Sastra Jendra, Energi Minimal dan Citra Ilahi dalam Diri
Oleh : Audifax
Ketika kita bicara tentang Spiritualitas dan penemuan situs-situs dari masa lalu, itu artinya kita juga bicara sebuah Psikologi Simbol dan Psikologi Kisah. Bagaimana pun, semua yang kembali dari masa lalu ini merupa dalam simbol dan kisah yang di dalamnya mengandung pesan atau nilai. Inilah sudut pandang penting yang perlu disadari.
Lantas, apa pentingnya kita membicarakan Simbol dan Kisah? Ada dua hal penting di sini: Pertama, manusia adalah mahluk yang hidup dan dihidupi oleh simbol. Kedua, manusia adalah mahluk yang menarasi. Masing-masing dari kita adalah sebuah narasi .
Esensi dari simbol dan kisah adalah selalu hadir sebagai pengganti dari sesuatu yang tak dapat hadir. Apa yang tak dapat hadir sehingga mewakilkan dirinya lewat simbol atau kisah? Jawabnya: Makna!. Ketika membahas makna, kita perlu waspada. Sudah terlalu sering orang mencampur-adukkan antara makna dan kebenaran. Makna sama sekali berbeda dengan kebenaran. Makna adalah sebuah kebernilaian yang membuat sesuatu, apapun itu, tak menjadi kosong belaka. Tapi, tak pernah ada sebuah kebenaran tunggal untuk makna, setiap makna meski datang dari sebuah simbol yang sama, ibarat surat, memiliki tujuannya sendiri-sendiri.
Agar suatu makna sampai pada tujuannya, dibutuhkan penuntun. Nah, penuntun inilah yang akan kita temukan dalam pembahasan temuan-temuan purbakala dan kaitannya dengan kebangsaan atau Indonesia. Barangkali di sini lantas muncul pertanyaan, penuntun menuju ke mana? Untuk siapa? Dari siapa?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ijinkan saya mengutip sebuah komentar dari pak Denny Nicholas di wall acara ini di Facebook. Komen pak Denny itu pun mengutip kisah Syech Siti Jenar. Kurang lebih begini:
Seseorang bertamu ke rumah Syech Siti Jenar dan terjadilah dialog berikut
Tanya: Saya mencari Syech Siti Jenar?
Jawab: Syech Siti Jenar tidak ada yang ada Allah
Tanya: Kalau begitu saya mau mencari Allah
Jawab: Allah tidak ada, yang ada Syech Siti Jenar.
Kutipan kisah itu sebenarnya kental salah satu prinsip sufisme: Aku mencari diriku dan hanya menemukan Allah, Aku mencari Allah dan hanya menemukan diriku.
Michael W. Fox, dalam buku Meditation with Animals, mengatakan bahwa saat ini kita nyaris kehilangan kontak dengan bagian dari diri kita sendiri, yaitu bagian yang resonansinya menghubungkan kita dengan mahluk hidup lain dan juga dengan alam semesta. Bagian dari diri kita ini sebenarnya memiliki kekuatan yang memampukan kita mengalami kesatuan spiritual antara keberadaan diri kita dan keberadaan segala hal lain di semesta. Kesatuan yang membuat kita mampu memahami bahwa di satu titik kita dan semua bentuk kehidupan berada dalam satu asal dan penciptaan.
Pencarian semacam inilah yang membutuhkan penuntun. Dan penuntun itu ada di sekeliling kita dalam bentuk simbol dan kisah. Artinya, untuk sampai pada makna, dibutuhkan pembacaan. Bacalah!, maka kau akan sampai pada kedalaman di mana makna ditemukan. Seperti juga tertulis dalam Injil Yohanes 1:1 yang berbicara tentang penciptaan semesta, di situ tertulis en arche en ho logos. Pada mulanya adalah Yang-Terbaca-dan-menjadi-pengetahuan atau logos. Maka itu, kehidupan di semesta ini adalah soal membaca hingga mencapai suatu kedalaman makna.
Lantas, sampai seberapa dalam suatu pembacaan bisa sampai pada makna? Kedalaman sebuah pembacaan, sebenarnya tak lepas dari seberapa dalam seseorang mampu mengakses dirinya sendiri. Ada sesuatu di kedalaman diri tiap orang, yang ketika banyak orang mampu menemukannya, maka akan membawa pada masyarakat yang lebih baik. Mengutip Lao Tzu, di situ dia mengatakan ”Memahami orang lain adalah kearifan, memahami diri sendiri adalah pencerahan”. Di sinilah saya akan masuk pada topik utama saya yaitu bagaimana menemukan apa yang terdalam dari diri, atau di sini saya istilahkan sebagai citra Ilahi .
Eksistensi mendahului Esensi
Ketika kita bicara tentang ’diri’ atau ’self’, maka di situ kita juga bicara mengenai setiap manusia selalu lahir dalam sebuah eksistensi. Kalau kita di sini membicarakan bangsa Indonesia, kejayaan masa lalu dan sebagainya, itu semua adalah eksistensi dari ’diri’ kita yang lahir dalam tubuh berbangsa Indonesia. Kita lahir dalam eksistensi anak suatu bangsa. Namun, di balik setiap eksistensi ada esensi yang mesti dicari. Esensi inilah yang barangkali simetri dengan apa yang dalam Hindu dan Buddhisme dikenal dengan nama Dharma, dalam khazanah Muslim disebut Fitrah dan dalam Injil dijelaskan dalam perumpamaan talenta. Artinya, setiap orang memiliki peran dalam semesta ini. Spiritualitas, sebenarnya adalah bentuk pencarian peran ini.
Peran ini, bisa dikenali ketika seseorang menemukan sesuatu yang bisa ia kerjakan dengan sangat baik dan ia mampu menikmati apa yang dikerjakan itu dengan kebahagiaan, sekali pun apa yang ia lakukan menghabiskan waktu dan tenaga besar. Seolah-olah peran itu memang diperuntukkan semesta baginya. Inilah yang saya istilahkan sebagai Energi Minimal. Jadi, term Energi Minimal bukan merujuk pada sedikit energi, justru orang bisa mengeluarkan energi begitu besar bekerja keras siang dan malam, hanya saja ia tak merasakan itu sebagai beban.
Hal inilah yang dalam masyarakat modern sudah hilang. Orang seringkali mengerjakan sesuatu bukan demi apa yang memang dinikmatinya dengan bahagia, melainkan demi kesenangan-kesenangan yang sifatnya semu. Hal-hal semacam korupsi, perebutan kekuasaan, kejahatan dan berbagai perilaku yang tak selaras dengan kehidupan, sebenarnya adalah bentuk keterasingan manusia dari Energi Minimalnya.
Dalam Sastra Jendra, hal tersebut diumpamakan bagaimana ada sesuatu kekuatan besar yang sebenarnya mulia, namun ketika diterapkan dengan cara yang salah, maka itu menghasilkan keburukan. Simbol tersebut adalah bagaimana Sukesi kemudian melahirkan Rahwana, Sarpakenaka dan Kumbakarna.
Sastra Jendra, berbicara tentang sebuah kekuatan besar yang jika ditransformasi secara tepat akan menghasilkan kemuliaan. Secara etimologis, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, jika mau diterjemahkan kata per kata maka kita akan menemukan arti:
Sastra = Ilmu
Jendra = Bisa dipahami sebagai kemuliaan atau sesuatu yang bernilai namun sifatnya imaterial, sesuatu yang samar. Bisa pula dipahami sebagai rongga dada, yang kerap dipahami sebagai gerbang menuju ‘rasa sejati’.
Hayu = Cakap, Indah
Ning = Bening
Rat = Semesta Alam
Pangruwating = Yang mampu membersihkan, mentransformasikan
Diyu = Raksasa.
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah pengetahuan yang mampu mengubah ‘raksasa’ menjadi ‘manusia’. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misalnya, kisah Prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda, malu memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru ketika melakukan hubungan pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandraguna dengan nama “Betara Kala” (‘Kala’ berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi. Betari Durga memiliki tempat tersendiri yang disebut “Kayangan Setragandamayit”. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.
Simbolisme raksasa simetri dengan suatu kekuatan besar namun wujudnya primitif. Semacam Force Primitive. Kekuatan ini tidak identik dengan pengertian jahat, melainkan lebih pada manifestasi kepantasan yang tak sesuai untuk bisa diterima budaya. Manusia pun, dalam dirinya memiliki ‘raksasa’ atau ‘kekuatan besar’ yang bisa mendorongnya melakukan tindakan tertentu. Kekuatan ini tidak baik, tidak pula jahat, manusia sendirilah yang memutuskan apakah akan menggunakannya untuk hal baik atau jahat. Kekuatan besar inilah yang dalam pemikiran psikoanalisa atau postrukturalisme diidentifikasi sebagai ‘hasrat’ atau ‘Energi’.
Sebenarnya, Kisah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi memiliki beberapa kesimetrian dengan Kisah Adam dan Hawa, yang jika kita renungkan memiliki makna mendalam karena kaitannya dengan ‘hasrat’ atau ‘energi’. Sama seperti para dewata yang tidak menginginkan Begawan Wisrawa membagi begitu saja ilmu (baca: kawruh) Sastra Jendra pada Dewi Sukesi, begitu pula dengan Allah yang murka karena Adam dan Hawa memakan buah dari pohon pengetahuan. Kita juga menemukan bagaimana hasrat menjadi sesuatu yang menggelincirkan manusia ke dalam petaka. Begawan Wisrawa tergoda oleh Dewi Sukesi, simetri dengan Adam tergoda oleh Hawa.
Mengapa dikisahkan para Tuhan itu tidak menyetujui jika manusia mendapat kawruh atau pengetahuan? Ini terjelaskan dalam ucapan Betara Guru: “Tidak cukup seperti itu untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Serat Sastra Jendra dipagari sifat-sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat-sifat kemanusiaan barulah dapat mencapai derajat para dewa.”. Artinya, simetri dengan pengetahuan yang tak bisa begitu saja dimakan dari buah pengetahuan, demikian pula Sastra Jendra, atau mentransformasi kekuatan besar dari dalam diri, itu juga tak bisa dilakukan begitu saja tanpa lelaku, tanpa menjalani suatu proses.
Bagaimana seseorang menemukan arah hidup yang menjadi perannya serta berproses dalam arah itu, inilah yang banyak menjadi persoalan dewasa ini. Termasuk juga, bagaimana orang-orang yang kehilangan arah ini turut memberi kontribusi bagi terpuruknya bangsa ini. Lihat saja, begitu banyak orang berlomba menjadi politikus. Lihat saja, begitu banyak orang-orang berpotensi menjadi tersia-siakan potensinya karena mereka akhirnya sekedar berpacu untuk menjadi penunggu meja atau budak berdasi. Hal-hal semacam inilah yang semestinya menjadi perhatian ketika kita bicara tentang spiritualitas.
Spiritualitas adalah soal menemukan ’guru’, yang bisa memberi pelajaran hidup. Guru ini bisa merujuk pada apa saja, tak harus sosok manusia, bisa peristiwa, gerak alam dan sebagainya. Apa yang penting di sini adalah kedalaman pembacaan atas realita. Dalam kedalaman pembacaan itulah ’Sang Guru’ akan ditemukan.
Artifak-artifak spiritual kuno, sebenarnya menyiratkan pula adanya ’guru’ tersebut. Dalam Serat Dharmagandhul misalnya, kita bisa membaca kutipan berikut. Kutipan ini adalah dialog Sabdapalon kepada Prabu Brawijaya V.
“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nami kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah.
(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah.)
Saya mencoba menguraikan simbolisasi-simbolisasi dari narasi di atas. ‘Kata-kata’ simetri dengan ‘logos’ atau ‘yang terbaca dan menjadi pengetahuan’. ‘Kayu pengancing kandang’ adalah simbol bagaimana ada sesuatu yang berada dalam kandang dan dikunci. Bisa merupakan rahasia yang untuk membukanya butuh tahu dan memiliki kuncinya, tapi bisa juga merupakan sesuatu yang mesti ditahan untuk tidak diumbar. ‘Pandangan’ saya artikan realita atau apa yang dalam filsafat Timur dikenal dengan maya. Sedangkan ‘Kelanggengan’ melambangkan sesuatu yang abadi, atau konstanta segala sesuatu.
Sekarang mari kita simak kutipan lain dari Serat Dharmagandhul. Dalam kutipan tersebut kita bisa merenungkan di mana ‘letak’ dan ‘esensi’ dari guru:
“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput. …..”
(“ Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. Sang Prabu diminta menyaksikan, jika esok ada orang Jawa dengan kematangan usia, bersenjatakan pengetahuan, itulah orang yang dibimbing Sabdapalon. Orang-orang Jawa akan diajari mengetahui mana yang benar dan salah…..”)
Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa, pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Pencipta) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya .
Inilah sebuah spiritualitas. Bagaimana melakukan pembacaan secara mendalam atas apa yang meliputi segala wujud (baca: realita). Simetri dengan Serat Dharmagandhul, bisa ditemukan pola serupa dalam Uga Wangsit Siliwangi sebuah artifak dalam budaya Sunda. Artifak itu diyakini sebagai semacam ‘wangsit’ dari Prabu Siliwangi kepada rakyat Padjajaran untuk menemukan kembali apa yang hilang, yaitu kejayaan masyarakat Sunda.
Dalam artifak tersebut terdapat narasi yang menggambarkan akan datangnya sosok yang disebut sebagai ‘budak angon’. Terjemahan bebas ‘budak angon’ adalah ‘anak gembala’. Namun, digambarkan dalam artifak tersebut bahwa yang digembalakan sang anak gembala adalah apa yang tersisa dari tumbuhan. Ini bisa diparafrase sebagai ‘menggembalakan apa yang tersisa dari hal yang dapat tumbuh’. Saya lebih melihat narasi dalam artifak tersebut sebagai ‘pesan’ dalam kultur Sunda tentang bagaimana menemukan ‘kejayaan diri’ lewat konsep ‘angon’ atau ‘menggembalakan’.
Dalam narasi Uga Wangsit Siliwangi, dikatakan bahwa ‘budak angon’ akan ditemukan oleh mereka yang mau mencari. Ini bisa diartikan bahwa sang guru yang menggembalakan itu hanya akan ditemukan oleh mereka yang mau mencari. ‘Budak angon’ kerap disamakan dengan ‘Sabda Palon’, dan karena itu banyak pula yang menginterpretasi sebagai datangnya sosok ‘hero’ penyelamat bangsa yang berciri penggembala. Namun, ketimbang melakukan interpretasi dengan cara itu , saya melihat bahwa narasi Uga Wangsit Siliwangi—sama dengan Serat Dharmagandhul—lebih bermuatan pesan tentang bagaimana seseorang mau mencari sebuah pendidikan yang dilakukan dengan konsep ‘angon’ atau ‘menggembalakan’.
Konsep ‘menggembalakan’ di sini bisa pula kita simetrikan dengan konsep pendidikan ala Montessori. Dalam konsep Montessori, fungsi guru lebih mirip ‘gembala’, sementara para murid belajar mengembangkan sendiri. Ini simetri pula dengan konsep pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara, yang menekankan pada natuur (natur) atau alam. Ki Hadjar mengemukakan bahwa esensi pendidikan adalah pemeliharaan dengan segenap perhatian agar menghasilkan pertumbuhan hidup lahir batin bagi anak menurut kodrat alamnya masing-masing. Metode ini disebut sebagai among.
Sekali lagi di sini kita melihat kesimetrian antara konsep ‘among’ dengan ‘budak angon’ dan apa yang dikemukakan Montessori. Jika pendidikan berjalan dengan metode among, tak mungkinlah pendidik hanya berfungsi sebagai pemasok ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada anak didiknya. Justru apa yang terpenting, pendidik harus ngemong, membimbing, ‘menggembalakan’ dan mendampingi anak didiknya, agar mereka sendirilah yang belajar untuk menyerap pengetahuannya.
Di sinilah kita yang dewasa bisa berperan bagi pendidikan anak-anak, yaitu dengan menjadi pamomong. Sebuah pepatah mengatakan “Guru yang baik mengajari, Guru sejati menginspirasi”. Pepatah tersebut menyiratkan pentingnya inspirasi bagi pertumbuhan seseorang. Inspirasi bisa datang dari apa saja: film, buku cerita, diskusi tentang peristiwa, dongeng, gambar, dan banyak lagi macamnya. Dalam inspirasi, intinya guru memancing murid untuk menyerap, mengolah dan mengembangkan pengetahuan yang berguna bagi dirinya sendiri dan bukan mengajarinya menurut logika gurunya.
Saya pernah menuliskan di wall facebook acara seminar ini: bahwa semestinya acara ini bukan bertajuk ”Penemuan benda purbakala dan spiritualitas” melainkan ’Spiritualitas dan Kebangsaan”. Kebangsaan, bukanlah sebuah konsep kebenaran besar yang kemudian dijadikan alat untuk menghilangkan perbedaan dari individu yang coba dinaunginya. Justru kebalikannya, kebangsaan adalah sesuatu yang besar tapi terbentuknya berasal dari individu-individu yang menjadi anggota suatu bangsa. Jadi, pembentukan sebuah bangsa besar, harus berangkat dan berakhir pada kemampuan individu-inidividu di dalamnya untuk menjadikan dirinya besar atau mulia.
Penemuan berbagai hal dari masa lalu tentu penting agar kita tak menjadi ahistoris. Ibaratnya berangkat ke suatu tempat, kita bukan hanya mesti paham tujuan, tapi juga berada di titik mana kita berangkat. Setiap manusia adalah pejalan dengan misi hidup masing-masing. Dalam salah satu puisinya, Rumi mengibaratkan manusia bak utusan kerajaan yang dikirim ke sebuah desa untuk tujuan khusus. Jika ia berangkat dan mengerjakan banyak tugas lain tapi lalai mengerjakan tugas yang khusus tersebut, itu sama saja dengan tidak mengerjakan apa-apa.
Demikianlah tiap manusia diutus ke dunia untuk satu tujuan dan sasaran khusus. Jika seseorang tidak mencapai tujuan itu, berarti ia tidak menyelesaikan apa pun. Spiritualisme, sebenarnya adalah sebuah upaya agar orang tidak tersesat dari tujuannya tersebut. Itu sebabnya orang perlu untuk terus diingatkan akan kekembalian pada fitrah. Semoga dengan apa yang kita bahas di seminar ini. Kode-kode masa lalu yang terungkap dalam berbagai artifak kuno, kita bisa sampai pada sebuah pembacaan yang memampukan kita menangkap citra Ilahi dalam diri kita masing-masing, dan bukan justru teralienasi karena pantulan-pantulan ilusi yang seakan benar tapi justru menyesatkan.
Oleh : Audifax
Ketika kita bicara tentang Spiritualitas dan penemuan situs-situs dari masa lalu, itu artinya kita juga bicara sebuah Psikologi Simbol dan Psikologi Kisah. Bagaimana pun, semua yang kembali dari masa lalu ini merupa dalam simbol dan kisah yang di dalamnya mengandung pesan atau nilai. Inilah sudut pandang penting yang perlu disadari.
Lantas, apa pentingnya kita membicarakan Simbol dan Kisah? Ada dua hal penting di sini: Pertama, manusia adalah mahluk yang hidup dan dihidupi oleh simbol. Kedua, manusia adalah mahluk yang menarasi. Masing-masing dari kita adalah sebuah narasi .
Esensi dari simbol dan kisah adalah selalu hadir sebagai pengganti dari sesuatu yang tak dapat hadir. Apa yang tak dapat hadir sehingga mewakilkan dirinya lewat simbol atau kisah? Jawabnya: Makna!. Ketika membahas makna, kita perlu waspada. Sudah terlalu sering orang mencampur-adukkan antara makna dan kebenaran. Makna sama sekali berbeda dengan kebenaran. Makna adalah sebuah kebernilaian yang membuat sesuatu, apapun itu, tak menjadi kosong belaka. Tapi, tak pernah ada sebuah kebenaran tunggal untuk makna, setiap makna meski datang dari sebuah simbol yang sama, ibarat surat, memiliki tujuannya sendiri-sendiri.
Agar suatu makna sampai pada tujuannya, dibutuhkan penuntun. Nah, penuntun inilah yang akan kita temukan dalam pembahasan temuan-temuan purbakala dan kaitannya dengan kebangsaan atau Indonesia. Barangkali di sini lantas muncul pertanyaan, penuntun menuju ke mana? Untuk siapa? Dari siapa?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ijinkan saya mengutip sebuah komentar dari pak Denny Nicholas di wall acara ini di Facebook. Komen pak Denny itu pun mengutip kisah Syech Siti Jenar. Kurang lebih begini:
Seseorang bertamu ke rumah Syech Siti Jenar dan terjadilah dialog berikut
Tanya: Saya mencari Syech Siti Jenar?
Jawab: Syech Siti Jenar tidak ada yang ada Allah
Tanya: Kalau begitu saya mau mencari Allah
Jawab: Allah tidak ada, yang ada Syech Siti Jenar.
Kutipan kisah itu sebenarnya kental salah satu prinsip sufisme: Aku mencari diriku dan hanya menemukan Allah, Aku mencari Allah dan hanya menemukan diriku.
Michael W. Fox, dalam buku Meditation with Animals, mengatakan bahwa saat ini kita nyaris kehilangan kontak dengan bagian dari diri kita sendiri, yaitu bagian yang resonansinya menghubungkan kita dengan mahluk hidup lain dan juga dengan alam semesta. Bagian dari diri kita ini sebenarnya memiliki kekuatan yang memampukan kita mengalami kesatuan spiritual antara keberadaan diri kita dan keberadaan segala hal lain di semesta. Kesatuan yang membuat kita mampu memahami bahwa di satu titik kita dan semua bentuk kehidupan berada dalam satu asal dan penciptaan.
Pencarian semacam inilah yang membutuhkan penuntun. Dan penuntun itu ada di sekeliling kita dalam bentuk simbol dan kisah. Artinya, untuk sampai pada makna, dibutuhkan pembacaan. Bacalah!, maka kau akan sampai pada kedalaman di mana makna ditemukan. Seperti juga tertulis dalam Injil Yohanes 1:1 yang berbicara tentang penciptaan semesta, di situ tertulis en arche en ho logos. Pada mulanya adalah Yang-Terbaca-dan-menjadi-p
Lantas, sampai seberapa dalam suatu pembacaan bisa sampai pada makna? Kedalaman sebuah pembacaan, sebenarnya tak lepas dari seberapa dalam seseorang mampu mengakses dirinya sendiri. Ada sesuatu di kedalaman diri tiap orang, yang ketika banyak orang mampu menemukannya, maka akan membawa pada masyarakat yang lebih baik. Mengutip Lao Tzu, di situ dia mengatakan ”Memahami orang lain adalah kearifan, memahami diri sendiri adalah pencerahan”. Di sinilah saya akan masuk pada topik utama saya yaitu bagaimana menemukan apa yang terdalam dari diri, atau di sini saya istilahkan sebagai citra Ilahi .
Eksistensi mendahului Esensi
Ketika kita bicara tentang ’diri’ atau ’self’, maka di situ kita juga bicara mengenai setiap manusia selalu lahir dalam sebuah eksistensi. Kalau kita di sini membicarakan bangsa Indonesia, kejayaan masa lalu dan sebagainya, itu semua adalah eksistensi dari ’diri’ kita yang lahir dalam tubuh berbangsa Indonesia. Kita lahir dalam eksistensi anak suatu bangsa. Namun, di balik setiap eksistensi ada esensi yang mesti dicari. Esensi inilah yang barangkali simetri dengan apa yang dalam Hindu dan Buddhisme dikenal dengan nama Dharma, dalam khazanah Muslim disebut Fitrah dan dalam Injil dijelaskan dalam perumpamaan talenta. Artinya, setiap orang memiliki peran dalam semesta ini. Spiritualitas, sebenarnya adalah bentuk pencarian peran ini.
Peran ini, bisa dikenali ketika seseorang menemukan sesuatu yang bisa ia kerjakan dengan sangat baik dan ia mampu menikmati apa yang dikerjakan itu dengan kebahagiaan, sekali pun apa yang ia lakukan menghabiskan waktu dan tenaga besar. Seolah-olah peran itu memang diperuntukkan semesta baginya. Inilah yang saya istilahkan sebagai Energi Minimal. Jadi, term Energi Minimal bukan merujuk pada sedikit energi, justru orang bisa mengeluarkan energi begitu besar bekerja keras siang dan malam, hanya saja ia tak merasakan itu sebagai beban.
Hal inilah yang dalam masyarakat modern sudah hilang. Orang seringkali mengerjakan sesuatu bukan demi apa yang memang dinikmatinya dengan bahagia, melainkan demi kesenangan-kesenangan yang sifatnya semu. Hal-hal semacam korupsi, perebutan kekuasaan, kejahatan dan berbagai perilaku yang tak selaras dengan kehidupan, sebenarnya adalah bentuk keterasingan manusia dari Energi Minimalnya.
Dalam Sastra Jendra, hal tersebut diumpamakan bagaimana ada sesuatu kekuatan besar yang sebenarnya mulia, namun ketika diterapkan dengan cara yang salah, maka itu menghasilkan keburukan. Simbol tersebut adalah bagaimana Sukesi kemudian melahirkan Rahwana, Sarpakenaka dan Kumbakarna.
Sastra Jendra, berbicara tentang sebuah kekuatan besar yang jika ditransformasi secara tepat akan menghasilkan kemuliaan. Secara etimologis, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, jika mau diterjemahkan kata per kata maka kita akan menemukan arti:
Sastra = Ilmu
Jendra = Bisa dipahami sebagai kemuliaan atau sesuatu yang bernilai namun sifatnya imaterial, sesuatu yang samar. Bisa pula dipahami sebagai rongga dada, yang kerap dipahami sebagai gerbang menuju ‘rasa sejati’.
Hayu = Cakap, Indah
Ning = Bening
Rat = Semesta Alam
Pangruwating = Yang mampu membersihkan, mentransformasikan
Diyu = Raksasa.
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah pengetahuan yang mampu mengubah ‘raksasa’ menjadi ‘manusia’. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misalnya, kisah Prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda, malu memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru ketika melakukan hubungan pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandraguna dengan nama “Betara Kala” (‘Kala’ berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi. Betari Durga memiliki tempat tersendiri yang disebut “Kayangan Setragandamayit”. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.
Simbolisme raksasa simetri dengan suatu kekuatan besar namun wujudnya primitif. Semacam Force Primitive. Kekuatan ini tidak identik dengan pengertian jahat, melainkan lebih pada manifestasi kepantasan yang tak sesuai untuk bisa diterima budaya. Manusia pun, dalam dirinya memiliki ‘raksasa’ atau ‘kekuatan besar’ yang bisa mendorongnya melakukan tindakan tertentu. Kekuatan ini tidak baik, tidak pula jahat, manusia sendirilah yang memutuskan apakah akan menggunakannya untuk hal baik atau jahat. Kekuatan besar inilah yang dalam pemikiran psikoanalisa atau postrukturalisme diidentifikasi sebagai ‘hasrat’ atau ‘Energi’.
Sebenarnya, Kisah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi memiliki beberapa kesimetrian dengan Kisah Adam dan Hawa, yang jika kita renungkan memiliki makna mendalam karena kaitannya dengan ‘hasrat’ atau ‘energi’. Sama seperti para dewata yang tidak menginginkan Begawan Wisrawa membagi begitu saja ilmu (baca: kawruh) Sastra Jendra pada Dewi Sukesi, begitu pula dengan Allah yang murka karena Adam dan Hawa memakan buah dari pohon pengetahuan. Kita juga menemukan bagaimana hasrat menjadi sesuatu yang menggelincirkan manusia ke dalam petaka. Begawan Wisrawa tergoda oleh Dewi Sukesi, simetri dengan Adam tergoda oleh Hawa.
Mengapa dikisahkan para Tuhan itu tidak menyetujui jika manusia mendapat kawruh atau pengetahuan? Ini terjelaskan dalam ucapan Betara Guru: “Tidak cukup seperti itu untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Serat Sastra Jendra dipagari sifat-sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat-sifat kemanusiaan barulah dapat mencapai derajat para dewa.”. Artinya, simetri dengan pengetahuan yang tak bisa begitu saja dimakan dari buah pengetahuan, demikian pula Sastra Jendra, atau mentransformasi kekuatan besar dari dalam diri, itu juga tak bisa dilakukan begitu saja tanpa lelaku, tanpa menjalani suatu proses.
Bagaimana seseorang menemukan arah hidup yang menjadi perannya serta berproses dalam arah itu, inilah yang banyak menjadi persoalan dewasa ini. Termasuk juga, bagaimana orang-orang yang kehilangan arah ini turut memberi kontribusi bagi terpuruknya bangsa ini. Lihat saja, begitu banyak orang berlomba menjadi politikus. Lihat saja, begitu banyak orang-orang berpotensi menjadi tersia-siakan potensinya karena mereka akhirnya sekedar berpacu untuk menjadi penunggu meja atau budak berdasi. Hal-hal semacam inilah yang semestinya menjadi perhatian ketika kita bicara tentang spiritualitas.
Spiritualitas adalah soal menemukan ’guru’, yang bisa memberi pelajaran hidup. Guru ini bisa merujuk pada apa saja, tak harus sosok manusia, bisa peristiwa, gerak alam dan sebagainya. Apa yang penting di sini adalah kedalaman pembacaan atas realita. Dalam kedalaman pembacaan itulah ’Sang Guru’ akan ditemukan.
Artifak-artifak spiritual kuno, sebenarnya menyiratkan pula adanya ’guru’ tersebut. Dalam Serat Dharmagandhul misalnya, kita bisa membaca kutipan berikut. Kutipan ini adalah dialog Sabdapalon kepada Prabu Brawijaya V.
“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nami kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah.
(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah.)
Saya mencoba menguraikan simbolisasi-simbolisasi dari narasi di atas. ‘Kata-kata’ simetri dengan ‘logos’ atau ‘yang terbaca dan menjadi pengetahuan’. ‘Kayu pengancing kandang’ adalah simbol bagaimana ada sesuatu yang berada dalam kandang dan dikunci. Bisa merupakan rahasia yang untuk membukanya butuh tahu dan memiliki kuncinya, tapi bisa juga merupakan sesuatu yang mesti ditahan untuk tidak diumbar. ‘Pandangan’ saya artikan realita atau apa yang dalam filsafat Timur dikenal dengan maya. Sedangkan ‘Kelanggengan’ melambangkan sesuatu yang abadi, atau konstanta segala sesuatu.
Sekarang mari kita simak kutipan lain dari Serat Dharmagandhul. Dalam kutipan tersebut kita bisa merenungkan di mana ‘letak’ dan ‘esensi’ dari guru:
“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput. …..”
(“ Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. Sang Prabu diminta menyaksikan, jika esok ada orang Jawa dengan kematangan usia, bersenjatakan pengetahuan, itulah orang yang dibimbing Sabdapalon. Orang-orang Jawa akan diajari mengetahui mana yang benar dan salah…..”)
Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa, pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Pencipta) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya .
Inilah sebuah spiritualitas. Bagaimana melakukan pembacaan secara mendalam atas apa yang meliputi segala wujud (baca: realita). Simetri dengan Serat Dharmagandhul, bisa ditemukan pola serupa dalam Uga Wangsit Siliwangi sebuah artifak dalam budaya Sunda. Artifak itu diyakini sebagai semacam ‘wangsit’ dari Prabu Siliwangi kepada rakyat Padjajaran untuk menemukan kembali apa yang hilang, yaitu kejayaan masyarakat Sunda.
Dalam artifak tersebut terdapat narasi yang menggambarkan akan datangnya sosok yang disebut sebagai ‘budak angon’. Terjemahan bebas ‘budak angon’ adalah ‘anak gembala’. Namun, digambarkan dalam artifak tersebut bahwa yang digembalakan sang anak gembala adalah apa yang tersisa dari tumbuhan. Ini bisa diparafrase sebagai ‘menggembalakan apa yang tersisa dari hal yang dapat tumbuh’. Saya lebih melihat narasi dalam artifak tersebut sebagai ‘pesan’ dalam kultur Sunda tentang bagaimana menemukan ‘kejayaan diri’ lewat konsep ‘angon’ atau ‘menggembalakan’.
Dalam narasi Uga Wangsit Siliwangi, dikatakan bahwa ‘budak angon’ akan ditemukan oleh mereka yang mau mencari. Ini bisa diartikan bahwa sang guru yang menggembalakan itu hanya akan ditemukan oleh mereka yang mau mencari. ‘Budak angon’ kerap disamakan dengan ‘Sabda Palon’, dan karena itu banyak pula yang menginterpretasi sebagai datangnya sosok ‘hero’ penyelamat bangsa yang berciri penggembala. Namun, ketimbang melakukan interpretasi dengan cara itu , saya melihat bahwa narasi Uga Wangsit Siliwangi—sama dengan Serat Dharmagandhul—lebih bermuatan pesan tentang bagaimana seseorang mau mencari sebuah pendidikan yang dilakukan dengan konsep ‘angon’ atau ‘menggembalakan’.
Konsep ‘menggembalakan’ di sini bisa pula kita simetrikan dengan konsep pendidikan ala Montessori. Dalam konsep Montessori, fungsi guru lebih mirip ‘gembala’, sementara para murid belajar mengembangkan sendiri. Ini simetri pula dengan konsep pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara, yang menekankan pada natuur (natur) atau alam. Ki Hadjar mengemukakan bahwa esensi pendidikan adalah pemeliharaan dengan segenap perhatian agar menghasilkan pertumbuhan hidup lahir batin bagi anak menurut kodrat alamnya masing-masing. Metode ini disebut sebagai among.
Sekali lagi di sini kita melihat kesimetrian antara konsep ‘among’ dengan ‘budak angon’ dan apa yang dikemukakan Montessori. Jika pendidikan berjalan dengan metode among, tak mungkinlah pendidik hanya berfungsi sebagai pemasok ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada anak didiknya. Justru apa yang terpenting, pendidik harus ngemong, membimbing, ‘menggembalakan’ dan mendampingi anak didiknya, agar mereka sendirilah yang belajar untuk menyerap pengetahuannya.
Di sinilah kita yang dewasa bisa berperan bagi pendidikan anak-anak, yaitu dengan menjadi pamomong. Sebuah pepatah mengatakan “Guru yang baik mengajari, Guru sejati menginspirasi”. Pepatah tersebut menyiratkan pentingnya inspirasi bagi pertumbuhan seseorang. Inspirasi bisa datang dari apa saja: film, buku cerita, diskusi tentang peristiwa, dongeng, gambar, dan banyak lagi macamnya. Dalam inspirasi, intinya guru memancing murid untuk menyerap, mengolah dan mengembangkan pengetahuan yang berguna bagi dirinya sendiri dan bukan mengajarinya menurut logika gurunya.
Saya pernah menuliskan di wall facebook acara seminar ini: bahwa semestinya acara ini bukan bertajuk ”Penemuan benda purbakala dan spiritualitas” melainkan ’Spiritualitas dan Kebangsaan”. Kebangsaan, bukanlah sebuah konsep kebenaran besar yang kemudian dijadikan alat untuk menghilangkan perbedaan dari individu yang coba dinaunginya. Justru kebalikannya, kebangsaan adalah sesuatu yang besar tapi terbentuknya berasal dari individu-individu yang menjadi anggota suatu bangsa. Jadi, pembentukan sebuah bangsa besar, harus berangkat dan berakhir pada kemampuan individu-inidividu di dalamnya untuk menjadikan dirinya besar atau mulia.
Penemuan berbagai hal dari masa lalu tentu penting agar kita tak menjadi ahistoris. Ibaratnya berangkat ke suatu tempat, kita bukan hanya mesti paham tujuan, tapi juga berada di titik mana kita berangkat. Setiap manusia adalah pejalan dengan misi hidup masing-masing. Dalam salah satu puisinya, Rumi mengibaratkan manusia bak utusan kerajaan yang dikirim ke sebuah desa untuk tujuan khusus. Jika ia berangkat dan mengerjakan banyak tugas lain tapi lalai mengerjakan tugas yang khusus tersebut, itu sama saja dengan tidak mengerjakan apa-apa.
Demikianlah tiap manusia diutus ke dunia untuk satu tujuan dan sasaran khusus. Jika seseorang tidak mencapai tujuan itu, berarti ia tidak menyelesaikan apa pun. Spiritualisme, sebenarnya adalah sebuah upaya agar orang tidak tersesat dari tujuannya tersebut. Itu sebabnya orang perlu untuk terus diingatkan akan kekembalian pada fitrah. Semoga dengan apa yang kita bahas di seminar ini. Kode-kode masa lalu yang terungkap dalam berbagai artifak kuno, kita bisa sampai pada sebuah pembacaan yang memampukan kita menangkap citra Ilahi dalam diri kita masing-masing, dan bukan justru teralienasi karena pantulan-pantulan ilusi yang seakan benar tapi justru menyesatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar