Senin, 24 Mei 2010

BABAD TANAH JAWA : RAJA MATARAM & NYI RARA KIDUL

Babad Tanah Jawi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Babad Tanah Jawi (aksara Jawa: Babad Tanah Jawi-aksara Jawa.png) merupakan karya sastra sejarah dalam bentuk tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan zaman Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa.

Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.

Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18.

Buku ini telah dipakai sebagai salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa[rujukan?]. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.


Banyak versi

Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi.

Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722.

Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.

Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai zaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.

Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.

Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.

PANEMBAHAN SENOPATI DAN RATU PANTAI SELATAN (1)
Oleh : Damar Shashangka


Diambil Pupuh-Pupuh yang menceritakan pertemuan antara Panêmbahan Senopati, Penguasa Mataram dengan Kangjêng Ratu Kidul, Ratu Pantai Selatan.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnlGSCNfUWdK0MWnQp_JG4AzE9qaBGGxVKi9W7HJp0-dwjqav4D750Nfd6FzsWtGXj9lq4-96SgiWRIbl8mzryFWCroa-gy0MfSiiep3Gcw7wzz-fZJ_ZbqSzaGUO1JOG4-NGFK8h6_LB9/s1600/senopati_ratukidul.jpg


PUPUH

KINANTHI


1. Alon tindak kalihipun, Senapati lan Sang Dewi, sadangunya apêpanggya, Senapati samar ngeksi, mring suwarna Narpaning Dyah, wau wanci nini-nini.

Keduanya berjalan pelahan, (Panêmbahan) Senopati dan sang Dewi, sekian lama mereka bertemu, (Panêmbahan) Senopati tiada jelas melihat, kepada wujud Ratu Wanita, tadi terlihat bagai wanita tua.

2. Mangke Dyah warnane santun, wangsul wayah sumengkrami, Senapati gawok ing tyas, mring warna kang mindha Ratih, tansah aliringan tingal, Senapati lan Sang Dewi.

Sekejap nanti Dyah (Ayu) wujudnya berubah, kembali terlihat sangat menarik hati, (Panêmbahan) Senopati terpesona dalam hati, menyaksikan wujud bagaikan (Dewi) Ratih, senantiasa saling mencuri pandang, antara (Panêmbahan) Senopati dan Sang Dewi.

3. Sak praptanira kêdhatun, Narpeng Dyah lan Senapati, luwar kanthen tata lênggah, mungging kanthil kêncana di, Jêng Ratu mangênor raga, Senapati tansah ngliring.

Sesampainya di istana, Ratu Wanita dan (Penêmbahan) Senopati, saling melepas genggaman tangan lantas duduk, naik di atas ranjang keemasan, Jeng Ratu menggeliat, (Panembahan) Senopati terus melirik.


4. Mring warnanira Jêng Ratu, abrangta sak-jroning galih, engêt sabil jroning driya, yen Narpeng Dyah dede jinis, nging sinamun ngêgar karsa, midêr wrin langêning puri.

Kepada wujud Jeng Ratu, terpikat dalam hati, mendadak teringat, jikalau Ratu Wanita bukanlah sejenis manusia, seketika dialihkannya perhatian untuk melepaskan diri dari hasrat, dengan berkeliling melihat-lihat keasrian istana.

5. Udyana asri dinulu, balene kêncana nguni, jaman purwa kang rinêbat, Gathutkaca lan Wre Putih, bitutaman dirgantara, bale binucal jêladri.

Mendapati pemandangan asri, sebuah ranjang kencana berasal dari jaman dulu, saat terjadi perebutan, antara Gathutkaca dan Kera Putih, berkelahi di angkasa, ranjang terlempar ke samudera.

6. Dhawah têlêng samodra gung, kang rinêksa sagung ê-Jim, asri plataran rinêngga, sinêbaran gung rêtna di, widuri mutyara mirah, jumantên jumrut mawarni.

Jatuh di tengah-tengah samudera raya, yang dikuasai oleh Jin, tampak juga halaman yang tertata asri, yang ditebarani intan indah dan megah, biduri mutiara merah delima, emas dan jamrud berwarna-warni.


7. De jubine kang bêbatur, grêbag suwasa kinardi, sinêlan lawan kêncana, ing têpi sêlaka putih, sinung cêplok pan rinêngga, rukma tinaretes ngukir.

Lantainyapun dihiasi, dengan emas yang dibuat begitu indah, dan diselingi hiasan dari kencana, serta ditambah perak putih di pinggirnya, dibentuk berwujud bunga-bunga mekar, indah terukir gemerlap.

8. Tinon rênyêp ting pêlancur, rêngganing kang bale rukmi, sumorot sundhul ngakasa, gêbyare rêrênggan adi, surêm ponang diwangkara, kasorotan langên puri.

Terlihat sejuk berkilauan, hiasan ranjang tersebut, sinarnya menggapai angkasa, gemerlapnya hiasan megah, membuat redup cahaya matahari, tersaingi keindahan istana.

9. Gapurane gêng aluhur, sinung pucak intên adi, sumorot mancur jwalanya, lir pendah soroting rawi, yen dalu kadi rahina, siyang latriya pan sami.

Gapuranya besar dan tinggi, puncaknya berhias intan yang indah, bersinar memancarkan cahaya, bagai sinar matahari, jika malam seperti siang, siang maupun malam tiada beda.

10. Sigêg rêngganing kadhatun, wau ta Sang Senapati, kêlawan Sang Narpaneng Dyah, tan kêna pisah neng wuri, anglir mimi lan mintuna, nggennya mrih lunturireng sih.

Cukup sudah menikmati keindahan istana, nampak Sang (Panembahan) Senapati, terus dikuntit Sang Ratu Wanita, yang tidak mau berjauhan terus mengikut di belakang, tak mau berpisah bagai pasangan abadi, (Sang Ratu Wanita) berbuat demikian agar supaya mendapatkan cinta.

11. Yen tinon warna Jêng Ratu, wus wantah hapsari swargi, tuhu Sang Dyah Wilutama, kadya nurcaya ingeksi, sak polahe karya brangta, ayune mangrêspateni.

Apabila diperhatikan wajah Sang Ratu, sudah berubah bagai seorang hapsari (penari) surga, sudah benar-benar bagai Sang Dyah Wilutama, seperti cahaya manakala disaksikan, dan setiap gerakannya sangat memikat birahi, kecantikannya benar-benar menawan hati.

12. Kadibyaning warna Sang Rum, ping sapta sadina salin, ayune tan kawoworan, têrkadhang sêpuh nglangkungi, yen mijil pradanggapatya, lir dyah prawan keling sari.

Kesaktian Sang Ratu dalam merubah wujud, sehari mampu berubah wujud tujuh kali, kecantikannya tiada cacat, kadang terlihat sangat tua, manakala muncul matahari, terlihat Sang Dyah bagai perawan suci.

13. Yen sêdhawuh jwaleng Sang Rum, lir randha kêpaten siwi, yen praptaning lingsir wetan, warna wantah widadari, têngange lir Dyah Ngurawan, kumuda duk nujwa kingkin.

Apabila tengah memberi perintah, menakutkan bagaikan seorang janda yang kehilangan anaknya karena mati, ketika menjelang pagi hari, wujud seperti bidadari, saat matahari sepenggalah bagai (putri) Dyah (dari kerajaan) Ngurawan, seorang pemudi yang tetap cantik walau sedang bersusah hati.

14. Lamun bêdhug kusuma yu, mirip putri ing Kêdhiri, yen lingsir lir Banowatya, lamun asar pindha Ratih, compêting sapta sadina, yen latri êmbah nglangkungi.

Ketika menjelang tengah hari Sang Kusuma Ayu (Sang Bunga Cantik), mirip putri dari (kerajaan) Kedhiri, ketika matahari condong ke barat bagai Dewi Banowati, ketika menjelang ashar bagai (Dewi) Ratih, genap tujuh kali sehari, apabila malam hari sangat tua.

15. Lawan sinung sêkti punjul, Dyah lawan samining ê-Jim, warna wigya malih sasra, mancala putra pan bangkit, mila kedhêp ing sak-jagad, saking sêktining Sang Dewi.

Dan lagi dianugerahi kesaktiaan yang lebih, melebihi sesama Jin, mampu merubah diri seribu wujud, berwujud laki-laki pun bisa, oleh karenanya disegani diseluruh dunia, karena sangat saktinya Sang Dewi.

16. Sintên ingkang mbotên têluk, gung lêlembut nusa Jawi, Pra Ratu wus têluk samya, mring Ratu Kidul sumiwi, ajrih asih kumawula, bulu bêkti sabên warsi.

Siapa yang tidak tunduk, seluruh makhluk halus di pulau Jawa, para Rajanya sudah takluk semua, kepada Ratu Kidul menganggap orang tua, ditakuti dicintai dan menjadi tempat mengabdi, diberi persembahan setiap tahun.

17. Ngardi Mrapi Ngardi Lawu, cundhuk Narpa ing Jêladri, narpa Pace lan Nglodhaya, Kêlut ngarga miwah Wilis, Tuk Sanga Blêdug sumewa, Ratu Kuwu sami nangkil.

Penguasa Gunung Merapi dan Gunung Lawu, tunduk kepada Penguasa Samudera, Penguasa Pace dan Nglodhaya, Penguasa Gunung Kelut dan Gunung Wilis, Penguasa Tuk Sanga dan Bledug, bahkan Ratu Kuwu pun mengabdi.

18. Wringin Pitu Wringin Rubuh, Wringin Uwok, Wringin Putih, ing Landheyan Alas Ngroban, sêdaya wus kêreh jladri, Kêbareyan Têgal Layang, ing Pacitan miwah Dlêpih.

Penguasaa Wringin Pitu dan Wringin Rubuh, Penguasa Wringin Uwok dan Wringin Putih, yang berada di Landheyan dan Hutan Roban, semua telah takluk kepada Penguasa Samudera, Penguasa Kabareyan Penguasa Tegal Layang, Penguasa di Pacitan dan Penguasa (Kahyangan) Dlepih.

19. Wrata kang neng Jawa sagung, para Ratuning Dhêdhêmit, sami atur bulu bêktya, amung Galuh kang tan nangkil, kêreh marang Guwatrusan, myan Krêndhawahana Aji.

Merata yang ada di seluruh Jawa, para Raja dari dhemit (mahluk halus), semua menghaturkan persembahan pengabdian, hanya daerah Galuh yang tidak takluk, karena dikuasai (Kerajaan) Guwatrusan, yang diperintah oleh Aji (Raja) Krendhawahana.

20. Wuwusên malih Dyah Kidul, lawan Risang Senapati, menuhi kang boja-boja, minuman kêras myang manis, kang ngladosi pra kênyendah, sangkêp busana sarwa di.

Kembali menceritakan Dyah (Ratu) Kidul, bersama Sang (Panembahan) Senapati, tengah menikmati makan bersama, dihidangkan juga minuman keras dan minuman yang manis, yang melayaninya adalahi para wanita cantik, lengkap dengan busana mereka yang indah.

21. Bêdhaya sumaos ngayun, gêndhing sêmang munya ngrangin, weh kenyut tyasnya kang mriksa, wilêting bêksa mrak ati, keh warna solahing bêksa, warneng bêdhaya yu sami.

Para penari bedhaya maju ke depan, alunan gending Semang berbunyi nyaring, membuat terhanyut perasaan bagi yang melihat, gemulai tarian menawan hati, banyak macam gerak tarian, berbagai tarian yang indah semua.

22. Senapati gawok ndulu, mring solahe Dyah kang ngrangin, runtut lawan kang brêdangga, wilêt rarasnya ngrêspati, acêngêng dangu tumingal, de warneng dyah ayu sami.

(Panembahan) Senopati terpesona melihatnya, melihat gerakan Dyah yang tengah ikut menari, gerakannya menyatu seiringin alunan gamelan, ditambah untaian merdu bunyi gamelan yang menentramkan hati, hingga lama terpesona, melihat wujud para Dyah yang cantik-cantik.

23. Tan lyan kang pinêlêng kayun, mung juga mring Narpa Dewi, brangteng tyas saya kawentar, de sang Dyah punjul ing warni, kênyataning waranggana, soroting êmas sinangling.

Tiada lagi yang diingini, hanya Ratu Wanita semata, hasrat hati semakin membara, karena hanya Sang Dyah yang paling cantik, dibandingkan dengan para penari yang lain, cahayanya bagaikan cahaya emas yang murni.

24. Wuyunging driya sinamun, tan patya mangumbar liring, tan pêgat sabil ing nala, wau Risang Senapati, engêt yen dene jinisnya, Dyah Narpa tuhuning ê-Jim.

Hasrat hati coba untuk dia tutupi, tiada begitu mengumbar tatapan mata, tiada henti terus menahan hasrat, demikianlah Sang (Panembahan) Senopati, terus mengingatkan diri bahwa bukan dari jenis manusia, sesungguhnya Dyah Ratu itu adalah sebangsa Jin.

25. Rinaos jroning kung, kagugu saya ngranuhi, têmah datan antuk karya, nggenira mrih mêngku bumi, nging Narpeng Dyah wus kadriya, mring lungite Senapati.

Teringat seketika, keinginannya yang semakin menjadi, tidak akan terlaksana, kehendaknya untuk menguasai dunia (jika dia tetap berada di istana ini), akan tetapi Ratu Wanita bisa membaca, apa yang tengah dipikirkan (Panembahan) Senopati.

26. Ngunandika dalêm kalbu, Narpaning Dyah ing Jêladri, Yen ingsun tan nggango krama, nora kudu dadi estri, enak malih dadi priya, nora na kang mêjanani.

Berbicara dalam hati, Ratu Penguasa samudera, Jikalau aku tidak menikah, tidak seharusnya aku seorang wanita, lebih baik aku adalah seorang pria, sebab tidak bakalan ada yang menggangguku.

27. De wis dadi ujar ingsun, anggon sun wadad salamining, ngarsa-arsa pêngajapan, têmah arsa ngapirani, sun bekane mêngko jajal, piyangkuhe ngadi-adi.

Sudah menjadi niatku dulu, aku tidak akan menikah selamanya, demi mengharapkan keinginan yang lebih, tetapi ternyata malah sia-sia, coba aku akan merayunya, aku akan mencairkan keangkuhannya.

28. Wong Agunge ing Mêtarum, dimene lali kang nagri, krasan aneng jro samodra, kawêntar mesêm Sang Dewi, tumungkul tan patya ngikswa, Senapati tyasnya gimir.

Manusia Agung dari Mataram (Panembahan Senopati), agar supaya melupakan negaranya, dan kerasan tinggal di dalam samudera. Terlontar senyum Sang Dewi, sembari menundukkan kepala seolah tiada peduli, namun sesungguhnya hati (Panembahan) Senopati tergetar dibuatnya.

29. Duk liniring mring Sang ing Rum, tambuh surasaning galih, wusana lon anandika, Dhuh wong ayu karsa mami, wus dangu nggon ingsun ningal, mring langêne ing jro puri.

Mendapati lirikan manja Sang Rum (Yang Wangi/Ratu Kidul), berdebar tiada menentu hatinya, lantas berkata pelan, Duh cantik sesungguhnya keinginanku sekarang, sudah terlalu lama aku menyaksikan, keindahan istana ini.

30. Pêsareyanta durung wêruh, kaya ngapa ingkang warni, nging Dyah Tan sae warninya, yen kêdah sumangga karsi, sintên yogi ndarbenana, lun mung darmi anênggani.

Akan tetapi tempat tidurmu aku belum melihatnya, bagaimanakah wujudnya? (Sang) Dyah menjawab Tidak bagus wujudnya, jika ingin melihat silakan, karena sesungguhnya ranjang tersebut tiada yang memiliki, selama ini saya bagaikan sekedar menjadi penjaga ranjang semata.

31. Wusira gya jêngkar runtung, Sang Sena lan Narpa Dewi, rawuh jrambah jinêm raras, alon lênggah sang akalih, mungging babut pan rinêngga, Senapati gawok ngeksi.

Segera mereka beranjak bersama, Sang (Panembahan) Senopati dan sang Ratu Dewi, masuk ke tempat tidur yang nyaman, keduanya pelahan duduk, di atas permadani yang indah, (Panembahan) Senopati kagum melihatnya.

32. Warneng pajang Sri Kumêndhung, tuhu lir suwargan ngalih, Sang Dyah matur marang priya, Nggih punika ingkang warni, tilêmane randha papa, labêt tan wontên ndarbeni.

Bermacam-macan hiasan Sri Kumendhung terpajang, sungguh bagai surga yang berpindah tempat (ke bumi), Sang Dyah berkata kepada sang pria (Panembahan Senopati), Inilah keadaannya, tempat tidur seorang janda yang kesepian, sunyi seolah tiada yang memiliki.

33. Kakung mesêm ngling-ira rum, Anglêngkara têmên yayi, ujare wong randha dama, ing yêktine angluwihi, kabeh purane pra Nata, tan padha puranta yayi.

Sang pria (Panembahan Senopati) tersenyum bisiknya manis, Kamu terlalu merendah Yayi (dinda), kamu bilang dirimu seorang janda, padahal sesungguhnya lebih dari itu, seluruh istana para Raja, tiada menandingi istana yayi (dinda).

34. Pêpajangan Sri Kumêndhung, ingsun têmbe nggon-sun uning, pêsareyan warna endah, pantês lawan kang ndarbeni, warna ayu awiraga, bisa têmên ngrakit-ngrakit.

Bahkan hiasan Sri Kumendhung, baru kali ini aku melihatnya, ditambah tempat tidur yang sangat indah, sesuai benar dengan pemiliknya, sangat cantik dan sangat menarik, sungguh pandai sekali kamu menatanya.

35. Baya sungkan yen sun kondur, marang nagari Matawis, kacaryan uningeng pura, cacatira mung sawiji, purendah tan nganggo priya, yen darbeya kakung becik.

Menjadi malas aku untuk pulang, ke negeri Mataram, terpesona setelah menyaksikan istana, tapi kekuranganmu hanya satu, istana seindah ini tiada seorang priapun yang mendampingimu, apabila memiliki seorang pria pendamping itu lebih bagus lagi.

36. Wanodyane dhasar ayu, imbang kakunge kang pêkik, kêng runtut bisa mong garwa, wanodyane bêkti laki, tur drêman asugih putra, Senapati den pleroki.

Seorang wanita yang cantik, seharusnya didampingi oleh laki-laki yang tampan, yang setia dan bisa membimbing seorang istri, sedang sang wanita patuh kepada suami, dan suka memiliki banyak anak, (Panembahan) Senopati dilirik tajam dengan lirikan manja.

37. Dyah merang lênggah tumungkul, sarwi mesêm turira ris, Sae botên mawi priya, mindhak pintên tyang akrami, eca mung momong sarira, botên wontên kang ngrêgoni.

(Sang) Dyah lantas sengaja duduk dengan menundukkan kepala, sembari tersenyum ujarnya lembut, Lebih baik tidak ada lelaki, apa keuntungannya menikah? Lebih enak merawat diri sendiri, tidak ada yang membuat kerepotan.

38. Eca sare glundhang-glundhung, neng tilam mung lawan guling, lan tan ngronkên keng ladosan, Senapati mesêm angling, Bênêr yayi ujarira, enak lamban sira yayi.

Lebih enak tidur bergulingan, di atas ranjang dengan hanya ditemani guling, dan tidak harus melayani siapapun, (Panembahan) Senapati tersenyum dan berkata, Benar Yayi (dinda) apa yang kamu katakan, memang lebih enak sendirian.

39. Mung gawoke Nimas ingsun, na wong ledhang aneng gisik, tur priya kawêlas arsa, lagya rêna wrin ing jladri, semang ginandheng pinêksa, kinon kampir mring jro puri.

Hanya yang membuat aku menjadi heran oh Nimas, ada seorang yang tengah sendirian di tepi pantai, seorang lelaki yang sangat menghiba hati, tengah berjalan menghibur diri di pinggir pantai, malahan digandeng dengan paksa, di bawa mampir ke dalam istana.

40. Jêng Ratu kêpraneng wuwus, merang tyas wêtareng lungit, kakung ciniwêl lambungnya, mlerok mesêm datan angling, Senapati tyasnya trustha, wusana ngandika aris.

Jeng Ratu (Kidul) terpana malu mendengar ucapan tersebut, benar-benar mengena di hatinya, seketika dicubitnya sang pria (Panembahan Senopati), melirik manja sembari tersenyum dan tak dapat berkata apa-apa, (Panembahan) Senopati terpikat hatinya, lantas berucap lirih.

41. Ya sun pajar mirah ingsun, nggon sun praptaneng jêladri, labêt sun anandhang gêrah, alama tan antuk jampi, kaya paran saratira, usadane lara brangti.

Lebih gampangnya oh permata hatiku, kedatanganku di tengah samudera ini, karena aku tengah menderita sakit, sudah lama tak mendapatkan obat, bagaimana caranya, mengobati sakit cinta?

42. Midêr ing rat nggon sun ngruruh, kang dadi usadeng kingkin, tan lyan mung andika mirah, pantês yen dhukun prêmati, bisa mbirat lara brangta, tulus asih marang mami.

Berkeliling dunia aku telah berusaha, mencari obat penyembuh, tiada lain hanya engkau oh permataku, yang pantas disebut sang tabib, karena mampu mengobati sakit cintaku, dengan kasih tulusmu kepadaku.

43. Sang Dyah maleruk tumungkul, uning lungit Senapati, nging tansah ngewani priya, mangkana usik Sang Dewi, Wong iki mung lamis ujar, sun batanga nora slisir.

Sang Dyah sengaja cemberut, tahu maksud (Panembahan) Senapati, tahu watak laki-laki yang suka berbohong merayu, dalam hati Sang Dewi berkata, Ini orang hanya bermanis-manis di mulut saja, perkiraanku pasti tidak salah.

44. Minta tamba ujaripun, pan dudu lara sayêkti, lara arsa madêg Nata, ewuh mungsuh guru darmi, wus pêrsasat ingkang yoga, kang amêngku Pajang nagri.

Meminta obat katanya? Padahal bukan sakit cinta maksud dia sesungguhnya, tapi sakit karena berkeinginan besar untuk menjadi seorang Raja, segan karena harus berhadapan dengan orang tua (angkat), yang sudah menganggap dirinya bagai anak sendiri, yaitu dia penguasa negara Pajang.

45. Wusana dyah matur kakung, Kirang punapa Sang Pêkik, kang pilênggah ing Mataram, lêlana prapteng jêladri, tan sagêd lun sung usada, nggih dhatêng kêng gêrah galih.

Akhirnya (Sang) Dyah berkata, Apa kekurangan dari Sang Tampan, yang duduk di Mataram, sehingga harus berkelana di tepian samudera, tidak bisa aku memberikan obat penyembuh, kepada yang tengah sakit hatinya.

46. Yêkti amba dede dhukun, api wuyung ingkang galih, mangsi dhatênga palastra, tur badhe nalendra luwih, kang amêngku tanah Jawa, keringan samining Aji.

Sungguh saya bukan dukun, api cinta dalam hati, tidak akan menyebabkan kematian bukan? Bukankah (engkau kangmas) bakal menjadi Raja yang besar, yang menguasai tanah Jawa, ditakuti oleh sesama Aji (Raja).

47. Kang pilênggah ing Matarum, mangsi kirangana putri, ingkang sami yu utama, kawula estri punapi, sumêdya lun mung pawongan, yen kanggea ingkang cêthi.

Sang penguasa Mataram, masa kekurangan wanita, yang cantik-cantik? Para kawula wanita yang seperti apapun, bersedia memasrahkan diri, jika memang (kangmas) inginkan.

48. De sêlamen lamban ulun, kêpengin kinayan nglaki, kang tuk bulu bêkti praja, labêt blilu tyang pawestri, tan wigya mangenggar priya, labêt karibêtan tapih.

Selama ini dalam kesendirian saya, memang ingin memiliki seorang suami, yang bisa membantu mengabdikan diri kepada kerajaan, bagaimanapun juga pengabdian seorang wanita sebagai Ratu, tak akan mampu menyamai seorang pria, karena terjerat oleh kemben busana kewanitaannya (terbatas karena kodrat kewanitaannya).

49. Lamun kanggeya wak ulun, kalilan among anyêthi, ngladosi Gusti Mataram, wau ta Sang Senapati, sarêng myarsa sabdeng Sang Dyah, kêmanisan dennya angling.

Namun apabila memang hamba dibutuhkan, serta hamba diijinkan mendampingi, maka saya rela melayani Gusti (Penguasa) dari Mataram, demikianlah Sang (Panembahan) Senapati, begitu mendengar sabda Sang Dyah, yang sangat-sangat manis tersebut.

50. Saya tan dêraneng kayun, asteng Dyah cinandhak ririh, Sang Rêtna sêndhu turira, Dhuh Pangeran mangke sakit, kadar ta arsa punapa, srita-sritu nyêpêng driji.

Semakin tak bisa menahan hasrat, digenggamnya tangan (Sang) Dyah dengan lembut, Sang Ratna (Intan) berkata sendu, Aduh sakit Pangeran, apa sih maunya, menggenggam jari jemari hamba?

51. Asta kelor driji ulun, yen putung sintên nglintoni, nadyan Wong Agung Mataram, mangsi sagêd karya driji, kakung mesêm lon dêlingnya, Dhuh wong ayu sampun runtik.

Jari jemari hamba kecil dan rapuh bagai daun kelor, kalau sampai putus siapa yang akan mengganti, walaupun Manusia Agung dari Mataram, tidak akan mungkin bisa menciptakan jari-jemari, sang pria (Panembahan Senopati) tersenyum pelan bisiknya, Jangan marah cantik.

52. Nggon sun nyêpêngasteng masku, yayi aja salah tampi, mung yun uning sotyanira, Dyah Narpa nglingira aris, Yen têmên nggen uning sotya, king têbih andene keksi.

Aku menggenggam tanganmu, jangan salah sangka, hanya ingin melihat cincin yang kamu kenakan, Ratu Dyah berkata lirih, Kalau memang hanya ingin melihat cincin yang hamba kenakan, dari kejauhan sebetulnya bisa kan ?

53. Yêkti dora arsanipun, sandinya angasta driji, yêktine mangarah prana, kêtareng gêtêr ing galih, dene durung mangga karsa, paring jangji sih mring cêthi.

Pasti (kangmas) berbohong, hanya berpura-pura menggenggam jari, padahal menginginkan sesuatu yang lain, terlihat jelas gemetaran, sebelum terlanjur jauh, berikanlah hamba janji cinta yang bisa meyakinkan hamba.

54. Kakung mesêm sarwi ngungrum, swara rum mangênyut galih, Narpaning Dyah wus kagiwang, mring kakung asihnya kêngis, esêmnya mranani priya, Senapati trênyuh galih.

Sang pria (Panembahan Senopati) tersenyum lantas bernyanyi, suaranya merayu merdu menghanyutkan hati, Ratu Wanita terpikat, kepada sang pria (Panembahan Senopati) cintanya meluap, senyum manisnya memabukkan, (Panembahan) Senopati luluh hatinya.

55. Narpaning Dyah lon sinambut, pinangku ngras kang pênapi, Sang Dyah tan lêngganeng karsa, labêt wus katujweng galih, jalma-jalma dera ngantya, pangajapan mangke panggih.

Ratu Wanita ditarik lembut, dipangku dengan mesranya, Sang Dyah tidak menolak, apa yang diinginkan hati (Panembahan Senopati), hasrat alami seluruh makhluk, yang diimpikan sekarang terwujud.

56. Lan titisnya Sang Hyang Wiku, kang mêngkoni ngrat sêkalir, Senapati nir wikara, karênan mring Narpa Dewi, tansah liniling ngêmbanan, de lir ndulu golek gadhing.

Bagaikan keinginan Sang Hyang Wiku, yang menguasai seluruh alam, begitulah (Panembahan) Senopati tiada yang bisa menghalangi kehendaknya, terhanyun kecantikan Ratu Wanita, terus ditatapnya dia yang ada di pangkuan, bagai melihat boneka cantik yang indah.

57. Binêkta manjing jinêm rum, tinangkêban ponang samir, kakung ndhatêngaken karsa, datansah brêmara sari, mrih kilang mêkaring puspa, kang neng madya kuncup gadhing.

Dibopong menuju ke tempat tidur, ditutuplah kelambu, sang pria (Panembahan Senopati) melepaskan hasrat, bagaikan kumbang, yang menikmati bunga yang tengah mekar, menikmati sari yang berada di tengah kuncup kelopak bunga gading.

58. Jim Prayangan miwah Lêmbut, neng jrambah sami mangintip, mring Gusti nggen awor raras, kapyarsa pating kalêsik, duk Sang Dyah katameng sara, ngrêrintih sambate lalis.

Jin Perayangan dan Makhluk halus, di luar berebut ingin mengintip, ingin melihat Gusti-nya yang tengah memadu hati, terdengar suara mereka berbisik berisik, ketika Sang Dyah terkena senjata, tak terasa merintih mengaduh lirih.

59. Kagyat katemben pulang yun, Sang Dyah duk senanira nir, nggeladrah rempu ning tilam, ukel sosrah njrah kang sari, kongas ganda mrik mangambar, bedhahe Pura Jeladri.

Terkejut kesakitan manakala tertimpa hasrat, Sang Dyah pecahlah mahkotanya, menyemburat membasahi tempat tidur, berpautan erat jatuhlah sari-sari kenikmatan, tercium bau wangi membersit, mengiringi pecahnya mahkota penguasa istana samudera.

60. Dyah ngalintreg neng tilam rum, jwala nglong kerkatira nir, Senapati wlas tumingal, Sang Dyah lin sinambut ririh, sinucen dhateng patirtan, wusira gya lenggah kalih.

Maka terbaring lemaslah (Sang) Dyah di atas ranjang wangi, seolah tanpa kekuatan, (Panembahan) Senopati iba melihatnya, dipeluknya Sang Dyah, dibopong menuju tempat mandi, sehabis mandi keduanya duduk berdampingan.

61. Dyah sareyan pangkyan kakung, tan pegad dipun-arasi, mring kakung Sang Senapatya, nyengkah ngeses Sang Retna Di, raket sih kalihnya sama, penuh langen ngasmara di.

(Sang) Dyah tiduran di atas pangkuan sang pria (Panembahan Senopati), tiada henti-henti terus dicium, oleh sang pria (Panembahan) Senopati, mengerang mendesis Sang Retna Adi (Sang Intan yang indah), berpelukan erat keduanya, dipenuhi kenikmatan asmara yang indah.

62. Cinendhak rengganing kidung, pasihane sang akalih, dugi ngantya sapta dina, Senapati neng jeladri, ing mangke arsa kondura, marang prajanya Matawis.

Singkat diceritakan, kedua insan yang tengah memadu hasrat, hingga sampai tujuh hari, keberadaan (Panembahan) Senapati di dalam samudera, genap tujuh hari berkehendak untuk pulang, kembali ke negara Mataram.

63. Kakung nabda winor rungrum, Dhuh mas mirah ingsun Gusti, ya sira kariya arja, ingsun kondur mring Matawis, wus lama aneng samodra, mesthi sun diarsi-arsi.

Sang Pria (Panembahan Senopati) bersabda dengan berat hati, Aduh Gusti (Ayu) emas merahku, semoga kamu senantiasa bahagia, aku pamit hendak pulang ke Mataram, sudah terlampau lama berada di (istana) samudera, pastilah aku dinanti-nantikan.

64. Marang wadyengsun Matarum, wus dangu tugur ing nagri, Narapaning Dyah sareng myarsa, yen kakung mit kondur nagri, sekala manca udrasa, druwaya badra dres mijil.

Oleh rakyatku di Mataram, sudah lama menjaga negeri sendirian (tanpa ditemani Raja-nya), Ratu Wanita begitu mendengar, bahwa Sang Pria (Panembahan Senopati) berpamitan hendak pulang ke negerinya, seketika meluap kesedihannya, air matanya keluar deras.

65. Dereng dugi onengipun, mring kakung kemangganing sih, alon lengser sangking pangkyan, udrasa sret dennya angling, Kaya mengkono rasanya, wong tresna den timbangi.

Belum puas hasrat hati, kepada Sang Pria yang dicintainya, segera beranjak pelan dari pangkuan, berat dia berkata, Betapa indah rasanya, apabila cinta bisa berimbang saling memberi.

66. Kaya timbang tresnaingsun, yen sun bisa nyaput pranti, myang nguja sakarsanira, mesthi kanggo nggon sun nyethi, kakung uning wus kadriya, mring udrasa Sang Retna Di.

Cinta ini akan terasa lebih sempurna, apabila aku bisa memenuhi, dan memberikan apapun yang dikehendaki kangmas, pasti akan berguna apabila aku bisa membantu, Sang Pria (Panembahan Senopati) menyadari apabila (Sang Ratu Kidul) tengah berniat dalam hati untuk membantunya, hal itu tampak dari ucapan Sang Retna Adi (Sang Intan yang Indah.

67. Lon ngudhar paningsetipun, cindhe puspa pinrada di, Dyah sinambut gya ingemban, binekta mider kuliling, marang kebon petamanan, kinidung ing pamijil.

Pelan-pelan melepas kain setagen (kain pengikat kemben), berhias bunga-bunga emas, (Sang) Dyah segera dipeluk, dibawa berkeliling, menikmati indahnya taman, sembari terlantun kidung Mijil.


PANEMBAHAN SENOPATI DAN RATU PANTAI SELATAN (2)
Oleh : Damar Shashangka

Diambil Pupuh-Pupuh yang menceritakan pertemuan antara Panêmbahan Senopati, Penguasa Mataram dengan Kangjêng Ratu Kidul, Ratu Pantai Selatan.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiQ14zL0yH49AViwTt7wfBUxmLxusVhaIPL_HMDld9sM1UgDmTgLnmb8IZu_6EoRiwTElvCLfujUA-rRJxQlAKwwSZgtCyMZoxDFg0UCcsj5aBTiaqk3HiPv2laZBQlfm-tYJ24LJICQoP/s1600/ratu.jpg

PUPUH

M I J I L

1. Dhuh mas mirah aja sumlang ati, titenana ingong, lamun supe marang sira angger, marcapada myang dêlahan yayi, nggon-ingsun mangabdi, ditulus sihipun.

Aduh emas merahku janganlah gundah di hati, buktikanlah, aku tidak akan lupa kepadamu, dari hidup sampai mati yayi (dinda), pengabdian cintaku, tulus dan murni.

2. Nadyan ingsun pas wus sugih krami, tur sami yu kaot, gênging trêsna wus tan liya angger, ingkang dadi têlêng ingsun kang sih, mung andika Gusti, nggen sun ngawu-awu.

Walaupun aku banyak memiliki istri, yang sangat cantik-cantik, besarnya cintaku hanya untukmu, yang menjadi cinta utamaku, hanya kamu Gusti (Ayu), aku benar-benar tergila-gila.

3. Malawija neng jro tilam sari, tan lêngganing pangkon, mung pun kakang timbangana angger, ingsun yekti anandhang wiyadi, dereng antuk jampi, tan lyan sira masku.

(Tidakkah kau lihat) besarnya hasratku di atas ranjang kepadamu, tak lepas-lepas aku memangkumu, hanya saja aku meminta buktikan cintamu, pastilah aku akan tetap menderita sakit, yang tak mendapatkan penyembuhan, hanya kamu obat penyembuhku.

4. Ambirata rêntênging tyas kingkin, satêmah sun-antos, nadyan kinen laju jrak neng kene, tan suminggah sakarsa mêstuti, nging kapriye yayi, solahe wadyengsun.

Lenyapkanlah gundahnya hati yang menderita, sungguh aku nantikan, walau harus aku menunggu di sini, aku akan melakukannya, akan tetapi bagaimana yayi (dinda), dengan para rakyatku?

5. Narpaning Dyah tyasnya lir jinait, kapraneng pamuwos, kemanisen kakung pangrengihe, dadya luntur sihira Sang Dewi, mring kakung lon angling, Pangran nuwun tumrun.

Bagaikan tertusuk jarum pemintal hati Ratu Wanita, terperangah oleh kata-kata, ucapan manis sang pria (Panembahan Senopati) yang manis, merebaklah cinta Sang Dewi sepenuhnya, kepada Sang pria (Panembahan Senopati) pelahan dia berkata, Turunkan aku Pangeran.

6. Sing ngêmbanan wus tumrun Sang Dewi, long lênggah sêkaron, malih Sang Dyah matur mring kakunge, Pangran nuwun ngapuntên kang cêthi, dene kumawani, dosa gungan kakung.

Sang Dewi telah turun dari pangkuan, pelan duduk berjajar, berkata lagi Sang Dyah kepada Sang pria (Panembahan Senopati), Mohon maafkan hamba, karena telah berani, kepada seorang pria yang hamba berbakti kepadanya.

7. Datan langkung panuwuning cêthi, sih trêsnanya yektos, sampun siwah putra wayah tembe, tinulusna darbe cêthi mami, kakung ngrakêti ngling, Dyah ingras pinangku.

Tiada lain permintaan hamba, hanyalah kesungguhan cinta, jangan sampai terputus hingga anak cucu kangmas nanti, seterusnya menjadi kekasihku, Sang pria (Panembahan Senopati) memeluk sembari berkata, dan memangku kembali serta menciumi mesra.

8. Ya mas mirah aja sumlang galih, sok bisaa klakon, malih Sang Dyah matur mring kakunge, Nggih Pangeran yen wus mangguh wêsthi, praptanireng jurit, mrih enggal lun tulung.

Baiklah emas merahku janganlah ragu, kelak pasti akan terjadi, lagi Sang Dyah berkata, Terima kasih Pangeran apabila tengah menghadapi bahaya, di tengah peperangan, agar supaya saya bisa secepatnya membantu.

9. Magut Sang Dyah kakung lon winangsit, ubayaning têmon, Sêdhakêpa myang mêgêng napase, anjêjaka kisma kaping katri, yêkti amba prapti, ngirit wadya lêmbut.

Sang Dyah mendekatkan wajahnya kepada sang pria (Panembahan Senopati) sembari pelan memberikan petunjuk, sebagai akhir pertemuan mereka, Bersedekaplah kangmas sembari menahan nafas, jejakan kaki ke tanah sebanyak tiga kali, pastilah hamba akan datang, bersama para prajurit makhluk halus.

10. Lawan amba atur araneng jurit, mrih dibya kinaot, Tigan Lungsung Jagad nggih namine, dhinahara gung sawabe ugi, panjang yuswa yêkti, kyating sara timbul.

Dan hamba haturkan agar senantiasa unggul dalam peperangan, agar supaya sakti tak terkalahkan, sebutir Telur bernama Lungsung Jagad, makanlah akan besar khasiatnya, panjang usia, kekuatan tersembunyi akan timbul.

11. Lawan Lisah Jayengkatong nami, dewa kang sih mring ngong, kalih sampun ngaturkên kakunge, Senapati sawusnya nampeni, langkung trustheng galih, antuk sraneng pupuh.

Dan juga Minyak bernama Jayengkatong, pemberian Dewa kepada hamba. Kedua benda telah dipasrahkan kepada Sang pria (Panembahan Senopati), (Panembahan Senapati) setelah menerima, sangat gembira dihati, karena mendapat sarana ampuh untuk keunggulan dalam perang.

12. Malih Sang Dyah mangsit marang laki, ngelmining keraton, mrih kinedhêp mring lêlêmbut sakeh, Senapati wus kadriyeng wangsit, wusana Sang Dewi, ngrakêt wêcêng kakung.

Kembali Sang Dyah memberikan petunjuk kepada sang pria (Panembahan Senapati), Ilmu Keraton Pantai Selatan, agar supaya disegani, seluruh makhluk halus, (Panembahan) Senapati telah memahami semua petunjuk, setelah itu Sang Dewi, memeluk erat-erat Sang pria (Panembahan Senopati).

13. Dhuh Pangeran yen marengi karsi, ing panuwun ingong, sampun age-age kondur mangke, wilangun lun yekti dereng dugi, paran polah mami, yen paduka kondur.

Aduh Pangeran jika bersedia, memenuhi permintaan hamba, tundalah kepulangan kangmas, menurut hamba belum saatnya, bagaimana dengan saya nanti, apabila paduka pulang sekarang?

14. Raka ngimur mrih lipuri yayi, Adhuh mirah ingong kang sih trêsna marang ing dasihe, myang sak jarwa wus sun trima yayi, nging sun mêksa amit, mêgat oneng masku.

Sang Raka (Kanda) menghibur hati Sang Yayi (Dinda), Aduh emas merahku, cinta kasihku sudah jelas kamu buktikan, bahkan petunjukmu telah aku terima yayi (dinda), bagaimanapun juga aku memaksakan diri untuk pamit, berpisah dengan engkau emas merahku.

15. Aja brangta mirah wong akuning, lilanana ingong, ingsun kondur mring Mataram prajeng, nora lama mêsthi nuli bali, mring Pureng Jêladri, tuwi dika masku.

Jangan tersedihkan oleh karena rindu emas merahku, relakanlah aku, pulang ke Kerajaan Mataram, tidak akan lama aku pasti kembali, ke Istana Samudera, menemui engkau oh emasku.

16. Saking labêt datan bêtah mami, pisah lan mas ingong, sangking wrate wong mêngkoni prajeng, Sang Dyah ngungsêp pangkyan ngling ing laki, Pangran sampun lami, nggih nuntêna wangsul.

Sungguh sebenarnya tidak tahan aku, berpisah dengan emasku, hanya karena berat tanggung jawab seorang Raja yang memiliki rakyat (maka terpaksa aku harus pulang), Sang Dyah menjatuhkan kepala ke pangkuan dan berkata, Jangan terlalu lama oh Pangeran, segeralah kembali.

17. Dugi nggusthi mêgat onenging sih, gya mijil sang anom, Ratu Kidul ndherekkên kondure, asarimbit kêkanthen lumaris, rawuh Srimanganti, gya kakung nglingnya rum.

Dan pada akhirnya waktu perpisahan tiba, segera keluar Sang Anom (Muda), Ratu Kidul melepas kepulangannya, beriringan sembari bergandeng tangan, tiba di Srimenganti, segera sang pria (Panembahan Senopati) berkata manis.

18. Wus sun trima sih-ira mas yayi, nggennya ngatêr mring ngong, among ingsun minta sih-ira-ngger, srana tumbal usadaning kingkin, Sang Dyah manglêgani, sih katrêsnane kakung.

Sudah cukup aku terima bakti cintamu yayi (dinda), dengan mengantarkan kepergianku, sebelum berpisah aku minta bukti cintamu sekali lagi, sebagai tumbal terampuh untuk mengobati kerinduanku. Sang Dyah menuruti, permintaan Sang pria (Panembahan Senapati).

19. Atur gantyan manglungkên sing lathi, tinampen waja lon, gêrêgetan ginigit lathine, Sang Dyah kagyat Raka sru pinulir, purna kang karon sih, sewangan lêstantun.

Segera pasrah menyediakan bibir indahnya, bertaut bibir dan gigi pelan, gemas digigit bibir ranumnya, Sang Dyah terkejut namun segera membalas ciuman, selesailah yang tengah dimabuk cinta, lantas berpisah.

20. Senapati praptanireng njawi, puranya Sang Sinom, sirna wangsul keksi samodrane, Senapati nggenya napak warih, lir mangambah siti, tinindakkira laju.

(Panembahan) Senopati telah sampai di luar, istana Sang Awet Muda (Kangjeng Ratu Kidul), sirna seketika wujud istana dan berganti samudera, (Panembahan) Senapati saat menapaki air laut, bagaikan berjalan di tanah rata, dia berjalan terus.

21. Senapati sak praptaning gisik, wêspadeng pandulon, kang pitêkur neng Parangtritise, wus saestu lamun Guru yêkti, niyakaning Sunan Adilangu.

Sesampainya (Panembahan) Senopati di pesisir pantai, waspada seketika, manakala melihat siapa yang tengah bertafakur di pantai Parangtritis, jelas terlihat adalah Sang Guru, tak lain adalah Sunan Adilangu (putra Sunan Kalijaga).

22. Senapati gepah nggen mlajengi, mring Guru sang kaot, prapta laju, mangusweng padane, pamidhangan ngasta mring Sang Yogi, luwarnya ngabekti, lengser lenggah bukuh.

Cepat (Panembahan) Senapati berlari, mendekati Sang Guru yang mulia, bersujud di kakinya, lantas mencium tangan Sang Yogi, selesai berbakti, segera duduk bersila takzim.

23. Sunan Adi gya ngandika aris, Jêbeng sokur ingong, lamun sira katêmu neng kene, sabab ingsun arsa anjarwani, pratingkah kang yêkti, mrih arjaning laku.

Sunan Adilangu segera berkata pelan, Anakku sangat bersyukur diriku, bisa bertemu denganmu di sini, sebab aku memang ingin memberikan nasehat kepadamu, tentang perbuatan yang patut, agar selamat senantiasa dirimu.

24. Sira sinung digdaya lan sêkti, ngluwihi sagung wong, sun prêlambang samodra pamane, kita ambah tan têlês kang warih, lir dharatan ugi, tyasnya aja ujub,

Dirimu diberi anugerah digdaya dan sakti, melebihi manusia umumnya, terbukti di tengah samudera, kamu berjalan di atasnya tanpa terbasahi oleh air sedikitpun, bagaikan kamu berjalan di daratan, walau begitu janganlah sombong.

25. Riya Kibir Sumêngah tan keni, sêgahe Hyang Manon, Nabi Wali Oliya sêdene, yen nêraka tuk sikuning Widdhi, karseng Hyang Piningit, bab catur piyangkuh.

Riya’ (Pamer) Kibir (Sombong) congkak itu semua tidak sepatutnya, larangan Hyang Manon (Yang Maha Agung), juga larangan para Nabi Wali dan Auliya’ semua, akan mendapatkan neraka sebagai kutuk Hyang Widdhi, begitulah larangan Yang Maha Tersembunyi, tentang keangkuhan.

26. Wong gumêdhe anglungguhi kibir, sapa padha lan ngon, larangane Hyang Sukma Kang Murbeng, kibir riya piyangkuhing jalmi, mrih ngalêma luwih, keringan sawêgung.

Manusia yang merasa tinggi dan sombong, siapa yang bisa menandingi aku, benar-benar larangan Hyang Suksma (Yang Maha Samar) Sang Penguasa Sejati, kesombongan, suka pamer serta keangkuhan, agar supaya dipuji lebih dari yang lain, lebih terkenal dari sesama.

27. Amêmadha marang ing Hyang Widdhi, wong pambêg mengkono, kalokeng rat mring praja liyane, ujubira piyangkuh ngêngkoki, gawoka kang ngeksi, lumaku gumunggung.

Seolah-olah mempersamakan dirinya dengan Hyang Widdhi, manusia yang seperti itu, terkenal di dunia dan kerajaan lainnya, keangkuhan dan ingin memperlihatkan dirinya terus menjadi, agar supaya kagum yang melihat, agar supaya senantiasa dipuji-puji.

28. Sak solahe was tan darbe maning, mung lêgane batos, sakeh patrap ja mêngkono jêbeng, Senapati tuhunên kang kapti, lan sun plambang maning, kan tan lungguh ngelmu

Setiap tindakan sudah tidak memiliki pertimbangan, hanya menuruti kepuasan diri sendiri, janganlah seperti itu anakku, ingatlah akan tujuan hidup yang sesungguhnya oh Senapati, dan aku nasehatkan satu hal lagi, bahwa manusia yang benar-benar memegang ilmu.

29. Aja sira pambêg kaya langit, bumi gunung argon, lan samodra plambang patrap kabeh, pan ya kaki pambêganing langit, saengganing jalmi, ngêndêlkên yen luhur.

Janganlah bersikap seperti langit, seperti bumi seperti gunung, dan seperti samudera, yang dimaksud bersikap seperti langit, adalah seorang manusia, yang mengandalkan keluhurannya.

30. Bumi kandêl jêmbare ngluwihi, dwi lir pambêging wong, wus tan ana mung iku dayane, myang kang gunung digung gêng inggil, sagra jro tirtaning, gurnita kang alun,

Jangan bersikap seperti bumi yang tebal dan luasnya melebihi apapun, jikalau manusia, bersikap seolah tidak ada lagi yang melebihi luasnya kekuasaannya, bersikap seperti gunung merasa besar dan tinggi, bersikap seperti samudera merasa paling dalam pengetahuannya, dan merasa paling dahsyat ombaknya.

31. Ngêndêlakên digdayane sami, bumi samodra rob, langit arga pambêg jalma kabeh, wus tan ana polataning maning, sisip pambêg jalmi, kurang jêmbar kawruh.

Semua mengandalkan kedigdayaannya, bumi dan samudera, langit dan gunung adalah seumpama watak-watak jelek manusia, sudah tiada kebaikannya lagi, sesat kelakuan manusia yang seperti itu, kurang luaslah wawasannya.

32. Yen sira yun wigya dadi Aji, mangreh sagunging wong, aja pêgat istiyarmu jêbeng, laku pasrah mring Kang Murbeng Bumi, neng musik di-êning, mrih uning Sukma Gung.

Jikalau kamu menginginkan untuk menjadi Aji (Raja), menguasai seluruh orang, jangan pernah putus usahamu anakku, senantiasa berpasrah kepada Yang Maha Menguasai Bumi, heningkanlah segala keliaran batinmu, agar supaya bisa mengetahui Suksma Agung (Maha Samar Yang Agung).

33. Ginampangan sêka karseng Widdhi, di-têrang pandulon, aja sêrêng sak pêkoleh bae, ngibadaha nglungguhana gami, nging driya di eling, mrih manise wadu.

Pastilah akan gampang terwujud apa yang kamu kehendaki atas kehendak (Hyang) Widdhi, buatlah terang penglihatan kesadaranmu, jangan suka bertindak seenaknya, perbanyak ibadah penuhilah perintah agama, dalam hati senantiasa diingat, agar manis jalan hidupmu.


PANEMBAHAN SENOPATI DAN RATU PANTAI SELATAN (3)

Oleh : Damar Shashangka

Diambil Pupuh-Pupuh yang menceritakan pertemuan antara Panêmbahan Senopati, Penguasa Mataram dengan Kangjêng Ratu Kidul, Ratu Pantai Selatan.


PUPUH

DHANDHANGGULA

1. Lawan jêbeng ya sun tanya yêkti, antuk apa sira sêka sagra, Senapati lon ature, Inggih binêktan ulun, Tigan Lungsung Jagat ken nêdhi, lan Jayengkaton lisah, dwi sêrana katur, Sang Wiku wrin lon dêlingya, Katujone durung kongsi sira bukti, yen wis-a dadi apa.

Dan lagi anakku sungguh aku ingin bertanya, apa yang kamu dapatkan dari tengah samudera? (Panembahan) Senopati menjawab pelan, Yang saya peroleh, Telur Lungsung Jagad yang harus saya makan, dan Minyak Jayengkatong, kedua benda dihaturkan, Sang Wiku melihat dan berkata, Untunglah belum sempat kamu pakai, jikalau sudah kamu pakai aku tak bisa membayangkan akan menjadi apa kamu?

2. Têmah antuk sêngsareng ngaurip, yêkti wurung sira dadi Nata, nggonirarsa mêngku ngrate, sida neng samodra gung, datan bisa mulih Matawis, de wadyanta tan wikan, myang garwa putramu, labête wus salin tingal, kita dadi jodhone Ni Kidul mêsthi, sabab nir manungsanya.

Hanya akan mendapatkan kesengsaraan hidup, akan gagal keinginanmu untuk menjadi Raja, gagal impianmu menguasai dunia, kamu akan tinggal di dalam samudera, tidak akan bisa pulang ke Mataram, seluruh rakyatmu tidak akan bisa melihatmu, begitu juga istri dan anakmu, karena sudah berganti alam, menjadi pasangan Ratu Kidul, hilanglah wujud manusiamu.

3. Maneh jêbeng sun tanya kang yêkti, sira rêmên marang narpaning dyah, kaya ngapa suwarnane, Senapati lon matur, Wananipun ayu nglangkungi, sak tuwuk dereng mriksa, kêng kadya Dyah Kidul, Sang Wiku mesêm ngandika, Kêsamaran kita jêbeng Senapati, kêna ngayu sulapan.

Dan lagi aku sungguh-sungguh bertanya, kamu jatuh hati kepada Ratu Wanita, bagaimanakah wujudnya? (Panembahan) Senopati menjawab pelan, Wujudnya sangat cantik, seumur hidup belum pernah hamba melihat, wanita secantik Dyah Kidul, Sang Wiku tersenyum dan berkata, Engkau jatuh cinta, terpikat wujud cantik yang sesungguhnya hanyalah sihir belaka.

4. Sabab sira durung sidik ngeksi, nguni sun wus namun manjing Pura, Dyah supine ya sun colong, neng jênthik driji Sang Rum, iki warna dêlêngên kaki, kagyat Sang Senapatya, nggenira andulu, de supe langkung gêng-ira, pan sak wêngku tebok bolonging li-ali, tumungkul Senapatya.

Sungguh kamu belum awas, dulu aku sudah pernah memasuki Istana (samudera), cincin (Sang) Dyah aku curi, dari jari kelingking Sang Rum (Wangi), lihatlah ini anakku, terkejut Sang (Panembahan) Senapati, manakala melihat, wujud cincin sedemikian besarnya, sebesar tebok (tampah kecil tempat memilah butiran padi dengan kulitnya setelah ditumbuk, terbuat dari jalinan bambu : Damar Shashangka) lobang lingkarannya, (Panembahan) Senapati tertunduk.

5. Driya maksih maiben ing galih, Sunan Adi ing tyas wus waskitha, Senapati tyas sandeyeng, wusana ngling Sang Wiku, Payo jêbeng ya padha bali, mumpung Narpeng Dyah nendra, katon warna tuhu, mêngko jêbeng waspadakna, ri wusira Jêng Sunan lan Senapati, linggar manjing samodra.

Masih belum percaya dalam hati, Sunan Adi menangkap ketidakpercayaan itu, bimbanglah hati (Panembahan) Senapati, lantas berkatalah Sang Wiku, Anakku mari kita buktikan, mumpung Ratu Wanita sedang tidur sekarang, akan terlihat wujudnya yang asli, perhatikanlah dengan seksama nanti, setelah itu Jeng Sunan dan (Panembahan) Senapati, berjalan ke tengah samudera.

6. Sak praptaning jro Pureng Jêladri, Ratu Kidul wus kêpanggih nendra, nglênggorong langkung agênge, lukar ngorok mandhêkur, rema gimbal jatha mangisis, panjangnya tigang kilan, sak carak gêng-ipun, kopek nglembereh sakiyan, Senapati kamigilan wrin ing warni, tansah lêgêg tan nêbda.

Sesampainya didalam istana samudera, Ratu Kidul didapati tengah tertidur, tubuhnya rebah dan sangat-sangat besar, bahkan terdengar bunyi dengkurannya, rambut gimbal taringnya tampak mencuat, panjangnya tiga jengkal jari, sebesar carak (ceret/tempat air minum) besarnya taring, payudaranya menggelantung turun, (Panembahan) Senapati ngeri melihat wujud tersebut, terpaku tak bisa bicara sepatah katapun.

7. Sunan Adi nêbdeng Senapati, Jêbeng iku warnane sanyata, kang bisa ayu sulape, linulu mring Hyang Agung, lamun wungu sakarêp dadi, bisa salin ping sapta, sadina warna yu, yen wis tutug pandulunya, payo mulih bok mênawi mêngko tangi, gawe rêngating driya.

Sunan Adi berkata kepada (Panembahan) Senopati, Anakku itulah wujud dia yang sesungguhnya, bisa berubah wujud sangat-sangat cantik hanya karena kekuatan sihir belaka, mendapat anugerah dari Hyang Agung, manakala terjaga dari tidur wujud apapun yang diinginkannya bisa dia buat, mampu merubah wujud tujuh kali, dalam sehari dengan wujud cantik yang berbeda-beda, apabila kamu sudah cukup melihat, mari kita segera pulang jangan sampai nanti dia terbangun, tidak enak di hati jadinya nanti.

8. Wusnya nulya kentar pyagung kalih, ing samarga Sunan tansah jarwa, Ya sun tan malangi jêbeng, nggonira kita wanuh, lan Dyah Narpa sak karsa kaki, wis bênêr karsanira, nging ta cêgah ingsun, wênangira mung pêrsobat, sabab iku kang rumêksa Pulo Jawi, wênang sinambat karsa.

Setelah itu segera beranjak pulang kedua priyayi (bangsawan) agung, sepanjang jalan Sunan (Adilangu) terus menasehati, Aku tidak bermaksud menghalangi anakku, kedekatanmu, dengan Ratu Wanita terserahlah kepadamu, sesungguhnya sudah benar apa yang kamu lakukan (sebagai seorang Raja), namun aku menyarankan, sebatas pertemanan saja (antara dua orang Penguasa), sebab dialah yang menjaga pulau Jawa, tak ada salahnya jika dimintai bantuan.

9. Mayo padha mulih mring Matawis, ingsun arsa kampir wismanira, wusnya dwi gancang tindake, Sunan ing Ngadilangu, dhinerekkên lan Senapati, tindakira lir kilat, sakêdhap prapta wus, njujug dalêm pêpungkuran, Sunan Adi lawan wayah Senapati, arsa ngyêktekkên srana.

Marilah kita pulang ke Mataram, aku ingin mampir sejenak ke istanamu, setelah itu keduanya mempercepat jalan masing-masing, Sunan Adilangu, diiringi (Panembahan) Senapati, jalannya secepat kilat, hanya sekejap saja sudah sampai, langsung menuju ruang belakang, Sunan Adi dan sang cucu yaitu (Panembahan) Senapati, hendak membuktikan khasiat benda yang diperoleh dari samudera.

10. Juga Juru Taman Senapati, jalma tuwa madad karêmannya, dadya mêngguk raga ngronggok, yen angot tan tuk turu, sambat muji marang Hyang Widdhi, nuwun kuwatan rosa, pinanjangna ngumur, sabên muji pan mangkana, kantya tan wrin yen gustenira miyosi, tumrun bale krengkangan.

Tersebutlah Juru Taman (Panembahan) Senapati, sudah uzur usianya dan suka madat, sehingga terkena sakit batuk badannya kurus, jika kumat batuknya dia tak bisa tidur semalaman, memohon selalu kepada Hyang Widdhi, supaya diberikan kesehatan, agar diberikan panjang umur, setiap berdoa pasti seperti itu permintaannya, saat itu tak disadarinya jika Gustinya menghampiri, berusaha turun dia dari balai dengan susah payah.

11. Senapati wusnya lêngah angling, Heh Ki Taman mau sun miyarsa, sira muji minta kyate, iku ta apa tuhu, minta ing Hyang saras-ing sakit, lan dawane mur-ira, Juru Kêbon matur, Nggih Gusti yêktos amba, rintên dalu nênuwun maring Hyang Widdhi, panjanging umur saras.

Setelah duduk berkatalah (Panembahan) Senapati, Hai Ki Taman aku tadi melihat, engkau berdoa meminta kekuatan badan, apakah permintaanmu itu sungguh-sungguh? Meminta sembuhnya penyakitmu, meminta panjangnya usiamu, Juru Kebun (Taman) menhaturkan jawaban, Benar Gusti sungguh hamba, siang malam meminta kepada Hyang Widdhi, agar diberikan usia panjang dan kesembuhan.

12. Yen wis mantêp panuwunmu kaki, sun paringi sêsarating gêsang, dimen sirna lara kabeh, Ki Taman nêmbah nuwun, majêng sinung Tigan tinampi, laju kinen nguntala, saksana nguntal wus, Ki Taman mubêng angganya, lir gangsingan tantara jumêglug muni, wrêksa sol sangking prênah.

Kalau memang kamu sungguh-sungguh, aku akan memberikan sarana buat hidupmu, agar supaya sirna segala penyakitmu, Ki Taman menghaturkan terima kasih, bergerak mendekat diberi telur dan diterima sudah, segera disuruh memakan mentahan, segera dimakan seketika itu juga, Ki Taman berputar-putar tubuhnya, bagaikan gasing dan menggeram keras, suaranya bagaikan pohon yang tumbang dari tempatnya.

13. Gya jênggelek warna gêng nglangkungi, Juru Taman lir gunung anakan, jatha gimbal kalih kagêt, wrin langkung tyasnya ngungun , Sang Wiku ngling mring Senapati, Iku jêbeng dadinya, yen nut mring Ni Kidul, Sang Sena mingkuh tan nebda, mitênggêngên gêgêtun uningeng warni, de kadya arga suta.

Seketika berubah wujudnya sangat besar, Juru Taman bagaikan gunung anakan besarnya, taring muncul dan rambut berubah gimbal terkejut (Panembahan Senapati), melihat kejadian itu sangat heran hatinya, Sang Wiku berkata kepada (Panembahan) Senapati, Seperti itulah kejadiannya, apabila kamu menuruti perkataan Ratu Kidul, Sang (Panembahan) Sena(pati) tak bisa berkata-kata, tertegun dan kecewa melihat akan hal itu, melihat wujud bagai anakan gunung.

14. Sunan Adi gya ngandika malih, Kari siji jêbeng nyatakêna, kang ran Lênga Jayengkatong, Sang Senapatya mêstu, nulya dhawuh kinon nimbali, pawongan nguni êmban, têngran Nini Panggung, lan gamêl nami Ki Kosa, tan adangu kalihnya wus têkap ngarsi, Sang Sena lon ngandika.

Sunan Adi(langu) segera berbicara lagi, Tinggal satu benda lagi anakku buktikanlah, apa yang dinamakan Minyak Jayengkatong tersebut, Sang (Panembahan) Senapati menurut, lantas memerintahkan untuk memanggil, seorang emban (pelayan wanita), bernama Nini Panggung, dan seorang penabuh gamelan bernama Ki Kosa, tak berapa lama kemudian keduanya telah menghadap, Sang (Panembahan) Sena(pati) pelan berkata.

15. Bibi Panggung mula sun timbali, lan si Kosa ya padha sun jajal. nggonên Lênga Jayengkatong, nggennya sung Ratu Kidul, yen wis ngarja sêkti ngluwihi, kang liningan wot sêkar, tan lêngganeng dhawuh, Panggung Kosa tinetesan, Jayengkatong gya sirna kalih tan keksi, pan wus manjing nyeluman.

Bibi Panggung kamu saya panggil, berikut Ki Kosa kalian berdua akan aku coba, untuk memakai Minyak Jayengkatong, pemberian Ratu Kidul, apabila sudah memakai pasti akan menjadi sakti luar biasa, yang diperintahkan hanya menurut, tidak membantah lagi, (Nini) Panggung (dan) Ki Kosa ditetesi, (Minyak) Jayengkatong seketika tak terlihat keduanya, beralih alam menjadi siluman.

16. Sak sirnanya ngungun Senapati, abdi tiga pan salah kêdadyan, wusana lon ngandikane, Heh Kosa bibi Panggung, de wong roro padha tan keksi, umatur kang sinêbdan, Inggih Gusti ulun, keng cêthi tan kesah-kesah, sangking ngarsa wit pinaringan lisah Gusti, de mawi tan katinggal.

Begitu keduanya sirna tak terlihat heranlah (Panembahan) Senapati, ketiga abdinya berubah tidak lumrah, lantas pelan dia berkata, Hai (Ki) Kosa (dan) Bibi Panggung, kalian sekarang tidak bisa dilihat oleh mata lagi. Menjawab yang telah tak terlihat, Benarlah demikian Gusti, namun saya tidak akan pergi jauh (dari istana Mataram), semenjak saat diberi Minyak oleh Gusti, walaupun kami tak akan bisa dilihat mata.

17. Sunan Adi lon nambungi angling, Heh Ni Panggung sira lan si Kosa, padha narimaa karo, pan wus karseng Hyang Agung, sira dadi wadaling Gusti, dede jatining jalma, mêngko tan kadulu, pan wis dadi ê-Jim padha, nging ta sira aja lunga sing Matawis, êmongên Gustinira.

Sunan Adi(langu) pelan menyahut, Hai kamu Ni Panggung dan si Kosa, ikhlaskanlah ini semua, sudah menjadi kehendak Hyang Agung, kalian semua dijadikan tumbal oleh Gusti kalian, kalian sekarang bukanlah manusia, sudah tidak bisa dilihat, kalian sudah berubah menjadi Jin, akan tetapi janganlah kalian meninggalkan Mataram, dampingilah Gusti kalian.

18. Prayogane jêbeng Senapati, bocahira têlu ingsun prênah, Panggung Kosa ing ênggone, anenga wringin sêpuh, Juru Taman neng Gunung Mrapi, ngêreha lêmbut ngarga, rumêksa-a kêwuh, mungsuh kirdha jroning praja, Juru Taman kang katêmpuh mapag jurit, mêstu kang sinung sêbda.

Sepertinya akan lebih baik oh anakku Senapati, apabila ketiga abdi ini aku tempatkan, (Nini) Panggung dan (Ki) Kosa, penunggu di pohon Beringin tua, sedangkan Juru Taman aku tempatkan di Gunung Merapi, memimpin seluruh makhluk halus yang ada di gunung tersebut, menjaga keamanan, menghadang musuh yang hendak merusak kerajaan, Juru Taman yang bertugas menghadapi, semua yang diperintah mematuhinya.

19. Katrinya wus kinon manggon sami, Panggung Kosa lawan Juru Taman, sang kalih dugi karsane, gya kondur dalêmipun, Senapati ngungun ing galih, duk aneng pureng sagra, de meh sisip nglakur, Sunan Adi gya ngandika, Senapati wismamu tan dipagêri, kêbo glar neng pêgungan.

Ketiganya sudah menempati tempat yang diperintahkan, (Nini) Panggung (Ki) Kosa dan Juru Taman, setelah selesai membuktikan, kedua priyagung (Sunan Adilangu dan Panembahan Senapati) masuk ke dalam istana, (Panembahan) Senapati terus terheran-heran dalam hati, hasil dari istana samudera, hampir saja membuat dia celaka salah jalan, Sunan Adi(langu) mendadak berkata, Senapati istanamu tanpa pagar pembatas, bagaikan seekor kerbau yang dibiarkan terumbar.

20. Tanpa kandhang ya kang kêbo sapi, heh ta jêbeng Senapati Nglaga, iku pan sisip pasrahe, karana Allah dudu, piyangkuhmu aneng Matawis, sebarang karsanira, kadhinginan ujub, kêbo sapi tanpa kandhang, wahanane sapa wani marang mami, dursila satru kridha.

Tanpa kandang, oh anakku Senapati Ngalaga, hal ini adalah kepasrahan yang keliru, bukan kepasrahan kepada Allah yang benar, bahkan terkesdan angkuh kerajaan Mataram, semua perbuatanmu, selalu didahului kecongkakan, bagai kerbau dan sapi tanpa kandang, menampakkan siapa yang berani dengan aku, akan memancing orang jahat dan musuh.

21. Bêcik nganggo ênêng lawan êning, lumakuwa sokur lawan rêna, wisma-a lan pêpagere, kêbo sapi yen ucul, kêluhana dipuncêkêli, yen mulih prapteng wisma, kandhangna sadarum, sêlarahe pacêlana, tunggonana yen turu kêlawan wengi, pasrahna mring Kang Murba.

Kenakanlah kesadaran yang jernih (ening) dan penuh ketenangan (eneng), berjalanlah dengan hati penuh syukur dan tulus, istana dengan diberi pagar (adalah wujud kepasrahan yang benar), ibarat kamu memiliki kerbau dan sapi jika berontak hendak lepas, pegang erat keluh (tali pengikat yang ada dihidung)nya, apabila di dalam kandang, masukkanlah semuanya, kunci rapat pintu kandang, jagalah baik-baik siang maupun malam, itulah bentuk kepasrahan yang benar kepada Sang Penguasa Sejati.

22. Anganggoa andum lawan milih, dipatuta lan lakuning praja, lungguh-ira lan ngelmune, istiyar-mu di-agung, anganggowa sumêndhe Widdhi, sêbarang tingkahira, anganggoa sokur, karane dipun prayitna, laku linggih solah muna lawan muni, pracihna dadi nata.

Pilahlah dan pilihlah, apa saja yang pantas bagi sebuah kerajaan, yang sesuai dengan kedudukan dan kecerdasan kamu, perbanyaklah ikhtiar, dan bersandar kepada (Hyang) Widdhi, setiap tindakanmu, warnailah dengan rasa syukur, senantiasa ingat, baik saat berjalan duduk berbicara, ingatlah bahwa kamu adalah Raja.

23. Mêngko jêbeng ingsun mêrtikêli, karya kitha mrih kukuh prajanta, salamêta prapta ing têmbe, jêbeng ngambila ranu, aja akeh kêbak kang kêndhi, Senapati wot sêkar, dhawuh cêthi mundhut, tirta ing kêndhi pratala, kang liningan sandika nulya nyaosi, tirta mungging lantingan.

Nanti akan aku berikan petunjuk anakku, bagaimana membangun kota agar kokoh kerajanmu, selamat sejahtera hingga nanti, ambilkan air anakku, jangan terlalu banyak air di dalam kendhi secukupnya saja, (Panembahan) Senapati memenuhi permintaan, segera menyuruh agar mengambil, air didalam kendhi tanah, yang diperintahkan segera mengambilkan dan tak lama kembali membawa apa yang diminta, air di dalam kendhi.

24. Nulya linggar wau Sunan Adi, ngasta pandêlêngan isi tirta, tindak ngidêri dhadhahe, Senapati tut pungkur, sarwi mbêkta ingkang têtali, ngethengi rut-ing tirta, ngandika Sang Wiku, Heh ya jêbeng Senapatya, ge turutên sak tilase banyu iki, karyanên kuthanira.

Lantas bergeraklah Sunan Adi(langu), sembari membawa kendhi berisi air, berjalan mengelilingi perbatasan, (Panembahan) Senapati mengiringi di belakang, sembari membawa tali, untuk mengukur tanah dimana air dicurahkan, berkata Sang Wiku (Sunan Adilangu), Hai anakku Senapati, ikutilah bekas dimana air aku curahkan, bangunlah tembok kota di situ.

25. Jêbeng rehne tumitah ngaurip, aja kandhêg laku panarima, lan diwêruh wêwekane, ingon-ingonmu sagung, uga padha kêlawan kasih, yen kurang pangrêksanya, têmah praja eru, saking datan wruh ing wêka, nora ngrasa yen manungsa mung sinilih, marang Kang Murbeng Alam.

Karena dititahkan menjadi makhluk hidup oh anakku, jangan berhenti menjalankan hati yang dipenuhi syukur, dan seyogyanya biasa memperhatikan kebutuhan, dari semua rakyatmu, perlakukan dengan kasih, manakala kurang diperhatikan, bakal menciptakan rusa juhnya kerajaan, disebabkan kurangnya perhatianmu, tidak merasa bahwa semua ini hanyalah pinjaman, pinjaman dari Yang Menguasai Alam.

26. Lawan sira diwaspadeng gaib, lamun kita marentah mring wadya, enakêna kabeh tyase, tuhunên ujar ingsun, nuli siram rêntaha dasih, awita konên nyithak, wongira Matarum, sak pakolehe nggon karya, bêcingahên kuthanira den bêcik, dadya tilar sun wuntat.

Dan waspadalah selalu, manakala kamu memberikan perintah kepada seluruh rakyat, buatlah nyaman hati mereka, turutilah nasehatku, siramilah hati mereka denga kasih, sekarang mulailah mencetak, suruhlah orang-orang Mataram, dalam bekerja, usahakan mengerjakan sebagus mungkin, sehingga bisa bertahan lama sampai nanti.

27. Jêbeng yen wis jumbuh traping urip, sasat sira wus madêg narendra, mêngkoni ngrat Jawa kabeh, nêtêpi manungsa gung, lan Hyang Sukma kinarya silih, mêngkoni ngalam padhang, kang kuwasa tuhu, asung sak warneng gumêlar, pan manungsa kang winênang andarbeni, lêstari tanpa kara.

Anakku manakala sudah sesuai dengan laku hidup yg sesungguhnya, sungguh bagaikan sudah menjadi Raja, sesuai dengan kelakuan manusia utama, menjadi wakil Hyang Suksma, menguasai alam dunia, yang bernar-benar berkuasa, kepada seluruh yang hidup, karena memang manusia seperti itulah yang berhak memiliki, dan akan kuat tanpa rintangan.

28. Lan diwêruh kahananing Widdhi, jêbeng uga nggene kang sênyata, pan ya sira sak solahe, nging kêsampar kêsandhung, dene sira nora ngulati, nggone cêdhak asamar, tan ana kang dunung, ngalela neng ngarsanira, Gustinira neng ngarsa katon dumêling, anging kalingan padhang.

Ketahuilah keberadaan (Hyang) Widdhi, oh anakku keberadaan-Nya yang sejati, sesungguhnya tak berpisah dengan segala aktivitasmu, akan tetapi tiada kamu hiraukan, bahkan tiada kamu ketahui, sangat dekat namun samar, tiada bertempat jauh di sana, benar-benar nyata di depanmu, Tuhan sesungguhnya ada di depan matamu, tetapi terliputi alam dunia.

29. Senapati wot sêkar nuwun sih, jarweng Sunan Adi wus kadriya, nging mêksih sandeya tyase, de naluri kang tinut,……………………………….., ………………………., ……………………………….., ……………………………., ………………………………., ……………………………….

(Panembahan) Senapati mematuhi dan menghaturkan terima kasih, semua nasehat Sunan Adi(langu) sudah dimasukkan dalam hati, namun masih gelisah hatinya, masih berat dengan keberadaan Ratu Kidul, ……………………………….., ……………………………., ……………………………, …………………………….., ………………………….., ………………………………., ………………………….

(Selesai)

Sumber : http://damar-shashangka.blogspot.com/2010/05/babad-tanah-jawa-3.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silaturahmi

Mengenai Saya

Foto saya
Orang Jawa, Islam yang nJawani, yang senantiasa berusaha saling asah, asih dan asuh serta hidup berdampingan dengan siapa saja secara damai tanpa saling mengganggu