah, setapak demi setapak para peziarah mendaki, tetapi seberapa jauhkah mereka mengenal Sunan Muria? Bahkan para sejarawan “mati angin” jika mesti menuliskan biografi wali penggubah tembang sinom dan kinanthi ini.

Tiga peneliti yang bekerja sama dalam penulisan buku Islamisasi di Jawa (2000), yakni Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri bahkan menulis dalam pengantarnya: “Lengkap dan tidaknya kisah-kisah pribadi Walisanga dalam kisah ini adalah tergantung pada sedikit dan banyaknya sumber rujukan yang didapatkan. Manakala sumber itu lengkap, maka lengkap pula pemaparan kisahnya dan bila tidak maka sebaliknya.” Akan halnya Sunan Muria, termasuk yang hanya bersumberkan cerita rakyat, dan hanya sebagian kecil berasal dari sumber babad, itu pun bukan tanpa masalah.

Pertama, tentang siapakah pribadi di balik gelar Sunan Muria itu saja silsilahnya terdapat dua versi; yang satu disebut sebagai putra Sunan Kalijaga, yang lain sebagai putra Sunan Ngudung. Dalam versi putra Sunan Kalijaga juga terdapat dua versi, yakni sebagai keturunan Arab dan keturunan Jawa. Tentang keturunan Arab itu terdapat versi dua buku, yakni karya C.L.N. Van Den Berg, De Handramaut et les Colonies Arabes maupun Pustoko Darah Agung, sedangkan tentang keturunan Jawa diyakinkan oleh Umar Hasyim dalam Sunan Muria, antara Fakta dan Legenda (1993).

Sementara itu, sebagai putra Sunan Kalijaga ataupun Sunan Ngudung, sebuah naskah tulisan tangan Keraton Cirebon, Purwaka Caruban Nagari, akan menghubungkan dua versi silsilah Sunan Muria ke satu nenek moyang, yakni Syekh Jumadil Kubro, tentunya keturunan Arab. Keruwetan ini belum terbereskan sampai sekarang, kecuali bahwa nama di balik Sunan Muria itu tersepakati adalah Raden Umar Said.

Kedua, ketiga peneliti yang kemudian merujuk legenda tentang Sunan Muria, juga mendapatkan lebih dari satu versi. Perbedaan itu mungkin saja merupakan dampak dari “politik bercerita” yang belum bisa dibahas sekarang, tetapi menarik untuk mengikuti kisah-kisah tersebut. Masalahnya, kisah mana yang paling sahih untuk diikuti? Ridin Sofwan dan kawan-kawan menemukan beberapa versi, Hasanu Simon juga mendapatkan versi lain. Sejauh tidak menjadi kontradiktif, Intisari merangkum cerita dari segenap sumber tersebut, dengan memberi catatan jika ditemukan perbedaan yang mengubah makna.

Instalasi Hutan : Romeo-Juliet Jawa?

Dalam apa yang disebut Legenda Hutan Jati Masin, diceritakan betapa Sunan Muria mempunyai banyak murid, yang bukan hanya belajar ilmu agama, melainkan juga berkesenian dan olah kanuragan. Murid-muridnya datang ke Colo dari berbagai tempat seperti Tayu, Pati, dan Pandanaran yang kini disebut Semarang – dari daerah inilah datang berguru Raden Bagus Rinangku. Syahdan, karena sang pemuda tampan dan sakti, putrinya yang bernama Raden Ayu Nawangsih saling jatuh hati dengan pemuda tersebut. Adapun Sunan Muria ternyata tidak merestuinya, karena telah memilih Kyai Caboleh sebagai menantu. Sampai di sini, kita saksikan suatu manuver yang sering ditemukan dalam legenda Jawa: Sunan Muria menugaskan Bagus Rinangku untuk menumpas para perusuh, yang merampok dan membunuh di sekitar Muria, tentu maksudnya agar Bagus Rinangku perlaya di tangan mereka. Namun ternyata pemuda Pandanaran ini bukan hanya berhasil membasminya, melainkan juga membuat salah seorang di antaranya bertobat dan memperdalam ilmu agama. Kelak mantan perampok ini terkenal sebagai Kiai Mashudi.

Maka Sunan Muria segera memberi tugas lain, yakni agar Bagus Rinangku menjaga sawah yang padinya sedang menguning di daerah Masin, yang untuk ukuran abad XV jauh letaknya dari Muria – dengan begitu ia berharap hubungan cinta pasangan itu terputus. Suatu hari, ketika ditengoknya, ternyata bukan saja burung-burung didiamkan saja menyambar padi, sehingga sawah tersebut tampak amburadul, tetapi juga dipergokinya Bagus Rinangku sedang bermain cinta dengan putrinya, Raden Ayu Nawangsih. Semakin naik darah Sunan Muria ketika ia menanyakan perkara sawah tersebut, dijawab bahwa adalah Sunan Muria yang memerintahkan agar dia menjaga supaya burung-burung bisa berpesta. Jawaban nekad ini masih disusul pamer kesaktian, dengan mengembalikan sawah yang hancur itu seperti keadaan semula.

Tindakan Bagus Rinangku ini mengundang petaka. Sunan Muria mengeluarkan panah dan mengancam Bagus Rinangku, tetapi panah itu melesat dari busurnya dan menembus dada pemuda itu sampai ke punggungnya. Lantas, mengikuti pola kisah klasik, Nawangsih menubruk tubuh kekasihnya, sehingga ujung panah yang telah menembus punggung itu menembus pula perutnya. Sepasang kekasih itu tewas bersama.

Bagus Rinangku dan Nawang Wulan lantas dimakamkan di puncak bukit dengan iringan airmata penduduk. Usai Sunan Muria berbicara dalam pemakaman itu, masih juga mereka tersedu-sedan, yang membuat Sunan Muria bersabda, “Kalian semua tidak beranjak, tidak bergerak seperti pohon jati.” Orang-orang yang masih tersedu-sedan itu pun menjadi pohon jati, yang kini merupakan hutan jati di Masin.

Riwayat semacam ini tentu tidak mencerminkan karakter Sunan Muria sebagai alim ulama yang bijaksana. Namun kesimpulan jangan terlalu cepat ditarik sebelum mengikuti kisah berikutnya.

Jangan Jadi Maling Kopo

Dalam legenda Maling Kopo, dikisahkan bahwa Sunan Muria menghadiri pesta tasyakuran (syukuran) di Juwana yang diadakan Ki Ageng Ngerang, kakek Juru Martani yang kelak akan menjadi pendukung penting Sutawijaya dalam mendirikan Kerajaan Mataram.

Konon pesta yang dihadiri murid-muridnya itu untuk mensyukuri tercapainya usia 20 dari putri Ki Ageng, yakni Dewi Roroyono. Adalah putri tersebut yang menghidangkan makanan dan minuman, dan apa boleh buat membuat salah seorang muridnya, Adipati Pethak Warak, terpesona begitu rupa sehingga berniat menculiknya.

Sebetulnya bukan hanya daya tarik Roroyono, melainkan perilaku Roroyono yang telah mempermalukan sang adipati memicu kehendaknya – dalam pesta itu Pethak Warak yang sudah beristri merayu dengan kasar dan menarik-narik tangan Roroyono, sehingga gadis muda itu tersinggung dan menyipratkan minuman ke baju Pethak Warak.

Sebelum Pethak Warak menjadi adipati di Mandalika, ketika ia berguru ke Juwana, Roroyono masih kecil, melihatnya kembali setelah dewasa ternyata membangkitkan nafsunya. Tak bisa menahan diri, malam itu juga ia menculik Roroyono, dan membawanya ke Mandalika di wilayah Keling. Tentu saja ini membuat Ki Ageng murka.

Barangkali sesuai adat waktu itu, Ki Ageng Ngerang lantas menyayembarakan putrinya tersebut: Barangsiapa mampu mengembalikan Roroyono boleh menjadi suaminya. Meski begitu, sayembara ini terasa berat, karena Pethak Warak dikenal sakti mandraguna. Adalah Sunan Muria yang mengajukan diri untuk merebut Roroyono, bukan karena bermaksud memperistri, melainkan sekadar membantu gurunya, karena ia sendiri juga sudah menikah.

Ketika ia berangkat, di jalan bertemu dengan dua bersaudara murid-murid Ki Ageng yang tidak ikut menginap, jadi belum mendengar peristiwa itu, yakni Genthiri dan Kopo. Mereka berdua langsung menawarkan bantuan, bahkan untuk menggantikan Sunan Muria, dan jika berhasil Roroyono tetap menjadi istri Sunan Muria. Adapun Sunan Muria setuju saja dan pulang ke Colo.

Alhasil, dengan bantuan orang sakti bernama Wiku Lodhang Datuk, Roroyono berhasil diambil kembali. Apa boleh buat, malah sekarang Kopo tersebut jatuh cinta kepada Roroyono sampai jatuh sakit. Padahal, Roroyono sudah diperistri Sunan Muria. Prihatin atas penderitaan adiknya, Genthiri berangkat ke Muria bermaksud merebut Roroyono, tetapi ia tewas dalam adu kesaktian melawan murid-murid Sunan Muria. Mendengar berita ini, Kopo berangkat menyusulnya, tapi menunggu saat yang baik, yakni ketika Sunan Muria dan murid-muridnya turun gunung. Setelah berhasil menculik Roroyono, Kopo dengan cerdik membawanya ke Pulau Seprapat, tempat Wiku Lodhang Datuk bermukim. Namun ternyata orang sakti itu kali ini tidak bersedia membantunya, sehingga ketika murid Sunan Muria yang mengejarnya tiba, Kopo hanya bisa memberi perlawanan sebentar sebelum mati terbunuh. Sejak saat itu, istilah “maling Kopo” diberikan kepada mereka yang membawa lari perempuan untuk dipaksa jadi istrinya.

Dari legenda ini, kita bisa mencatat, tak satu pun aksi dilakukan Sunan Muria sendiri, semuanya dikerjakan orang lain untuknya.


Jelawang, Towelo, Sigelap

Dalam legenda berikut ini, nama Sunan Muria terhubungkan dengan nama-nama tempat, seperti Jelawang, Towelo, dan Sige-lap, maupun dengan sebuah pintu gerbang di Rondole, Desa Muktiharjo, 15 kilometer di sebelah utara Pati, yang dipercaya berasal dari Trowulan, Majapahit.

Alkisah, Kebo Anabrang datang menghadap Sunan Muria dan mengaku sebagai anaknya. Sunan Muria tidak merasa mempunyai anak seperti Kebo Anabrang, tetapi pemuda itu mempunyai bukti yang diberikan ibunya. Menghadapi keadaan itu, Sunan Muria memerintahkan agar Kebo Anabrang mengambil pintu gerbang Majapahit dan membawanya ke Muria dalam semalam sebagai syarat pengakuan. Diceritakan betapa Kebo Anabrang nyaris berhasil, jika tidak dicegat oleh Raden Ronggo, putra Adipati Ronggojoyo dari Pati, yang tugasnya ternyata sama. Bedanya, tugas itu sebagai syarat pernikahannya dengan Roro Pujiwati, adik Roroyono tadi, artinya putri Ki Ageng Ngerang juga, yang ternyata selalu menyayembarakan anak-anak perempuannya.

Ronggo berangkat dengan semangat, apa daya di tengah jalan dilihatnya Kebo Anabrang sudah membawa pintu gerbang itu, dan sedang kebingungan karena ganjalnya jatuh entah di mana. Nah, ganjal pintu yang disebut ganjel lawang itu ternyata jatuh di tempat yang sekarang disebut Jelawang. Begitulah, berlangsung adu kesaktian nan seru antara Ronggo dan Anabrang memperebutkan pintu itu, sehingga terpaksa dipisahkan oleh Sunan Muria sendiri, yang mampu menyaksikan adu kesaktian (yang berbumbu gaib tentunya) secara kasatmata, yang dalam bahasa Jawa disebut ceto welo-welo, sehingga tempat pertarungan itu sekarang disebut Towelo.

Sunan Muria berujar, siapa yang mampu mengangkat pintu itu berhak membawanya. Ternyata Ronggo tidak kuat, jadi ia diberi palangnya saja dan dipersilakan balik ke Juwana. Namun karena hanya membawa palang saja, tentu ia tidak boleh mengawini Pujiwati, dan karena marah Ronggo mengayunkan palang itu ke kepala Pujiwati – saat itulah terdengar guntur dan Pujiwati pun raib.
Guntur dalam bahasa Jawa disebut gelap, maka tempat itu sekarang disebut Sigelap, begitu pula dengan jembatan yang ada di sana. Peristiwa itu konon terjadi tanggal 5 Sya’ban. Kini setiap tanggal 15 Sya’ban ketika bulan purnama, masih suka terlihat pasangan muda datang ke tempat yang terletak satu kilometer dari Juwana itu, seperti mau meminta berkah.

Tentang Anabrang, ia juga gagal, karena baru mau berangkat, ternyata ayam jantan sudah berkokok – artinya ia terlambat. Maka Sunan Muria menugaskan Kebo Anabrang yang merindukan seorang ayah agar menjaga pintu tersebut, sampai akhir hayatnya.

Cerita ini mempunyai versi kedua, bahwa Raden Ronggo itu putra Sunan Muria yang mau mengawini bibinya, yakni Pujiwati tersebut, adik Roroyono yang telah jadi istri Sunan Muria. Mungkin ini putra dari istri lain. Seperti biasa, untuk menggagalkannya ia diberi tugas berat oleh Sunan Muria, yakni mengambil pintu yang sama. Namun rupanya Kebo Anabrang, murid Sunan Muria sendiri, telah membawa pintu tersebut, dan dalam perebutan, Ronggo hanya mendapat palang – yang seperti versi sebelumnya, dipukulkan pula ke kepala Pujiwati, dengan alasan “saking cintanya” yang tentu tak bisa diterima sang empunya cerita, sehingga diraibkanlah Pujiwati dan lahirlah legenda.

Legenda dan Politik Makna

Fakta sejarah atas Sunan Muria dengan begitu nyaris tidak ada, tetapi legenda yang terhubungkan kepadanya adalah suatu fakta pula – berupa “fiksi” yang menjadi tugas sejarawan untuk menafsirkannya. Perhatikan bahwa jika Sunan Muria menjadi kode penyebaran Islam, ternyata masih terhubungkan dengan nama-nama berbau Hindu seperti Wiku Lodhang Datuk atau Kebo Anabrang, dan semua itu bukan tanpa makna dalam keberlangsungan budaya.

Tiga serangkai peneliti, Sofwan, Wasit, dan Mundiri menyimpulkan konstruksi makna dari sejumlah legenda tersebut sebagai berikut: (1) Sunan Muria adalah orang yang berani; (2) Sunan Muria adalah orang sakti; (3) Sunan Muria seorang yang berwibawa; (4) Sunan Muria pandai memecahkan masalah; (5) Sunan Muria banyak berjasa.

Untuk kesimpulan nomor 4, digunakan argumen seperti pemberian tugas kepada Kebo Anabrang, dan tentunya seperti juga kepada Raden Ronggo dan Bagus Rinangku. Dalam hal ini, pembaca tentu saja berhak menafsirkan sendiri, misalnya apakah pemecahan masalah seperti itu tidak merupakan cermin manuver taktis dalam dunia politik masa itu? Bukankah dalam versi kedua kisah tentang gerbang, bisa saja Kebo Anabrang diperintahkan oleh Sunan Muria sendiri, supaya tugas Ronggo dipastikan gagal? Suatu taktik yang barangkali masih berlaku dalam iklim politik masa kini. Ilmu sejarah masih tetap berfungsi, meski fakta yang didapatkannya hanya legenda, untuk menafsirkan makna dalam hubungan dengan kehidupan masa kini.

Bagi kita, barangkali cukup melegakan, bahwa legenda itu, yang bisa saja terkonstruksi dari berbagai versi akibat pertarungan makna selama ratusan tahun, kemungkinan tidak berhubungan Sunan Muria yang historik sama sekali. Kecuali bahwa nama sebenarnya memang Raden Umar Said. Dengan demikian, suatu ziarah pustaka menjadi penjelajahan baru.

(9) SUNAN DRAJAT, SIMBOL WIRASUHAWAN SOSIAL

Drajat: Simbol Wirausahawan Sosial

Kudus cermin politisi formal yang konsevatif. Kalijaga cermin tokoh kultural yang membasis ke massa rakyat. Jenar cermin pribadi individualis yang progresif. Bagaimana kita mencari cermin sosok manusia yang berjiwa sosial tinggi? Bukankah di tengah-tengah masyarakat kita juga selalu ada karakter manusia yang penuh perhatian terhadap kesejahteraan ekonomi dan spiritual?

Kalau ini pertanyaannya, maka Bong Tak Keng, Syarifudin alias Raden Kosim, atau yang dikenal luas Sunan Drajat adalah jawabannya. Anak Sunan Ampel ini sejak kecil sangat perhatian dengan gerakan sosial, khususnya dalam bidang pengentasan kemiskinan. Sekalipun karakter ini juga dimiliki oleh Kalijaga dan Jenar, tetapi dalam hal kepemimpinan membangun ekonomi kaum miskin Drajat memiliki strategi yang lebih jelas. Di Paciran Lamongan ia mendirikan pesantren yang sekarang dikenal sebagai Pondok Pesantren Sunan Drajat.

Pesantren ini sampai sekarang dikenal melahirkan wirausahawan-wirausahawan mandiri. Drajat punya pemikiran bahwa untuk mencapai harkat kehidupan yang baik seseorang harus memiliki kemandirian ekonomi. Agama bagi Drajat juga ditafsirkan sebagai jalan meraih kemandirian ekonomi.

Ia sangat terinspirasi oleh prinsip Nabi Muhamad bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan dibawah. Kemandirian ekonomi dalam pandangan Drajat bisa dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, etos kerja. Apapun pekerjaan seseorang jika ditekuni akan menghasilkan sesuatu yang baik. Kedua pembangunan manusia dengan jiwa sosial. Dalam pandangan Drajat manusia satu sama lain saling membutuhkan. Jika seseorang ingin meraih kesuksesan dalam usahanya maka harus memegang prinsip kerjasama secara baik. Ketiga, memberi adalah strategi investasi yang baik.

Atas jasa kreativitasnya membangun kegiatan wirausaha sosial, pada tahun 1520 ia mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Fatah, Raja Demak dan diberikan hadiah berupa tanah perdikan di Paciran.

Beberapa prinsip yang terkenal dari Drajat sangat terkenal dalam lirik teks berikut ini:

Menehono teken marang wong kang wuto/ Menehono mangan marang wong kang luwe/Menehono busono marang

wong kang wudo/Menehono ngiyup marang wong kang kudanan.

Terjemahan literalnya:

Berilah tongkat kepada orang buta/ berilah makan kepada orang lapar/ berilah pakaian pada orang yang tidak memiliki sandang. Berilah tempat pada orang yang sedang tertimpa hujan.

Terjemahan kontekstual:

Berbagilah ilmu-pengetahuan kepada mereka yang bodoh agar menjadi pandai. Sejahterakan kehidupan orang miskin agar tidak menjadi beban kehidupan masyarakat. Ajarilah kesusilaan pada orang yang amoral. Berikanlah perlindungan bagi orang yang menderita.

SYEKH SITI JENAR, NAMANYA MELARISKAN BUKU

Siapakah Syekh Siti Jenar? Meskipun setidaknya Intisari telah menjejaki – yang disebut sebagai – dua kuburan Syekh Siti Jenar, masing-masing di Kemlaten, Cirebon maupun Gedong Ombo, Tuban, agaknya Syekh Siti Jenar tidak bisa dipastikan keberadaan historisnya secara ilmiah dalam kategori positivistik. Keberadaan Syekh Siti Jenar adalah keberadaan sebuah makna, baik dalam bentuk suatu ajaran yang tercatat pada berbagai naskah, maupun makna keberadaan dalam penafsiran politis, sebagai tokoh oposisi terhadap hegemoni kekuasaan rohani para wali. Suatu konstelasi yang sebetulnya juga merupakan tipologi konstelasi politik duniawi, ketika kerajaan-kerajaan Islam di Jawa telah menjadi dominan, tetapi pusat-pusat kekuasaan pra-Islam dengan segenap aliran kepercayaannya, belum sepenuhnya terleburkan – bahkan sampai hari ini.

Wali yang mencemaskan

Dalam ziarah pustaka ini, gambaran Nancy K. Florida tentang Tiga Guru Jawa (Syekh Siti Jenar, Syekh Malang Sumirang, Ki Ageng Pengging) dalam disertasinya, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (1995) akan dikutip sebagai pengantar:

“Di antara ketiga empu tersebut, Syekh Siti Jenarlah yang paling dikenal, dengan ketenarannya sebagai wali pembangkang yang paling utama di Jawa bahkan hingga saat ini. Berbagai versi kisahnya, baik lisan maupun tulisan, melimpah. Dialah tokoh yang mewakili penyebarluasan, dan yang disebarluaskannya adalah pengetahuan esoteris eksklusif yang keluar dari kalangan elite politik-spiritual ke dalam budaya khalayak ramai. Atas penyebarluasan inilah maka para wali merasa terpanggil untuk memusnahkan Syekh Siti Jenar. Mereka melihat ancaman politik yang benar-benar nyata dalam dirinya; lantaran sebagai sosok penyebarluasan dan populisme dia dengan sendirinya menentang pemusatan dan penyatuan kekuasaan.

“Dalam benak khalayak ramai, Siti Jenar dikenang sebagai patron wong cilik. Garis besar kisah hidupnya menggarisbawahi keterkaitan organisnya dengan lapis terendah masyarakat. Dalam versi kisahnya yang paling tersebar luas, Siti Jenar diceritakan sebagai seekor cacing tanah yang secara ajaib berubah menjadi manusia. Pengubahan ini terjadi karena sang cacing secara kebetulan menerima pengetahuan esoteris yang mengantarnya menuju Hakikat Sejati. Sekali menjadi manusia, dia yang semula cacing ini kemudian berani untuk membuka tabir Pengetahuan Makrifat ini kepada khalayak ramai. Barangkali anggapan bahwa penyampaian pengetahuan semacam itu akan dapat mengubah martabat “cacing-cacing” yang lain adalah kecemasan elite spiritual-politik di ibu negeri Demak.

“Selain dosanya ‘menyingkap sang Rahasia’ kepada khalayak ramai, Siti Jenar juga dipersalahkan karena menyepelekan syariat, hukum suci Islam. Dan di dalam banyak penuturan kisahnya, dia dituduh sebagai orang yang mengaku dirinya Allah. Bagaimanapun juga, yang paling mencuat dan diberitakan adalah dosanya menyebarluaskan Ilmu Gaib; dan lantaran dosa inilah sang wali diadili dan dijatuhi hukuman mati. Terdapat berbagai versi tentang ‘pengadilan’ dan eksekusinya. Masing-masing versi perlu untuk dipahami dengan latar belakang ingatan kolektif masyarakat tentang kisahnya dan dalam bandingan dengan versi lainnya. Yang terpenting untuk diperhatikan adalah keragaman kisah atas apa yang terjadi dengan jasad sang wali; berkisar dari ekstrem yang satu bahwa jasadnya berubah menjadi bangkai busuk seekor anjing hingga ke ekstrem yang lain (yakni pada versi Babad Jaka Tingkir) bahwa sang wali akhirnya mikraj ke surga.”

Adapun asal nama Kemlaten, kuburan Syekh Siti Jenar di Cirebon, terasalkan dari kisah dalam Babad Cerbon, bahwa ketika para wali membongkar kuburan Siti Jenar setelah dihukum mati, untuk membuktikan kebenaran ajarannya: bahwa jika ia mati di dunia ini artinya hidup abadi di dunia yang sebenarnya -ternyata memang tak menemukan jasad, melainkan sekuntum bunga melati. Seperti juga telah sering ditemukan dalam riwayat wali yang sembilan, istilah “politik dongeng” menegaskan terdapatnya kepentingan ideologis di balik segenap “sejarah” tersebut. Kesadaran tentang perlu diabaikannya keberadaan dongeng-dongeng tersebut sebagai fakta historis, juga tersurat dalam catatan sejarawan Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974), seperti ketika memberi catatan atas keberadaan Dewan Walisanga:

“Sudah jelas bahwa Musyawarat orang-orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh mereka semua, sukar kiranya dapat sungguh-sungguh terjadi. Dugaan ini wajar, karena antara kedua tokoh historis Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus terdapat jarak waktu beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-15 sampai dekade-dekade pertama abad ke-16).”

Ajaran tentang ada

Lantas, ajaran macam apa sebetulnya, yang dianggap “benar tapi berbahaya”, sehingga penyebarnya begitu patut menerima hukuman mati dalam pandangan Walisanga? Dalam kenyataannya, buku-buku yang memuat dan menyebarkan teks yang disebut sebagai “ajaran” Syekh Siti Jenar ini beredar luas pada masa kini, beberapa di antaranya bahkan berpredikat best seller alias laris manis tanjung kimpul, yang bukan hanya tidak mengundang kecaman apa pun dari para pemeluk teguh syariat, melainkan justru ditulis oleh para ahli agama itu sendiri. Untuk menyebut beberapa, bisa diperiksa dua buku laris Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa (1999) dan Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (2001), Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar (2004), Sudirman Tebba, Syaikh Siti Jenar: Pengaruh Tasawuf Al-Hallaj di Jawa (2003), dan yang ditulis dengan sapaan hangat serta indah karya Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makna “Kematian” (2002). Namun untuk mengintip apa yang disebut “ajaran rahasia” tersebut, pustaka yang akan diziarahi masih dari karya ilmiah P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (1935).

Tidak mungkin memindahkan ulasan panjang lebar dalam disertasi Zoetmulder tersebut, tapi kita mulai saja dengan petikan atas kutipan dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri, pada 1922:

Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri.

Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera.

Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.

Dalam disertasi filsafat ini Zoetmulder menekankan, bahwa dengan teks semacam ini Syekh Siti Jenar dan murid-muridnya telah ditafsirkan memberi kesan seolah-olah Tuhan itu tidak ada, padahal, “Menurut hemat kami ucapan-ucapan serupa hendaknya ditafsirkan sebagai sebuah polemik serta penolakan terhadap ide mengenai seorang Tuhan yang berpribadi; sebaliknya Siti Jenar mengetengahkan ide mengenai suatu Jiwa Semesta, ia manunggal dengan Hyang Suksma, manunggal dengan hidup yang tunggal, yakni dirinya sendiri.”


Bukan Al-Hallaj, tapi India

Syekh Siti Jenar begitu sering dihubung-hubungkan dengan al-Husain ibnu Mansur al-Hallaj atau singkatnya Al-Hallaj sahaja, sufi Persia abad ke-10, yang sepintas lalu ajarannya mirip dengan Siti Jenar, karena ia memohon dibunuh agar tubuhnya tidak menjadi penghalang penyatuannya kembali dengan Tuhan. Adalah Al-Hallaj yang karena konsep satunya Tuhan dan dunia mengucapkan kalimat, “Akulah Kenyataan Tertinggi,” yang menjadi alasan bagi hukuman matinya pada 922 Masehi di Baghdad. Seperti Syekh Siti Jenar pula, nama Al-Hallaj menjadi monumen keberbedaan dalam penghayatan agama, sehingga bahkan diandaikan bahwa jika secara historis Syekh Siti Jenar tak ada, maka dongengnya adalah personifikasi saja dari ajaran Al-Hallaj, bagi yang mendukung maupun yang menindas ajaran tersebut. Tepatnya persona Syekh Siti Jenar memang dihidupkan untuk dimatikan.

Namun karena penelitiannya tentang segenap pengaruh terhadap sastra suluk Jawa, Zoetmulder berpendapat lain tentang ajaran Syekh Siti Jenar. “Jelaslah betapa besar pengaruh dari ide-ide India. Pengaruh itu tampak juga dari sikap terhadap nilai dan kenyataan dunia, yang dianggap hanya suatu permainan pancaindera, sebuah impian, segalanya hanya bersifat semu dan tak ada sesuatu yang nyata, suatu godaan, sebuah sulapan yang menimbulkan keinginan manusia dan dengan demikian mengurungnya. Singkatnya, di mana-mana kita mengenal kembali pandangan dari India.

“Akhirnya, juga kematian Siti Jenar – menurut logatnya sendiri, masuknya ke dalam kehidupan -seperti dilukiskan dalam versi yang kami bahas di sini, bernafaskan suasana India. Dengan menutup sendiri semua pintu dengan dunia luar ia membiarkan nafas kehidupan keluar dari badannya yang lalu mempersatukan diri dengan Sukma semesta. Dalam segala uraian ini hanya sedikit sekali pengaruh dari dunia Islam, sekalipun kadang-kadang disebut sebuah kutipan dalam bahasa Arab sekadar bahan pendukung. Sebaliknya menonjol sekali, betapa ajaran ini serasi dengan suatu bagian dari Arjunawiwaha yang melukiskan bagaimana Bhatara Indra dalam wujud seorang resi tua menyampaikan ajaran kesempurnaan kepada Arjuna yang sedang bertapa.

“Bila akhirnya tokoh Siti Jenar kita bandingkan dengan apa yang kita ketahui mengenai Al-Hallaj, maka tampak, bahwa keserasian hanya berkaitan dengan beberapa sifat dari kisah itu, tetapi kesamaan dalam hal ajaran jarang kita jumpai.”

Setelah menguraikan konsep ajaran Al-Hallaj yang dirujuknya dari peneliti sufisme terkenal Louis Massignon, hanya satu hal dianggap Zoetmulder agak mirip, yakni tentang permintaan maaf telah mengungkap rahasia ilahi (ifsa-al-asrar) – itu pun menurutnya Siti Jenar tidak minta maaf. Dijelaskannya, “Tidak mengherankan, bahwa dalam ajaran Siti Jenar tak terdapat bekas-bekas ajaran otentik Al-Hallaj.”

Ia pun merumuskan, “Perbedaan pokok antara kedua tokoh itu ialah Al-Hallaj selalu ditampilkan sebagai seorang sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, sedangkan dalam diri Siti Jenar sifat tadi hampir tidak tampak. Siti Jenar terutama dikisahkan sebagai seorang yang mandiri, akal bebas yang tidak menghiraukan raja maupun hukum agama; tak ada sesuatu pun yang menghalanginya menarik kesimpulan dari ajarannya. Dengan demikian ia menjadi wali yang paling digemari rakyat dan yang riwayatnya masih hidup di tengah-tengah orang Jawa.”

Lemah Abang serba pinggiran

Dengan konteks pengaruh India dan bukan Islam da lam ajaran Syekh Siti Jenar, menjadi jelas konteks duniawi yang terpadankan dengannya, seperti teruraikan oleh Graaf dan Pigeaud mengenai kedudukan politis Pengging sebagai kerajaan “kafir” terhadap kekuasaan Demak. Dalam legenda, Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging adalah murid Syekh Siti Jenar yang membangkang dan tidak bersedia tunduk maupun melawan Sultan Demak – yang membuat kedudukannya sulit diatasi meski Sunan Kudus ia izinkan untuk membunuhnya. “Tindakan Sunan Kudus yang sangat terkenal terhadap ‘si bid’ah’ Kebo Kenanga itu sesuai dengan ketegasan terhadap penghujah Allah Syekh Lemah Abang (atau Pangeran Siti Jenar) sendiri. Syekh itu adalah guru ilmu kebatinan empat bersaudara: Yang Dipertuan di Pengging, di Tingkir, di Ngerang, dan di Butuh.” Bahwa Pengging sebelumnya disebut-sebut sebagai kerajaan “kafir” yang masih berdiri setelah Majapahit runtuh, jelas menunjukkan personifikasi Syekh Siti Jenar sebagai representasi perlawanan, terhadap dominasi Demak sebagai representasi hegemoni kekuasaan rohani sekaligus duniawi.

Mungkinkah bisa dipahami sekarang, mengapa banyak wilayah di Jawa bernama Lemah Abang, dan selalu terletak di pinggiran?

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus

Silaturahmi

Mengenai Saya

Foto saya
Orang Jawa, Islam yang nJawani, yang senantiasa berusaha saling asah, asih dan asuh serta hidup berdampingan dengan siapa saja secara damai tanpa saling mengganggu